Perempuan itu menatap Andra intens tanpa melirik Dinda sedikitpun. Senyuman di bibir merahnya masih mengembang, namun ucapannya penuh dengan tekanan, "apa kamu mengabaikan ku, Janson Sayang?"
Sayang?Kata itu membuat Dinda terpaku. Baru saja ia menanyakan tentang pacar tiba-tiba saja seorang wanita memanggil laki-laki itu dengan sebutan sayang?Andra menghembuskan napas panjang, menatap jengah perempuan yang menghadang mobilnya."Tunggu sebentar," ucapnya pada Dinda. Membuka pintu lalu menghampiri wanita itu."Ada apa?" tanyanya datar.Wanita itu menatap manja. Tangannya terulur menyentuh jas kedokteran Andra dan merapikannya penuh perhatian.Andra membiarkannya tanpa ekspresi."Janson, aku ingin makan malam denganmu malam ini," pinta wanita itu dengan nada yang mendayu-dayu."Aku tidak bisa. Kau bisa mengajak Alex atau temanmu.""Adikmu itu mana pernah mau diajak dinner romantis. Aku benar-benar kesepian beberapa hari ini. Kalian mengabaikanku," rajuk wanita itu."Tapi aku benar-benar tidak bisa. Ada yang harus aku lakukan malam ini.""Apa karena perempuan itu?" Wanita itu menyebut Dinda tanpa menunjuk ataupun meliriknya."Ya." jawab Andra, masih dengan ekspresi datar."Apa dia korbanmu selanjutnya?"Ekspresi Andra seketika berubah. Matanya menatap tajam dengan raut yang begitu dingin. "Korban?" ulangnya dengan nada penuh penekanan. "Apa maksudmu dengan korban?"Wanita itu tampak gelagapan. Dengan gugup ia langsung mengubah kata-katanya. "Bukan ... bukan begitu maksudku," ralatnya."Dia adalah istriku. Perempuan yang baru saja aku nikahi," tegas Andra.Bibir merah wanita itu tampak mengatup rapat mendengarnya. "Istri?" tanyanya beberapa detik kemudian."Ya. Jangan ganggu aku lagi. Kau bisa mencari Alex jika membutuhkan apapun." Andra lekas berbalik untuk kembali masuk mobil."Kamu nggak boleh menikah, Janson!" Suara wanita itu terdengar bergetar. "Kenyataan tentang kamu seharusnya membuat kamu hanya bisa menikah denganku! Aku yang sangat mengenalmu!"Langkah Andra seketika terhenti. Laki-laki itu berjas putih selutut itu berbalik kembali dengan raut yang dipenuhi dengan aura kegelapan."Siska!" geramnya dengan menyebut nama wanita itu. "Perkataanmu sudah melampaui batas!"Melihat ekspresi Andra, wajah cantik Siska seketika pucat. "Maafkan aku ... aku hanya ... tak mau kehilanganmu," gugupnya."Dokter?" Suara Dinda memanggil dari arah mobil. Gadis itu telah keluar dan berdiri di samping pintu mobil.Panggilan itu seketika membuyarkan aura kegelapan yang melingkupi wajah tampan Andra. Laki-laki itu menutup matanya sejenak kemudian menatap Siska lurus. Kembali datar dan tanpa ekspresi. "Aku harus pergi. Jangan terus bergantung padaku," ucapnya. Lalu berbalik meninggalkan Siska yang terpaku.Perlahan netra Siska yang berlensa kotak abu-abu itu digenangi air mata. Menatap punggung Andra dengan nelangsa.Dinda yang melihat ketegangan diantara mereka hanya bisa diam dan ikut masuk kembali ke dalam mobil.Mobil hitam Andra kembali melaju. Meninggalkan Siska yang masih terpaku ditempatnya.Di dalam mobilnya, Andra tidak membahas apa-apa. Ia hanya menyetir dengan pandangan lurus ke depan.Hingga beberapa saat berlalu, mobil hitam itu memasuki sebuah area komplek perumahan. Perumahan yang tampak begitu nyaman dan bersih dengan rumput di halaman yang terpangkas rapi dan juga beberapa pohon palem.Mobil berhenti di hadapan salah satu rumah. Rumah minimalis bercat biru muda kombinasi putih seperti rumah-rumah di yang berjejer di sampingnya."Kita sampai," desah laki-laki itu. Bibirnya kemudian mengurai senyuman.Dinda ikut tersenyum, namun menjadi canggung. Kejadian tadi dan diamnya Andra sepanjang sisa perjalanan membuat suasana hatinya serba tak enak."Ayo turun," ajak Andra sambil membuka sit belt-nya.Dinda menurut.Laki-laki itu membawakan tasnya dan membuka pintu rumah dengan kunci dari sakunya."Rumahnya kecil," ucapnya begitu pintu terbuka, memperlihatkan ruang tamu dengan luas 9 m2 itu.Dinda mengikuti langkah Andra memasuki ruangan itu. Interiornya super sekali. Perabotannya serba elegan dengan kualitas tinggi yang sekali lihat bisa ditebak kisaran harganya yang di atas 6 digit.Dinda tidak terlalu terkejut karena ia tahu rumah ini adalah milik seorang owner toko properti terbesar di kotanya.Namun menginjakkan kaki di dalam rumah seorang laki-laki tentu membuat perasaannya bercampur aduk."Rumah ini punya dua kamar. Karena kamu masih belum ingin punya junior, berarti kita harus tidur di kamar yang berbeda."Ucapan Andra membuat pipi Dinda seketika bersemu merah."Aku tak bisa menjamin tidak akan mengganggumu jika kita berada dalam satu kamar," sambungnya dengan suara yang hampir serupa gumaman.Dinda semakin panas dingin mendengarnya. Gadis itu menjadi salah tingkah dan gugup setengah mati."Kamar kamu yang di sebelah sini," tunjuk Andra pada salah satu di antara dua kamar yang berseberangan dan berhadapan pintunya.Dinda melihat ke arah kamar di sebelah kirinya itu. Gadis itu mengangguk. "Biar saya masukkan sendiri tasnya," pinta gadis itu sambil menatap ranselnya yang dijinjing Andra.Laki-laki itu mengangguk. "Panggil aku kalau butuh sesuatu," ucapnya.Kamar yang dimasuki Dinda tampak begitu rapi. Interiornya juga elegan seperti hotel bintang lima. Orang pasti tidak menyangka interior rumah dinas bisa seperti ini.Dinda menghenyakkan pantatnya di atas kasur yang tebal dan empuk. Gadis itu kemudian menengadah dan menghela napasnya.Tidak disangka kini ia telah menjadi istri orang dan tinggal di rumah seorang laki-laki asing yang telah berpredikat sebagai suaminya.Bayangannya kembali pada kejadian di tengah jalan tadi. Siapa sebenarnya perempuan cantik nan seksi itu? Dinda sempat mendengar namanya Siska.Melihat Andra membiarkan saja jasnya dirapikan dan juga kekecewaan perempuan itu saat ditinggalkan Andra begitu saja, sepertinya mereka kenal cukup dekat. Apa mungkin dia adalah mantan pacar Dokter Andra?Dinda merebahkan tubuhnya sambil mendesah. Ah, siapapun wanita itu lebih baik tidak ia jadikan pikiran. Yang penting sekarang ia tak perlu menjadi istri pria tua dan kasar yang pasti akan melenyapkan cita-citanya.Bersama Andra ia bisa menjadi seorang pelukis seperti impiannya, bahkan Andra akan mendukung cita-citanya itu.Bangkit dari tempat tidur, gadis itu mematut diri di kaca sejenak. Masih ada sedikit sisa make-up pengantin tadi. Ia merasa tak nyaman. Tubuhnya juga pegal.Hari sudah sore, lebih baik ia membersihkan diri dan keluar untuk melihat apa yang perlu ia bantu di rumah ini.Setelah mandi dan merasa segar, Dinda membuka pintu kamarnya. Matanya langsung terpaku ke hadapan, pada sosok jangkung yang juga baru keluar dari kamar yang berhadapan dengan kamarnya.Keduanya bertemu tatap dan saling terpaku sesaat.Bibir menawan Andra mengembangkan senyuman."Apa kita memiliki kontak batin? Atau memang sehati?" goda Andra.Dinda tersipu dan mengalihkan pandangannya pada handle pintu. Memperhatikan pintu yang sengaja ia tutup pelan untuk menghindari tatapan laki-laki itu."Apa kamarnya nyaman?""Nyaman sekali, Dokter," jawab Dinda. "Apa ada yang perlu saya bantu?" sambungnya."Bantu?" Andra memasang tampang berpikir. "Ada. Aku ingin kamu membantuku melewati sore ini dengan secangkir kopi.""Baik, kalo begitu saya akan buatkan kopinya."Andra ingin melarang, tapi sepertinya gadis itu membutuhkan kegiatan agar tak lagi canggung dengan suasana rumah.Laki-laki itu menunjuk letak dapurnya.Setelah menyeduh kopi dengan seduhan mesin kopinya, Dinda kembali ke ruang depan dengan dua cangkir kopi di dalam nampan."Aku ingin minta bantuan mu lagi," ujar Andra setelah gadis itu duduk di hadapannya."Boleh, Dokter bilang saja.""Aku ingin melanjutkan permainan batu gunting kertas nya."Dinda tersenyum, "oke," jawabnya tak keberatan." Ia juga masih menyimpan banyak pertanyaan tentang laki-laki itu.Dan permainan masa kanak-kanak itu pun kembali dimulai. Pada sesi pertama Dinda yang menang dan berhak untuk bertanya."Apa keinginan Dokter yang belum tercapai setelah menjadi seorang dokter?"Andra terdiam sesaat. "Entahlah," mengangkat bahu. "Aku cuma menjalani saja. Tidak pernah punya keinginan atau cita-cita. Karena menurutku semakin tinggi keinginan akan semakin tinggi pula kekecewaan yang didapatkan saat gagal. Dan aku paling tidak suka merasa kecewa.""Berarti menjadi seorang dokter bukan cita-citanya Dokter?""Bukan. Aku hanya kebetulan memilih fakultas kedokteran," jawab Andra. "Itu sudah dua pertanyaan," senyumnya kemudian.Dinda ikut tersenyum.Ronde ke-dua, Dinda kembali menang. Ia ingin menanyakan masalah wanita bernama Siska tadi. Namun belum sempat bibirnya berucap, suara dering ponsel Andra membuatnya urung."Sebentar ya, aku angkat telepon dulu," ujar laki-laki itu.Dinda mengangguk. Menatap tubuh jangkung itu bangkit dan menempelkan ponsel di telinganya."Halo Alex," ucapnya sambil melangkah keluar dan berdiri di teras.Dinda meraih cangkir kopi dan menyeruput minuman pekat itu sedikit. Matanya kemudian mengedar ke sekeliling.Rasanya saat kembali dari dapur tadi ia melihat sebuah pintu kamar lain. Dengan hati penasaran, gadis itu melangkah kembali ke belakang.Benar. Ada kamar lain.Tapi bukankah tadi sang dokter mengatakan rumah ini hanya memiliki dua kamar?Dinda kembali ke kursi tamu setelah membuktikan rasa penasarannya. Tak elok juga kalau ia memeriksa setiap ruangan rumah yang baru ia datangi itu, walau rumah itu milik suaminya sendiri. Andra kembali dengan bibir terkatup rapat. Sepertinya ada masalah yang serius dengan orang yang baru saja menelepon. "Maaf Dinda, aku harus keluar dulu, ada sedikit urusan di luar. Kamu ada rencana mau kemana? Biar aku antarkan lebih dulu."Dinda terdiam sejenak. Ia tak pernah punya tujuan di luar rumah kecuali kampus dan rumah Fathimah. Tapi kalau sudah sore seperti ini tentu tak mungkin pergi ke sana. "Saya ... tidak punya rencana kemana-mana. Dokter pergi saja."Apa tidak apa-apa aku tinggal sendirian?"Dinda memberikan senyuman tipis. "Tidak apa-apa, saya berani. Di rumah ini tidak ada hantunya, kan?""Tidak ada hantu yang berani singgah di rumah ini. Kalo ada yang berani mampir langsung aku seret ke rumah sakit buat di inpus karena mukanya pada pucat.""Hahaha ...,"Dinda tertawa mendengar gura
Bibir menawan Andra langsung tersenyum. Dengan tatapan yang masih terpaut pada Dinda, ia menolak tawaran mahasiswi cantik bak seorang model di sampingnya. "Terimakasih. Tapi tidak perlu, saya sudah menemukan yang saya cari."Langkah panjangnya terayun menuju Dinda. Membuat para gadis yang menyebut diri mereka para Dewi itu terperangah. "Maaf, aku tidak pulang semalam, istriku. Aku bersumpah, tidak akan membiarkan kamu sendirian lagi," ucapnya. Ucapan yang membuat para Dewi benar-benar tersentak mentalnya. "I-iya," Dinda tergagap. Mendengar Andra memanggilnya istri membuatnya salah tingkah. "Ayo, kita pulang." Laki-laki itu meraih tangan Dinda. Menggenggamnya hangat dan penuh kelembutan. Merasakan sentuhan itu membuat napas Dinda seketika tertahan. Ia kelabakan dan kembali hanya bisa menjawab, "i-iya."Andra menoleh pada Fathimah. Yang berdiri bangga memperlihatkan sahabatnya pada para Dewi yang masih terpaku tak percaya. "Fathimah, bagaimana kakinya?" Fathimah kembali tersenyum
Dinda mengakhiri shalat subuh nya dengan salam. Saat suara kunci pintu rumah terdengar diputar dari luar. Itu pasti Andra. Sang Dokter kembali tak pulang semalaman. "Maaf, aku tidak pulang semalam. Operasinya selesai pukul dua malam. Hujan sangat deras, aku ingin mengabari mu kalo tak bisa pulang, tapi baru sadar kalau HP-ku lowbat. Nunggu baterainya penuh aku malah tertidur," ucapnya langsung begitu Dinda melongok dari pintu kamarnya. Gadis itu terdiam sejenak. Kemudian tersenyum. Wajah Andra tampak begitu lelah. Sudah seharusnya istri seorang Dokter maklum dengan waktu kerja suaminya yang tak menentu. Apalagi dirinya yang merasa berhutang budi dengan pernikahan ini. "Tidak apa-apa. Saya tau Dokter tidak bisa pulang karena hujan."Andra membalas senyuman itu. Kemudian meletakkan tas kerjanya di atas meja tamu. Dan mengambil laptop dari dalamnya. "Aku harus masuk kamar dulu. Masih ada pekerjaan yang belum selesai," terangnya dengan raut penuh beban. Dinda mengangguk. "Saya akan
Bab 11Dinda terkejut melihat ekspresi itu. Andra menatap kotak yang dipegangnya dengan tatapan tajam. "Jangan sentuh kotak itu!" desis laki-laki itu. Mata Dinda langsung beralih pada kotak di tangannya. Jangan sentuh? Kotak hitam ini? "Ke ... Napa?" Tanpa menjawabnya Andra menghampiri gadis itu. Mengambil kotaknya dengan kasar dan raut wajah yang sama. Dinda meneguk salivanya. Memandang punggung Andra yang telah berbalik dan menjauh. "Memangnya ... itu bukan kotak rujaknya?" tanyanya lirih.Lirihan yang membuat langkah Andra terhenti. Ekspresi dinginnya perlahan berubah. Ia terdiam sejenak sebelum kemudian menoleh. "Maaf, aku menyakitimu," ucapnya. Kemudian melanjutkan langkahnya kembali ke mobil dan menyimpan kotak itu. Ia kemudian kembali dengan sebuah kotak berwarna hijau tua. Tersenyum lembut dan menggapai tangan Dinda yang masih berdiri di tempatnya. Menggenggamnya lembut dan mengajaknya ke tikar yang telah digelar. "Ini kotak rujaknya," tuturnya setelah meletakkan kotak
"Itu foto aku bersama Janson dan Alex," jelas Siska sekali lagi. Tangannya kemudian merampas pigura itu dari Dinda. Dinda terpaku. Jadi mereka teman sejak kecil? "Siska?" Suara bariton Andra terdengar memasuki ruang utama itu.Siska menoleh dan langsung mengembangkan senyuman. Tubuh tinggi semampai nya yang dibalut gaun ketat segera melenggang menghampiri. "Ya. Kita sehati, ya. Kamu-nya di sini, aku juga tiba-tiba pingin ke sini," riangnya. Kemudian bergelayut manja di lengan Andra yang sedang membawa nampan minuman. "Hei, tehnya bisa tumpah," tegur Andra. Siska tertawa lepas. "Biar aku yang bawakan," ujarnya sambil meraih nampan dari tangan Andra tanpa melepaskan gandengan di lengan laki-laki itu.Perempuan itu meletakkan nampan di atas meja, lalu menarik tangan Andra untuk duduk bersisian dengannya. "Kebetulan sekali, aku sangat haus, Janson." Perempuan itu langsung meraih salah satu cangkir dan menyeruputnya. Dinda berdiri termangu. Ia terabaikan. Seolah mereka hanya berdua
Dengan jantung yang berdebar, Dinda nekad membuka pintu kamar Andra. Sebuah ruangan yang tidak jauh berbeda dengan kamar Alex. Namun aroma di dalam ruangan itu tetaplah aroma Andra. Gadis itu menutup pintunya. Kemudian berdiri di balik pintu itu tanpa tahu harus apa setelahnya. Haruskah ia duduk di tempat tidur? Matanya mengedar ke sekeliling. Ada sofa berbingkai kayu ukir di sudut kamar. Dinda pun memilih duduk di sana untuk menunggu. Beberapa saat duduk menunggu Andra tak juga masuk. Gadis itu sudah beberapa kali menghela napas saking tegangnya. Jangan-jangan laki-laki itu enggan masuk karena ia terlalu lancang? Klek. Bunyi pintu yang dibuka terdengar jelas di telinganya. Dinda semakin tegang. Tampak bahu lebar Andra muncul dari balik pintu. Laki-laki itu masuk dan menutup pintunya. Tidak. Bukan sekedar menutup, sang dokter juga menguncinya. Dinda meneguk salivanya melihat itu. Pikirannya benar-benar kacau. Apa keputusannya untuk masuk ke kamar ini adalah pilihan yang tepat
Seorang gadis duduk termangu di depan jendela. Menatap muda-mudi yang berlalu-lalang tanpa benar-benar melihat. Riuh di kanan-kiri tak mengusik perhatiannya. Ia seperti jiwa yang terhampar jauh di tempat yang sunyi. Dialah Dinda Zahara Kirani. Gadis yang biasanya fokus dan bermotivasi kuat mengejar cita-citanya. Yang tak pernah berani berkhayal dan berangan. Yang tak pernah merasa sedih kecuali saat merasa lemah dalam mengejar cita-cita.Tapi kini jiwanya terusik oleh sebuah rasa. Rasa yang tak pernah terpikirkan sedikitpun olehnya selama ini. Rasa ingin dilihat seorang laki-laki. Akibatnya, hatinya merasakan pedih saat seorang pria mengabaikannya. "Hei!" Fathimah datang tiba-tiba dan sengaja mengejutkannya. Dinda tersentak. Kepedihan itu buyar dan menjadi sebuah rasa yang nelangsa. "Apa?" tanyanya tak bersemangat. "Gimana sama tugas yang baru dikasih Pak Dosen? Kamu pasti suka banget ngerjainnya, kan?"Dinda masih termangu. "Nah, berhubung kamu emang si pecinta tugas, tugas aku
Bab 15Laki-laki berbadan tegap itu berbalik. Bibirnya kemudian tersenyum pada Dinda. "Aku datang untuk menjemputmu, 'rayap bawel'. Mama kangen sama kamu," ujarnya. Mata Dinda langsung melebar mendengarnya. "Reza?" serunya tak percaya. Tak ada orang lain yang memanggilnya dengan sebutan rayap bawel selain teman masa kecilnya itu. Telah lama sejak ia masih berusia 12 tahun. Berpisah dengan tetangga yang sangat baik karena paman dan bibinya yang tiba-tiba menjual rumahnya dan mengajak pindah ke ruko. "Ternyata kamu masih ingat pada panggilan itu.""Ya, masih. Mana ada orang lain yang manggil aku rayap, ditambah bawel lagi."Laki-laki bernama Reza itu tertawa kecil sambil menggaruk tengkuknya. "Apa kamu masih gila sama kertas?" "Aku nggak gila sama kertas, Reza.""Nggak gila tapi terobsesi aja. Setiap ada buku kosong pasti kamu abisin buat digambar, dan setiap ada bacaan yang baru, pasti kamu duluan yang heboh, entah itu buku cerita atau koran. Kan, benar-benar kayak rayap?""Lah, m
Extra partAndra berdiri dengan kedua tangan di dalam saku celananya. Di sampingnya berdiri seorang laki-laki bertubuh kekar dan bertopi yang tak lain adalah IPDA Reza. "Apa yang bisa membuatku yakin, kau tak akan berubah karena trauma itu lagi?" Andra menghela napas. "Yang pertama, aku telah mengetahui apa alasan ibuku menggantung diri. Dan aku juga sudah menangkap orang yang menjadi penyebab ibuku melakukan hal itu. Yang kedua, aku memiliki seorang istri seperti Dinda, kau juga mengenalnya seperti apa, dia tak akan membiarkanku kembali ke masa lalu.""Baiklah kalau begitu. Aku akan melupakan sebuah flashdisk yang pernah aku temukan di rumahmu di bukit Pinus.""Flashdisk?" Andra mengernyit. Karena rasanya ia dan Dinda telah memusnahkan semua flashdisk-nya. "Ya," Reza tersenyum tipis. "Sepandai-pandainya tupai melompat, suatu kali akan jatuh juga."Andra terdiam sejenak, lalu tersenyum sambil menggaruk tengkuknya. "Itu benar," sahutnya."Aku pergi dulu. Siang ini aku harus segera b
Soni dan Guntur serentak keluar dari pintunya masing-masing. Lalu berlari menuju pintu masuk. Menyusul Andra yang sudah berlari lebih dulu. Sementara Dinda yang terpaksa tak ikut langsung mengunci pintu mobil seperti perintah Andra sebelumnya. "Bahaya, kalau karyawan perempuan itu dilenyapkan juga karena cuma dia saksi matanya," deduksi Soni sambil berlari di samping Guntur. "Tidak, bagaimana kalau karyawan perempuan itu yang membawa air bercampur racun?"Brak!Andra mendobrak pintunya. Lalu berlari cepat ke arah dua orang karyawan yang berjongkok di samping tubuh Yani. "Jangan bergerak!" teriaknya. Kedua orang itu tersentak dan sama-sama menoleh ke arah suara yang mengagetkan itu! Namun bedanya, yang perempuan langsung menunduk kembali. Andra tertegun. Ia mengenal wajah itu. *Flashback.Jamal menatap sosok berpakaian serba hitam yang datang untuk berterimakasih padanya kedalam penjara. "Kenapa kau ingin mengkambinghitamkan laki-laki yang kau cintai?" Sosok itu menghela nap
Hari sudah siang, semua karyawan PT sedang keluar untuk makan siang. Begitu juga dengan pekerja di gudang. Mereka baru saja keluar, saat mobil Andra dan timnya berhenti di tepi jalan. Andra membuka jendela mobilnya. Sekilas terdengar salah seorang pekerja di gudang itu membicarakan sesuatu dengan bibir tersenyum-senyum. "Pekerja baru itu cantik banget, ya? Udah gitu pekerja keras lagi. Barang sekarung besar itu diseret sendiri. Aku udah nawarin bantuan tapi doi menolak secara halus.""Iya, gue juga udah ngajak makan. Katanya mau nyelesain kerjaan dulu. Bakal betah gue kerja kalo ada temen kerja kayak gitu," timpal temannya. Sementara itu, Martin dan lima anak buah kepercayaannya langsung mengepung di sekeliling gudang.Sedangkan Andra, Dinda, Soni, dan Guntur tidak langsung keluar dari mobil karena Soni harus meretas kamera CCTV gudang untuk melihat keadaan di dalam."Tidak akan lama," Soni langsung fokus.Kamera berhasil di retas setelah beberapa saat. Tampaklah penampakan isi gud
Tring. Semua yang terdiam tampak tersentak kaget mendengar dering ponsel Andra. "Paman Amir," ujarnya pada Dinda. Lalu mengangkat telepon itu."Ya, halo," jawabnya. "Halo, Nak Andra! Istriku menghilang!" panik Amir di seberang. "Apa?!" Mata Andra melebar. Yani, yang menjadi umpan jebakannya menghilang? "Paman yakin dia tidak pergi ke suatu tempat?" "Entahlah, tapi sepertinya istriku benar-benar takut akan dituntut. Jadi kurasa tak mungkin dia berani mengacaukan rencana.""Baiklah, kalau begitu. Aku akan mencarinya!" Andra mematikan teleponnya dan menatap semua orang di dekatnya. "Kita salah sasaran!" serunya. "Bibi Yani kenapa?" tanya Dinda yang tak tahu mengenai rencana yang disusun Andra. "Dia menjadi umpan untuk menangkap pembunuh itu. Dan sekarang dia menghilang."Dinda tercenung. Hatinya resah. Bagaimanapun, Yani tetap keluarga dekatnya. "Dinda akan bantu mencari.""Tidak, ini bahaya Dinda. Makanya aku tidak memberitahu mu sejak awal.""Dinda akan berhati-hati dan terus
"Soni, Guntur! Kalian yang berada lebih dekat langsung beralih ke rumah Dinas. Dugaan kita meleset. Target malah di rumah Dinas dan istriku dalam bahaya!" teriak Andra sambil berlari. Tiba di luar, tampak Martin telah menunggu dengan motornya. Andra langsung berlari menyongsong orang kepercayaannya itu. "Cepat, Martin!" "Baik, Dok!" angguk Martin yang kemudian menarik gas motornya sekencang mungkin. *Dinda berdiri membeku melihat laki-laki berwajah pucat itu berjalan menghampirinya. Ia berhenti berlari karena teringat pada Bingo yang tertinggal di kamar. Laki-laki bernama Faisal itu menggendong Bingo dan kemudian berhenti 3 langkah di hadapan Dinda. "Lepasin Bingo!" Dinda memberanikan diri untuk membentak. Faisal tak menanggapi. Tangannya yang sebelah lagi merogoh saku belakang celana, membuat Dinda was-was menerka apa yang diambil laki-laki itu. Bagaimana kalau senjata tajam? Namun ternyata yang diambilnya adalah sebuah buku catatan dan pulpen. Orang itu kemudian menurunkan
Bab 107Tiba-tiba, Amir muncul dan menghadang jalan Andra. Laki-laki paruh baya itu kemudian berlutut dengan wajah memelas, membuat orang-orang di sekitar langsung memperhatikan. "Nak Andra, tolong kasihanilah kami, jangan tuntut kami. Nak Andra boleh mengambil toko baru itu, Kami akan menyerahkan sertifikatnya juga."Andra menghela napas. "Aku hanya ingin toko buku milik istriku kembali seperti semula. Aku tidak butuh toko lain!" tegasnya. Amir melirik cemas, meski telah membantu bersandiwara seperti ini ternyata suami dari keponakannya itu tetap tak mau memberi keringanan. "Tapi itu tak mungkin bisa, Nak! Orang itu telah mendapatkan tokonya dengan harga murah, tidak mungkin mau mengembalikannya lagi."Andra menatap tak sabar. Bisa-bisanya Amir mengambil kesempatan untuk bernegosiasi dengannya di tengah sandiwara yang telah ia atur. Ia hanya ingin Amir mengatakan bahwa Yani hendak bunuh diri, untuk memancing si pembunuh. "Kalian bisa membelinya kembali dengan harga yang lebih
"Kalau dalam kasus pembunuhan itu si pelaku sengaja mencari orang-orang yang hendak bunuh diri, kita bisa menjebaknya dengan memberi umpan seseorang yang akan berpura-pura bunuh diri. Dan lebih baik, orang itu memiliki hubungan dengan Anda atau istri Anda, Pak Andra," usul Guntur, sang detektif swasta.Andra mengangguk-angguk. "Aku tau siapa yang bisa berperan menjadi umpan," sahutnya. *Andra berdiri di hadapan sebuah ruko dengan tangan di dalam saku celananya. Bibirnya tersenyum menatap teras toko dimana ia dan seorang gadis baik hati bertemu. Kala itu ia hanya menganggap gadis berwajah ayu itu sebagai kelinci percobaan.Namun siapa sangka, kelinci percobaannya malah menjadi kelinci manis yang ia cintai. Bahkan berhasil mengubah jati dirinya.Klik. Pintu kaca toko terbuka. Seorang laki-laki paruh baya yang tak lain adalah Amir muncul dari dalam dan tampak tersentak kaget melihat Andra yang berdiri di depan tokonya. "N-nak Andra?" sebutnya terbata. "Ya. Ini saya."Amir buru-bur
"Apa kita pindah ke rumah dinas saja dulu? Sampai kasus ini selesai," tawar Andra. Ia melihat Dinda mulai tidak nyaman dan was-was setiap saat, setelah munculnya pemilik Bingo di rumah baru mereka itu.Meski enggan untuk meninggalkan rumah impiannya bersama Andra, namun Dinda merasa tawaran sang suami lebih tepat untuk saat ini. Rumah dinas berada di tengah kota, dan jarak rumah dengan tetangga juga tak jauh. Akhirnya, setelah berbenah mereka berangkat ke rumah dinas. Rumah dimana keduanya saling mengenal hingga saling mencintai dan bermadu kasih. Tiba di sana, bibir Dinda seketika tersenyum. Banyak kenangan manis yang telah terpatri di rumah itu."Kamu senang?" Andra ikut tersenyum dan merangkul pundak istrinya hangat.Dinda mengangguk, kemudian melangkah masuk bersama dalam rangkulan lelaki itu.Andra benar-benar memperhatikan dan memanjakannya. Laki-laki itu juga mengajaknya bersantai sore, membuatkannya teh dan menikmati senja di kursi taman seperti biasa. "Padahal harusnya Di
Dinda menatap laki-laki berkumis yang tiba-tiba masuk dan mengecam suaminya itu, dengan tatapan kesal. Persis seperti komisaris korup dalam film India, atasan Reza itu benar-benar bermuka dua. Beberapa hari yang lalu Andra sempat cerita bahwa sang komisaris berterimakasih padanya karena telah membantu menangkap Jamal. Laki-laki bermata kecil itu juga meminta maaf karena pernah menuduh Andra sebagai pelaku pembunuhan dan juga pernah ingin mempidanakannya saat kasus dengan Dahlan dahulu. Dada Dinda serasa bergemuruh mengingat semuanya.Sekarang, pria itu kembali ingin menjerat suaminya dan menuduhnya memberi kesaksian palsu. "Saya tidak berbohong, Suami saya memang langsung pulang sore itu.""Baiklah kalau Anda bersikeras seperti itu. Saya cuma mau nanya, apa Anda punya buktinya?"Dinda terdiam dengan sejuta rasa marah yang tak bisa ia ungkapkan. Sementara itu di luar ruangan, Alex dan Fathimah sedang duduk menunggu dengan raut cemas. "Alex, semua ini salahku. Coba saja aku tak ter