“Masuk Jill, Ibu mau menyampaikan sesuatu … di depan wali kamu.”
Sekarang kening Jillian mengkerut semakin dalam. Sejak kapan Kenzo menjadi walinya?Tapi tak ayal, kakinya ia langkahkan juga masuk lebih jauh ke ruangan bu Eva.Perlahan kaki Jillian melangkah sambil memberikan sorot mata penuh tanya—Jillian menatap Kenzo.Tapi Kenzo hanya diam begitu tenang dengan punggung tegapnya yang tegak, ekspresi pria itu datar tapi tidak dingin.“Jadi, barusan Ibu sudah bicara sama pak Kenzo-wali kamu meny—““Sejak kapan Om jadi wali aku?” Jillian menyela ucapan Bu Eva.Tidak bisa untuk tidak bertanya, bila perlu berdebat dengan Kenzo meski dihadapan bu Eva.Karena ia harus tahu kenapa Kenzo bisa menggantikan peran daddynya.“Sekarang wali kamu itu pak Yuda, Irma dan saya … mendiang pak Adolf membuat surat wasiat yang meminta kami untuk menjadi wali kamu … Amira sibuk menangani perusahaan sementara ini dan pak Yuda sedang ada sidang, mau enggak mau saya yang harus ke sini memenuhi panggilan sekolah.” Kenzo menjelaskan apa yang disampaikan Yuda ketika memintanya untuk datang memenuhi panggilan sekolah Jillian.Jillian tidak bisa mendebat karena jika menyangkut wasiat berarti itu sudah menjadi ketetapan daddynya.Pandangannya ia alihkan kepada bu Eva setelah sebelumnya mendelik sebal pada Kenzo.Semenjak mengetahui jika daddy menjodohkannya dengan Kenzo—Jillian jadi membenci Kenzo.Ia sendiri tidak mengerti, padahal jika daddynya telah meninggal pasti perjodohan itu pun sudah tidak berlaku bukan?Bu Eva kembali melanjutkan maksud tujuannya memanggil Jillian dan mengundang wali Jillian ke sekolah untuk memberitau jika nilai ulangan harian Jillian sangat buruk sehingga Jillian harus banyak melakukan remedial untuk syarat bisa mengikuti Ujian Akhir Sekolah.Jillian menatap nanar wajah Eva, nilai hariannya saja buruk lalu bagaimana ia bisa lulus dalam Ujian Akhir Sekolah?Apakah bisa Jillian dengan otaknya yang pas-pas melewati semua ini?Jillian jadi menyesal tidak belajar dengan sungguh-sungguh di masa lalu.Bu Eva memberi ultimatum agar Jillian giat belajar untuk mengejar ketinggalannya.Beliau juga meminta Kenzo untuk mengawasi Jillian belajar di rumah.Kenapa hidup Kenzo jadi repot seperti ini?Belum menikah tapi sudah harus mengurus seorang anak, memperhatikan belajarnya agar lulus dalam ujian sekolah.Jillian dan Kenzo keluar dari ruangan bu Eva setelah Jillian dan Kenzo menyanggupi semua yang diminta bu Eva mengenai remedial dari setiap pelajaran yang akan dilakukan bulan depan sebelum dilaksanakannya Ujian Akhir Sekolah.Sesungguhnya remedial itu dibuat untuk membuat Jillian belajar lebih keras menghadapi Ujian Akhir Sekolah dan nilainya nanti bisa menambah poin bilamana nilai Ujian Akhir Sekolah Jillian di bawah rata-rata.Tatapan Jillian kosong saat menapaki kakinya di sepanjang lorong diikuti Kenzo dari belakang.Hingga kini ia berada di pelataran parkir, tidak ada satu siswa pun yang ia lihat. Mereka semua sudah kembali ke rumah.Jillian baru ingat jika tadi mengirim pesan di grup meminta Izora dan Kirana untuk menunggunyaLangkah Jillian terhenti, merogoh ponsel dari dalam tas lalu ia membaca pesan yang di kirim Izora dan Kirana di dalam grup membalas pesannya yang menyebutkan jika mereka tidak bisa menemani Jillian karena memiliki urusan lain.Keduanya meminta maaf membuat senyum kecut Jillian tersungging di bibirnya.“Jill, ikut mobil saya … saya mau bicara.”Kalimat perintah itu membuat Jillian mendongak, keluar dari kubangan memprihatinkan tentang hubungan ia dan para sahabatnya.Kenzo membuka pintu mobil di bagian belakang mempersilahkan Jillian masuk.Jillian menatap Kenzo sesaat, netra coklat itu menyorotnya begitu dalam hingga mampu membuat Jillian terhipnotis dan melangkah mendekat mengikuti perintah Kenzo masuk ke dalam mobil pria itu tanpa protes maupun perdebatan.Kenzo menutup pintu setelah Jillian masuk, memutar setengah bagian mobil sambil memberi kode kepada pak Ujang jika Jillian akan ikut bersamanya.Kenzo masuk dari pintu lain dan duduk di samping Jillian di kabin belakang.Hening menyergap selama beberapa lama, Jillian sibuk memandang ke arah luar dengan tatapan kosong.Semenjak kepergian daddy—Jillian memang sering melamun bahkan senyumnya pun surut tidak pernah muncul lagi.Tanpa Jillian sadari, Kenzo mengawasinya dari samping.“Jill,” panggil Kenzo.Jillian mengerjap, belum mengalihkan tatapannya dari jendela—lalu menurunkan pandangan menatap jemarinya yang bertaut di atas paha.“Apa,” sahut Jillian ketus tapi dengan nada rendah.“Saya akan panggil guru les untuk kamu, setiap hari sepulang sekolah dia akan datang mengajari kamu semua mata pelajaran … saya rasa sebulan cukup untuk kamu mengejar ketinggalan itu.”“Terserah.” Jillian balas menjawab malas-malasan.“Saya, Amira dan pak Yuda yang akan mengawasi kamu mulai sekarang.”“Enggak usah! Aku benci Tante Amira, aku benci Om Kenzo.”Kejujuran itu diucapkan Jillian dengan nada biasa tanpa emosi.“Saya salah apa?” Kenzo bertanya, ada nada tidak terima terselip di sana.“Om tiba-tiba hadir begitu aja, awalnya mau dijodohin sama Jill terus sekarang jadi wali Jill … om Yuda cukup, Jill enggak butuh tante Amira sama om Kenzo.”“Kamu bilang sama daddy kamu, saya hanya menjalankan wasiatnya … saya menghormati daddy kamu.”Suasana kembali hening, air mata Jillian luruh. Selanjutnya, hanya isak tangis tertahan yang mendominasi selama sisa perjalanan pulang.Jillian merindukan daddynya, beliau selalu punya cara untuk membuatnya merasa dilindungi dan disayangi.Terbukti dari daddy mewasiatkan agar tiga orang yang bisa dipercaya untuk menjaga Jillian.Tapi sayangnya Jillian tidak menyukai dua diantaranya.Sesaat kemudian mobil yang dikemudikan driver tiba di halaman rumah Jillian.Jillian turun dari mobil Kenzo.“Jill!” seru Kenzo sedikit memberi penekanan.Langkah Jillian yang hendak masuk ke dalam rumah terhenti.“Saya enggak akan pulang sebelum kamu menyetujui rencana saya.”“Iya, ya udah … terserah!”Sesungguhnya Jillian telah menyetujui rencana Kenzo ketika pria itu mengatakannya karena memang ia membutuhkan bantuan guru les untuk bisa lulus dari sekolahnya.Tapi Jillian gengsi jika langsung menyetujui, ia tidak ingin tampak seperti gadis penurut di depan Kenzo.***“Jill, bu Salamah bilang kalau kamu belum makan malam.”Amira masuk ke dalam kamar Jillian. Si pemilik kamar sedang terbaring di atas ranjang dengan beberapa buku berserakan.Belajar adalah kegiatan yang paling Jillian benci tapi harus ia lakukan karena sang daddy sudah tidak ada untuk membuat dirinya lulus dengan bantuan uang.“Jill,” panggil Amira lagi dengan suara lembut.“Jill enggak laper, Tante Amira pulang aja.” Suara Jillian tercetus lemah tapi dingin.“Dan membiarkan Rangga menginap di sini lalu merusak kamu?” sindir Amira menebak isi kepala Jillian.“Memangnya apa peduli Tante?” Jillian menegakan tubuh menatap tidak suka pada wanita yang usianya sebaya dengan Kenzo.“Ya, harusnya Tante enggak usah peduliin kamu … kamu juga membenci Tante ‘kan? Tapi Tante terikat pesan dari daddy kamu yang katanya Tante harus menyayangi kamu dan melindungi kamu … jika bukan pak Adolf yang meminta, Tante enggak akan mau.”Amira menyimpan nampan berisi makan malam Jillian di atas meja belajar.“Mau enggak mau kamu harus menerima Tante ada di sekitar kamu sampai kamu benar-benar dewasa dan menemukan pria yang bertanggung jawab atas kamu … tapi bukan pria seperti Rangga,” sambung Amira masih mengomel.“Sekarang makan dan jangan tidur malem-malem, pak Kenzo bilang besok akan ada guru les yang datang jadi besok Tante sendiri yang akan jemput kamu sekolah.”Amira keluar dari kamar, tidak lupa menutup pintu kamar Jillian dengan lembut.“Kalau aja gue enggak ngeliat lo meluk daddy waktu itu, mungkin gue enggak akan sebenci ini sama lo.” Jillian menggeram sambil mencengkeram selimut erat.Matanya menatap ke arah pintu penuh kebencian.Beberapa hari setelah kepergian mommy, Jillian melihat daddynya berada di pelukan Amira begitu mesra.Kejadian itu ia lihat pagi hari, di ruang makan rumah ini.Entah apa yang sebenarnya mereka lakukan saat itu tapi meski di depannya, Jillian tidak melihat sikap aneh di antara mereka berdua bahkan kesan profesional yang selalu ditunjukkan tapi hati Jillian tidak pernah bisa mempercayai Amira, hingga detik ini.“Pak Yuda harus segera mengumumkan isi wasiat pak Adolf, harus ada pengganti pak Adolf … jika tidak, nanti keputusan akan diambil alih pemegang saham.” Amira mendesak Yuda untuk membacakan isi wasiat tersebut karena dari informasi yang diberikan Yuda padanya—jika di dalam wasiat itu Adolf Guzman menunjuk seseorang untuk menggantikan beliau. Yuda terlihat gamang, ia yang sudah mengetahui betul tentang isi wasiat kesulitan mengambil keputusan. “Apa tidak ada cara untuk mengulur waktu? Seharusnya wasiat ini diumumkan setelah Jill lulus SMA … sepertinya pak Adolf tidak mengira beliau akan pergi secepat ini.” Yuda menundukkan pandangan, menyembunyikan rasa kehilangan yang menekan dada semenjak kepergian Adolf Guzman-klien sekaligus sahabatnya. “Saya hanya sekertaris, Pak … saya tidak bisa melakukan apapun … tapi jika Pak Yuda bersedia mencoba untuk membuat para pemegang saham mengerti dan mau menunggu—saya akan jadwalkan p
“Rangga,” gumam Jillian yang raut wajahnya berubah senang. Jillian berlari keluar dari ruang kerja sang daddy, kaki mungilnya menapaki turun anak tangga menggunakan sendal rumah. Rangga berdiri di bawah tangga, tersenyum sambil merentangkan kedua tangannya mengundang Jillian ke dalam pelukan. Jillian melihat satu tangan Rangga menggenggam paperbag tapi Jillian mengabaikan itu, tubuh Rangga terlalu menggiurkan untuk dipeluk. Dari lantai dua, Kenzo melihat bagaimana cara Jillian memeluk Rangga, bagaimana gadis itu menatap Rangga dan tersenyum penuh suka cita melupakan semua beban kesedihan atas meninggalnya Adolf Guzman, melupakan kenyataan jika ia sebatang kara.Jillian selalu bahagia setiap kali bersama Rangga seolah-olah Rangga adalah kebahagiaannya di dunia ini. Kenzo masih mengawasi Jillian dan Rangga dari lantai dua dengan tatapan tak terbaca. “Aku bawa ice cream kesukaan kamu, kita makan di dekat kolam
Jillian menoleh ke arah pintu yang menghubungkan ke ruang televisi memastikan Yuda tidak menguping. Jillian bangkit lalu duduk di kursi yang sama dengan Kenzo membuat pria itu duduk menyerong agar bisa menatap Jillian. Berurusan dengan pemimpin perusahaan dan pria serius seperti Kenzo memang seperti ini, ia terbiasa menghargai lawan bicaranya. Namun, melihat gelagat Jillian yang aneh membuat Kenzo dalam mode waspada. “Om ….” Jillian memanggil Kenzo tapi tidak berani menatap matanya, menundukkan pandangan meski tubuh Jillian menghadap Kenzo dengan melipat satu kaki di atas sofa. Kenzo menaikkan satu alisnya, perubahan sikap Jillian ini membuatnya bingung. “Apa Om enggak bisa cari cara agar kita enggak perlu menikah tapi aku enggak masuk Panti Asuhan?” Jillian bertanya hati-hati. Sudah Kenzo duga sebelumnya jika gadis nakal di depannya ini berpikir untuk mengakali wasiat Adolf Guzman.
“Jillian enggak pernah naik motor, Pak … jadi gampang masuk angin,” ujar Bu Salamah sedikit sewot. Tangannya sibuk memeras handuk kecil yang direndam air dingin untuk mengompres kening Jillian. Meski dokter keluarga baru saja pulang setelah memeriksa Jillian dan memberikan resep obat yang sedang dibeli Pak Ujang—tapi Bu Salamah tetap melakukan cara tradisional untuk menurunkan demam Jillian.Yuda sudah membuka mulutnya namun urung ketika Kenzo langsung membuka suara membela diri. “Tadi dia buru-buru pulang karena guru lesnya sudah sampe sini, jadi saya ajak naik motor biar cepet … Pak Yuda juga ngapain nyuruh Jill ke kantor saya segala? Dia sempat nunggu beberapa lama karena saya ada meeting.” Yuda merotasi bola matanya malas. “Iya … saya yang salah.” “Jill, makan bubur dulu ya.” Amira datang membawa nampan berisi semangkuk bubur buatannya sendiri. “Enggak mau!” seru Jillian membalikkan tubuh menjadi
“Udah makan siang?” Suara berat itu bertanya. Jillian menganggukan kepala. “Obat kamu ketinggalan.” Kenzo mengeluarkan botol berisi kapsul obat-obatkan Jillian dari dalam saku jasnya. Jillian meraihnya tapi Kenzo menarik tangan kembali. Pria itu membuka tutup botol obat, mengeluarkan obat-obatan lalu memberikan kepada Jillian tanpa suara atau omelan karena Jillian melupakan obatnya di rumah. Setelah itu Kenzo memberikan botol air mineral baru yang ada di atas meja untuk Jillian. Padahal air mineral yang Bima kasih tadi belum habis, ada di nakas samping ranjang. “Kamu mau pulang atau mau lanjutin belajar?” Kenzo bertanya seraya melirik arlojinya. “Pulang aja,” jawab Jillian karena jam pelajarannya hanya tinggal lima belas menit lagi sebelum bel berbunyi membubarkan para siswa. Kenzo mengangguk setuju, ia menghubungi seseorang untuk membawakan tas Jillian dari kelasnya. “Butuh
Jillian duduk bersandar pada headboard yang dilapisi bantal, kakinya lurus berselonjor. Sementara Kenzo duduk di kursi meja belajar yang ditariknya hingga sisi ranjang. Kenzo datang sedikit larut karena ada pekerjaan yang menahannya di kantor. Tadinya berpikir langsung pulang dan esok baru datang ke sini tapi kadung janji, Kenzo tidak ingin Jillian kecewa. Meski sesungguhnya Jillian tidak peduli, ia sendiri sudah akan tidur ketika Kenzo datang tapi karena ada yang ingin dibicarakan dengan pria itu jadi kembali membuka matanya. “Kita bicara besok aja ya, kamu harus istirahat.” Andaikan otak Jillian waras—tidak dibutakan oleh cinta semu kepada Rangga—mungkin Jillian juga akan terharu karena sesungguhnya Kenzo begitu perhatian. “Besok hari Sabtu, aku bisa bangun siang.” Kenzo menipiskan bibirnya, tubuh pria itu sedikit membungkuk dengan kedua lengan yang bertumpu pada paha lalu menautkan jem
“Pak Kenzo, ngapain di sini?” Pertanyaan Yuda itu menarik paksa Kenzo dari serpihan hasratnya yang sedang berusaha ia tekan. Kenzo menyadari satu hal, Jillian mampu membuatnya berhasrat meski hanya sebatas sentuhan kecil. Kenzo berdekhem, mengulur waktu agar otaknya bisa mencari jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan Yuda. “Om, ayo donk … udah malem, Jill ngantuk!” Gadis itu sudah berada di teras, menyelamatkan Kenzo yang bingung harus menjawab apa karena terciduk sedang berada di lorong ini. “Ayo, Pak … kita perlu membahas sesuatu.” Kenzo menghela napas lega, mengikuti ajakan Yuda masuk ke dalam rumah, melewati ruang tamu dan kini mereka memasuki ruang tengah. Jillian duduk di single sofa, Kenzo dan Yuda duduk di sofa panjang dan Amira yang baru saja datang dari dapur langsung duduk di sofa kosong. “Jadi gini, Pak Kenzo … seperti yang saya sampaikan tadi sama Jill, kali
“Jill!” panggil Izora yang baru saja turun dari mobil. Jillian menghentikan langkah menuju gerbang yang menghubungkan pelataran parkir dengan area sekolah, membalikan badan lalu tersenyum. “Sorry, enggak jenguk lo … gue ada acara keluarga.” Izora menunjukkan tampang menyesal. Jillian tersenyum menanggapi. “Memangnya kapan lo jenguk gue kalau gue sakit?” Pertanyaan itu diungkapkan Jillian dalam hati. “Girls!” Itu suara Kirana yang baru turun dari mobil. Langkah Jillian dan Izora terhenti, menoleh ke belakang sebentar—keduanya melihat Kirana berlari menyusul. “Jiiiil, sorry enggak bisa jenguk … gue mendadak ke Bali.” Kirana yang kini merangkul pundak Jillian berkata demikian. “Enggak apa-apa,” sahut Jillian dengan senyum kecut. Jillian jadi bertanya-tanya, alasan apa yang akan diungkapkan Callista nanti karena tidak datang menjenguknya yang sedang sakit. Hubungan per
“Mommy …,” panggil gadis kecil yang kini telah berusia empat tahun. Gadis kecil itu duduk membelakangi Jillian karena rambutnya sedang diikat pony tail sesuai permintaan sang gadis. “Yess Love?” Jillian menyahut. “Apa Cantik boleh memiliki adik lagi?” Jillian menaikkan kedua alisnya lalu mengerjap pelan. “Pasti Daddy yang meminta Cantik mengatakan itu sama Mommy, kan?” Jillian menjauhkan tangannya dari kepala Cantik, ia selesai mengikat rambut ikal gadis kecil yang cerewet itu. Cantik membalikan badan lalu tersenyum lebar. “Kata Daddy, Cantik bisa main Barbie sama adik Cantik yang baru.” Jillian tertawa sumbang, tangannya terulur merapihkan poni Cantik. “Adik Rae enggak mau main boneka, maunya main mobil sama kereta.” Cantik mengerucutkan bibir. Cassius Rae Maverick-adiknya
Awalnya Callista berpikir kalau Caffe yang dibangun Jillian tidak akan bertahan lama karena ia begitu paham Jillian dengan segala sikap manjanya akan bosan apalagi ia yakin kalau Caffe itu dibangun hanya untuk membalas dendam kepadanya. Tapi nyatanya dua tahun berlalu dan Jillian tampak serius menjalankan Caffe itu, setiap hari pulang dari kampus mobil Jillian terlihat di pelataran Caffe hingga malam suaminya menjemput. Dan yang membuat Callista kesal adalah Caffe Jillian tidak pernah sepi pengunjung. Selalu saja pelataran parkir di depan Caffe itu penuh malah Jillian menyewa satu lahan sepanjang tahun untuk parkiran karena hari Sabtu atau minggu Caffe Jillian akan membudak dengan pengunjung. Padahal yang Callista tahu kalau menu di sana dibandrol cukup mahal. Pintarnya Jillian, ia sengaja membuat Caffenya eksclusive dengan sasaran kalangan atas tapi justru kalangan menengah dan mungkin ka
Jillian belum pernah merasa secemas ini dalam hidupnya. Ia khawatir launching Caffe-nya tidak berjalan lancar meski sudah menyewa EO dan mempersiapkan semuanya sesempurna mungkin. “Sayang, udah siap?” Kenzo melongokan kepala ke dalam walk in closet. Pria itu lantas masuk sambil mengembangkan senyum menawannya melihat Jillian yang tampak cemas berdiri di depan cermin seukuran tinggi Jillian. “Kamu gugup ya?” Kenzo berdiri di depan Jillian, kedua tangannya menggenggam tangan Jillian yang terasa dingin. Jillian meringis seraya mengangguk. “Aku khawatir ada masalah … Callista berulah misalnya.” “Kita enggak akan pernah tahu, tapi aku udah berusaha antisipasi semua faktor kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi.” “Kamu selalu prepare banget kaya gini ya?” “Aku selalu merencanakan semuanya dengan matang.” Kenzo membingkai sisi wajah Jil
“Oke … nanti karangan bunga diletakan di dinding depan sebelah kiri dan tolong geser pot besar yang di depan itu … kayanya menghalangi pemandangan dari sudut bagian kanan,” titah Jillian kepada seorang pria pegawainya. “Baik, Bu!” Pria itu pergi untuk melakukan perintah Jillian. Jillian melangkah cepat menuju kitchen. “Pak Ronald, semua bahan sudah oke? Berapa porsi dari setiap menu yang bisa kita sediakan?” Jillian bertanya kepada kokinya. “Bahan aman Bu, bisa sampai lima puluh porsi dari setiap menu … ibu mau cek lemari pendingin kita?” “Enggak perlu, Pak … saya percayakan sama Bapak ya!” “Siap Bu.” Jillian lantas pergi menuju bar tempat baristanya meracik kopi. “Mas Raka bagaimana bahan-bahannya? Pak Ronald sudah oke di lima puluh porsi dari setiap menu ….” Raut cemas di wajah Jillian membuat Raka tersenyum. “Ten
“Pak Adam boleh kok kalau mau cium Cantik.” Awalnya Adam Askandar tampak ragu tapi kemudian menunduk untuk mengecup kepala Cantik. Bahunya mulai bergetar menahan isak tangis yang sedari tadi ia tahan hingga menyesakan dada. Sang asisten segera memegangi Adam Askandar sementara Augusta Maverick dan ayahnya Bima menghampiri Adam Askandar bermaksud menenangkan. Mereka berdua membawa Adam Askandar ke meja yang telah disediakan. Tatapan sendu Jillian selama beberapa saat memaku Kenzo. Pria itu bergerak mendekat untuk mengecup kening Jillian. “Jangan mikir yang enggak-enggak,” kata Kenzo mengingatkan. “Kamu kira aku lagi mikirin apa?” Jillian mengerucutkan bibirnya. “Tiara.” Jillian mengembuskan napasnya karena jawaban Kenzo benar. “Memangnya kamu udah enggak mikirin dia?”
Jillian melongo takjub dengan rahang sedikit terbuka, luar biasa terpukau semenjak mobil yang dikemudikan driver memasuki gerbang depan rumahnya. Rumah yang disiapkan Kenzo untuknya sebelum mereka membatalkan perjanjian perceraian. Dan sekarang, setelah dilakukan beberapa renovasi kecil dan pengisian furniture yang memakan biaya besar—Jillian ingin menempatinya bersama Kenzo dan si Cantik. “Rumah ini aku banget,” gumam Jillian yang baru saja melangkah memasuki pintu utama. “Kamu suka?” Kenzo yang tengah menggendong si Cantik bertanya dari belakang punggung Jillian. Jillian memutar tubuhnya, melangkah sekali untuk mengikis jarak dengan Kenzo. “Aku suka … sangat suka! Rumah ini pasti mahal banget ya?” Terlihat pendar haru di netra Jillian yang berwarna coklat. Sang suami yang kelewat tampan dan sabar itu memberikan senyumnya. “Buat kamu, enggak ada ya
“Daddy pulaaaang!” seru Jillian yang tengah menggendong si Cantik melangkah mendekati pintu lift yang terbuka menampilkan sosok pria tampan pujaan hatinya. Kenzo menjatuhkan tasnya lalu merentangkan kedua tangan setelah keluar dari lift dan kini Jillian beserta si Cantik berada dalam pelukannya. “Kalian wangi sekali,” kata Kenzo yang telah puas mendaratkan banyak kecupan di wajah Jillian dan si Cantik. “Iya donk, tadi mommy sama Cantik mandi bareng … aku udah bisa mandiin si Cantik lho, Yang.” Jillian begitu bahagia ketika menceritakan prestasi sebagai Ibu yang akhirnya bisa memandikan sang buah hati meski sudah terlambat dua bulan lamanya. “Waaaw, hebat!” Kenzo memuji, memberikan hadiah kecupan lagi di bibir Jillian. “Aku mandi dulu ya,” kata Kenzo yang merasa tidak nyaman dengan tubuhnya yang lengket karena seharian berada di proyek. Kenzo bergegas
“Mau sampai kapan lo ngehindarin gue terus?” Kin berdiri tepat di depan Jillian menghalangi langkah wanita itu yang selama beberapa minggu semenjak kembali berkuliah selalu menghindarinya. Jillian akan menundukkan kepala bila harus terpaksa berpapasan dengan Kin lalu berjalan cepat agar cowok itu tidak bisa menyusul atau bila sudah melihat Kin dari jauh—Jillian lebih baik mengambil jalan memutar. Sebesar itu kekesalan Jillian kepada Kin yang telah dengan sengaja—hanya demi nama baik keluarga—menyerahkannya kepada polisi. Jillian akhirnya mendongak menatap Kin nyalang. “Minggir lo!” serunya, mendorong dada Kin kasar. “Jill … gue minta maaf, denger gue dulu!” Kin mencengkram tangan Jillian yang tidak berhenti meronta. “Lo enggak ada kuliah lagi, kan? Gue mau ngomong sama lo … sebentar aja, gue mau jelasin sama lo.” “Udah jelas, enggak perlu lo jelasin lagi!” seru Jillian
Satu hari setelah Jillian mengetahui Kenzo membiayai pengobatan ibunya Amira. “Yang … duit jajan aku kok belum kamu transfer?” Jillian bertanya sambil mengangkat ponselnya ke udara memberitau bahwa baru saja ia mengecek saldo rekeningnya dan belum bertambah. “Lupa ya? Apa duitnya abis dipake bayar pengobatan ibunya tante Amira?” serobot Jillian padahal Kenzo sudah membuka mulutnya untuk memberi penjelasan. “Bukan begitu sayang, hari ini enggak tahu kenapa m-banking eror … aku coba transfer sekarang ya.” Kenzo mengeluarkan ponselnya dari saku celana, seharian ini selain sibuk, memang setelah berulang kali dicoba—Kenzo tidak bisa mengakses rekeningnya melalui m-banking. “Ga usah lah, urusin aja tuh ibunya tante Amira,” ujar Jillian sambil melengos keluar kamar. “Ya?” Kenzo melongo, kedua alisnya terangkat membuat kerutan di keningnya. Satu minggu setelah Jilli