“Saya Andra, calon suami Dinda.”
Semua terperangah mendengar jawaban pemuda bersetelan dokter yang tiba-tiba datang. “Calon suami?” Yani bangkit dengan wajah kesal. Menatap tak sabar orang yang telah mengganggu rencananya. Kemudian baru teringat pada wajah tampan yang beberapa hari lalu juga ikut campur saat ia sedang memarahi Dinda. “Oh, kamu yang tempo hari mau nikahin si Dinda?” Andra melepaskan tangan Dahlan dan beralih menatap Yani. “Ya. Saya yang lebih dulu melamar langsung pada Dinda, dan saya juga laki-laki yang pertama kali diterima Dinda. Jadi saya yang berhak menikahinya.” “Huh,” Yani mendengus. “Apa tujuanmu nikahin dia? Toko buku? Apa si Dinda bilang toko ini miliknya?” Yani tertawa sinis, “asal kamu tau, ya, toko ini udah sepenuhnya milik kami. Si Dinda harusnya malah nombok buat biaya kami ngerawat dia. Jadi, kamu nggak akan dapat apa-apa kalau nikah sama dia.” “Saya nggak butuh apa-apa. Saya hanya ingin menikahinya.” Amir ikut berdiri dan menatap pemuda itu serius. “Kamu pacarnya Dinda?” “Bukan Pak. Saya akan menjadi pacarnya setelah menikah nanti.” “Apa Dinda mencintaimu?” Yani langsung memelototi suaminya. “Apaan sih, Pa?!” Amir tampak serba salah. Masih ingin menolong keponakannya tapi tak berani melawan istrinya. Brak. Pak Dahlan bangkit dari kursinya dengan kasar. Wajahnya yang garang tampak memerah. “Kalau kalian berani membatalkan pernikahan ini, maka bayar hutang kalian sekarang juga. Beserta bunga dan tanpa cicilan!” “Waduh, Pak. Siapa juga yang mau ngebatalin? Ini Cuma gangguan kecil,” Yani cepat-cepat menenangkan laki-laki itu. Bisa tamat riwayatnya jika harus membayar hutang itu sekaligus, beserta bunganya lagi. “Herman!” panggilnya gusar. Tukang ojek yang sering kali menjadi suruhan Yani itu tergopoh-gopoh menghampiri. “Iya, Bu.” “Seret pengganggu ini keluar!” titahnya. “Tunggu dulu!” Andra mengangkat sebelah tangannya. “Saya akan membayar hutang itu.” Semua orang terdiam mendengar ucapan sang dokter. Selang beberapa detik, suara tawa meremehkan terdengar dari Dahlan. “Kau tau berapa hutangnya? Bocah bau kencur sepertimu paling baru merasakan gaji dua jutaan sebulan. Cepat keluar sekarang, jangan buang waktuku!” Dinda yang tak menanggapi apapun melirik ke sekelilingnya. Semua orang sedang fokus pada Dokter Andra dan Pak Dahlan. Ini waktu yang tepat untuk rencananya melarikan diri.Kemudian menatap sang dokter dengan rasa bersalah. Melihat Andra mengeluarkan sebuah kartu nama dan menaruhnya di atas meja.Dinda menghela napas. Ia tahu usaha laki-laki itu akan sia-sia. Mereka tak akan tertarik pada titel dokter. Yang mereka butuhkan adalah orang yang memiliki uang. Amir mengambil kartu nama itu dan membacanya dengan suara yang lumayan jelas, “Andra Janson. Owner Semanggi Properti.” Tak ada yang tidak tahu Semanggi Properti. Pusat Properti terbesar di kota itu.Semua terpaku. Kemudian serentak memperhatikan pemuda yang menyatakan diri sebagai calon suami pilihan Dinda itu. Bagaimana mungkin pemilik usaha sebesar itu melamar gadis yatim piatu seperti Dinda? Dinda sendiri juga tak kalah terkejutnya. Laki-laki ini benar-benar banyak kejutannya. Pertama seorang Dokter dan sekarang owner Semanggi Properti? “Berapa semua hutangnya? Saya akan lunasi. Dan kursi pengantin pria menjadi milik saya,” tegas Andra sekali lagi. Pak Dahlan mengepalkan kedua belah tangannya. Ia tak ingin kalah seperti ini. Dinda harus menjadi pengantinnya.*** “Saya terima nikahnya Dinda Zahara Kirani bin Muhammad dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan cincin berlian dibayar tunai!” Dalam satu kali tarikan napas, lafal ijab kabul itu telah menjadikan Dinda sebagai seorang istri. “Sah?” Penghulu bertanya pada ke empat orang saksi. “Sah!” tegas para saksi. Dinda meremas kedua tangannya dengan dada yang terasa begitu sesak. Akhirnya ia tak berhasil kabur seperti rencana. Padahal ia tak pernah berharap untuk segera menemukan jodoh. Ia masih ingin menggapai cita-cita setinggi mungkin. Menjadi anak yatim-piatu yang sukses dan membanggakan. Namun kini, selesai sudah. Tanpa berkata-kata ia bangkit dari kursi pengantinnya dan berlari keluar. “Lah, anak ini udah ijab-kabul malah kabur!” Yani mendelik kesal melihat Dinda. Dinda tak peduli. Ia hanya ingin menenangkan diri sejenak. Langkahnya terus menyusuri jalanan menuju ke jembatan kota yang menjadi tempat terindah dan kebanggaan kota itu. Jembatan dengan sungai yang indah di bawahnya.Sehingga pemerintah daerah tersebut menyulap jembatan itu persis seperti jembatan di Amsterdam, Belanda. Dan ditutup untuk akses transportasi. Jembatan itu hanya boleh dikunjungi dan dilalui oleh pejalan kaki. Tanpa ia sadari seseorang mengikuti dan mengawasinya dengan tatapan tajam. Seseorang berwajah tampan yang tak lain adalah Dr. Andra Janson. Begitu sampai di tepi jembatan, Dinda berdiri terpaku. Menatap jernihnya air dan sebuah perahu wisatawan yang ingin menikmati keindahan sungai itu. Tak peduli dengan tatapan orang. Tempat ini selalu menjadi tempat menenangkan diri bagi Dinda selain di atas sajadah. Melihat senyum bahagia para wisatawan membuatnya ikut merasakan suasana hati mereka yang sedang melupakan beban. Di belakangnya, Andra terus mengawasi dengan tatapan yang sama. Menunggu apakah gadis itu akan meloncat untuk bunuh diri atau tidak. Ia paling benci orang yang ingin mengakhiri hidupnya sendiri. Sangat benci. Namun hingga hampir setengah jam menunggu, ternyata Dinda tak tampak sama sekali ingin bunuh diri. Laki-laki itu akhirnya menghampiri. “Apa kau tak berani melakukannya?” Pertanyaan Andra terdengar sedikit kasar. Dinda tampak kaget dan langsung berbalik. “Dokter?" lirihnya. "Melakukan apa?” “Melompat ke bawah.” “Melompat? Buat apa?” Dinda mengernyit, namun kemudian ia sadar apa maksud pertanyaan Andra. Gadis itu tersenyum tipis. “Bunuh diri? Insyaallah saya tak akan pernah ingin melakukan itu. Nyawa saya adalah milik Allah, bukan milik saya sendiri. Jadi hanya Allah yang berhak mencabutnya dari tubuh ini,” jawabnya. Andra terpaku mendengar jawaban gadis itu. Raut wajahnya yang dingin seketika berubah. Tanpa sadar ia melangkah maju dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Mendekapnya erat seolah tak akan melepaskannya lagi. Dinda tersentak kaget. Tak menyangka laki-laki bertubuh jangkung dan tegap itu akan memeluknya. Tubuhnya terasa membeku dalam pelukan hangat itu. “Maafkan aku. Aku pikir kamu menyesal telah menikah denganku,” ucap Andra. Dinda meneguk salivanya. Dadanya berdebar kencang. Ada sebuah rasa yang mengalir ke seluruh tubuhnya karena sentuhan itu. Rasa yang sulit diartikan. Perlahan Andra melepaskan pelukannya. Namun kedua lengan kokohnya tak melepaskan lengan Dinda. Menggenggamnya lembut dan menatap mata cemerlang gadis itu penuh kehangatan. “Kenapa kamu melarikan diri kemari?" Lembut tutur Andra dan hangat tatapannya. “Saya ... hanya ingin menenangkan diri,” jawabnya. “Apa pernikahan kita membuat hatimu resah?” “Bukan, bukan tentang pernikahan. Tapi masa depan saya,” jawab Dinda jujur. “Masa depan?” Alis kanan Andra terangkat. “Ya. Tentang cita-cita yang mungkin tak akan tercapai seperti keinginan saya.” “Tak akan tercapai? Apa karena pernikahan ini?” Dinda tak menjawab. Namun Andra mengerti kekhawatiran gadis itu. “Dinda. Tak ada yang akan menghentikan cita-citamu. Apalagi aku. Aku akan mendukungnya dengan sekuat tenaga.”“Tapi keinginan saya bukan seperti itu. Saya ingin sukses terlebih dahulu. Saya ingin menjadi pelukis yang terkenal dan membanggakan. Lalu baru menikah dan melukis di rumah sambil menjadi istri dan ibu rumah tangga. Saya ingin memiliki studio sendiri di rumah. Dan setelah itu bepergian bersama keluarga untuk mencari tempat yang indah saat anak-anak liburan sekolah.” “Hahaha ....” Andra tertawa renyah. Tangan kanannya kemudian bergerak mencubit puncak hidung Dinda dengan raut gemas. “Kamu sangat menggemaskan,” senyumnya lembut. Kedua pipi Dinda seketika merona. Tersipu, gadis itu langsung menunduk. Tangan Andra yang masih memegang lengan Dinda perlahan turun dan meraih tangan gadis itu. Menggenggamnya dan mengirimkan kehangatan dan rasa nyaman. “Karena kita sudah terlanjur menikah, jadi aku akan membantumu sukses lebih dulu. Setelah itu kita akan membuat anak dan bepergian seperti yang kamu inginkan.” Wajah Dinda semakin merona merah dan bahkan terasa panas saat mendengar kata membuat anak yang diucapkan Andra. “Kamu setuju?” Dinda menelan salivanya. Berusaha menenangkan debaran jantung yang semakin tak menentu. “Ta-tapi Anda seorang dokter. Tidak memiliki waktu libur yang sama dengan anak sekolah.” Andra tersenyum lebar. Jawaban Dinda menunjukkan bahwa gadis itu juga setuju memiliki anak bersamanya. Tangannya kembali menarik Dinda dan membawanya ke pelukan. “Aku akan membuka klinik pribadi. Jadi aku bisa libur pada jadwal yang aku mau.” Aroma mint dari tubuh Andra seketika terhirup kembali di hidung Dinda. Membuat gadis itu menahan napasnya. Menghindari aroma maskulin yang membuat desir di dalam tubuhnya semakin menggila.“Bagaimana bisa seorang dokter seperti Anda mau menikah mendadak seperti ini?”“Bagaimana bisa seorang dokter seperti Anda mau menikah mendadak seperti ini?” tanya Dinda dengan kepala yang tersandar di dada bidang Andra.“Karena situasimu yang mengharuskan,” jawab Andra.Suaranya terdengar begitu lembut di telinga Dinda. Namun gadis itu tak melihat sorot mata laki-laki itu yang tampak begitu misterius saat menjawabnya. “Kenapa harus? Saya bukan siapa-siapa Anda.” Andra menghela napas tanpa mau melepaskan pelukannya. “Awalnya aku hanya ingin menolong gadis yang mempertahankan hidupnya walau dunia telah menyuruhnya tiada saja. Tapi kemudian aku merasa yakin gadis itulah pilihan yang tepat.”Jembatan indah itu menjadi saksi. Saat rasa nyaman menyatu bersama dekapan kedua insan yang baru saja mengikrarkan janji di hadapan Allah. Setelah puas menenangkan diri, pasangan suami istri baru itu memutuskan kembali ke ruko. Kaki Dinda melangkah ringan, begitu ringan hingga serasa terbang. Ia benar-benar tak bisa merasakan pijakan kakinya, tak bisa melihat suasana di sekel
“Aku tidak bisa!” Andra menjawab panggilan yang begitu mengganggu itu singkat, dan dengan nada dingin. Setelahnya, lelaki itu langsung menaruh ponsel itu kembali ke dalam saku, kemudian termenung dalam pikiran yang tak tentu arah.Di hadapannya, Dinda sedang diliputi kegundahan. Sebelum berangkat, tentu ia harus mengganti kebaya dan rok batik sempit yang menjepit kakinya itu. Tapi bagaimana menggantinya kalau sang Dokter masih berada di dalam kamarnya? “Saya mau ganti baju dulu,” ujar Dinda tanpa berani menatap. Namun Andra tidak menanggapi. Dinda mengangkat wajahnya, dan menyadari bahwa sang dokter sedang melamun. Ekspresi laki-laki itu juga tampak lain. Apa ada masalah yang tiba-tiba membuatnya kepikiran? “Ehm,” Dinda berdeham ragu. “Boleh ... tunggu di luar, Dok?” Andra tersentak dan menoleh. Ekspresinya seketika berubah hangat kembali saat menatap Dinda. “Ya? Kenapa?” “Saya mau ganti baju dulu.” “Oh, oke. Aku akan menunggu di depan pintu,” jawabnya sambil bangkit dari temp
Perempuan itu menatap Andra intens tanpa melirik Dinda sedikitpun. Senyuman di bibir merahnya masih mengembang, namun ucapannya penuh dengan tekanan, "apa kamu mengabaikan ku, Janson Sayang?"Sayang? Kata itu membuat Dinda terpaku. Baru saja ia menanyakan tentang pacar tiba-tiba saja seorang wanita memanggil laki-laki itu dengan sebutan sayang?Andra menghembuskan napas panjang, menatap jengah perempuan yang menghadang mobilnya. "Tunggu sebentar," ucapnya pada Dinda. Membuka pintu lalu menghampiri wanita itu. "Ada apa?" tanyanya datar. Wanita itu menatap manja. Tangannya terulur menyentuh jas kedokteran Andra dan merapikannya penuh perhatian. Andra membiarkannya tanpa ekspresi. "Janson, aku ingin makan malam denganmu malam ini," pinta wanita itu dengan nada yang mendayu-dayu. "Aku tidak bisa. Kau bisa mengajak Alex atau temanmu.""Adikmu itu mana pernah mau diajak dinner romantis. Aku benar-benar kesepian beberapa hari ini. Kalian mengabaikanku," rajuk wanita itu. "Tapi aku b
Dinda kembali ke kursi tamu setelah membuktikan rasa penasarannya. Tak elok juga kalau ia memeriksa setiap ruangan rumah yang baru ia datangi itu, walau rumah itu milik suaminya sendiri. Andra kembali dengan bibir terkatup rapat. Sepertinya ada masalah yang serius dengan orang yang baru saja menelepon. "Maaf Dinda, aku harus keluar dulu, ada sedikit urusan di luar. Kamu ada rencana mau kemana? Biar aku antarkan lebih dulu."Dinda terdiam sejenak. Ia tak pernah punya tujuan di luar rumah kecuali kampus dan rumah Fathimah. Tapi kalau sudah sore seperti ini tentu tak mungkin pergi ke sana. "Saya ... tidak punya rencana kemana-mana. Dokter pergi saja."Apa tidak apa-apa aku tinggal sendirian?"Dinda memberikan senyuman tipis. "Tidak apa-apa, saya berani. Di rumah ini tidak ada hantunya, kan?""Tidak ada hantu yang berani singgah di rumah ini. Kalo ada yang berani mampir langsung aku seret ke rumah sakit buat di inpus karena mukanya pada pucat.""Hahaha ...,"Dinda tertawa mendengar gura
Bibir menawan Andra langsung tersenyum. Dengan tatapan yang masih terpaut pada Dinda, ia menolak tawaran mahasiswi cantik bak seorang model di sampingnya. "Terimakasih. Tapi tidak perlu, saya sudah menemukan yang saya cari."Langkah panjangnya terayun menuju Dinda. Membuat para gadis yang menyebut diri mereka para Dewi itu terperangah. "Maaf, aku tidak pulang semalam, istriku. Aku bersumpah, tidak akan membiarkan kamu sendirian lagi," ucapnya. Ucapan yang membuat para Dewi benar-benar tersentak mentalnya. "I-iya," Dinda tergagap. Mendengar Andra memanggilnya istri membuatnya salah tingkah. "Ayo, kita pulang." Laki-laki itu meraih tangan Dinda. Menggenggamnya hangat dan penuh kelembutan. Merasakan sentuhan itu membuat napas Dinda seketika tertahan. Ia kelabakan dan kembali hanya bisa menjawab, "i-iya."Andra menoleh pada Fathimah. Yang berdiri bangga memperlihatkan sahabatnya pada para Dewi yang masih terpaku tak percaya. "Fathimah, bagaimana kakinya?" Fathimah kembali tersenyum
Dinda mengakhiri shalat subuh nya dengan salam. Saat suara kunci pintu rumah terdengar diputar dari luar. Itu pasti Andra. Sang Dokter kembali tak pulang semalaman. "Maaf, aku tidak pulang semalam. Operasinya selesai pukul dua malam. Hujan sangat deras, aku ingin mengabari mu kalo tak bisa pulang, tapi baru sadar kalau HP-ku lowbat. Nunggu baterainya penuh aku malah tertidur," ucapnya langsung begitu Dinda melongok dari pintu kamarnya. Gadis itu terdiam sejenak. Kemudian tersenyum. Wajah Andra tampak begitu lelah. Sudah seharusnya istri seorang Dokter maklum dengan waktu kerja suaminya yang tak menentu. Apalagi dirinya yang merasa berhutang budi dengan pernikahan ini. "Tidak apa-apa. Saya tau Dokter tidak bisa pulang karena hujan."Andra membalas senyuman itu. Kemudian meletakkan tas kerjanya di atas meja tamu. Dan mengambil laptop dari dalamnya. "Aku harus masuk kamar dulu. Masih ada pekerjaan yang belum selesai," terangnya dengan raut penuh beban. Dinda mengangguk. "Saya akan
Bab 11Dinda terkejut melihat ekspresi itu. Andra menatap kotak yang dipegangnya dengan tatapan tajam. "Jangan sentuh kotak itu!" desis laki-laki itu. Mata Dinda langsung beralih pada kotak di tangannya. Jangan sentuh? Kotak hitam ini? "Ke ... Napa?" Tanpa menjawabnya Andra menghampiri gadis itu. Mengambil kotaknya dengan kasar dan raut wajah yang sama. Dinda meneguk salivanya. Memandang punggung Andra yang telah berbalik dan menjauh. "Memangnya ... itu bukan kotak rujaknya?" tanyanya lirih.Lirihan yang membuat langkah Andra terhenti. Ekspresi dinginnya perlahan berubah. Ia terdiam sejenak sebelum kemudian menoleh. "Maaf, aku menyakitimu," ucapnya. Kemudian melanjutkan langkahnya kembali ke mobil dan menyimpan kotak itu. Ia kemudian kembali dengan sebuah kotak berwarna hijau tua. Tersenyum lembut dan menggapai tangan Dinda yang masih berdiri di tempatnya. Menggenggamnya lembut dan mengajaknya ke tikar yang telah digelar. "Ini kotak rujaknya," tuturnya setelah meletakkan kotak
"Itu foto aku bersama Janson dan Alex," jelas Siska sekali lagi. Tangannya kemudian merampas pigura itu dari Dinda. Dinda terpaku. Jadi mereka teman sejak kecil? "Siska?" Suara bariton Andra terdengar memasuki ruang utama itu.Siska menoleh dan langsung mengembangkan senyuman. Tubuh tinggi semampai nya yang dibalut gaun ketat segera melenggang menghampiri. "Ya. Kita sehati, ya. Kamu-nya di sini, aku juga tiba-tiba pingin ke sini," riangnya. Kemudian bergelayut manja di lengan Andra yang sedang membawa nampan minuman. "Hei, tehnya bisa tumpah," tegur Andra. Siska tertawa lepas. "Biar aku yang bawakan," ujarnya sambil meraih nampan dari tangan Andra tanpa melepaskan gandengan di lengan laki-laki itu.Perempuan itu meletakkan nampan di atas meja, lalu menarik tangan Andra untuk duduk bersisian dengannya. "Kebetulan sekali, aku sangat haus, Janson." Perempuan itu langsung meraih salah satu cangkir dan menyeruputnya. Dinda berdiri termangu. Ia terabaikan. Seolah mereka hanya berdua
Extra partAndra berdiri dengan kedua tangan di dalam saku celananya. Di sampingnya berdiri seorang laki-laki bertubuh kekar dan bertopi yang tak lain adalah IPDA Reza. "Apa yang bisa membuatku yakin, kau tak akan berubah karena trauma itu lagi?" Andra menghela napas. "Yang pertama, aku telah mengetahui apa alasan ibuku menggantung diri. Dan aku juga sudah menangkap orang yang menjadi penyebab ibuku melakukan hal itu. Yang kedua, aku memiliki seorang istri seperti Dinda, kau juga mengenalnya seperti apa, dia tak akan membiarkanku kembali ke masa lalu.""Baiklah kalau begitu. Aku akan melupakan sebuah flashdisk yang pernah aku temukan di rumahmu di bukit Pinus.""Flashdisk?" Andra mengernyit. Karena rasanya ia dan Dinda telah memusnahkan semua flashdisk-nya. "Ya," Reza tersenyum tipis. "Sepandai-pandainya tupai melompat, suatu kali akan jatuh juga."Andra terdiam sejenak, lalu tersenyum sambil menggaruk tengkuknya. "Itu benar," sahutnya."Aku pergi dulu. Siang ini aku harus segera b
Soni dan Guntur serentak keluar dari pintunya masing-masing. Lalu berlari menuju pintu masuk. Menyusul Andra yang sudah berlari lebih dulu. Sementara Dinda yang terpaksa tak ikut langsung mengunci pintu mobil seperti perintah Andra sebelumnya. "Bahaya, kalau karyawan perempuan itu dilenyapkan juga karena cuma dia saksi matanya," deduksi Soni sambil berlari di samping Guntur. "Tidak, bagaimana kalau karyawan perempuan itu yang membawa air bercampur racun?"Brak!Andra mendobrak pintunya. Lalu berlari cepat ke arah dua orang karyawan yang berjongkok di samping tubuh Yani. "Jangan bergerak!" teriaknya. Kedua orang itu tersentak dan sama-sama menoleh ke arah suara yang mengagetkan itu! Namun bedanya, yang perempuan langsung menunduk kembali. Andra tertegun. Ia mengenal wajah itu. *Flashback.Jamal menatap sosok berpakaian serba hitam yang datang untuk berterimakasih padanya kedalam penjara. "Kenapa kau ingin mengkambinghitamkan laki-laki yang kau cintai?" Sosok itu menghela nap
Hari sudah siang, semua karyawan PT sedang keluar untuk makan siang. Begitu juga dengan pekerja di gudang. Mereka baru saja keluar, saat mobil Andra dan timnya berhenti di tepi jalan. Andra membuka jendela mobilnya. Sekilas terdengar salah seorang pekerja di gudang itu membicarakan sesuatu dengan bibir tersenyum-senyum. "Pekerja baru itu cantik banget, ya? Udah gitu pekerja keras lagi. Barang sekarung besar itu diseret sendiri. Aku udah nawarin bantuan tapi doi menolak secara halus.""Iya, gue juga udah ngajak makan. Katanya mau nyelesain kerjaan dulu. Bakal betah gue kerja kalo ada temen kerja kayak gitu," timpal temannya. Sementara itu, Martin dan lima anak buah kepercayaannya langsung mengepung di sekeliling gudang.Sedangkan Andra, Dinda, Soni, dan Guntur tidak langsung keluar dari mobil karena Soni harus meretas kamera CCTV gudang untuk melihat keadaan di dalam."Tidak akan lama," Soni langsung fokus.Kamera berhasil di retas setelah beberapa saat. Tampaklah penampakan isi gud
Tring. Semua yang terdiam tampak tersentak kaget mendengar dering ponsel Andra. "Paman Amir," ujarnya pada Dinda. Lalu mengangkat telepon itu."Ya, halo," jawabnya. "Halo, Nak Andra! Istriku menghilang!" panik Amir di seberang. "Apa?!" Mata Andra melebar. Yani, yang menjadi umpan jebakannya menghilang? "Paman yakin dia tidak pergi ke suatu tempat?" "Entahlah, tapi sepertinya istriku benar-benar takut akan dituntut. Jadi kurasa tak mungkin dia berani mengacaukan rencana.""Baiklah, kalau begitu. Aku akan mencarinya!" Andra mematikan teleponnya dan menatap semua orang di dekatnya. "Kita salah sasaran!" serunya. "Bibi Yani kenapa?" tanya Dinda yang tak tahu mengenai rencana yang disusun Andra. "Dia menjadi umpan untuk menangkap pembunuh itu. Dan sekarang dia menghilang."Dinda tercenung. Hatinya resah. Bagaimanapun, Yani tetap keluarga dekatnya. "Dinda akan bantu mencari.""Tidak, ini bahaya Dinda. Makanya aku tidak memberitahu mu sejak awal.""Dinda akan berhati-hati dan terus
"Soni, Guntur! Kalian yang berada lebih dekat langsung beralih ke rumah Dinas. Dugaan kita meleset. Target malah di rumah Dinas dan istriku dalam bahaya!" teriak Andra sambil berlari. Tiba di luar, tampak Martin telah menunggu dengan motornya. Andra langsung berlari menyongsong orang kepercayaannya itu. "Cepat, Martin!" "Baik, Dok!" angguk Martin yang kemudian menarik gas motornya sekencang mungkin. *Dinda berdiri membeku melihat laki-laki berwajah pucat itu berjalan menghampirinya. Ia berhenti berlari karena teringat pada Bingo yang tertinggal di kamar. Laki-laki bernama Faisal itu menggendong Bingo dan kemudian berhenti 3 langkah di hadapan Dinda. "Lepasin Bingo!" Dinda memberanikan diri untuk membentak. Faisal tak menanggapi. Tangannya yang sebelah lagi merogoh saku belakang celana, membuat Dinda was-was menerka apa yang diambil laki-laki itu. Bagaimana kalau senjata tajam? Namun ternyata yang diambilnya adalah sebuah buku catatan dan pulpen. Orang itu kemudian menurunkan
Bab 107Tiba-tiba, Amir muncul dan menghadang jalan Andra. Laki-laki paruh baya itu kemudian berlutut dengan wajah memelas, membuat orang-orang di sekitar langsung memperhatikan. "Nak Andra, tolong kasihanilah kami, jangan tuntut kami. Nak Andra boleh mengambil toko baru itu, Kami akan menyerahkan sertifikatnya juga."Andra menghela napas. "Aku hanya ingin toko buku milik istriku kembali seperti semula. Aku tidak butuh toko lain!" tegasnya. Amir melirik cemas, meski telah membantu bersandiwara seperti ini ternyata suami dari keponakannya itu tetap tak mau memberi keringanan. "Tapi itu tak mungkin bisa, Nak! Orang itu telah mendapatkan tokonya dengan harga murah, tidak mungkin mau mengembalikannya lagi."Andra menatap tak sabar. Bisa-bisanya Amir mengambil kesempatan untuk bernegosiasi dengannya di tengah sandiwara yang telah ia atur. Ia hanya ingin Amir mengatakan bahwa Yani hendak bunuh diri, untuk memancing si pembunuh. "Kalian bisa membelinya kembali dengan harga yang lebih
"Kalau dalam kasus pembunuhan itu si pelaku sengaja mencari orang-orang yang hendak bunuh diri, kita bisa menjebaknya dengan memberi umpan seseorang yang akan berpura-pura bunuh diri. Dan lebih baik, orang itu memiliki hubungan dengan Anda atau istri Anda, Pak Andra," usul Guntur, sang detektif swasta.Andra mengangguk-angguk. "Aku tau siapa yang bisa berperan menjadi umpan," sahutnya. *Andra berdiri di hadapan sebuah ruko dengan tangan di dalam saku celananya. Bibirnya tersenyum menatap teras toko dimana ia dan seorang gadis baik hati bertemu. Kala itu ia hanya menganggap gadis berwajah ayu itu sebagai kelinci percobaan.Namun siapa sangka, kelinci percobaannya malah menjadi kelinci manis yang ia cintai. Bahkan berhasil mengubah jati dirinya.Klik. Pintu kaca toko terbuka. Seorang laki-laki paruh baya yang tak lain adalah Amir muncul dari dalam dan tampak tersentak kaget melihat Andra yang berdiri di depan tokonya. "N-nak Andra?" sebutnya terbata. "Ya. Ini saya."Amir buru-bur
"Apa kita pindah ke rumah dinas saja dulu? Sampai kasus ini selesai," tawar Andra. Ia melihat Dinda mulai tidak nyaman dan was-was setiap saat, setelah munculnya pemilik Bingo di rumah baru mereka itu.Meski enggan untuk meninggalkan rumah impiannya bersama Andra, namun Dinda merasa tawaran sang suami lebih tepat untuk saat ini. Rumah dinas berada di tengah kota, dan jarak rumah dengan tetangga juga tak jauh. Akhirnya, setelah berbenah mereka berangkat ke rumah dinas. Rumah dimana keduanya saling mengenal hingga saling mencintai dan bermadu kasih. Tiba di sana, bibir Dinda seketika tersenyum. Banyak kenangan manis yang telah terpatri di rumah itu."Kamu senang?" Andra ikut tersenyum dan merangkul pundak istrinya hangat.Dinda mengangguk, kemudian melangkah masuk bersama dalam rangkulan lelaki itu.Andra benar-benar memperhatikan dan memanjakannya. Laki-laki itu juga mengajaknya bersantai sore, membuatkannya teh dan menikmati senja di kursi taman seperti biasa. "Padahal harusnya Di
Dinda menatap laki-laki berkumis yang tiba-tiba masuk dan mengecam suaminya itu, dengan tatapan kesal. Persis seperti komisaris korup dalam film India, atasan Reza itu benar-benar bermuka dua. Beberapa hari yang lalu Andra sempat cerita bahwa sang komisaris berterimakasih padanya karena telah membantu menangkap Jamal. Laki-laki bermata kecil itu juga meminta maaf karena pernah menuduh Andra sebagai pelaku pembunuhan dan juga pernah ingin mempidanakannya saat kasus dengan Dahlan dahulu. Dada Dinda serasa bergemuruh mengingat semuanya.Sekarang, pria itu kembali ingin menjerat suaminya dan menuduhnya memberi kesaksian palsu. "Saya tidak berbohong, Suami saya memang langsung pulang sore itu.""Baiklah kalau Anda bersikeras seperti itu. Saya cuma mau nanya, apa Anda punya buktinya?"Dinda terdiam dengan sejuta rasa marah yang tak bisa ia ungkapkan. Sementara itu di luar ruangan, Alex dan Fathimah sedang duduk menunggu dengan raut cemas. "Alex, semua ini salahku. Coba saja aku tak ter