Bab 15Laki-laki berbadan tegap itu berbalik. Bibirnya kemudian tersenyum pada Dinda. "Aku datang untuk menjemputmu, 'rayap bawel'. Mama kangen sama kamu," ujarnya. Mata Dinda langsung melebar mendengarnya. "Reza?" serunya tak percaya. Tak ada orang lain yang memanggilnya dengan sebutan rayap bawel selain teman masa kecilnya itu. Telah lama sejak ia masih berusia 12 tahun. Berpisah dengan tetangga yang sangat baik karena paman dan bibinya yang tiba-tiba menjual rumahnya dan mengajak pindah ke ruko. "Ternyata kamu masih ingat pada panggilan itu.""Ya, masih. Mana ada orang lain yang manggil aku rayap, ditambah bawel lagi."Laki-laki bernama Reza itu tertawa kecil sambil menggaruk tengkuknya. "Apa kamu masih gila sama kertas?" "Aku nggak gila sama kertas, Reza.""Nggak gila tapi terobsesi aja. Setiap ada buku kosong pasti kamu abisin buat digambar, dan setiap ada bacaan yang baru, pasti kamu duluan yang heboh, entah itu buku cerita atau koran. Kan, benar-benar kayak rayap?""Lah, m
Pulang, Dinda melihat mobil Andra telah terparkir dalam bagasi. Hari telah senja. Ia baru pulang dari rumah Reza ba'da ashar. Halaman yang hijau itu tampak keemasan diterpa cahaya senja. Indah. Namun terasa kurang karena tak adanya tanaman bunga yang pasti akan menambah warna. Padahal ada meja dan kursi taman di sudut rumah. Namun karena mungkin sang dokter tidak pernah menggunakannya, meja dan kursi taman itu ditumpuk di sudut. Dinda langsung membuka pintu dengan kunci yang ada padanya. Aroma masakan yang begitu menggugah langsung tercium di hidung. Aroma masakan dari dapur.Siapa yang masak di belakang? Mungkinkah ada pembantu yang datang sekali-kali?"Assalamualaikum," ucapnya dengan kepala melongok ke belakang. Tak ada sahutan. Dinda pun langsung melangkah ke belakang. Tampak di sana laki-laki tampan yang biasanya berjas putih itu kini terpasang Appron di depan dada bidangnya. Mengaduk-aduk brokoli di dalam wajan yang berisik. Membuatnya tak menyadari kepulangan Dinda. "Dok
"Berapa yang kalian inginkan?" tanya Andra tajam pada Yani dan Lola. "Oh, syukurlah punya menantu yang pengertian seperti Nak Andra. Sayang sekali yang dipilih orang seperti Dinda. Coba aja sama Lola, pasti cocok banget," puji Yani mencari muka. Lola langsung tersenyum manis, berharap senyumannya itu bisa menarik perhatian suami dari sepupunya itu. "Kalo begitu cepat katakan nominalnya," tegas Andra. Yani girang luar biasa. Kapan lagi bisa mendapatkan uang cuma-cuma terserah berapapun w ia inginkan seperti ini. "Dua puluh juta aja, Nak. Bibi mau beli perhiasan sedikit. Lola juga butuh baju baru buat ke acara pesta ulangtahun temennya," jelas wanita itu dengan nada mendayu-dayu. Mata Dinda langsung melebar mendengarnya. Dua puluh juta? Mudah sekali bibinya itu meminta hasil jerih payah orang sesuka hati. "Baik, tunggu di sini!" Andra menutup pintu rumah di hadapan wajah mereka. Yani dan Lola tampak terkejut. Lola sempat menggerutu karena baru saja hendak melangkah ke dalam.
Sosok berhelm itu menoleh. Pada seorang gadis cantik berwajah Arab yang baru saja memukulinya. Kelengahan sosok itu memberi kesempatan pada si Preman untuk kabur. Namun ternyata sosok itu membiarkannya. Karena ia telah mengetahui siapa biang dari kejadian ini. Tanpa mempedulikan teriakan gadis berwajah Arab yang tak lain adalah Fathimah itu, petarung handal itu membuka sarung tangan kulitnya yang telah kotor dengan noda darah. Balok kayu yang juga menjadi senjatanya dibuangnya ke sembarang arah. Lalu melepaskan helm yang menutupi kepala. "Dokter Andra?" seru Fathimah saat melihat wajah tampan di balik helm itu. Sosok itu menoleh tanpa ekspresi. "Bukan," jawabnya datar. Lalu melangkah untuk kembali masuk ke toko. Fathimah mengernyit. Bukan Dokter Andra? Suaranya memang berbeda. Dan jika diperhatikan wajahnya juga tak terlalu sama. Jiwa 'kepo' Fathimah langsung bangkit. Dengan gesit ia menghadang laki-laki berpakaian serba hitam yang sebenarnya adalah Alex."Hei, tunggu dulu. K
Bab 19Mobil merah itu terus melaju. Membelah jalanan kota yang kala malam begitu semarak. Dinda duduk di samping bangku kemudi tanpa bicara. Bersama wanita yang mencintai suaminya tentu bukan sebuah pilihan. Namun ia harus bersabar demi sampai ke rumah dan menemani sang suami makan malam. Sepuluh menit berkendara, mobil merah Siska tiba-tiba berbelok ke persimpangan yang bukan menuju arah komplek rumah Andra. Dinda langsung menoleh. "Ini bukan arah pulang, Mbak," protesnya. "Mbak! Mbak! Gue bukan kakak Lo!" ketusnya. "Gue ada perlu bentar," Siska menepikan mobilnya tepat di hadapan sebuah klub malam bernama Vanilla Sky. Dinda hanya bisa menelan salivanya. Rasanya ia telah terlanjur naik ke mobil itu. Siska kemudian keluar dari mobil dan menutup pintunya kasar."Keluar Lo, kalo nggak gue kunci di dalam mobil!" teriaknya.Dinda merapatkan giginya dan ikut keluar. Ia lebih baik mencari tumpangan lain daripada dibentak-bentak seperti ini."Heh! Mau kemana?!" bentak Siska lagi saat m
Tiga puluh menit telah berlalu setelah Dinda di dorong dengan kasar ke dalam kamar. Dan sekarang, kamar itu telah porak-poranda. Sementara kelima laki-laki berhidung belang itu telah terkapar dengan tubuh babak belur. "Kamu nggak apa-apa?" Sebuah tangan terulur di hadapan Dinda. Tangan yang pernah terulur untuk membantunya keluar dari kezaliman bibirnya sendiri. Tangan dengan lengan bertatto daun Semanggi. "Dokter ...," lirih Dinda dengan mata yang berkaca-kaca. Setengah jam yang lalu, laki-laki itu datang tepat di saat pintu kamar itu ditutup. Suara dobrakan pintu membuatnya dan juga kelima laki-laki itu terkejut. Lalu tanpa ampun sang dokter menerjang mereka. Pertarungan terjadi cukup sengit. Sendirian menghadapi lima orang lawan cukup membuat Andra kewalahan. Bahkan ia sempat dihantam dengan keras pada kepala, yang membuatnya pusing beberapa saat dan menjadi bulan-bulanan mereka. Dinda panik setengah mati. Dengan mata nyalang ia mencari sesuatu untuk senjata memukul mereka.
Dinda tersentak. Andra mencengkeram lengannya dengan sangat kencang. Dalam keremangan cahaya lampu, Dinda bisa melihat raut wajah tampan itu tampak begitu dingin dan mengancam. Gadis itu terpaku sesaat. Andra tampak menakutkan dengan ekspresi seperti itu. Begitu tersadar, Dinda meringis merasakan sakit di lengannya. "Aw, sakit," lirihnya. Andra langsung melepaskan cengkeramannya. Ekspresinya pun langsung berubah. "Dinda?" tanyanya. "I-iya. Maafkan saya, masuk dan mengobati Dokter tanpa izin," ucapnya takut.Andra bangkit dan menghela napas. "Tidak apa-apa. Aku juga minta maaf karena menyakitimu."Dinda mengangguk. "Apa ... kamu udah selesai mengobatinya?" "Belum," Dinda menggeleng."Kalo begitu, aku minta tolong diteruskan, ya? Aku tidak bisa mengobatinya sendiri." Dinda mengangguk kikuk. Dan pipinya langsung memerah saat melihat Andra membuka baju hingga terlihat badannya yang tegap dan dadanya yang bidang. Ah ... Dinda tak sanggup lagi meneruskan tatapannya pada perut sang
"Astaghfirullah. Dokter, ini tangan Dokter kenapa?"Andra langsung melihat lengannya. Raut paniknya seketika muncul kembali. "I-ini ... tergores garpu," jawabnya gugup. Dinda mengernyit. "Garpu?""Iya, garpunya tadi .... sulit menjelaskannya. Pokoknya tidak sengaja jadi tergores."Dinda tak lagi mempertanyakan "Sebentar, saya ambilkan obat.Begitu Dinda pergi, Andra langsung mengunci kembali pintu kamar itu. Lalu beranjak mengikuti gadis itu. "Kita tidak jauh dari kotak obat dari semalam," senyumnya saat Dinda mengoleskan obat merah pada luka di lengannya. Dinda ikut tersenyum. "Semoga ini yang terakhir," doanya."Itu tak mungkin. Hidup ini tidak akan pernah membiarkan kita tenang. Tanpa menyakiti baik fisik maupun psikis.""Tidak begitu juga. Masih banyak tawa yang hadir dalam hidup. Masih banyak yang mampu menyenangkan hati kalau kita tidak menutup diri dengan kesedihan. Saya pernah baca dari buku sebuah kalimat yang sangat menginspirasi. Dokter mau dengar?"Andra mengangguk. Mat