Dinda dan Andra kemudian masuk ke dalam mobil, lalu sang dokter menyalakan mesin nya kembali. "Tunggu dulu, Neng!" Bu Een tiba-tiba keluar dari panti sambil mengacungkan sebuah amplop surat. Namun sayangnya Dinda dan Andra tidak mendengarkan dan mobil pun langsung melaju. Tiba di kampus Dinda turun melambaikan tangannya. Ia belum meminta izin untuk bertemu dengan Alex, karena ia tak mungkin mengatakannya. Tring. Pesan dari Alex masuk. "Aku sudah menunggu di cafe." Dinda menghela napas membacanya. Lalu merogoh tasnya untuk memeriksa flashdisk yang diminta Alex. Namun sebelum pergi ia tetap harus izin dulu pada suaminya."Dokter, saya mau menemui teman di cafe untuk mengembalikan flashdisk-nya. Minta izinnya, ya?" Dinda mengirim pesan untuk Andra.Sedikit lama, Dinda menunggu balasannya. Sampai ia memilih untuk menunggu di cafe Mang Nurdin. Namun langkah kakinya yang memakai sepatu sport putih itu tiba-tiba terhenti saat Misyel dan gang Para Dewinya tiba-tiba menghadang."Heh,
"Apa kamu melihat isi flashdisk-nya?" tanya Alex.Dinda mengangguk jujur. "Ya, aku melihatnya."Alex terpaku. Lalu menarik napas dalam-dalam sambil menegakkan punggungnya. "Apa yang kamu pikirkan tentang isinya? Apa kau akan melaporkanku pada Polisi?"Dinda mengernyit. "Kamu?""Ya, karena sudah melakukan tindak kejahatan dengan menyekap orang.""Itu bukan kamu," bantah Dinda. "Itu aku!" Alex bersikeras. Dan kamu bisa melaporkanku. Tapi hanya dengan bukti yang aku berikan. Tidak dengan flashdisk-flashdisk ini.""Supaya Polisi tidak mencurigai Dr.Andra? Alex, aku tau itu Dr.Andra."Rahang Alex seketika mengeras. Laki-laki itu mengepalkan tangannya dan mendekatkan wajahnya dengan tatapan mengancam."Jangan pernah berani untuk melaporkan Andra. Aku tidak akan membiarkan mu!" "Menurut mu itu yang akan aku lakukan? Kamu salah besar. Aku adalah orang yang akan berani mempertaruhkan apapun untuk menolongnya."Wajah Alex yang menegang tampak sedikit mengendur. "Bagaimana aku bisa memperca
Malam harinya. Andra bangkit dari ranjangnya dan menatap Dinda yang masih terlelap di sampingnya. Gadis itu kembali menemaninya tidur. Namun ia tak dapat terlelap malam ini. Bukan karena mimpi buruk ataupun karena hasrat terhadap Dinda yang tertahankan. Melainkan karena sebuah misi yang harus ia lakukan. Dengan langkah pelan, laki-laki bertubuh atletis itu meninggalkan kamarnya. Memakai jaket, lalu menuju keluar dan mengunci pintunya.Ia tak bisa memakai mobil, karena tak ingin membangunkan Dinda dengan suara mesinnya. Dengan penerangan lampu jalan, ia melangkah menuju jalan kota. Lima belas menit berjalan kaki, ia berhenti di depan sebuah bengkel las. Kemudian masuk dan menghampiri sebuah mobil yang terparkir di sudut bengkel. Ia membuka pintu mobil itu dan langsung menyalakan mesinnya. Derunya terdengar jelas di tengah malam yang sunyi. Hingga kemudian melaju di atas jalanan dan menembus gelapnya malam.Tiba di kaki bukit Pinus, Andra melihat beberapa buah mobil yang terpark
Dua jam perjalanan, akhirnya mereka tiba di kaki bukit. Lola mengebut dengan senang hati atas permintaan Dinda, karena tak pernah memiliki kesempatan untuk mengemudi dengan bebas saat menumpang di mobil temannya.Jam sudah menunjukkan pukul 3 dini hari. Suasana di sekelilingnya tampak gelap gulita. Lampu di dekat pagar pun tak menyala. Dinda mengambil ponsel dan mentransfer uang senilai satu juta untuk Lola sesuai janjinya."Udah aku transfer satu juta, ya. Kamu bisa bawa pulang mobilnya sekarang. Besok aku ambil kembali."Lola langsung tersenyum senang dengan mata berbinar. Mobil semewah itu bisa ia pamerkan pada teman-temannya. Ia tak peduli untuk apa Dinda datang ke tempat terpencil dan gelap itu. Yang penting kesenangan sudah ada di tangan. "Tapi ingat, jangan macam-macam atau menjual mobil ini! Dr.Andra bisa menuntut kamu, " tegas Dinda sebelum turun. "Iya, gue juga nggak mau masuk penjara sementara uangnya malah dinikmatin Mami," jawab Lola. "Dan satu lagi, jangan ngebut. Mo
Namun baru saja Dinda hendak mengambil sisa berkasnya, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Detak jantung Dinda seolah seketika terhenti, begitu juga dengan tangannya. Ia menatap ke arah pintu dengan napas tertahan. Siapa yang masuk?Daun pintu itu perlahan terbuka. Dan Reza pun muncul di baliknya.Dinda tak bisa berkata-kata saat mata Reza tertuju padanya dan berkas di lantai. Hingga beberapa saat, Reza mematung di ambang pintu. Sementara di luar sana masih terdengar kegaduhan. Kemudian laki-laki itu membuka pintunya lebih lebar dan melangkah ke dalam.Dinda semakin pucat. Matanya membulat dengan keringat yang semakin deras. Perlahan kepalanya menggeleng. Menunjukkan ia tak rela Reza mengambil berkas-berkas itu. Langkah Reza langsung terhenti. Menatap wajah ketakutan gadis itu sejenak dengan perasaan yang bercampur aduk. Sedih, kecewa, dan tak percaya jika Dinda akan mati-matian melindungi dr. Andra. Kemudian ia berbalik kembali dan melangkah keluar tanpa berkata apa-apa. Menutup pin
Andra dan Dinda kembali ke Rumah Pinus dengan tangan yang saling menggenggam. Ini adalah hari pertama bagi mereka. Hati pertama untuk membuka lembaran baru.Di dalam sana ternyata sudah ada Alex dan Fathimah yang tengah menunggu dengan raut cemas. "Ya Tuhan! Kemana saja kalian? Aku benar-benar berpikir kalian telah dibawa ke kantor polisi. Pintu tak terkunci, HP pun tertinggal," sambut Alex gusar. "Kami baru dari belakang bukit." Andra menunjukkan korek api di tangannya. Alex langsung mengerti maksud Andra. Ia tak lagi melanjutkan pertanyaannya di hadapan Fathimah. "Syukurlah, kalian tidak apa-apa," ucapnya lega. "Apa setelah ini kita akan aman?" tanya Fathimah. "Ya, untuk sementara. Ditahan karena penyerangan ini adalah hal kecil bagi Bos Mario. Tapi aku akan mencari cara, agar dia tidak menggangu kita lagi," jawab Alex. Pak Lik dan Mbok Lik kemudian muncul di ambang pintu. "Orang desa bilang, di hutan Pinus semalam ada suara tembakan, apa itu benar?" tanya Pak Lik khawatir.
"Oke. Lepasin saya sekarang, Kanda.""Lho, kok masih pakai sebutan 'saya'?" Dinda langsung memutar otak lagi. Apa ia harus pakai aku? Atau Dinda? "Ehm, lepasin Dinda, Kanda," ucapnya dengan pipi semerah tomat. Akhirnya ia lebih memilih pakai nama. Terdengar lebih menghormati. Bagaimanapun, rasa kagumnya pada sang dokter membuatnya tetap tak mau serampangan saat berinteraksi dengan laki-laki itu. Andra meneguk salivanya. Ia senang mendengarnya, bahkan hatinya gemas. Ingin rasanya melahap gadis manis yang terus tersipu malu di dalam dekapannya itu. "Nah begitu, dong. Aku suka mendengarnya."Tangan kokohnya kemudian melepaskan pelukan. Lalu meraup wajah karena terlanjur berhasrat. "Kita harus segera berangkat, atau aku tak akan bisa menahan diri lagi," ucapnya. Dinda menatap iba. Memang tak seharusnya seperti ini. Demi menjaga cita-citanya, sang dokter menunda hak sebagai suami. Gadis itu menggigit bibirnya. Haruskah ia yang menawarkan? Sungguh ia tak apa-apa jika harus memberika
Bab 82Pukul 5 sore, akhirnya mereka selesai mensurvei. Keduanya sudah sepakat untuk menjadikan tanah itu tempat tinggal masa depan mereka. Sudah meluruskan masalah plus minusnya membangun hunian di sana, juga sudah deal masa harga dan luasnya. "Daerah ini sudah banyak yang laku. Tapi kami akan batasi penghuninya. Agar bukit indah ini masih terlihat lapang dan hijau," terang pemilik tanah.Andra mengangguk-angguk puas. Ini memang kriteria tanah yang ia mau. Apalagi Dinda juga sangat suka. Matanya melirik gadis yang sedang asik bermain dengan putra kecil si bapak pemilik tanah. "Kami juga menolak pembangunan pabrik. Hanya satu pabrik yang sudah dapat izin. Itu pabrik roti," sambung di bapak. "Pabrik roti?" sela Dinda sambil menghampiri dengan raut tertarik."Benar, Mbak.""Wah, asik dong! Tiap hari bisa nyium aroma roti yang dipanggang," gadis itu kegirangan."Iya, Mbak. Karena pertimbangan itu juga, kami merasa pabrik roti bisa menambah estetika pemukiman bukit ini.""Ya sudah, Pak
Extra partAndra berdiri dengan kedua tangan di dalam saku celananya. Di sampingnya berdiri seorang laki-laki bertubuh kekar dan bertopi yang tak lain adalah IPDA Reza. "Apa yang bisa membuatku yakin, kau tak akan berubah karena trauma itu lagi?" Andra menghela napas. "Yang pertama, aku telah mengetahui apa alasan ibuku menggantung diri. Dan aku juga sudah menangkap orang yang menjadi penyebab ibuku melakukan hal itu. Yang kedua, aku memiliki seorang istri seperti Dinda, kau juga mengenalnya seperti apa, dia tak akan membiarkanku kembali ke masa lalu.""Baiklah kalau begitu. Aku akan melupakan sebuah flashdisk yang pernah aku temukan di rumahmu di bukit Pinus.""Flashdisk?" Andra mengernyit. Karena rasanya ia dan Dinda telah memusnahkan semua flashdisk-nya. "Ya," Reza tersenyum tipis. "Sepandai-pandainya tupai melompat, suatu kali akan jatuh juga."Andra terdiam sejenak, lalu tersenyum sambil menggaruk tengkuknya. "Itu benar," sahutnya."Aku pergi dulu. Siang ini aku harus segera b
Soni dan Guntur serentak keluar dari pintunya masing-masing. Lalu berlari menuju pintu masuk. Menyusul Andra yang sudah berlari lebih dulu. Sementara Dinda yang terpaksa tak ikut langsung mengunci pintu mobil seperti perintah Andra sebelumnya. "Bahaya, kalau karyawan perempuan itu dilenyapkan juga karena cuma dia saksi matanya," deduksi Soni sambil berlari di samping Guntur. "Tidak, bagaimana kalau karyawan perempuan itu yang membawa air bercampur racun?"Brak!Andra mendobrak pintunya. Lalu berlari cepat ke arah dua orang karyawan yang berjongkok di samping tubuh Yani. "Jangan bergerak!" teriaknya. Kedua orang itu tersentak dan sama-sama menoleh ke arah suara yang mengagetkan itu! Namun bedanya, yang perempuan langsung menunduk kembali. Andra tertegun. Ia mengenal wajah itu. *Flashback.Jamal menatap sosok berpakaian serba hitam yang datang untuk berterimakasih padanya kedalam penjara. "Kenapa kau ingin mengkambinghitamkan laki-laki yang kau cintai?" Sosok itu menghela nap
Hari sudah siang, semua karyawan PT sedang keluar untuk makan siang. Begitu juga dengan pekerja di gudang. Mereka baru saja keluar, saat mobil Andra dan timnya berhenti di tepi jalan. Andra membuka jendela mobilnya. Sekilas terdengar salah seorang pekerja di gudang itu membicarakan sesuatu dengan bibir tersenyum-senyum. "Pekerja baru itu cantik banget, ya? Udah gitu pekerja keras lagi. Barang sekarung besar itu diseret sendiri. Aku udah nawarin bantuan tapi doi menolak secara halus.""Iya, gue juga udah ngajak makan. Katanya mau nyelesain kerjaan dulu. Bakal betah gue kerja kalo ada temen kerja kayak gitu," timpal temannya. Sementara itu, Martin dan lima anak buah kepercayaannya langsung mengepung di sekeliling gudang.Sedangkan Andra, Dinda, Soni, dan Guntur tidak langsung keluar dari mobil karena Soni harus meretas kamera CCTV gudang untuk melihat keadaan di dalam."Tidak akan lama," Soni langsung fokus.Kamera berhasil di retas setelah beberapa saat. Tampaklah penampakan isi gud
Tring. Semua yang terdiam tampak tersentak kaget mendengar dering ponsel Andra. "Paman Amir," ujarnya pada Dinda. Lalu mengangkat telepon itu."Ya, halo," jawabnya. "Halo, Nak Andra! Istriku menghilang!" panik Amir di seberang. "Apa?!" Mata Andra melebar. Yani, yang menjadi umpan jebakannya menghilang? "Paman yakin dia tidak pergi ke suatu tempat?" "Entahlah, tapi sepertinya istriku benar-benar takut akan dituntut. Jadi kurasa tak mungkin dia berani mengacaukan rencana.""Baiklah, kalau begitu. Aku akan mencarinya!" Andra mematikan teleponnya dan menatap semua orang di dekatnya. "Kita salah sasaran!" serunya. "Bibi Yani kenapa?" tanya Dinda yang tak tahu mengenai rencana yang disusun Andra. "Dia menjadi umpan untuk menangkap pembunuh itu. Dan sekarang dia menghilang."Dinda tercenung. Hatinya resah. Bagaimanapun, Yani tetap keluarga dekatnya. "Dinda akan bantu mencari.""Tidak, ini bahaya Dinda. Makanya aku tidak memberitahu mu sejak awal.""Dinda akan berhati-hati dan terus
"Soni, Guntur! Kalian yang berada lebih dekat langsung beralih ke rumah Dinas. Dugaan kita meleset. Target malah di rumah Dinas dan istriku dalam bahaya!" teriak Andra sambil berlari. Tiba di luar, tampak Martin telah menunggu dengan motornya. Andra langsung berlari menyongsong orang kepercayaannya itu. "Cepat, Martin!" "Baik, Dok!" angguk Martin yang kemudian menarik gas motornya sekencang mungkin. *Dinda berdiri membeku melihat laki-laki berwajah pucat itu berjalan menghampirinya. Ia berhenti berlari karena teringat pada Bingo yang tertinggal di kamar. Laki-laki bernama Faisal itu menggendong Bingo dan kemudian berhenti 3 langkah di hadapan Dinda. "Lepasin Bingo!" Dinda memberanikan diri untuk membentak. Faisal tak menanggapi. Tangannya yang sebelah lagi merogoh saku belakang celana, membuat Dinda was-was menerka apa yang diambil laki-laki itu. Bagaimana kalau senjata tajam? Namun ternyata yang diambilnya adalah sebuah buku catatan dan pulpen. Orang itu kemudian menurunkan
Bab 107Tiba-tiba, Amir muncul dan menghadang jalan Andra. Laki-laki paruh baya itu kemudian berlutut dengan wajah memelas, membuat orang-orang di sekitar langsung memperhatikan. "Nak Andra, tolong kasihanilah kami, jangan tuntut kami. Nak Andra boleh mengambil toko baru itu, Kami akan menyerahkan sertifikatnya juga."Andra menghela napas. "Aku hanya ingin toko buku milik istriku kembali seperti semula. Aku tidak butuh toko lain!" tegasnya. Amir melirik cemas, meski telah membantu bersandiwara seperti ini ternyata suami dari keponakannya itu tetap tak mau memberi keringanan. "Tapi itu tak mungkin bisa, Nak! Orang itu telah mendapatkan tokonya dengan harga murah, tidak mungkin mau mengembalikannya lagi."Andra menatap tak sabar. Bisa-bisanya Amir mengambil kesempatan untuk bernegosiasi dengannya di tengah sandiwara yang telah ia atur. Ia hanya ingin Amir mengatakan bahwa Yani hendak bunuh diri, untuk memancing si pembunuh. "Kalian bisa membelinya kembali dengan harga yang lebih
"Kalau dalam kasus pembunuhan itu si pelaku sengaja mencari orang-orang yang hendak bunuh diri, kita bisa menjebaknya dengan memberi umpan seseorang yang akan berpura-pura bunuh diri. Dan lebih baik, orang itu memiliki hubungan dengan Anda atau istri Anda, Pak Andra," usul Guntur, sang detektif swasta.Andra mengangguk-angguk. "Aku tau siapa yang bisa berperan menjadi umpan," sahutnya. *Andra berdiri di hadapan sebuah ruko dengan tangan di dalam saku celananya. Bibirnya tersenyum menatap teras toko dimana ia dan seorang gadis baik hati bertemu. Kala itu ia hanya menganggap gadis berwajah ayu itu sebagai kelinci percobaan.Namun siapa sangka, kelinci percobaannya malah menjadi kelinci manis yang ia cintai. Bahkan berhasil mengubah jati dirinya.Klik. Pintu kaca toko terbuka. Seorang laki-laki paruh baya yang tak lain adalah Amir muncul dari dalam dan tampak tersentak kaget melihat Andra yang berdiri di depan tokonya. "N-nak Andra?" sebutnya terbata. "Ya. Ini saya."Amir buru-bur
"Apa kita pindah ke rumah dinas saja dulu? Sampai kasus ini selesai," tawar Andra. Ia melihat Dinda mulai tidak nyaman dan was-was setiap saat, setelah munculnya pemilik Bingo di rumah baru mereka itu.Meski enggan untuk meninggalkan rumah impiannya bersama Andra, namun Dinda merasa tawaran sang suami lebih tepat untuk saat ini. Rumah dinas berada di tengah kota, dan jarak rumah dengan tetangga juga tak jauh. Akhirnya, setelah berbenah mereka berangkat ke rumah dinas. Rumah dimana keduanya saling mengenal hingga saling mencintai dan bermadu kasih. Tiba di sana, bibir Dinda seketika tersenyum. Banyak kenangan manis yang telah terpatri di rumah itu."Kamu senang?" Andra ikut tersenyum dan merangkul pundak istrinya hangat.Dinda mengangguk, kemudian melangkah masuk bersama dalam rangkulan lelaki itu.Andra benar-benar memperhatikan dan memanjakannya. Laki-laki itu juga mengajaknya bersantai sore, membuatkannya teh dan menikmati senja di kursi taman seperti biasa. "Padahal harusnya Di
Dinda menatap laki-laki berkumis yang tiba-tiba masuk dan mengecam suaminya itu, dengan tatapan kesal. Persis seperti komisaris korup dalam film India, atasan Reza itu benar-benar bermuka dua. Beberapa hari yang lalu Andra sempat cerita bahwa sang komisaris berterimakasih padanya karena telah membantu menangkap Jamal. Laki-laki bermata kecil itu juga meminta maaf karena pernah menuduh Andra sebagai pelaku pembunuhan dan juga pernah ingin mempidanakannya saat kasus dengan Dahlan dahulu. Dada Dinda serasa bergemuruh mengingat semuanya.Sekarang, pria itu kembali ingin menjerat suaminya dan menuduhnya memberi kesaksian palsu. "Saya tidak berbohong, Suami saya memang langsung pulang sore itu.""Baiklah kalau Anda bersikeras seperti itu. Saya cuma mau nanya, apa Anda punya buktinya?"Dinda terdiam dengan sejuta rasa marah yang tak bisa ia ungkapkan. Sementara itu di luar ruangan, Alex dan Fathimah sedang duduk menunggu dengan raut cemas. "Alex, semua ini salahku. Coba saja aku tak ter