Dinda menengok jam mungil yang melingkar di lengan halusnya berkali-kali. Rasanya waktu begitu lama berlalu. Belum pernah ia merasa seperti ini. Ingin cepat-cepat kuliahnya selesai, meski apapun mata kuliahnya. Gadis itu menghela napas. Bu Ratna, dosen paling banyak ceramahnya dan selalu membuat mahasiswa garuk-garuk kepala karena kehilangan kesabaran, masih terus menjabarkan materinya hari ini. "Kamu kenapa?" tanya Fathimah. "Kebelet?""Nggak," jawab Dinda. "Terus kenapa?" "Aku mau cepat pulang gimana caranya, ya?""Buat apa?" Bukan Fathimah namanya kalau tidak penasaran. "Dokter Andra sakit."Fathimah langsung bangkit. "Oke, serahkan padaku!" tekadnya. Lalu mengangkat tangan pada Bu Ratna. "Bu, saya permisi sebentar. Mau bawa Dinda ke Rumah Sakit.""Dinda sakit?" Bu Ratna langsung celingukan. "Halah, paling kecapean semalam abis jadi kupu-kupu malam," sinis salah satu anggota geng Dewi. Fathimah langsung mendelik. "Heh! Jangan sembarangan tuh mulut, ya! Maen fitnah aja. Din
"Aku yang baru saja diinterogasi oleh IPDA Reza," sambung Andra. Dinda langsung menatap Reza bingung. Kenapa Dokter Andra yang dicurigai sebagai tersangkanya?"Ya, tapi bukan untuk kasus wanita yang hilang itu, tapi kasus hilangnya anak seorang rentenir. Dokter Andra sempat bertemu dengannya sebelum anak itu menghilang," jelas Reza. "Tapi itu nggak mungkin, Za. Dokter Andra selalu sibuk di Rumah Sakit. Dan sore harinya tetap pulang ke rumah," bantah Dinda. Reza menelan salivanya mendengar pembelaan Dinda untuk sang dokter. Ada rasa cemburu yang membuat hatinya perih. "Kamu jangan khawatir. Untuk sekarang, Dokter Andra hanya sebatas saksi. Rekanku sedang memeriksa CCTV Rumah Sakit ini," sahutnya lembut. Tak lama kemudian, Brigadir Edi pun datang. "Anak rentenir itu memang dibawa Dokter Andra kemari. Tapi setelah Dokter pergi, seseorang datang dengan pakaian serba hitam. Kemudian membawa kelui anak itu dengan kursi roda. Bagian administrasi mengatakan orang menjemput adalah anak b
Bab 28"Mbak," panggil sang Stylist saat melihat Dinda hampir menangis dengan wajah yang pucat. "Kalo mbaknya nggak suka gaun yang begini, kita masih bisa nyari lain kok. Saya bisa minta asisten saya buat bawa yang lain," hibur perempuan itu. Dinda menggeleng. "Saya nggak bisa pakai yang begini," lirihnya dengan air mata yang mengalir."Maksud Mbak? Saya bisa bantu pakaikan, kok," si Stylist semakin bingung. Dinda tak langsung menjawab, ia terduduk di sofa ruang utama itu dengan bahu kuyu. Baru saja ia merasa spesial karena Dokter Andra mengajaknya sebagai pendamping di acara yang penting untuk laki-laki itu. Tapi sekarang ia benar-benar merasa terhina. Jadi selama ini laki-laki itu tidak suka dengan penampilannya yang tertutup dan kolot? Dan sekarang Dokter Andra ingin ia tampil seksi agar tidak memalukan untuk menjadi pendampingnya? "Maunya Mbak gimana?" Stylist itu berusaha berbicara selembut mungkin agar kliennya tenang. "Mbak mau gaun yang hitam aja biar nggak terlalu menc
Bab 29Seorang wanita berlari tertatih-tatih meninggalkan sebuah gudang tua. Kakinya yang telan jang menginjak kerikil yang runcing, namun ia terus berlari walau sakit yang mendera membuat wajah pucatnya meringis. Sesekali ia melihat ke belakang. Seolah takut akan ada orang yang mengejarnya dalam kegelapan malam. Hingga akhirnya, tubuh kurus itu tak lagi mampu bertahan dan ambruk di tepi jalan yang sepi.Lima belas menit berlalu, tampak cahaya lampu mobil dari kejauhan. Sebuah mobil muncul dan berhenti di samping tubuhnya yang terkapar. Sayup ia mendengar seseorang berkata, "masih hidup! Cepat bawa ke mobil! Orang ini butuh pertolongan segera!"Bibir keringnya mendesah lega. "Ah ... akhirnya." *Reza langsung berangkat ke Rumah Sakit dengan wajah serius. Kasus yang sedang dikejarnya kembali menghadirkan insiden. Wanita paruh baya yang menghilang dari Rumah Sakit telah ditemukan. "Dia masih butuh perawatan, tapi sudah sanggup berinteraksi," ujar seorang dokter perempuan saat ia
Pukul dua belas malam, Dinda masih dalam duduk di tepi ranjangnya dengan hati bimbang. Padahal mereka telah sampai ke rumah satu jam yang lalu. Haruskah ia yang lebih dulu meminta izin untuk masuk ke kamar Dr.Andra? Atau ia tunggu dulu sang dokter yang memanggil? Setengah jam berlalu, nyatanya Dinda tak berani masuk lebih dulu. Akhirnya ia memutuskan mengambil air putih untuk membasahi kerongkongannya yang kering karena tegang. Ceklek! Pintu kamarnya terbuka, bersamaan dengan terbukanya pintu kamar Andra yang berseberangan dengan kamarnya. Matanya langsung bertemu dengan mata coklat terang Andra. Sang dokter sangat tampan dengan sweater biru tua dan celana putihnya. Rambutnya tampak sedikit kusut dan basah.Bibir menawan laki-laki mengukir senyum. "Aku mau pinjam hairdryer," ucapnya."Oh," Dinda langsung masuk kembali dan mencari hairdryer miliknya. Jantungnya nyaris serasa jatuh saat bertemu tatap dengan lelaki yang memang sedang dipikirkannya. Kini degupnya begitu kencang, sampai
"Aku tau alasanmu menjebaknya hanya untuk melihat seberapa besar keteguhannya dalam mempertahankan hidup. Kau ingin membuatnya jatuh cinta dan lantas meninggalkannya."Andra terdiam. "Bagaimana kau tau?" tanyanya kemudian. "Siska saja tau, bagaimana mungkin aku tidak?""Lalu kenapa selama ini kau memintaku menjauh dari Siska? Padahal kau tidak benar-benar menyukainya, kan?" tanya Andra tanpa menoleh. "Karena dia membawa pengaruh buruk untukmu. Dia yang membuatmu menyekap Ari di dalam lemari saat kita masih jadi anak buah Kang Komar dulu."Keduanya terdiam. "Aku ingin, kau berhenti sekarang. Buang semua bayang-bayang masa lalu dan hiduplah dengan damai bersama perempuan itu." pinta Alex. "Ini satu-satunya permintaan pertama dan terakhirku," ujarnya, lalu bangkit dan melangkah pergi."Aku juga punya permintaan," Andra menoleh, pada punggung Alex yang berhenti melangkah. "Berhenti melakukan hal buruk yang akan membuatmu tertangkap dan berakhir di penjara. Aku tau, kau juga merasakan tr
"Dokter Muda Andra Janson Diam-diam Telah Menikah Dengan Mahasiswi Calon Pelukis."Dinda terpaku bingung setelah membaca judul beritanya. "Kenapa bisa masuk berita begini?" tanyanya kemudian. "Ya bisa lah. Suami kamu itu Dr.Andra Janson, Dinda. Dokter muda terbaik di seantero provinsi ini," sahut Fathimah. "Dan lagi, semalam itu Dr. Andra sweet banget, lho. Langsung cium kamu di depan semua orang dan bilang kalo kamu istrinya."Dinda menggigit bibirnya. Tidak hanya semalam, pagi tadi Dr.Andra juga membuatnya tak bisa berkata-kata. Gadis itu kemudian melangkah dengan perasaan yang bercampur aduk. Beberapa mahasiswa tampak berbisik saat ia lewati. Membicarakan hal yang sedang dibicarakan oleh orang-orang yang juga melihat beritanya. Dinda menggaruk kening dengan ujung telunjuknya sambil terus berjalan. Kalau sudah begini ia bisa apa? Dr.Andra yang telah jadi suaminya memang orang ternama yang sangat wajar menjadi buah bibir orang-orang. Jadi mau tak mau ia harus siap menjadi buah b
Reza menghentikan motornya di hadapan sebuah Restoran. "Kita sekalian makan siang, ya?" ucap pria itu pada Dinda. "Makan siang?" Dinda mengernyit. "Ini udah sore, Za."Reza menyengir. "Aku belum sempat makan siang tadi. Temenin aku, ya?" "Tapi aku cuma minum aja, ya.""Oke," Reza tersenyum manis. Sepiring spaghetti dihidangkan di hadapan keduanya dengan dua gelas jus. "Kamu beneran nggak mau makan, nih?" tanya Reza. Dinda mengangguk. Perutnya tak merasa lapar dengan keadaan hati yang tak menentu seperti ini. Sikap Dr.Andra yang tiba-tiba romantis membuatnya tak bisa memikirkan apapun selain laki-laki itu. Reza langsung menyuap spaghetti itu tanpa mengaduk sausnya. "Ternyata kamu makannya masih kayak dulu, ya?" Dinda menatapnya sambil menggeleng-geleng. "Apanya?" Reza menengok tak mengerti. "Itu, tidak diaduk dulu?" tunjuk Dinda ke piring Reza. "Masih males buat ngaduk?" Reza terkekeh. "Iya. Seperti yang kamu tau, aku lebih malas disuruh aduk makanan daripada cuci piring."