Dinda tersentak. Andra mencengkeram lengannya dengan sangat kencang. Dalam keremangan cahaya lampu, Dinda bisa melihat raut wajah tampan itu tampak begitu dingin dan mengancam. Gadis itu terpaku sesaat. Andra tampak menakutkan dengan ekspresi seperti itu. Begitu tersadar, Dinda meringis merasakan sakit di lengannya. "Aw, sakit," lirihnya. Andra langsung melepaskan cengkeramannya. Ekspresinya pun langsung berubah. "Dinda?" tanyanya. "I-iya. Maafkan saya, masuk dan mengobati Dokter tanpa izin," ucapnya takut.Andra bangkit dan menghela napas. "Tidak apa-apa. Aku juga minta maaf karena menyakitimu."Dinda mengangguk. "Apa ... kamu udah selesai mengobatinya?" "Belum," Dinda menggeleng."Kalo begitu, aku minta tolong diteruskan, ya? Aku tidak bisa mengobatinya sendiri." Dinda mengangguk kikuk. Dan pipinya langsung memerah saat melihat Andra membuka baju hingga terlihat badannya yang tegap dan dadanya yang bidang. Ah ... Dinda tak sanggup lagi meneruskan tatapannya pada perut sang
"Astaghfirullah. Dokter, ini tangan Dokter kenapa?"Andra langsung melihat lengannya. Raut paniknya seketika muncul kembali. "I-ini ... tergores garpu," jawabnya gugup. Dinda mengernyit. "Garpu?""Iya, garpunya tadi .... sulit menjelaskannya. Pokoknya tidak sengaja jadi tergores."Dinda tak lagi mempertanyakan "Sebentar, saya ambilkan obat.Begitu Dinda pergi, Andra langsung mengunci kembali pintu kamar itu. Lalu beranjak mengikuti gadis itu. "Kita tidak jauh dari kotak obat dari semalam," senyumnya saat Dinda mengoleskan obat merah pada luka di lengannya. Dinda ikut tersenyum. "Semoga ini yang terakhir," doanya."Itu tak mungkin. Hidup ini tidak akan pernah membiarkan kita tenang. Tanpa menyakiti baik fisik maupun psikis.""Tidak begitu juga. Masih banyak tawa yang hadir dalam hidup. Masih banyak yang mampu menyenangkan hati kalau kita tidak menutup diri dengan kesedihan. Saya pernah baca dari buku sebuah kalimat yang sangat menginspirasi. Dokter mau dengar?"Andra mengangguk. Mat
"Tato?" Dinda mengernyit. Tato Daun Semanggi di lengan Andra langsung terbayang di matanya. Gadis itu cepat-cepat menghilangkan bayangannya. Sepertinya kini pikirannya penuh dengan sang dokter. Mendengar kata Rumah Sakit pun membuatnya langsung terbayang wajah laki-laki itu."Ya, tapi Siswi SMA itu tak tau tatonya seperti apa karena dilihat sekilas. Pun, saat ketakutan," jawab Reza. Sesaat kemudian, semua terdiam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. "Makanya Dinda, Tante ingin kamu ada yang jaga. Tante nggak tenang karena paman kamu itu nggak ada pedulinya sama sekali," risau Sarah kemudian. "Tante nggak usah khawatir. Dinda insyaallah bisa jaga diri," Dinda tersenyum meyakinkan."Biar Reza aja yang jaga. Kalian lebih baik ...." "Ma, biar Reza aja," sela Reza. Sarah mengangguk dan tersenyum. Sementara Dinda tak mengerti apa maksud ibu dan anak itu."Kamu mau balik sekarang, Din?" tanya Reza padanya. Dinda mengangguk. Daripada bayangan sang dokter yang terus terpikir, lebih b
"Dokter udah pulang? Duh, maaf saya terlambat," Dinda langsung panik. Melepaskan sepatu dan tasnya seperti anak sekolahan yang terlambat datang. Andra menatapnya lama dengan ekspresi yang tidak dapat ditebak apa maknanya. Membuat Dinda berdiri canggung dan sedikit gugup. Apa sang dokter melihatnya pulang dengan Reza? Mungkin dia memang tak cemburu, tapi melihat istri pulang dengan laki-laki lain tentu tak menyenangkan. Dinda menelan salivanya, Dokter Andra pasti akan marah. Andra bangkit dari sofa masih dengan ekspresi yang sama. Kemudian melangkah mendekati. "Kamu memang hebat," ujarnya. Dinda terpaku. Apa maksudnya dengan hebat? Gadis itu kembali meneguk salivanya. Apa sang dokter sedang menyindirnya karena ia pulang dengan seorang pria? "Mak-maksudnya?" Dinda tergagap. "Bagaimana bisa kamu sembuh secepat ini? Maksudku jiwamu," Andra menelitinya dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Lalu berakhir di kedua matanya. Menatap dalam, seolah sedang menyelami isi pikiran dan isi
Dinda tersentak dari tidurnya. Ia baru saja mendengar suara erangan yang keras. Suara itu berasal dari luar kamar. Namun setelah beberapa saat terjaga, ia tak lagi mendengar suara apapun. Tapi ia yakin yang membuatnya terkejut adalah suara erangan seseorang. Bulu kuduknya terasa meremang. Bukan karena ia takut. Tapi suara erangan itu cukup menyayat. Seperti orang yang sedang kesakitan. Dinda duduk diam sejenak. Mempertajam pendengarannya dalam suasana hening di tengah malam itu. "Argh!" Suara itu terdengar lagi. Itu seperti suara Dokter Andra!Dinda segera bangkit dari tempat tidurnya. Lalu berlari keluar. Ia langsung menuju ke kamar sang dokter. Dan membuka pintunya. Pintu itu terkunci. Dinda merapatkan telinganya di daun pintu. Dan kembali mendengar suara erangan. Gadis itu seketika tegang. Apa laki-laki itu sedang kesakitan di dalam sana?Otaknya langsung mencari cara untuk masuk. Dan untungnya kemudian ia teringat pada serangkaian kuncinya yang diserahkan Andra padanya. M
Dinda menengok jam mungil yang melingkar di lengan halusnya berkali-kali. Rasanya waktu begitu lama berlalu. Belum pernah ia merasa seperti ini. Ingin cepat-cepat kuliahnya selesai, meski apapun mata kuliahnya. Gadis itu menghela napas. Bu Ratna, dosen paling banyak ceramahnya dan selalu membuat mahasiswa garuk-garuk kepala karena kehilangan kesabaran, masih terus menjabarkan materinya hari ini. "Kamu kenapa?" tanya Fathimah. "Kebelet?""Nggak," jawab Dinda. "Terus kenapa?" "Aku mau cepat pulang gimana caranya, ya?""Buat apa?" Bukan Fathimah namanya kalau tidak penasaran. "Dokter Andra sakit."Fathimah langsung bangkit. "Oke, serahkan padaku!" tekadnya. Lalu mengangkat tangan pada Bu Ratna. "Bu, saya permisi sebentar. Mau bawa Dinda ke Rumah Sakit.""Dinda sakit?" Bu Ratna langsung celingukan. "Halah, paling kecapean semalam abis jadi kupu-kupu malam," sinis salah satu anggota geng Dewi. Fathimah langsung mendelik. "Heh! Jangan sembarangan tuh mulut, ya! Maen fitnah aja. Din
"Aku yang baru saja diinterogasi oleh IPDA Reza," sambung Andra. Dinda langsung menatap Reza bingung. Kenapa Dokter Andra yang dicurigai sebagai tersangkanya?"Ya, tapi bukan untuk kasus wanita yang hilang itu, tapi kasus hilangnya anak seorang rentenir. Dokter Andra sempat bertemu dengannya sebelum anak itu menghilang," jelas Reza. "Tapi itu nggak mungkin, Za. Dokter Andra selalu sibuk di Rumah Sakit. Dan sore harinya tetap pulang ke rumah," bantah Dinda. Reza menelan salivanya mendengar pembelaan Dinda untuk sang dokter. Ada rasa cemburu yang membuat hatinya perih. "Kamu jangan khawatir. Untuk sekarang, Dokter Andra hanya sebatas saksi. Rekanku sedang memeriksa CCTV Rumah Sakit ini," sahutnya lembut. Tak lama kemudian, Brigadir Edi pun datang. "Anak rentenir itu memang dibawa Dokter Andra kemari. Tapi setelah Dokter pergi, seseorang datang dengan pakaian serba hitam. Kemudian membawa kelui anak itu dengan kursi roda. Bagian administrasi mengatakan orang menjemput adalah anak b
Bab 28"Mbak," panggil sang Stylist saat melihat Dinda hampir menangis dengan wajah yang pucat. "Kalo mbaknya nggak suka gaun yang begini, kita masih bisa nyari lain kok. Saya bisa minta asisten saya buat bawa yang lain," hibur perempuan itu. Dinda menggeleng. "Saya nggak bisa pakai yang begini," lirihnya dengan air mata yang mengalir."Maksud Mbak? Saya bisa bantu pakaikan, kok," si Stylist semakin bingung. Dinda tak langsung menjawab, ia terduduk di sofa ruang utama itu dengan bahu kuyu. Baru saja ia merasa spesial karena Dokter Andra mengajaknya sebagai pendamping di acara yang penting untuk laki-laki itu. Tapi sekarang ia benar-benar merasa terhina. Jadi selama ini laki-laki itu tidak suka dengan penampilannya yang tertutup dan kolot? Dan sekarang Dokter Andra ingin ia tampil seksi agar tidak memalukan untuk menjadi pendampingnya? "Maunya Mbak gimana?" Stylist itu berusaha berbicara selembut mungkin agar kliennya tenang. "Mbak mau gaun yang hitam aja biar nggak terlalu menc
Extra partAndra berdiri dengan kedua tangan di dalam saku celananya. Di sampingnya berdiri seorang laki-laki bertubuh kekar dan bertopi yang tak lain adalah IPDA Reza. "Apa yang bisa membuatku yakin, kau tak akan berubah karena trauma itu lagi?" Andra menghela napas. "Yang pertama, aku telah mengetahui apa alasan ibuku menggantung diri. Dan aku juga sudah menangkap orang yang menjadi penyebab ibuku melakukan hal itu. Yang kedua, aku memiliki seorang istri seperti Dinda, kau juga mengenalnya seperti apa, dia tak akan membiarkanku kembali ke masa lalu.""Baiklah kalau begitu. Aku akan melupakan sebuah flashdisk yang pernah aku temukan di rumahmu di bukit Pinus.""Flashdisk?" Andra mengernyit. Karena rasanya ia dan Dinda telah memusnahkan semua flashdisk-nya. "Ya," Reza tersenyum tipis. "Sepandai-pandainya tupai melompat, suatu kali akan jatuh juga."Andra terdiam sejenak, lalu tersenyum sambil menggaruk tengkuknya. "Itu benar," sahutnya."Aku pergi dulu. Siang ini aku harus segera b
Soni dan Guntur serentak keluar dari pintunya masing-masing. Lalu berlari menuju pintu masuk. Menyusul Andra yang sudah berlari lebih dulu. Sementara Dinda yang terpaksa tak ikut langsung mengunci pintu mobil seperti perintah Andra sebelumnya. "Bahaya, kalau karyawan perempuan itu dilenyapkan juga karena cuma dia saksi matanya," deduksi Soni sambil berlari di samping Guntur. "Tidak, bagaimana kalau karyawan perempuan itu yang membawa air bercampur racun?"Brak!Andra mendobrak pintunya. Lalu berlari cepat ke arah dua orang karyawan yang berjongkok di samping tubuh Yani. "Jangan bergerak!" teriaknya. Kedua orang itu tersentak dan sama-sama menoleh ke arah suara yang mengagetkan itu! Namun bedanya, yang perempuan langsung menunduk kembali. Andra tertegun. Ia mengenal wajah itu. *Flashback.Jamal menatap sosok berpakaian serba hitam yang datang untuk berterimakasih padanya kedalam penjara. "Kenapa kau ingin mengkambinghitamkan laki-laki yang kau cintai?" Sosok itu menghela nap
Hari sudah siang, semua karyawan PT sedang keluar untuk makan siang. Begitu juga dengan pekerja di gudang. Mereka baru saja keluar, saat mobil Andra dan timnya berhenti di tepi jalan. Andra membuka jendela mobilnya. Sekilas terdengar salah seorang pekerja di gudang itu membicarakan sesuatu dengan bibir tersenyum-senyum. "Pekerja baru itu cantik banget, ya? Udah gitu pekerja keras lagi. Barang sekarung besar itu diseret sendiri. Aku udah nawarin bantuan tapi doi menolak secara halus.""Iya, gue juga udah ngajak makan. Katanya mau nyelesain kerjaan dulu. Bakal betah gue kerja kalo ada temen kerja kayak gitu," timpal temannya. Sementara itu, Martin dan lima anak buah kepercayaannya langsung mengepung di sekeliling gudang.Sedangkan Andra, Dinda, Soni, dan Guntur tidak langsung keluar dari mobil karena Soni harus meretas kamera CCTV gudang untuk melihat keadaan di dalam."Tidak akan lama," Soni langsung fokus.Kamera berhasil di retas setelah beberapa saat. Tampaklah penampakan isi gud
Tring. Semua yang terdiam tampak tersentak kaget mendengar dering ponsel Andra. "Paman Amir," ujarnya pada Dinda. Lalu mengangkat telepon itu."Ya, halo," jawabnya. "Halo, Nak Andra! Istriku menghilang!" panik Amir di seberang. "Apa?!" Mata Andra melebar. Yani, yang menjadi umpan jebakannya menghilang? "Paman yakin dia tidak pergi ke suatu tempat?" "Entahlah, tapi sepertinya istriku benar-benar takut akan dituntut. Jadi kurasa tak mungkin dia berani mengacaukan rencana.""Baiklah, kalau begitu. Aku akan mencarinya!" Andra mematikan teleponnya dan menatap semua orang di dekatnya. "Kita salah sasaran!" serunya. "Bibi Yani kenapa?" tanya Dinda yang tak tahu mengenai rencana yang disusun Andra. "Dia menjadi umpan untuk menangkap pembunuh itu. Dan sekarang dia menghilang."Dinda tercenung. Hatinya resah. Bagaimanapun, Yani tetap keluarga dekatnya. "Dinda akan bantu mencari.""Tidak, ini bahaya Dinda. Makanya aku tidak memberitahu mu sejak awal.""Dinda akan berhati-hati dan terus
"Soni, Guntur! Kalian yang berada lebih dekat langsung beralih ke rumah Dinas. Dugaan kita meleset. Target malah di rumah Dinas dan istriku dalam bahaya!" teriak Andra sambil berlari. Tiba di luar, tampak Martin telah menunggu dengan motornya. Andra langsung berlari menyongsong orang kepercayaannya itu. "Cepat, Martin!" "Baik, Dok!" angguk Martin yang kemudian menarik gas motornya sekencang mungkin. *Dinda berdiri membeku melihat laki-laki berwajah pucat itu berjalan menghampirinya. Ia berhenti berlari karena teringat pada Bingo yang tertinggal di kamar. Laki-laki bernama Faisal itu menggendong Bingo dan kemudian berhenti 3 langkah di hadapan Dinda. "Lepasin Bingo!" Dinda memberanikan diri untuk membentak. Faisal tak menanggapi. Tangannya yang sebelah lagi merogoh saku belakang celana, membuat Dinda was-was menerka apa yang diambil laki-laki itu. Bagaimana kalau senjata tajam? Namun ternyata yang diambilnya adalah sebuah buku catatan dan pulpen. Orang itu kemudian menurunkan
Bab 107Tiba-tiba, Amir muncul dan menghadang jalan Andra. Laki-laki paruh baya itu kemudian berlutut dengan wajah memelas, membuat orang-orang di sekitar langsung memperhatikan. "Nak Andra, tolong kasihanilah kami, jangan tuntut kami. Nak Andra boleh mengambil toko baru itu, Kami akan menyerahkan sertifikatnya juga."Andra menghela napas. "Aku hanya ingin toko buku milik istriku kembali seperti semula. Aku tidak butuh toko lain!" tegasnya. Amir melirik cemas, meski telah membantu bersandiwara seperti ini ternyata suami dari keponakannya itu tetap tak mau memberi keringanan. "Tapi itu tak mungkin bisa, Nak! Orang itu telah mendapatkan tokonya dengan harga murah, tidak mungkin mau mengembalikannya lagi."Andra menatap tak sabar. Bisa-bisanya Amir mengambil kesempatan untuk bernegosiasi dengannya di tengah sandiwara yang telah ia atur. Ia hanya ingin Amir mengatakan bahwa Yani hendak bunuh diri, untuk memancing si pembunuh. "Kalian bisa membelinya kembali dengan harga yang lebih
"Kalau dalam kasus pembunuhan itu si pelaku sengaja mencari orang-orang yang hendak bunuh diri, kita bisa menjebaknya dengan memberi umpan seseorang yang akan berpura-pura bunuh diri. Dan lebih baik, orang itu memiliki hubungan dengan Anda atau istri Anda, Pak Andra," usul Guntur, sang detektif swasta.Andra mengangguk-angguk. "Aku tau siapa yang bisa berperan menjadi umpan," sahutnya. *Andra berdiri di hadapan sebuah ruko dengan tangan di dalam saku celananya. Bibirnya tersenyum menatap teras toko dimana ia dan seorang gadis baik hati bertemu. Kala itu ia hanya menganggap gadis berwajah ayu itu sebagai kelinci percobaan.Namun siapa sangka, kelinci percobaannya malah menjadi kelinci manis yang ia cintai. Bahkan berhasil mengubah jati dirinya.Klik. Pintu kaca toko terbuka. Seorang laki-laki paruh baya yang tak lain adalah Amir muncul dari dalam dan tampak tersentak kaget melihat Andra yang berdiri di depan tokonya. "N-nak Andra?" sebutnya terbata. "Ya. Ini saya."Amir buru-bur
"Apa kita pindah ke rumah dinas saja dulu? Sampai kasus ini selesai," tawar Andra. Ia melihat Dinda mulai tidak nyaman dan was-was setiap saat, setelah munculnya pemilik Bingo di rumah baru mereka itu.Meski enggan untuk meninggalkan rumah impiannya bersama Andra, namun Dinda merasa tawaran sang suami lebih tepat untuk saat ini. Rumah dinas berada di tengah kota, dan jarak rumah dengan tetangga juga tak jauh. Akhirnya, setelah berbenah mereka berangkat ke rumah dinas. Rumah dimana keduanya saling mengenal hingga saling mencintai dan bermadu kasih. Tiba di sana, bibir Dinda seketika tersenyum. Banyak kenangan manis yang telah terpatri di rumah itu."Kamu senang?" Andra ikut tersenyum dan merangkul pundak istrinya hangat.Dinda mengangguk, kemudian melangkah masuk bersama dalam rangkulan lelaki itu.Andra benar-benar memperhatikan dan memanjakannya. Laki-laki itu juga mengajaknya bersantai sore, membuatkannya teh dan menikmati senja di kursi taman seperti biasa. "Padahal harusnya Di
Dinda menatap laki-laki berkumis yang tiba-tiba masuk dan mengecam suaminya itu, dengan tatapan kesal. Persis seperti komisaris korup dalam film India, atasan Reza itu benar-benar bermuka dua. Beberapa hari yang lalu Andra sempat cerita bahwa sang komisaris berterimakasih padanya karena telah membantu menangkap Jamal. Laki-laki bermata kecil itu juga meminta maaf karena pernah menuduh Andra sebagai pelaku pembunuhan dan juga pernah ingin mempidanakannya saat kasus dengan Dahlan dahulu. Dada Dinda serasa bergemuruh mengingat semuanya.Sekarang, pria itu kembali ingin menjerat suaminya dan menuduhnya memberi kesaksian palsu. "Saya tidak berbohong, Suami saya memang langsung pulang sore itu.""Baiklah kalau Anda bersikeras seperti itu. Saya cuma mau nanya, apa Anda punya buktinya?"Dinda terdiam dengan sejuta rasa marah yang tak bisa ia ungkapkan. Sementara itu di luar ruangan, Alex dan Fathimah sedang duduk menunggu dengan raut cemas. "Alex, semua ini salahku. Coba saja aku tak ter