“Pak Adolf … maaf, tadi Non Jill pergi ….” Pak Ujang melapor dengan napas tersengal menginterupsi perbincangan Adolf dengan salah satu kliennya.
“Jill,” gumam Adolf dengan raut wajah cemas.Jadi ingat jika ia datang ke sini bersama sang putri, Adolf terlalu asyik berbincang dengan pak Wijaya-kliennya yang tidak sengaja bertemu di resto ini.“Tadi … Non Jill pergi meninggalkan resto ini, Pak … maaf Pak, saya enggak bisa ngejar.”“Pak Adolf, sebaiknya kita sambung pembicaraan kita nanti … sepertinya ada hal yang lebih penting yang membutuhkan perhatian Anda.”Pak Wijaya mengerti, ia pun harus kembali ke meja di mana keluarganya berada.“Baik, Pak Wijaya … sampai bertemu hari Senin di kantor.”Pak Wijaya akhirnya meninggalkan meja Adolf sehingga daddynya Jill bisa fokus kembali pada putrinya.“Jill pergi menggunakan apa?” Adolf bertanya kepada Pak Ujang.“Naik mobil, Pak … tapi enggak tahu mobil punya siapa.”Pak Ujang merasa bersalah karena tidak bisa menahan Jillian.Adolf mengembuskan napas gusar, diraihnya ponsel untuk mengabarkan pembatalan pertemuan dengan Kenzo.Kedua alisnya terangkat melihat ada satu pesan dari Kenzo, lantas membacanya.Kenzo : Pak Adolf, Jillian bersama saya. Ceritanya lucu dan menarik kenapa dia bisa bersama saya, akan saya ceritakan hari senin di kantor Pak Adolf dan saya pastikan dia sampai ke rumah dengan selamat.Adolf terkekeh membuat Pak Ujang melongo bingung.“Duduk di sini, Jang … temani saya makan, saya lapar.”“Saya enggak berani, Pak.”“Duduk, Jang … jangan biarkan saya makan sendiri.”Dengan tanda tanya besar di benaknya karena belum mengerti kenapa sang tuan malah terkekeh lalu memintanya makan malam bersama dan bukannya mencari Jillian—mau tidak mau pak Ujang akhirnya duduk mengikuti perintah Adolf.Mungkin sambil makan malam beliau akan menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi.Di dalam mobil SUV Premium BMW X7 berwarna hitam yang dikemudikan sendiri oleh Kenzo—keheningan membentang cukup lama.Jillian melamun sambil menetralkan detak jantungnya yang berdetak kencang karena perpaduan emosi sedih, kecewa dan takut.“Hobby kamu itu masuk mobil orang yang enggak kamu kenal, ya?” celetuk Kenzo membawa Jillian kembali dari lamunan.Refleks gadis cantik yang masih berkeringat bercampur air hujan di pelipisnya itu menoleh.Jillian sudah menarik napas untuk menanggapi ucapan Kenzo namun ketika memperhatikan lebih jelas wajah pria tampan itu—ia kembali terdiam.Benaknya berpikir sejenak lalu ekspresi wajah Jillian berubah antusias.“Om yang waktu beberapa hari lalu ada di kantor Daddy ya? Aku salah masuk mobil Om waktu itu.”Kenzo mengangguk dengan pandangannya fokus ke depan, ekspresinya datar tanpa senyum.“Maaf Om, enggak sengaja.”“Enggak sengaja, atau memang takdir?” gumam Kenzo yang masih bisa Jillian dengar.“Heu? Maksudnya?” Jillian belum mengerti.Kenzo menggelengkan kepalanya samar menghasilkan decakan sebal Jillian.“Turunin aku di depan aja, Om ….”“Kamu mau pulang naik apa?” Barulah Kenzo menoleh sekilas.“Taxi.”Kenzo tidak menanggapi juga tidak menghentikan laju kendaraannya.“Om … berhenti di depan!” Jillian berseru setengah panik, mulai khawatir dengan keselamatannya.“Kamu sudah mengacaukan rencana makan malam saya, sekarang kamu harus temani saya makan malam.”Jillian mengerjap, raut was-was masih tercetak di wajah cantiknya.“O-Om … kenal daddy aku, kan?” tanya Jillian terbata.Matanya memicing seakan mengancam Kenzo jika berani macam-macam maka akan berhadapan dengan daddynya.Kenzo menganggukan kepala sebagai jawaban.“Om … kliennya Daddy ya?”Kenzo menganggukan kepalanya lagi.Jillian mengembuskan napas lega. “Jangan kasih tahu daddy kalau aku lagi sama Om, ya … please.”Seringai terbit di sudut bibir Kenzo memberi kesan misterius di wajah tampannya.“Kenapa?”“Aku enggak mau dijodohin sama pria tua klien daddy ….”Tanpa segan Jillian curhat, was-wasnya lenyap setelah mengetahui pria yang di sampingnya adalah klien dari sang daddy.“Kenapa enggak mau?”“Dia udah tua Om, aku kenal sama om Wijaya … aku juga kenal anaknya yang seumuran sama aku, aku tahu Om Wijaya duda tapi ya masa daddy mau jodohin aku sama dia.”Jillian mengesah frustrasi menendang-nendang kakinya kesal.“Waktu aku keluar dari toilet, aku liat daddy lagi ngobrol sama om Wijaya … aku enggak nyangka daddy jahat banget mau jual aku,” sambung Jillian bersedih.Kenzo tersenyum di dalam hati, sekarang ia mengerti jika telah terjadi kesalah pahaman.“Pak Adolf sayang sama kamu.”Jillian menoleh dramatis. “Enggak, daddy mau nyingkirin aku.”“Kita sampai, temani saya makan malam … kamu harus tanggung jawab,” kata Kenzo tidak menanggapi celotehan Jillian.“Iyaaa,” sahut Jillian memanjangkan kata membalas keketusan Kenzo.Dari pada pulang dan sudah dipastikan sang daddy juga ada di rumah dan akan mencecarnya—sebaiknya Jillian menemani makan malam pria yang telah menolongnya.Jillian turun dari mobil menyusul Kenzo yang tengah memberikan kunci mobil kepada petugas valet.“Tapi Om janji jangan kasih tahu daddy kalau sekarang aku lagi sama Om.”Percuma saja ia kabur jika Kenzo memberitau daddynya dan Pak Ujang menjemput.“Maaf Jil, aku sudah memberitau daddy kamu supaya beliau enggak khawatir.” Batin Kenzo yang menjawab.“Om, jawab dulu!!” seru Jillian yang telah menghentikan langkah menuntut kesanggupan Kenzo.“Iya,” balas Kenzo penuh penekanan, pria itu sempat menoleh kemudian melanjutkan langkahnya“Nama Om siapa?” Jillian bertanya sambil menyamakan langkah lebar Kenzo.Pria itu memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana.Cara jalannya gagah ditunjang postur tubuh tinggi nan tegap.“Kenzo.” Pria itu membalas cepat.Jillian mengerutkan keningnya berpikir, jika tidak salah—beberapa kali ia mendengar nama itu keluar dari mulut daddynya.Berarti memang benar pria dengan tubuh tinggi menjulang dan pundak seluas samudra itu adalah klien daddynya.Sesungguhnya Jillian memang lapar, ia juga belum sempat makan malam tadi.Kenzo memberikan buku menu kepada Jillian yang langsung diterimanya.Kenzo mengawasi setiap gerak-gerik Jillian, bagaimana kening gadis itu mengerut saat berpikir menu apa yang akan dimakannya malam ini.Dan saat bibir keriting sensual Jillian tiba-tiba mengerucut, tanpa sadar Kenzo menelan saliva.Lalu pandangan Kenzo beralih pada hidung Jillian yang lancip dan netra coklat yang sama dengan netranya.Jillian memang cantik dari segi wajah dan siapa sangka jika Jillian masih SMA atau lebih tepatnya akan lulus SMA karena body Jillian sudah terbentuk sempurna seperti wanita dewasa.Kenzo bisa menilai dari dua gundukan yang menyembul di dada Jillian mengintip dari balik kerah dressnya yang rendah juga bokong yang besar sehingga pada saat gadis itu duduk menopang satu kakinya di atas kaki yang lain maka bulatan bokong sexy itu semakin tercipta melekat sempurna di mini dress bodycon yang dikenakannya.“Om … mau pesen apa?” panggil Jillian, nyaris Kenzo terhenyak tapi ia menyamarkan dengan berdekhem dan mengalihkan tatapan pada si pelayan lalu menyebutkan menu makan malam pesanannya.Ia sudah hapal dengan menu di resto yang menjadi langganannya dalam menjamu klien.Entah sejak kapan Jillian selesai membacakan menu pada si pelayan, Kenzo terlalu larut mengagumi fisik Jillian.“Udah lama Om jadi kliennya, Daddy?” Jillian bertanya tidak serius hanya untuk membunuh hening karena Kenzo diam saja duduk tenang di kursinya.“Baru tiga tahun terakhir tapi saya kenal Pak Adolf semenjak saya menjadi pegawai rendahan di perusahaan yang sekarang saya pimpin,” jawab Kenzo serius.“Wuiiii, hebaaat.”Jillian tidak sesungguhnya takjub, ia hanya mengikuti alur pembicaraan mereka saja.“Jadi, selain kamu enggak mau dijodohin sama pria tua … apa lagi alasan kamu menolak perjodohan?”Kenzo sedang mencari tahu karakter asli Jillian.“Aku baru mau lulus SMA … masih mau seneng-seneng sama teman-teman, party, clubbing, vacation … pokoknya aku mau nikah setelah puas menikmati hidup.”Sekarang Jillian serius dengan ucapannya.“Memangnya kalau menikah, kenikmatan hidup kamu akan berkurang?”Jillian terpekur, menggigit bibir bagian bawah tampak berpikir.“Kayanya sih begitu.”Jillian masih SMA, ia tidak mengerti dengan apa yang ditanyakan Kenzo.Yang ia tahu adalah ketika menikah, seorang wanita akan diam di rumah mengurus rumah tangga, anak dan suaminya seperti mendiang mommy.Seorang pelayan datang mengantarkan minuman lalu pergi setelah Kenzo mengucapkan terimakasih.“Aku juga punya pacar, dia photographer berbakat … tapi daddy enggak suka hanya karena dia lulusan SMA dan sering minjem duit aku … yang namanya hubungan itu ‘kan harus saling membantu, ya ‘kan Om?”Kenzo mengalihkan pandangannya dari wajah cantik Jillian bersama dengan dengkusan samar.Ternyata gadis yang sering membuat jantung Adolf Guzman anfal ini begitu polos dan mudah dimanfaatkan.“Om udah nikah?” Jillian bertanya lagi karena sesungguhnya ia benci diam saja jika bersama orang yang baru ia kenal, hanya akan membuat suasana canggung bukan?Kenzo menggelengkan kepalanya lemah.“Umur Om berapa?”Jadi, selain menyebalkan ternyata Jillian juga cerewet.Kenzo mengetahui satu kepribadian Jillian lagi setelah kepolosan dan yang ada di otaknya hanya bersenang-senang saja.“Tiga puluh satu tahun.”“Tuh, Om saja yang sudah tua gini belum nikah … masa aku yang sembilan belas tahun disuruh nikah?”Jillian jadi memiliki alasan kuat untuk menolak perjodohan daddynya.“Apa dia bilang? Gue udah tua?” Dalam hati Kenzo menggeram tidak terima.Tapi mendengar usia Jillian yang masih sembilan belas tahun membuat Kenzo tercenung.Apakah dirinya akan menjadi pedophil jika menyetubuhi Jillian setelah mereka menikah nanti?Mata Kenzo tidak sengaja melihat gundukan yang menyembul itu lagi.“Mana ada anak kecil, montok kaya dia.” Batin Kenzo menilai.***“Om tahu rumah aku?”Jillian baru tersadar setelah lama melamun dalam perjalanan pulang, mencari cara untuk kabur dari rumah jika Adolf memaksa menjodohkannya dengan pak Wijaya.“Saya ‘kan klien daddy kamu.” Kenzo menjawab seraya menghempaskan napas kasar.Pria itu tampaknya lelah menanggapi Jillian yang berisik dan kenapa juga banyak sekali pertanyaan yang ada di benak gadis itu.Anak kecil bukannya memang memiliki rasa ingin tahu yang besar?Kenzo memarkirkan mobilnya tepat di depan pintu masuk utama.Pria itu turun bermaksud pamit kepada pak Adolf.Pintu ganda yang menghubungkan area luar dan dalam terbuka memunculkan sosok Adolf yang tersenyum sumringah.“Kenzo,” sapa Adolf.“Pak Adolf, sesuai janji … saya antar Jillian sampai rumah.”Kening Jillian berkerut mendengar kalimat Kenzo, matanya menatap tidak suka yang menghasilkan kerutan samar di antara alis.“Terimakasih Kenzo, bagaimana makan malamnya?”Anehnya, Adolf tampak senang dan malah menanyakan perihal makan malam mereka.Bukannya semestinya Adolf memarahi Jillian karena kabur saat acara perjodohan?“Berjalan dengan lancar, Pak.” Kenzo yang menjawab dengan lugas.Jillian bisa saja langsung pergi karena rasa kecewa dan sakit hati terhadap sang daddy yang menjodohkannya dengan pria tua tapi entah kenapa ia merasa ada kejanggalan yang harus di cari tahu.“Daddy mau memperkenalkan kamu sama Kenzo tapi kamu malah nyamperin Kenzo duluan.”Pernyataan Adolf yang diakhiri tawa renyah itu menjawab tanda tanya besar di benak Jillian.Saat makan malam ia mendengar cerita dari pak Ujang jika Jillian sepertinya akan kabur lalu malah masuk ke dalam mobil Kenzo-pria yang dijodohkan dengannya.Adolf tidak bisa menunggu sampai hari Senin untuk mengetahui bagaimana cerita makan malam putrinya dengan Kenzo.“A-apa?” Jillian terbata tidak percaya.Jillian menatap Adolf dan Kenzo secara bergantian, jadi si Om tampan yang ia pikir berpihak padanya itu ternyata bersekongkol dengan daddynya?Pantas saja pria itu bersedia mengikuti keinginan Jillian untuk membawanya pergi dari sana.Dan kenapa juga Jillian tidak berpikir kedatangan Kenzo ke restoran itu sendirian pasti untuk bertemu dengan seseorang.Padahal clue bahwa Kenzo adalah klien sang daddy dan belum menikah sudah Kenzo utarakan ketika makan malam.Semestinya ia bisa menebak jika Kenzo adalah klien yang dimaksud Adolf.Tapi kenapa juga Kenzo tidak menceritakan yang sebenarnya padahal mereka duduk berdua saling berhadapan selama beberapa jam.Jillian tidak bisa berkata-kata, entah kenapa ada rasa lega membebaskan dadanya yang sesak mengetahui jika sang daddy tidak jahat dengan menjodohkannya dengan pria yang benar-benar tua seperti pak Wijaya.Setidaknya Kenzo lajang dan tampan meski umur mereka terpaut dua belas tahun.Walau begitu, Jillian tidak sudi menikah dengan Kenzo.Adolf-pria pemilik DNA yang sama dengannya saja tidak mencintainya dan sering mengabaikannya.Jadi, alasan apa yang bisa membuat Kenzo-pria yang baru ia kenal mau mencintai Jillian setelah mereka menikah nanti?“Selamat malam.” Jillian masuk ke dalam rumah begitu saja dengan tampang kesal tanpa bersedia menanggapi ucapan Adolf atau berbasa-basi kepada Kenzo.Langkahnya setengah berlari menaiki anak tangga menghasilkan bunyi hentakan heels di lantai marmer.“Saya enggak bisa bayangkan lucunya pertemuan kalian tadi,” kata Adolf seraya merangkul pundak Kenzo dan membawanya duduk di kursi teras.“Sejujurnya saya hampir nabrak Jill, Pak … terus waktu driver Pak Adolf lari menghampiri Jill … Jill langsung masuk ke mobil saya dan meminta saya membawanya pergi.”Adolf tertawa hingga terbahak, punggungnya terdorong bersandar pada sandaran kursi.“Katanya saat keluar dari toilet, dia melihat Pak Adolf berbincang dengan pak Wijaya jadi Jill pikir Pak Adolf akan menjodohkannya dengan pak Wijaya.”Tawa Adolf yang perlahan mereda kembali mengudara mendengar penjelasan Kenzo.Putrinya salah paham tapi lucunya kesalah pahaman itu mengantarkan Jillian pada Kenzo.“Lalu bagaimana menurut kamu, Kenzo?”Kenzo menipiskan bibir. “Sepertinya perjodohan bukan cara yang tepat untuk membuat Jill menjadi anak baik dan penurut seperti dulu … dia justru akan menjadi-jadi, Pak … buktinya saja dia berpikir untuk kabur.”Kenzo mengemukakan pendapatnya.Hembusan napas terdengar berat keluar dari mulut Adolf. “Saya enggak punya cara lain, Ken … saya harus mencari orang yang bisa menjaga Jillian.”Pandangan Adolf tampak sendu menatap taman di halaman depan rumahnya yang luas.Wajah pria tua itu terlihat pucat dan tubuhnya lemah, Kenzo bisa melihat Adolf sekuat tenaga menutupi kondisinya.“Menurut kamu Kenzo itu gimana?” Adolf Guzman bertanya pada putrinya yang diam saja selama sarapan pagi. “Enggak gimana-gimana,” sahut Jillian malas. “Jadi ….” Adolf Guzman menjeda dan Jillian tidak berminat baik menyelesaikan sarapannya maupun mendengar pernyataan kelanjutan sang daddy. Jillian beranjak dari kursi makan. “Jill pergi, Dad.” “Jil,” panggil Adolf Guzman menghentikan pergerakan Jillian yang tengah berjalan menjauh. Jillian menunggu tanpa bersedia membalikan badannya. “Mau ya Jill … menikah dengan Kenzo … dia pria baik, Jill … dia bertanggung jawab dan—“ “Dad!!” Jillian membalikkan badannya. “Daddy enggak liat baju apa yang dipakai Jill? Ini seragam SMA, Dad!” Jillian mencubit kemeja sekolahnya di bagian kerah. “Umur Jillian masih belasan, Daddy itu dimana sih pikirannya? Jillian enggak mau nikah sama siapapun sekarang, Dad ….” Jillian per
“Pak … ada telepon dari kepala sekolahnya Jill.” Amira memberitau melalui sambungan interkom disambut embusan napas panjang Adolf Guzman. “Sambungkan, Mir.” Suara lemah itu memerintah. “Baik Pak.” Setelah nada tunggu maka tersambung lah Adolf Guzman dengan kepala sekolah Jillian yang memintanya datang ke sekolah sekarang juga. Memaksakan diri, dengan tubuhnya yang lemah—Adolf Guzman pergi ke sekolah Jillian. Turun dari mobil, Adolf Guzman melangkah gontai menuju ruang kepala sekolah. Ancaman kepala sekolah yang mengatakan jika Jillian tidak bisa lulus tahun ini karena pertengkaran dengan teman sekolahnya menjadi beban tersendiri bagi Adolf Guzman. Bukan beban tentang rasa malu karena anaknya tinggal kelas tapi justru khawatir akan merusak mental Jillian. Putrinya akan bersedih dan rendah diri juga mungkin harus menanggung malu karena teman-temannya yang lain melanjutkan ke jen
“Maaf Jill, Daddy kamu enggak bisa saya selamatkan.” Jillian tidak bertanya lebih jauh tentang maksud dari pernyataan dokter Agung barusan. Langsung memutus sambungan telepon dan pergi ke rumah sakit kepercayaan daddy di mana dokter Agung berpraktik di sana. Mengabaikan pertanyaan Rangga apa yang terjadi ketika ia bergegas memakai kembali pakaiannya dengan linangan air mata. Jillian harus memastikan sendiri apa yang terjadi dengan daddy. “Jill, aku antar.” Rangga menarik tangan Jillian ketika Jillian dengan tampang linglung beranjak dari ruang televisi. Jillian hanya menganggukan kepala lalu melanjutkan langkahnya menuju pintu keluar. “Jill, tunggu!” Rangga yang tengah memakai kaosnya berseru sambil menyusul Jillian. “Ada apa sebenarnya? Telepon dari siapa tadi?” Rangga mengulang pertanyaannya dengan napas tersengal karena berlari menyusul Jillian. Keduanya sudah berada di dalam lift menuju bassement di mana mobil Rangga terparkir. “Daddy ….” Suara Jillian tercekat. “Yang te
“Kamu pacarnya?” Kenzo bertanya dengan raut dan nada yang sama datarnya.Pria itu melangkah mendekati Rangga. “Iya.” Rangga menjawab cepat, ia tidak punya waktu untuk berpikir. “Kamu enggak usah ke sini lagi, tinggalkan Jillian!” Nada rendah yang terlontar itu sarat akan penekanan dan ancaman. Rangga pikir pria ini berbeda, tapi nyatanya sama dan Rangga tidak gentar sedikitpun. “Kenapa saya harus mengikuti permintaan Anda?” Rangga menghadapkan tubuhnya pada Kenzo lalu mengangkat dagu menantang pria itu. “Pria macam apa yang meninggalkan kekasihnya di saat terburuk?” Dingin dan tersirat ledekan dalam kalimat tersebut. “Saya terikat kontrak, saya harus kerja … untuk menjadi sukses banyak yang harus saya korbankan, Jillian pasti mengerti.” Kenzo menganggukan kepalanya setuju, kembali melangkah mendekat dengan satu tangan yang ia sembunyikan di saku celana.
Jillian sudah membaca pesan Rangga, ia mengerti jika Rangga harus kerja. Terpaksa mengerti sebenarnya. Ternyata Rangga memilih bekerja dibanding menemaninya, lalu apa bedanya dengan Daddy? Jillian menyibak selimut yang membalut tubuhnya, menurunkan kaki untuk membasuh wajah yang matanya sembab. Tadi ponselnya berdering tidak henti memunculkan banyak pop up notifikasi pesan. Pasti dari ketiga sahabat Jillian. Keluar dari kamar mandi, Jillian mencari ponselnya yang ia letakkan di atas nakas. Benar saja, ketika Jillian membuka aplikasi pesan banyak pesan masuk dari ketiga sahabatnya mengucapkan bela sungkawa termasuk para guru dan kepala sekolah. Mereka mengatakan akan datang selepas pembelajaran selesai. Jillian menarik handle pintu kamar, tenggorokannya terasa haus setelah tadi menangis lalu pingsan. Ia terlonjak ketika menemukan Kenzo duduk di sofa yang berada di depan kamarnya.
Di ruang makan, Jillian dan Rangga tidak makan yang sebenarnya. Jillian duduk di atas pangkuan Rangga dengan posisi menyamping, kedua tangannya memeluk leher Rangga membuat pria itu kesulitan menyuapkan makanan padahal ia belum makan sedari siang. “Kamu kenapa lama banget datangnya.” Jillian merengek di ceruk leher Rangga. “Tadi abis pemotretan aku ada meeting, bahas konsep dan tema untuk project yang baru … kamu sudah makan?” Rangga menjelaskan diakhiri pertanyaan agar Jillian bisa melepaskannya sebentar untuk menyantap makan malam. Tapi sang kekasih yang tengah berduka enggan pergi dari atas pangkuannya. Rangga mengusap punggung Jillian lembut sambil mengunyah makan malam yang sempat masuk ke mulut. “Aku enggak selera.” Jillian menyahut lemah, wajahnya masih terbenam di leher Rangga. Bagi Jillian, leher Rangga adalah tempat bersembunyi paling nyaman saat ini. Sembunyi dari r
“Masuk Jill, Ibu mau menyampaikan sesuatu … di depan wali kamu.” Sekarang kening Jillian mengkerut semakin dalam. Sejak kapan Kenzo menjadi walinya? Tapi tak ayal, kakinya ia langkahkan juga masuk lebih jauh ke ruangan bu Eva. Perlahan kaki Jillian melangkah sambil memberikan sorot mata penuh tanya—Jillian menatap Kenzo. Tapi Kenzo hanya diam begitu tenang dengan punggung tegapnya yang tegak, ekspresi pria itu datar tapi tidak dingin. “Jadi, barusan Ibu sudah bicara sama pak Kenzo-wali kamu meny—“ “Sejak kapan Om jadi wali aku?” Jillian menyela ucapan Bu Eva. Tidak bisa untuk tidak bertanya, bila perlu berdebat dengan Kenzo meski dihadapan bu Eva. Karena ia harus tahu kenapa Kenzo bisa menggantikan peran daddynya. “Sekarang wali kamu itu pak Yuda, Irma dan saya … mendiang pak Adolf membuat surat wasiat yang meminta kami untuk menjadi wali kamu … Amira sibuk menangani perusahaa
“Pak Yuda harus segera mengumumkan isi wasiat pak Adolf, harus ada pengganti pak Adolf … jika tidak, nanti keputusan akan diambil alih pemegang saham.” Amira mendesak Yuda untuk membacakan isi wasiat tersebut karena dari informasi yang diberikan Yuda padanya—jika di dalam wasiat itu Adolf Guzman menunjuk seseorang untuk menggantikan beliau. Yuda terlihat gamang, ia yang sudah mengetahui betul tentang isi wasiat kesulitan mengambil keputusan. “Apa tidak ada cara untuk mengulur waktu? Seharusnya wasiat ini diumumkan setelah Jill lulus SMA … sepertinya pak Adolf tidak mengira beliau akan pergi secepat ini.” Yuda menundukkan pandangan, menyembunyikan rasa kehilangan yang menekan dada semenjak kepergian Adolf Guzman-klien sekaligus sahabatnya. “Saya hanya sekertaris, Pak … saya tidak bisa melakukan apapun … tapi jika Pak Yuda bersedia mencoba untuk membuat para pemegang saham mengerti dan mau menunggu—saya akan jadwalkan p
“Mommy …,” panggil gadis kecil yang kini telah berusia empat tahun. Gadis kecil itu duduk membelakangi Jillian karena rambutnya sedang diikat pony tail sesuai permintaan sang gadis. “Yess Love?” Jillian menyahut. “Apa Cantik boleh memiliki adik lagi?” Jillian menaikkan kedua alisnya lalu mengerjap pelan. “Pasti Daddy yang meminta Cantik mengatakan itu sama Mommy, kan?” Jillian menjauhkan tangannya dari kepala Cantik, ia selesai mengikat rambut ikal gadis kecil yang cerewet itu. Cantik membalikan badan lalu tersenyum lebar. “Kata Daddy, Cantik bisa main Barbie sama adik Cantik yang baru.” Jillian tertawa sumbang, tangannya terulur merapihkan poni Cantik. “Adik Rae enggak mau main boneka, maunya main mobil sama kereta.” Cantik mengerucutkan bibir. Cassius Rae Maverick-adiknya
Awalnya Callista berpikir kalau Caffe yang dibangun Jillian tidak akan bertahan lama karena ia begitu paham Jillian dengan segala sikap manjanya akan bosan apalagi ia yakin kalau Caffe itu dibangun hanya untuk membalas dendam kepadanya. Tapi nyatanya dua tahun berlalu dan Jillian tampak serius menjalankan Caffe itu, setiap hari pulang dari kampus mobil Jillian terlihat di pelataran Caffe hingga malam suaminya menjemput. Dan yang membuat Callista kesal adalah Caffe Jillian tidak pernah sepi pengunjung. Selalu saja pelataran parkir di depan Caffe itu penuh malah Jillian menyewa satu lahan sepanjang tahun untuk parkiran karena hari Sabtu atau minggu Caffe Jillian akan membudak dengan pengunjung. Padahal yang Callista tahu kalau menu di sana dibandrol cukup mahal. Pintarnya Jillian, ia sengaja membuat Caffenya eksclusive dengan sasaran kalangan atas tapi justru kalangan menengah dan mungkin ka
Jillian belum pernah merasa secemas ini dalam hidupnya. Ia khawatir launching Caffe-nya tidak berjalan lancar meski sudah menyewa EO dan mempersiapkan semuanya sesempurna mungkin. “Sayang, udah siap?” Kenzo melongokan kepala ke dalam walk in closet. Pria itu lantas masuk sambil mengembangkan senyum menawannya melihat Jillian yang tampak cemas berdiri di depan cermin seukuran tinggi Jillian. “Kamu gugup ya?” Kenzo berdiri di depan Jillian, kedua tangannya menggenggam tangan Jillian yang terasa dingin. Jillian meringis seraya mengangguk. “Aku khawatir ada masalah … Callista berulah misalnya.” “Kita enggak akan pernah tahu, tapi aku udah berusaha antisipasi semua faktor kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi.” “Kamu selalu prepare banget kaya gini ya?” “Aku selalu merencanakan semuanya dengan matang.” Kenzo membingkai sisi wajah Jil
“Oke … nanti karangan bunga diletakan di dinding depan sebelah kiri dan tolong geser pot besar yang di depan itu … kayanya menghalangi pemandangan dari sudut bagian kanan,” titah Jillian kepada seorang pria pegawainya. “Baik, Bu!” Pria itu pergi untuk melakukan perintah Jillian. Jillian melangkah cepat menuju kitchen. “Pak Ronald, semua bahan sudah oke? Berapa porsi dari setiap menu yang bisa kita sediakan?” Jillian bertanya kepada kokinya. “Bahan aman Bu, bisa sampai lima puluh porsi dari setiap menu … ibu mau cek lemari pendingin kita?” “Enggak perlu, Pak … saya percayakan sama Bapak ya!” “Siap Bu.” Jillian lantas pergi menuju bar tempat baristanya meracik kopi. “Mas Raka bagaimana bahan-bahannya? Pak Ronald sudah oke di lima puluh porsi dari setiap menu ….” Raut cemas di wajah Jillian membuat Raka tersenyum. “Ten
“Pak Adam boleh kok kalau mau cium Cantik.” Awalnya Adam Askandar tampak ragu tapi kemudian menunduk untuk mengecup kepala Cantik. Bahunya mulai bergetar menahan isak tangis yang sedari tadi ia tahan hingga menyesakan dada. Sang asisten segera memegangi Adam Askandar sementara Augusta Maverick dan ayahnya Bima menghampiri Adam Askandar bermaksud menenangkan. Mereka berdua membawa Adam Askandar ke meja yang telah disediakan. Tatapan sendu Jillian selama beberapa saat memaku Kenzo. Pria itu bergerak mendekat untuk mengecup kening Jillian. “Jangan mikir yang enggak-enggak,” kata Kenzo mengingatkan. “Kamu kira aku lagi mikirin apa?” Jillian mengerucutkan bibirnya. “Tiara.” Jillian mengembuskan napasnya karena jawaban Kenzo benar. “Memangnya kamu udah enggak mikirin dia?”
Jillian melongo takjub dengan rahang sedikit terbuka, luar biasa terpukau semenjak mobil yang dikemudikan driver memasuki gerbang depan rumahnya. Rumah yang disiapkan Kenzo untuknya sebelum mereka membatalkan perjanjian perceraian. Dan sekarang, setelah dilakukan beberapa renovasi kecil dan pengisian furniture yang memakan biaya besar—Jillian ingin menempatinya bersama Kenzo dan si Cantik. “Rumah ini aku banget,” gumam Jillian yang baru saja melangkah memasuki pintu utama. “Kamu suka?” Kenzo yang tengah menggendong si Cantik bertanya dari belakang punggung Jillian. Jillian memutar tubuhnya, melangkah sekali untuk mengikis jarak dengan Kenzo. “Aku suka … sangat suka! Rumah ini pasti mahal banget ya?” Terlihat pendar haru di netra Jillian yang berwarna coklat. Sang suami yang kelewat tampan dan sabar itu memberikan senyumnya. “Buat kamu, enggak ada ya
“Daddy pulaaaang!” seru Jillian yang tengah menggendong si Cantik melangkah mendekati pintu lift yang terbuka menampilkan sosok pria tampan pujaan hatinya. Kenzo menjatuhkan tasnya lalu merentangkan kedua tangan setelah keluar dari lift dan kini Jillian beserta si Cantik berada dalam pelukannya. “Kalian wangi sekali,” kata Kenzo yang telah puas mendaratkan banyak kecupan di wajah Jillian dan si Cantik. “Iya donk, tadi mommy sama Cantik mandi bareng … aku udah bisa mandiin si Cantik lho, Yang.” Jillian begitu bahagia ketika menceritakan prestasi sebagai Ibu yang akhirnya bisa memandikan sang buah hati meski sudah terlambat dua bulan lamanya. “Waaaw, hebat!” Kenzo memuji, memberikan hadiah kecupan lagi di bibir Jillian. “Aku mandi dulu ya,” kata Kenzo yang merasa tidak nyaman dengan tubuhnya yang lengket karena seharian berada di proyek. Kenzo bergegas
“Mau sampai kapan lo ngehindarin gue terus?” Kin berdiri tepat di depan Jillian menghalangi langkah wanita itu yang selama beberapa minggu semenjak kembali berkuliah selalu menghindarinya. Jillian akan menundukkan kepala bila harus terpaksa berpapasan dengan Kin lalu berjalan cepat agar cowok itu tidak bisa menyusul atau bila sudah melihat Kin dari jauh—Jillian lebih baik mengambil jalan memutar. Sebesar itu kekesalan Jillian kepada Kin yang telah dengan sengaja—hanya demi nama baik keluarga—menyerahkannya kepada polisi. Jillian akhirnya mendongak menatap Kin nyalang. “Minggir lo!” serunya, mendorong dada Kin kasar. “Jill … gue minta maaf, denger gue dulu!” Kin mencengkram tangan Jillian yang tidak berhenti meronta. “Lo enggak ada kuliah lagi, kan? Gue mau ngomong sama lo … sebentar aja, gue mau jelasin sama lo.” “Udah jelas, enggak perlu lo jelasin lagi!” seru Jillian
Satu hari setelah Jillian mengetahui Kenzo membiayai pengobatan ibunya Amira. “Yang … duit jajan aku kok belum kamu transfer?” Jillian bertanya sambil mengangkat ponselnya ke udara memberitau bahwa baru saja ia mengecek saldo rekeningnya dan belum bertambah. “Lupa ya? Apa duitnya abis dipake bayar pengobatan ibunya tante Amira?” serobot Jillian padahal Kenzo sudah membuka mulutnya untuk memberi penjelasan. “Bukan begitu sayang, hari ini enggak tahu kenapa m-banking eror … aku coba transfer sekarang ya.” Kenzo mengeluarkan ponselnya dari saku celana, seharian ini selain sibuk, memang setelah berulang kali dicoba—Kenzo tidak bisa mengakses rekeningnya melalui m-banking. “Ga usah lah, urusin aja tuh ibunya tante Amira,” ujar Jillian sambil melengos keluar kamar. “Ya?” Kenzo melongo, kedua alisnya terangkat membuat kerutan di keningnya. Satu minggu setelah Jilli