"Dokter udah pulang? Duh, maaf saya terlambat," Dinda langsung panik. Melepaskan sepatu dan tasnya seperti anak sekolahan yang terlambat datang. Andra menatapnya lama dengan ekspresi yang tidak dapat ditebak apa maknanya. Membuat Dinda berdiri canggung dan sedikit gugup. Apa sang dokter melihatnya pulang dengan Reza? Mungkin dia memang tak cemburu, tapi melihat istri pulang dengan laki-laki lain tentu tak menyenangkan. Dinda menelan salivanya, Dokter Andra pasti akan marah. Andra bangkit dari sofa masih dengan ekspresi yang sama. Kemudian melangkah mendekati. "Kamu memang hebat," ujarnya. Dinda terpaku. Apa maksudnya dengan hebat? Gadis itu kembali meneguk salivanya. Apa sang dokter sedang menyindirnya karena ia pulang dengan seorang pria? "Mak-maksudnya?" Dinda tergagap. "Bagaimana bisa kamu sembuh secepat ini? Maksudku jiwamu," Andra menelitinya dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Lalu berakhir di kedua matanya. Menatap dalam, seolah sedang menyelami isi pikiran dan isi
Dinda tersentak dari tidurnya. Ia baru saja mendengar suara erangan yang keras. Suara itu berasal dari luar kamar. Namun setelah beberapa saat terjaga, ia tak lagi mendengar suara apapun. Tapi ia yakin yang membuatnya terkejut adalah suara erangan seseorang. Bulu kuduknya terasa meremang. Bukan karena ia takut. Tapi suara erangan itu cukup menyayat. Seperti orang yang sedang kesakitan. Dinda duduk diam sejenak. Mempertajam pendengarannya dalam suasana hening di tengah malam itu. "Argh!" Suara itu terdengar lagi. Itu seperti suara Dokter Andra!Dinda segera bangkit dari tempat tidurnya. Lalu berlari keluar. Ia langsung menuju ke kamar sang dokter. Dan membuka pintunya. Pintu itu terkunci. Dinda merapatkan telinganya di daun pintu. Dan kembali mendengar suara erangan. Gadis itu seketika tegang. Apa laki-laki itu sedang kesakitan di dalam sana?Otaknya langsung mencari cara untuk masuk. Dan untungnya kemudian ia teringat pada serangkaian kuncinya yang diserahkan Andra padanya. M
Dinda menengok jam mungil yang melingkar di lengan halusnya berkali-kali. Rasanya waktu begitu lama berlalu. Belum pernah ia merasa seperti ini. Ingin cepat-cepat kuliahnya selesai, meski apapun mata kuliahnya. Gadis itu menghela napas. Bu Ratna, dosen paling banyak ceramahnya dan selalu membuat mahasiswa garuk-garuk kepala karena kehilangan kesabaran, masih terus menjabarkan materinya hari ini. "Kamu kenapa?" tanya Fathimah. "Kebelet?""Nggak," jawab Dinda. "Terus kenapa?" "Aku mau cepat pulang gimana caranya, ya?""Buat apa?" Bukan Fathimah namanya kalau tidak penasaran. "Dokter Andra sakit."Fathimah langsung bangkit. "Oke, serahkan padaku!" tekadnya. Lalu mengangkat tangan pada Bu Ratna. "Bu, saya permisi sebentar. Mau bawa Dinda ke Rumah Sakit.""Dinda sakit?" Bu Ratna langsung celingukan. "Halah, paling kecapean semalam abis jadi kupu-kupu malam," sinis salah satu anggota geng Dewi. Fathimah langsung mendelik. "Heh! Jangan sembarangan tuh mulut, ya! Maen fitnah aja. Din
"Aku yang baru saja diinterogasi oleh IPDA Reza," sambung Andra. Dinda langsung menatap Reza bingung. Kenapa Dokter Andra yang dicurigai sebagai tersangkanya?"Ya, tapi bukan untuk kasus wanita yang hilang itu, tapi kasus hilangnya anak seorang rentenir. Dokter Andra sempat bertemu dengannya sebelum anak itu menghilang," jelas Reza. "Tapi itu nggak mungkin, Za. Dokter Andra selalu sibuk di Rumah Sakit. Dan sore harinya tetap pulang ke rumah," bantah Dinda. Reza menelan salivanya mendengar pembelaan Dinda untuk sang dokter. Ada rasa cemburu yang membuat hatinya perih. "Kamu jangan khawatir. Untuk sekarang, Dokter Andra hanya sebatas saksi. Rekanku sedang memeriksa CCTV Rumah Sakit ini," sahutnya lembut. Tak lama kemudian, Brigadir Edi pun datang. "Anak rentenir itu memang dibawa Dokter Andra kemari. Tapi setelah Dokter pergi, seseorang datang dengan pakaian serba hitam. Kemudian membawa kelui anak itu dengan kursi roda. Bagian administrasi mengatakan orang menjemput adalah anak b
Bab 28"Mbak," panggil sang Stylist saat melihat Dinda hampir menangis dengan wajah yang pucat. "Kalo mbaknya nggak suka gaun yang begini, kita masih bisa nyari lain kok. Saya bisa minta asisten saya buat bawa yang lain," hibur perempuan itu. Dinda menggeleng. "Saya nggak bisa pakai yang begini," lirihnya dengan air mata yang mengalir."Maksud Mbak? Saya bisa bantu pakaikan, kok," si Stylist semakin bingung. Dinda tak langsung menjawab, ia terduduk di sofa ruang utama itu dengan bahu kuyu. Baru saja ia merasa spesial karena Dokter Andra mengajaknya sebagai pendamping di acara yang penting untuk laki-laki itu. Tapi sekarang ia benar-benar merasa terhina. Jadi selama ini laki-laki itu tidak suka dengan penampilannya yang tertutup dan kolot? Dan sekarang Dokter Andra ingin ia tampil seksi agar tidak memalukan untuk menjadi pendampingnya? "Maunya Mbak gimana?" Stylist itu berusaha berbicara selembut mungkin agar kliennya tenang. "Mbak mau gaun yang hitam aja biar nggak terlalu menc
Bab 29Seorang wanita berlari tertatih-tatih meninggalkan sebuah gudang tua. Kakinya yang telan jang menginjak kerikil yang runcing, namun ia terus berlari walau sakit yang mendera membuat wajah pucatnya meringis. Sesekali ia melihat ke belakang. Seolah takut akan ada orang yang mengejarnya dalam kegelapan malam. Hingga akhirnya, tubuh kurus itu tak lagi mampu bertahan dan ambruk di tepi jalan yang sepi.Lima belas menit berlalu, tampak cahaya lampu mobil dari kejauhan. Sebuah mobil muncul dan berhenti di samping tubuhnya yang terkapar. Sayup ia mendengar seseorang berkata, "masih hidup! Cepat bawa ke mobil! Orang ini butuh pertolongan segera!"Bibir keringnya mendesah lega. "Ah ... akhirnya." *Reza langsung berangkat ke Rumah Sakit dengan wajah serius. Kasus yang sedang dikejarnya kembali menghadirkan insiden. Wanita paruh baya yang menghilang dari Rumah Sakit telah ditemukan. "Dia masih butuh perawatan, tapi sudah sanggup berinteraksi," ujar seorang dokter perempuan saat ia
Pukul dua belas malam, Dinda masih dalam duduk di tepi ranjangnya dengan hati bimbang. Padahal mereka telah sampai ke rumah satu jam yang lalu. Haruskah ia yang lebih dulu meminta izin untuk masuk ke kamar Dr.Andra? Atau ia tunggu dulu sang dokter yang memanggil? Setengah jam berlalu, nyatanya Dinda tak berani masuk lebih dulu. Akhirnya ia memutuskan mengambil air putih untuk membasahi kerongkongannya yang kering karena tegang. Ceklek! Pintu kamarnya terbuka, bersamaan dengan terbukanya pintu kamar Andra yang berseberangan dengan kamarnya. Matanya langsung bertemu dengan mata coklat terang Andra. Sang dokter sangat tampan dengan sweater biru tua dan celana putihnya. Rambutnya tampak sedikit kusut dan basah.Bibir menawan laki-laki mengukir senyum. "Aku mau pinjam hairdryer," ucapnya."Oh," Dinda langsung masuk kembali dan mencari hairdryer miliknya. Jantungnya nyaris serasa jatuh saat bertemu tatap dengan lelaki yang memang sedang dipikirkannya. Kini degupnya begitu kencang, sampai
"Aku tau alasanmu menjebaknya hanya untuk melihat seberapa besar keteguhannya dalam mempertahankan hidup. Kau ingin membuatnya jatuh cinta dan lantas meninggalkannya."Andra terdiam. "Bagaimana kau tau?" tanyanya kemudian. "Siska saja tau, bagaimana mungkin aku tidak?""Lalu kenapa selama ini kau memintaku menjauh dari Siska? Padahal kau tidak benar-benar menyukainya, kan?" tanya Andra tanpa menoleh. "Karena dia membawa pengaruh buruk untukmu. Dia yang membuatmu menyekap Ari di dalam lemari saat kita masih jadi anak buah Kang Komar dulu."Keduanya terdiam. "Aku ingin, kau berhenti sekarang. Buang semua bayang-bayang masa lalu dan hiduplah dengan damai bersama perempuan itu." pinta Alex. "Ini satu-satunya permintaan pertama dan terakhirku," ujarnya, lalu bangkit dan melangkah pergi."Aku juga punya permintaan," Andra menoleh, pada punggung Alex yang berhenti melangkah. "Berhenti melakukan hal buruk yang akan membuatmu tertangkap dan berakhir di penjara. Aku tau, kau juga merasakan tr