“Menurut kamu Kenzo itu gimana?” Adolf Guzman bertanya pada putrinya yang diam saja selama sarapan pagi.
“Enggak gimana-gimana,” sahut Jillian malas.“Jadi ….” Adolf Guzman menjeda dan Jillian tidak berminat baik menyelesaikan sarapannya maupun mendengar pernyataan kelanjutan sang daddy.Jillian beranjak dari kursi makan. “Jill pergi, Dad.”“Jil,” panggil Adolf Guzman menghentikan pergerakan Jillian yang tengah berjalan menjauh.Jillian menunggu tanpa bersedia membalikan badannya.“Mau ya Jill … menikah dengan Kenzo … dia pria baik, Jill … dia bertanggung jawab dan—““Dad!!” Jillian membalikkan badannya.“Daddy enggak liat baju apa yang dipakai Jill? Ini seragam SMA, Dad!”Jillian mencubit kemeja sekolahnya di bagian kerah.“Umur Jillian masih belasan, Daddy itu dimana sih pikirannya? Jillian enggak mau nikah sama siapapun sekarang, Dad ….”Jillian pergi sambil menghentakan sepatu Gucci-nya di sepanjang lorong hingga tiba di pintu utama.Masuk ke dalam kabin mobil di bagian belakang dari pintu yang di buka pak Ujang, melempar tas dengan kasar ke jok di sampingnya—Jillian menghentakan kaki karena kesal.Kesal karena Daddy memaksanya menikah dan kesal karena setelah tadi ia kembali bertengkar dengan Adolf Guzman—bingung bagaimana cara menagih ijin dan uang jajan untuk liburan.“Pak Ujang,” panggil Jillian lembut karena membutuhkan pertolongannya.“Ya Non?”Pak Ujang melirik Jillian dari kaca spion tengah.“Pak, mobil Ferrari hadiah ulang tahun Jill yang ke tujuh belas tahun ‘kan jarang dipake tuh ….” Jillian menjeda.“Iya, Non … kenapa jarang dipake?” Pak Ujang menanggapi.“Jakarta macet, gimana mau kebut-kebutan pakai mobil itu … jadi, dari pada enggak dipake, Pak Ujang bisa jualin enggak?”“Bisa Non, Pak Ujang punya kenalan or—“ Kalimat Pak Ujang terhenti karena tahu maksud dari Jillian sebenarnya.Ingin menjual sport car tersebut tanpa sepengetahuan Adolf Guzman.“Apa Pak Adolf sudah setuju kalau Non Jill jual mobil itu?”Gelengan kepala dan senyum manis menjadi jawaban Jill atas pertanyaan Pak Ujang.Pak Ujang mengembuskan napas pelan. “Sudah kuduga,” batinnya bicara.“Kalau begitu nanti Pak Ujang dibilang penadah, Non … Pak Ujang enggak berani, ah … Non Jill, ijin dulu sama Daddy.”“Pak Ujang, enggak asyik!” seru Jill merajuk dengan nada rendah.“Non Jill lagi butuh uang ya?”“Iya, Pak Ujang … Jill mau liburan.”“Butuh uang berapa Non? Siapa tahu Pak Ujang bisa bantu.”“Sebelas Milyar,” jawab Jill pelan.“Ya Tuhan, Noooooon.”***Setelah tidak berhasil membujuk Pak Ujang untuk menjual mobil Ferari-nya—Jill memikirkan cara kembali bagaimana agar bisa mendapatkan uang sejumlah sebelas Milyar untuk liburan.Ia melamun menatap jendela sepanjang mata pelajaran Sejarah.Sebuah Hellikopter mendarat di atap gedung kelas sepuluh yang berada di samping gedung di mana Jillian berada sekarang, rooftop gedung itu memang sebuah landasan Heli.Lidah Jillian berdecak. “Si Bima pasti lupa bawa tas lagi ke sekolah,” gumam Jillian.Benar saja, Bima teman sekolahnya dari kelas IPA berlari memburu pria berpakaian safari yang baru turun dari Hellikopter membawa tas sekolah.Pria yang merupakan ajudan ayahnya Bima itu kembali naik ke dalam Hellikopter setelah urusannya selesai.Pemandangan tersebut sudah tidak aneh lagi di sekolah yang menerapkan kurikulum Internasional dengan biaya fantastis.Tidak ada beasiswa sehingga di sekolah itu semua sama—hanya anak-anak dari para orang kaya Negri ini saja yang bersekolah di sana.“Jill, Pak Seno udah ngeliatin lo dari tadi sambil nerangin … lo jangan ngelamun terus.”Callista yang duduk di meja sebelahnya memberitau disertai sikutan di lengan Jillian.Jillian mengalihkan tatapannya dari jendela ke papan tulis di mana Pak Seno sedang mencoret-coret benda tersebut dengan spidol, entah menuliskan apa Jillian sudah tidak peduli lagi.Benaknya masih tentang bagaimana cara mendapatkan sejumlah uang untuk liburan.Sebuah pop up notifikasi pesan masuk membuat Jillian harus menunduk menatap ponselnya di bawah meja.Jillian membuka aplikasi pesan, bibirnya seketika tersenyum tatkala menemukan pesan masuk dari Rangga.Rangga : Sayang, jadi nginep ‘kan?Astaga, Jillian lupa meminta ijin kepada daddy. Kadung kesal karena sang daddy terus saja memaksanya agar segera menikah.Rangga cukup lama memandang layar ponselnya, melihat status Jillian yang sedang mengetik kemudian pesan Jillian masuk ke ruang chat mereka.Jillian : Jadi.Satu kata itu yang Jillian ketik sedari tadi sambil berpikir.Meski satu kata tapi mampu membuat Rangga tersenyum lebar, berbanding terbalik dengan perasaan Jillian yang resah dan gundah.Pikirannya kini terbagi antara ijin untuk menginap dan uang jajan liburan.Kepala Jillian pusing mencari cara bagaimana mendapatkan dua ijin tersebut.***Adolf Guzman menatap Kenzo lamat-lamat, sorot mata sayunya menunjukkan bila pria itu sedang menahan sakit ditambah wajah yang pucat dan punggung yang sedari tadi bersandar pada kursi kebesarannya di balik meja kerja.Biasanya Adolf Guzman akan menerima tamunya termasuk Kenzo di sofa set yang berada di tengah ruangan tapi ketika Kenzo masuk tadi ke ruangan Adolf Guzman—pria keturunan Inggris itu tidak beranjak sedikit pun.“Ken,” panggil Adolf Guzman parau.“Ya, Pak?” sahut Kenzo cepat.Ia tidak memiliki banyak waktu sebenarnya, datang ke sini karena sangat menghormati Adolf Guzman padahal bukan untuk urusan bisnis.“Jillian masih tidak mau menikah, bisa tidak kamu membuat Jillian jatuh cinta sama kamu?”Apakah Adolf Guzman lupa jika dalam hubungan asmara itu ada dua orang yang berlakon?Ia meminta Kenzo untuk membuat Jillian jatuh cinta pada Kenzo tapi tidak sekalipun menanyakan apakah Kenzo juga telah mencintai Jillian?Kenzo menunduk, memutus tatapan penuh permohonan Adolf Guzman.Kenzo mengembuskan napasnya berat. “Pak, saya baru sekali berbincang dengan putri Bapak … bagaimana saya mau membuat Jillian jatuh cinta jika saya sendiri belum merasakan apa-apa terhadap Jillian … begini saja, Pak … saya akan membantu Bapak untuk mengarahkan Jillian menjadi pribadi yang lebih baik lagi … disela-sela waktu sibuk saya, saya akan mencoba mendekati Jillian sebagai seorang kakak bukan pria yang akan menikahinya.”Kenzo sedang melakukan negosiasi. Jika bukan karena Adolf Guzman sangat berjasa mengajarinya segala hal dalam bisnis—ia tidak akan mungkin mau mengurus gadis nakal dan pembangkang seperti Jillian.Adolf Guzman tersenyum lebih lebar, pria itu mengulurkan tangannya yang bergetar.Kenzo balas mengulurkan tangan, menjabat tangan Adolf Guzman yang kini menggenggamnya sangat erat.“Saya titip putri saya satu-satunya kepadamu, Kenzo … saya mohon, jaga dia sebaik-baiknya.”Suara lemah dan pendar nanar di mata Adolf Guzman sungguh membuat Kenzo iba sekaligus iri karena ia tidak memiliki ayah yang mencintainya seperti Adolf Guzman mencintai Jillian.Kenzo mengangguk bersama sebuah senyum tipis, ia tidak terpaksa membantu Adolf Guzman, anggap saja ini adalah balas budi kepada pria yang berjasa dalam hidupnya.Kenzo menganggap jika negosiasinya berhasil dengan Adolf Guzman.Ia tidak perlu menikahi Jillian dan akan mencoba mendekati Jillian untuk membimbingnya menjadi gadis baik-baik yang bisa membanggakan Adolf Guzman.Setelah basa-basi sebentar, Kenzo meninggalkan gedung kantor Adolf Guzman untuk kembali melanjutkan jadwalnya hari ini bertemu klien.Masih ditempatnya duduk, Adolf Guzman menerima pesan dari sang putri.Jillian : Dad, aku mau nginep di rumah Callista ngerjain tugas kelompok … ada Izora dan Kirana juga.Jillian tidak sedang meminta ijin tapi memberitau. Ia harus menekan gengsinya, menghubungi Adolf Guzman setelah pertengkaran pagi tadi hanya agar bisa menginap di apartemen Rangga.Adolf Guzman : sayang, bagaimana kalau Callista dan dua teman kamu yang lain yang menginap di rumah kita? Akan Daddy sediakan makanan dan minuman, biar Daddy nanti yang meminta ijin kepada orang tua teman-teman kamu agar mengijinkan mereka menginap di rumah kita.Seakan memiliki firasat jika Jillian berbohong—Adolf Guzman malah memberikan ide demikian.Lidah Jillian berdecak sebal, alasan apa lagi yang harus diberikan Jillian agar Adolf Guzman mengijinkannya menginap malam ini.Terdengar berisik dari luar toilet di mana Jillian sedang berada sekarang.Jillian yang sedang berpikir di dalam salah satu biliknya menjadi terganggu.“Photographer-nya ganteng gilaaaaa … sumpah! Gue enggak konsen selama pemotretan di Bandung kemarin,” ucap seorang gadis bernama Natasha-teman sekolah Jillian.Ah, tidak. Sesungguhnya Natasha adalah musuh bebuyutan Jillian semenjak kelas sepuluh.Mereka selalu bersaing dalam hal fashion, kekayaan orang tua dan popularitas tapi tidak untuk prestasi.Dan Natasha ini memang seorang model dan bintang ikan berkat koneksi ayahnya.Dengkusan sebal dan tatapan malas Jillian hanya bisa dinikmati Jillian sendiri karena Natasha dan dua orang sahabatnya bernama Rianti dan Gabby tidak mengetahui jika Jillian sudah lebih dulu ada di sana.“Terus, lo minta nomor teleponnya?” Rianti yang bertanya sambil memulas liptint di bibir.“Ya gue minta laaah, gue enggak akan melewatkan pria tampan kaya si Rangga itu.”Tubuh Jillian menegang, detak jantungnya menambah tempo debaran.Dia tidak salah dengar, kan?Tadi dengan jelas Natasha menyebut nama Rangga dan sebelumnya menyebut kata photographer?Memangnya ada berapa banyak nama Rangga yang menjadi photographer?“Lo udah hubungin dia?” Giliran Gabby yang bertanya sambil memulas bedak di wajahnya.“Dia donk yang harus hubungin gue, ya masa cewek yang nyosor duluan … tapi gue tahu kok dari gelagatnya kalau dia naksir gue … cara dia Benerin rambut gue … terus pas Benerin kerah baju gue biar lebih turun ….” Natasha menjeda dengan netra menatap langit-langit dan senyumnya yang tampak tersipu.“Ujung jarinya nyentuh bagian atas payudara gue … dia minta maaf dan tersenyum sambil menjilat bibir bawahnya, Oh My Ghooossshhh … rasanya gue pengin banget rebahan dengan dia ada di atas gue.” Natasha mengakhiri ucapannya dengan pekikan tawa gemas sambil mengentak kedua kaki.Brak!!!!Suara pintu yang terpelanting membentur pintu di bilik sebelahnya membuat ketiga gadis yang sedang berdiri di depan wastafel langsung berjenggit lalu berbalik dengan menunjukkan tampang terkejut.“Dasar murahan lo!!!” seru Jillian seraya menyenggol pundak Natasha ketika melewatinya untuk menuju pintu keluar.Natasha yang tidak terima dengan umpatan Jillian itu menarik tangan Jillian hingga membalikkan badan dan membuat mereka saling berhadapan.“Apa lo bilang?” hardik Natasha dengan suara lantang.“Murahan atau Bitch atau lon—“Plak!Kalimat Jillian terhenti oleh tamparan Natasha yang sedang tersulut emosi.Jillian yang sudah sangat emosi sebelumnya karena menganggap pria yang sedang dibicarakan Natasha adalah Rangga-kekasihnya langsung menjambak rambut Natasha.Keduanya terlibat aksi jambak-jambakan lalu saling cakar sampai berguling-guling di lantai toilet yang selalu bersih.Rianti dan Gabby panik melihat perkelahian tersebut berusaha menolong Natasha dengan mengeroyok Jillian dan bukannya melerai mereka.Kini posisi Jillian jelas kalah, satu lawan tiga.Jillian berusaha meronta ketika dua tangannya di tahan oleh Rianti dan Gabby sedangkan Natasha memukul wajahnya dengan kepalan tangan.“Jiiilll!!” seru Izora histeris yang baru saja masuk ke dalam toilet.Mengambil kesempatan dari lengahnya Natasha dan dua anteknya karena kedatangan Izora—Jillian langsung membalas setiap pukulan Natasha tadi, menarik kemeja sekolahnya hingga butiran kancing berserakan di lantai.“Ada apa ini???” Suara Pak Yusman yang menggelegar menghentikan setiap pergerakan di toilet perempuan.Mereka semua memejamkan matanya sekilas merutuki kedatangan sang Guru BK.“Jillian … Natasha, ke ruangan saya sekarang!” Pak YUsman berseru memerintah lantas pergi menyisakan hening yang mencekam.Ini adalah perkelahian Natasha dan Jillian yang keseribu kali mungkin jika bisa dihitung semenjak masuk SMA Alexandria ini.Sekarang mereka sudah berada di penghujung kelulusan tapi tidak sedikitpun mengindahkan setiap teguran.Gawatnya, dalam perkelahian terakhir di depan kepala sekolah dan guru BK juga orang tua—Jillian dan Natasha berjanji tidak akan berkelahi dan jika mereka berkelahi maka mereka bersedia untuk mengulang pendidikan kembali di kelas dua belas.“Pak … ada telepon dari kepala sekolahnya Jill.” Amira memberitau melalui sambungan interkom disambut embusan napas panjang Adolf Guzman. “Sambungkan, Mir.” Suara lemah itu memerintah. “Baik Pak.” Setelah nada tunggu maka tersambung lah Adolf Guzman dengan kepala sekolah Jillian yang memintanya datang ke sekolah sekarang juga. Memaksakan diri, dengan tubuhnya yang lemah—Adolf Guzman pergi ke sekolah Jillian. Turun dari mobil, Adolf Guzman melangkah gontai menuju ruang kepala sekolah. Ancaman kepala sekolah yang mengatakan jika Jillian tidak bisa lulus tahun ini karena pertengkaran dengan teman sekolahnya menjadi beban tersendiri bagi Adolf Guzman. Bukan beban tentang rasa malu karena anaknya tinggal kelas tapi justru khawatir akan merusak mental Jillian. Putrinya akan bersedih dan rendah diri juga mungkin harus menanggung malu karena teman-temannya yang lain melanjutkan ke jen
“Maaf Jill, Daddy kamu enggak bisa saya selamatkan.” Jillian tidak bertanya lebih jauh tentang maksud dari pernyataan dokter Agung barusan. Langsung memutus sambungan telepon dan pergi ke rumah sakit kepercayaan daddy di mana dokter Agung berpraktik di sana. Mengabaikan pertanyaan Rangga apa yang terjadi ketika ia bergegas memakai kembali pakaiannya dengan linangan air mata. Jillian harus memastikan sendiri apa yang terjadi dengan daddy. “Jill, aku antar.” Rangga menarik tangan Jillian ketika Jillian dengan tampang linglung beranjak dari ruang televisi. Jillian hanya menganggukan kepala lalu melanjutkan langkahnya menuju pintu keluar. “Jill, tunggu!” Rangga yang tengah memakai kaosnya berseru sambil menyusul Jillian. “Ada apa sebenarnya? Telepon dari siapa tadi?” Rangga mengulang pertanyaannya dengan napas tersengal karena berlari menyusul Jillian. Keduanya sudah berada di dalam lift menuju bassement di mana mobil Rangga terparkir. “Daddy ….” Suara Jillian tercekat. “Yang te
“Kamu pacarnya?” Kenzo bertanya dengan raut dan nada yang sama datarnya.Pria itu melangkah mendekati Rangga. “Iya.” Rangga menjawab cepat, ia tidak punya waktu untuk berpikir. “Kamu enggak usah ke sini lagi, tinggalkan Jillian!” Nada rendah yang terlontar itu sarat akan penekanan dan ancaman. Rangga pikir pria ini berbeda, tapi nyatanya sama dan Rangga tidak gentar sedikitpun. “Kenapa saya harus mengikuti permintaan Anda?” Rangga menghadapkan tubuhnya pada Kenzo lalu mengangkat dagu menantang pria itu. “Pria macam apa yang meninggalkan kekasihnya di saat terburuk?” Dingin dan tersirat ledekan dalam kalimat tersebut. “Saya terikat kontrak, saya harus kerja … untuk menjadi sukses banyak yang harus saya korbankan, Jillian pasti mengerti.” Kenzo menganggukan kepalanya setuju, kembali melangkah mendekat dengan satu tangan yang ia sembunyikan di saku celana.
Jillian sudah membaca pesan Rangga, ia mengerti jika Rangga harus kerja. Terpaksa mengerti sebenarnya. Ternyata Rangga memilih bekerja dibanding menemaninya, lalu apa bedanya dengan Daddy? Jillian menyibak selimut yang membalut tubuhnya, menurunkan kaki untuk membasuh wajah yang matanya sembab. Tadi ponselnya berdering tidak henti memunculkan banyak pop up notifikasi pesan. Pasti dari ketiga sahabat Jillian. Keluar dari kamar mandi, Jillian mencari ponselnya yang ia letakkan di atas nakas. Benar saja, ketika Jillian membuka aplikasi pesan banyak pesan masuk dari ketiga sahabatnya mengucapkan bela sungkawa termasuk para guru dan kepala sekolah. Mereka mengatakan akan datang selepas pembelajaran selesai. Jillian menarik handle pintu kamar, tenggorokannya terasa haus setelah tadi menangis lalu pingsan. Ia terlonjak ketika menemukan Kenzo duduk di sofa yang berada di depan kamarnya.
Di ruang makan, Jillian dan Rangga tidak makan yang sebenarnya. Jillian duduk di atas pangkuan Rangga dengan posisi menyamping, kedua tangannya memeluk leher Rangga membuat pria itu kesulitan menyuapkan makanan padahal ia belum makan sedari siang. “Kamu kenapa lama banget datangnya.” Jillian merengek di ceruk leher Rangga. “Tadi abis pemotretan aku ada meeting, bahas konsep dan tema untuk project yang baru … kamu sudah makan?” Rangga menjelaskan diakhiri pertanyaan agar Jillian bisa melepaskannya sebentar untuk menyantap makan malam. Tapi sang kekasih yang tengah berduka enggan pergi dari atas pangkuannya. Rangga mengusap punggung Jillian lembut sambil mengunyah makan malam yang sempat masuk ke mulut. “Aku enggak selera.” Jillian menyahut lemah, wajahnya masih terbenam di leher Rangga. Bagi Jillian, leher Rangga adalah tempat bersembunyi paling nyaman saat ini. Sembunyi dari r
“Masuk Jill, Ibu mau menyampaikan sesuatu … di depan wali kamu.” Sekarang kening Jillian mengkerut semakin dalam. Sejak kapan Kenzo menjadi walinya? Tapi tak ayal, kakinya ia langkahkan juga masuk lebih jauh ke ruangan bu Eva. Perlahan kaki Jillian melangkah sambil memberikan sorot mata penuh tanya—Jillian menatap Kenzo. Tapi Kenzo hanya diam begitu tenang dengan punggung tegapnya yang tegak, ekspresi pria itu datar tapi tidak dingin. “Jadi, barusan Ibu sudah bicara sama pak Kenzo-wali kamu meny—“ “Sejak kapan Om jadi wali aku?” Jillian menyela ucapan Bu Eva. Tidak bisa untuk tidak bertanya, bila perlu berdebat dengan Kenzo meski dihadapan bu Eva. Karena ia harus tahu kenapa Kenzo bisa menggantikan peran daddynya. “Sekarang wali kamu itu pak Yuda, Irma dan saya … mendiang pak Adolf membuat surat wasiat yang meminta kami untuk menjadi wali kamu … Amira sibuk menangani perusahaa
“Pak Yuda harus segera mengumumkan isi wasiat pak Adolf, harus ada pengganti pak Adolf … jika tidak, nanti keputusan akan diambil alih pemegang saham.” Amira mendesak Yuda untuk membacakan isi wasiat tersebut karena dari informasi yang diberikan Yuda padanya—jika di dalam wasiat itu Adolf Guzman menunjuk seseorang untuk menggantikan beliau. Yuda terlihat gamang, ia yang sudah mengetahui betul tentang isi wasiat kesulitan mengambil keputusan. “Apa tidak ada cara untuk mengulur waktu? Seharusnya wasiat ini diumumkan setelah Jill lulus SMA … sepertinya pak Adolf tidak mengira beliau akan pergi secepat ini.” Yuda menundukkan pandangan, menyembunyikan rasa kehilangan yang menekan dada semenjak kepergian Adolf Guzman-klien sekaligus sahabatnya. “Saya hanya sekertaris, Pak … saya tidak bisa melakukan apapun … tapi jika Pak Yuda bersedia mencoba untuk membuat para pemegang saham mengerti dan mau menunggu—saya akan jadwalkan p
“Rangga,” gumam Jillian yang raut wajahnya berubah senang. Jillian berlari keluar dari ruang kerja sang daddy, kaki mungilnya menapaki turun anak tangga menggunakan sendal rumah. Rangga berdiri di bawah tangga, tersenyum sambil merentangkan kedua tangannya mengundang Jillian ke dalam pelukan. Jillian melihat satu tangan Rangga menggenggam paperbag tapi Jillian mengabaikan itu, tubuh Rangga terlalu menggiurkan untuk dipeluk. Dari lantai dua, Kenzo melihat bagaimana cara Jillian memeluk Rangga, bagaimana gadis itu menatap Rangga dan tersenyum penuh suka cita melupakan semua beban kesedihan atas meninggalnya Adolf Guzman, melupakan kenyataan jika ia sebatang kara.Jillian selalu bahagia setiap kali bersama Rangga seolah-olah Rangga adalah kebahagiaannya di dunia ini. Kenzo masih mengawasi Jillian dan Rangga dari lantai dua dengan tatapan tak terbaca. “Aku bawa ice cream kesukaan kamu, kita makan di dekat kolam
“Mommy …,” panggil gadis kecil yang kini telah berusia empat tahun. Gadis kecil itu duduk membelakangi Jillian karena rambutnya sedang diikat pony tail sesuai permintaan sang gadis. “Yess Love?” Jillian menyahut. “Apa Cantik boleh memiliki adik lagi?” Jillian menaikkan kedua alisnya lalu mengerjap pelan. “Pasti Daddy yang meminta Cantik mengatakan itu sama Mommy, kan?” Jillian menjauhkan tangannya dari kepala Cantik, ia selesai mengikat rambut ikal gadis kecil yang cerewet itu. Cantik membalikan badan lalu tersenyum lebar. “Kata Daddy, Cantik bisa main Barbie sama adik Cantik yang baru.” Jillian tertawa sumbang, tangannya terulur merapihkan poni Cantik. “Adik Rae enggak mau main boneka, maunya main mobil sama kereta.” Cantik mengerucutkan bibir. Cassius Rae Maverick-adiknya
Awalnya Callista berpikir kalau Caffe yang dibangun Jillian tidak akan bertahan lama karena ia begitu paham Jillian dengan segala sikap manjanya akan bosan apalagi ia yakin kalau Caffe itu dibangun hanya untuk membalas dendam kepadanya. Tapi nyatanya dua tahun berlalu dan Jillian tampak serius menjalankan Caffe itu, setiap hari pulang dari kampus mobil Jillian terlihat di pelataran Caffe hingga malam suaminya menjemput. Dan yang membuat Callista kesal adalah Caffe Jillian tidak pernah sepi pengunjung. Selalu saja pelataran parkir di depan Caffe itu penuh malah Jillian menyewa satu lahan sepanjang tahun untuk parkiran karena hari Sabtu atau minggu Caffe Jillian akan membudak dengan pengunjung. Padahal yang Callista tahu kalau menu di sana dibandrol cukup mahal. Pintarnya Jillian, ia sengaja membuat Caffenya eksclusive dengan sasaran kalangan atas tapi justru kalangan menengah dan mungkin ka
Jillian belum pernah merasa secemas ini dalam hidupnya. Ia khawatir launching Caffe-nya tidak berjalan lancar meski sudah menyewa EO dan mempersiapkan semuanya sesempurna mungkin. “Sayang, udah siap?” Kenzo melongokan kepala ke dalam walk in closet. Pria itu lantas masuk sambil mengembangkan senyum menawannya melihat Jillian yang tampak cemas berdiri di depan cermin seukuran tinggi Jillian. “Kamu gugup ya?” Kenzo berdiri di depan Jillian, kedua tangannya menggenggam tangan Jillian yang terasa dingin. Jillian meringis seraya mengangguk. “Aku khawatir ada masalah … Callista berulah misalnya.” “Kita enggak akan pernah tahu, tapi aku udah berusaha antisipasi semua faktor kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi.” “Kamu selalu prepare banget kaya gini ya?” “Aku selalu merencanakan semuanya dengan matang.” Kenzo membingkai sisi wajah Jil
“Oke … nanti karangan bunga diletakan di dinding depan sebelah kiri dan tolong geser pot besar yang di depan itu … kayanya menghalangi pemandangan dari sudut bagian kanan,” titah Jillian kepada seorang pria pegawainya. “Baik, Bu!” Pria itu pergi untuk melakukan perintah Jillian. Jillian melangkah cepat menuju kitchen. “Pak Ronald, semua bahan sudah oke? Berapa porsi dari setiap menu yang bisa kita sediakan?” Jillian bertanya kepada kokinya. “Bahan aman Bu, bisa sampai lima puluh porsi dari setiap menu … ibu mau cek lemari pendingin kita?” “Enggak perlu, Pak … saya percayakan sama Bapak ya!” “Siap Bu.” Jillian lantas pergi menuju bar tempat baristanya meracik kopi. “Mas Raka bagaimana bahan-bahannya? Pak Ronald sudah oke di lima puluh porsi dari setiap menu ….” Raut cemas di wajah Jillian membuat Raka tersenyum. “Ten
“Pak Adam boleh kok kalau mau cium Cantik.” Awalnya Adam Askandar tampak ragu tapi kemudian menunduk untuk mengecup kepala Cantik. Bahunya mulai bergetar menahan isak tangis yang sedari tadi ia tahan hingga menyesakan dada. Sang asisten segera memegangi Adam Askandar sementara Augusta Maverick dan ayahnya Bima menghampiri Adam Askandar bermaksud menenangkan. Mereka berdua membawa Adam Askandar ke meja yang telah disediakan. Tatapan sendu Jillian selama beberapa saat memaku Kenzo. Pria itu bergerak mendekat untuk mengecup kening Jillian. “Jangan mikir yang enggak-enggak,” kata Kenzo mengingatkan. “Kamu kira aku lagi mikirin apa?” Jillian mengerucutkan bibirnya. “Tiara.” Jillian mengembuskan napasnya karena jawaban Kenzo benar. “Memangnya kamu udah enggak mikirin dia?”
Jillian melongo takjub dengan rahang sedikit terbuka, luar biasa terpukau semenjak mobil yang dikemudikan driver memasuki gerbang depan rumahnya. Rumah yang disiapkan Kenzo untuknya sebelum mereka membatalkan perjanjian perceraian. Dan sekarang, setelah dilakukan beberapa renovasi kecil dan pengisian furniture yang memakan biaya besar—Jillian ingin menempatinya bersama Kenzo dan si Cantik. “Rumah ini aku banget,” gumam Jillian yang baru saja melangkah memasuki pintu utama. “Kamu suka?” Kenzo yang tengah menggendong si Cantik bertanya dari belakang punggung Jillian. Jillian memutar tubuhnya, melangkah sekali untuk mengikis jarak dengan Kenzo. “Aku suka … sangat suka! Rumah ini pasti mahal banget ya?” Terlihat pendar haru di netra Jillian yang berwarna coklat. Sang suami yang kelewat tampan dan sabar itu memberikan senyumnya. “Buat kamu, enggak ada ya
“Daddy pulaaaang!” seru Jillian yang tengah menggendong si Cantik melangkah mendekati pintu lift yang terbuka menampilkan sosok pria tampan pujaan hatinya. Kenzo menjatuhkan tasnya lalu merentangkan kedua tangan setelah keluar dari lift dan kini Jillian beserta si Cantik berada dalam pelukannya. “Kalian wangi sekali,” kata Kenzo yang telah puas mendaratkan banyak kecupan di wajah Jillian dan si Cantik. “Iya donk, tadi mommy sama Cantik mandi bareng … aku udah bisa mandiin si Cantik lho, Yang.” Jillian begitu bahagia ketika menceritakan prestasi sebagai Ibu yang akhirnya bisa memandikan sang buah hati meski sudah terlambat dua bulan lamanya. “Waaaw, hebat!” Kenzo memuji, memberikan hadiah kecupan lagi di bibir Jillian. “Aku mandi dulu ya,” kata Kenzo yang merasa tidak nyaman dengan tubuhnya yang lengket karena seharian berada di proyek. Kenzo bergegas
“Mau sampai kapan lo ngehindarin gue terus?” Kin berdiri tepat di depan Jillian menghalangi langkah wanita itu yang selama beberapa minggu semenjak kembali berkuliah selalu menghindarinya. Jillian akan menundukkan kepala bila harus terpaksa berpapasan dengan Kin lalu berjalan cepat agar cowok itu tidak bisa menyusul atau bila sudah melihat Kin dari jauh—Jillian lebih baik mengambil jalan memutar. Sebesar itu kekesalan Jillian kepada Kin yang telah dengan sengaja—hanya demi nama baik keluarga—menyerahkannya kepada polisi. Jillian akhirnya mendongak menatap Kin nyalang. “Minggir lo!” serunya, mendorong dada Kin kasar. “Jill … gue minta maaf, denger gue dulu!” Kin mencengkram tangan Jillian yang tidak berhenti meronta. “Lo enggak ada kuliah lagi, kan? Gue mau ngomong sama lo … sebentar aja, gue mau jelasin sama lo.” “Udah jelas, enggak perlu lo jelasin lagi!” seru Jillian
Satu hari setelah Jillian mengetahui Kenzo membiayai pengobatan ibunya Amira. “Yang … duit jajan aku kok belum kamu transfer?” Jillian bertanya sambil mengangkat ponselnya ke udara memberitau bahwa baru saja ia mengecek saldo rekeningnya dan belum bertambah. “Lupa ya? Apa duitnya abis dipake bayar pengobatan ibunya tante Amira?” serobot Jillian padahal Kenzo sudah membuka mulutnya untuk memberi penjelasan. “Bukan begitu sayang, hari ini enggak tahu kenapa m-banking eror … aku coba transfer sekarang ya.” Kenzo mengeluarkan ponselnya dari saku celana, seharian ini selain sibuk, memang setelah berulang kali dicoba—Kenzo tidak bisa mengakses rekeningnya melalui m-banking. “Ga usah lah, urusin aja tuh ibunya tante Amira,” ujar Jillian sambil melengos keluar kamar. “Ya?” Kenzo melongo, kedua alisnya terangkat membuat kerutan di keningnya. Satu minggu setelah Jilli