“Pak Kenzo, ngapain di sini?”
Pertanyaan Yuda itu menarik paksa Kenzo dari serpihan hasratnya yang sedang berusaha ia tekan.Kenzo menyadari satu hal, Jillian mampu membuatnya berhasrat meski hanya sebatas sentuhan kecil.Kenzo berdekhem, mengulur waktu agar otaknya bisa mencari jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan Yuda.“Om, ayo donk … udah malem, Jill ngantuk!”Gadis itu sudah berada di teras, menyelamatkan Kenzo yang bingung harus menjawab apa karena terciduk sedang berada di lorong ini.“Ayo, Pak … kita perlu membahas sesuatu.”Kenzo menghela napas lega, mengikuti ajakan Yuda masuk ke dalam rumah, melewati ruang tamu dan kini mereka memasuki ruang tengah.Jillian duduk di single sofa, Kenzo dan Yuda duduk di sofa panjang dan Amira yang baru saja datang dari dapur langsung duduk di sofa kosong.“Jadi gini, Pak Kenzo … seperti yang saya sampaikan tadi sama Jill, kali“Jill!” panggil Izora yang baru saja turun dari mobil. Jillian menghentikan langkah menuju gerbang yang menghubungkan pelataran parkir dengan area sekolah, membalikan badan lalu tersenyum. “Sorry, enggak jenguk lo … gue ada acara keluarga.” Izora menunjukkan tampang menyesal. Jillian tersenyum menanggapi. “Memangnya kapan lo jenguk gue kalau gue sakit?” Pertanyaan itu diungkapkan Jillian dalam hati. “Girls!” Itu suara Kirana yang baru turun dari mobil. Langkah Jillian dan Izora terhenti, menoleh ke belakang sebentar—keduanya melihat Kirana berlari menyusul. “Jiiiil, sorry enggak bisa jenguk … gue mendadak ke Bali.” Kirana yang kini merangkul pundak Jillian berkata demikian. “Enggak apa-apa,” sahut Jillian dengan senyum kecut. Jillian jadi bertanya-tanya, alasan apa yang akan diungkapkan Callista nanti karena tidak datang menjenguknya yang sedang sakit. Hubungan per
Rangga : Sayang, kapan kita bisa ketemu?Rangga : Sayang, aku kangen. Bisa kamu datang ke apartemen aku? Rangga : Balas pesan aku, Jill. Atau kamu mau aku yang datang ke rumah kamu? Jillian menggenggam erat ponselnya menahan kesal karena Rangga malah bersikap menyebalkan. Padahal ia sudah mengatakan akan menghubungi pria itu jika memiliki kesempatan. Mungkin bagi Rangga hal ini bukan masalah besar tapi bagi Jillian yang harus memperjuangkan harta daddynya, masalah ini sangat serius dan besar sekali. Pikirannya masih terbutakan, belum bisa melihat masa depan bersama Kenzo yang justru akan membawanya dalam kebahagiaan. Sudah satu minggu mereka tidak bertemu, pulang sekolah Jillian akan langsung pulang untuk belajar dan weekend kemarin memilih beristirahat agar segera pulih dari demam. Selain itu, Jillian harus meyakinkan ketiga walinya bahwa ia memang sudah putus dari Rangga. “Ji
“Sebentar lagi Amira datang, saya pulang ya … besok saya enggak bisa ke sini, ada acara sama klien ….” Kenzo memberitau sambil pamit, sebenarnya ia tidak perlu demikian. Tidak datang setiap hari juga tidak masalah tapi pernikahannya dengan Jillian akan berlangsung seminggu lagi lalu setelah itu mereka akan tinggal satu rumah. Kenzo sedang membuat Jillian terbiasa dengan kehadirannya. “Om ….” Bukannya menanggapi, Jillian malah memanggil Kenzo. Kenzo yang sudah berdiri sekarang kembali menjatuhkan bokongnya di sofa di samping Jillian lagi. Setelah makan malam, Kenzo sempat menemani Jillian menonton televisi selama beberapa jam di ruangan itu. “Kenapa?” Kenzo bertanya dengan suara yang kelewat lembut. “Besok malem, boleh aku hangout sama teman-teman?” Jillian ‘kan sudah jadi anak baik, pintar lagi. Jadi boleh donk dia ngelunjak, minta ijin keluar malam minggu ini. “Ke
“Sekarang gini deh, Jill … kalau memang kamu enggak niat untuk menikah dengan Pak Kenzo, enggak apa-apa … enggak ada yang maksa juga, kamu bisa pindah ke Panti Asuhan, di sana kamu akan punya banyak teman … kamu juga bebas pacaran sama Rangga, dia bisa menghidupi kamu dengan gaji sebagai photographernya … tinggal kamu nyiapin mental saja hidup susah dan berakhir dicampakkan dia, memangnya kamu pikir dia bisa menahan diri setiap melihat para model-model itu?” Sindiran keras yang dilayangkan Yuda menampar hati Jillian. Lidahnya kelu, tidak mampu melawan. Jillian yang biasanya membangkang kepada daddy kini hanya bisa tertunduk menatap ujung sendal rumahan yang membalut kakinya. Posisinya rentan, lemah, tidak memiliki kekuatan dan ia sendirian. Jillian juga tidak berani menatap Kenzo yang duduk di depannya. Seperti biasa, pria itu tidak banyak bicara dengan pembawaannya yang tenang tapi menghanyutkan. Ya
Kecupan demi kecupan tertanam di leher Jillian, sesekali Kenzo melibatkan lidahnya lalu mengendus leher Jillian dalam. Tangan Kenzo tidak bergerak ke mana pun, terkepal di kedua sisi tubuh sedang menahan monster yang ada di dalam dirinya keluar dan menyakiti Jillian. Desahan lolos sampai Jillian harus membungkam mulutnya sendiri dengan satu tangan dan tanpa gadis itu sadari—satu tangannya yang lain telah mencengkeram kemeja di dada Kenzo hingga membuat kusut di sana. Lalu, Jillian bisa merasakan bibir Kenzo tersenyum di kulit lehernya. Kenzo menjauhkan wajahnya bersama kekehan singkat. “Kamu suka?” tanya pria itu kemudian. “Apaan sih?” Jillian akhirnya memiliki kemampuan untuk mendorong dada Kenzo membuat pria itu mundur satu langkah memberi jarak sehingga Jillian bisa pergi. “Dasar Om mesum!” Jillian berseru kesal Kenzo tersenyum geli hingga mampu mengguncang pundak lebarnya.
Rangga : Yang, lagi apa?Rangga : Yang, semalaman aku enggak bisa tidur mikirin kamu yang mau nikah hari ini. Rangga : Jahat enggak sih, kalau aku berharap acara kalian nanti gagal. Jillian mengembuskan napas gusar, menengadah menahan air mata yang sedari tadi terbendung. Meski bukan pesta pernikahan impian dengan pria yang ia cintai tapi Jillian tidak ingin merusak riasan yang telah membuatnya sangat cantik hari ini. Tiba-tiba saja kesedihan Jillian bertambah ketika membaca pesan dari Rangga padahal setengah mati Jillian tadi mengalihkan rasa sesaknya dari ingatan tentang Adolf Guzman dan Maharani Putri. Dua orang itu semestinya bertanggung jawab menemani Jillian di momen pernikahan yang sakral ini karena telah membawanya lahir ke dunia. Jillian berusaha membesarkan hati dengan berpikir jika pernikahan ini hanyalah formalitas agar ia bisa menguasai harta daddy yang seharusnya menjadi haknya.
Selama upacara Agama penyerahan atas dirinya dari wali hakim kepada Kenzo—Jillian sengaja memejamkan mata, bibir bagian bawahnya ia gigit kuat-kuat untuk mengalihkan segala macam rasa yang bergejolak di dalam dada. Hingga akhirnya kata Syah berkumandang dan suara Kenzo terdengar begitu dekat di telinganya. “Buka mata kamu,” pinta Kenzo berbisik. Jillian membuka mata, menatap satu persatu orang yang duduk di depannya. Lalu menoleh ke samping kanan di mana Yuda bertindak sebagai saksi dari pihaknya. Yuda tersenyum lebar, tampak lega. Namun, entah kenapa semenjak kejadian malam itu di kantor polisi—Jillian merasa sorot mata Yuda masih menyimpan kecewa. Ah, sepertinya Yuda terlalu mendalami perannya sebagai wali Jillian. Jillian menurut saja ketika seorang perwakilan dari kantor KUA memintanya untuk berdiri berhadapan dengan Kenzo. Sengaja Jillian menatap lurus ke depan, ke dada Kenzo k
“Eh, maaf Pak … maaf, duh Jill enggak sengaja … maaf ya.” Susah payah Jillian membungkuk dengan gaunnya yang lebar untuk memungut tongkat yang tidak sengaja terhempas dari tangan Adam Askandar akibat gerakannya yang tidak terkendali. Tadi Jillian terburu-buru ingin segera memergoki sang suami yang mungkin sedang berselingkuh dengan sekertarisnya yang misterius itu. Adam Askandar malah terkekeh. “Terimakasih ya, Jill.” “Kok Terimakasih, ‘kan Jill yang salah … eh tapi, kok …..” Kalimat Jillian menguap bersama tatap lekat kepada pria tua yang seakan mengenal dirinya. “Saya Adam Askandar … pemilik Indo Corp.” Adam Askandar mengulurkan tangannya yang kemudian disambut dengan ragu oleh Jillian. “Suami kamu bekerja untuk saya,” sambung Adam Askandar menjawab pertanyaan yang tampak di wajah Jillian. “Ah ya ….” Jillian baru ingat jika Kenzo adalah CEO Indo Corp. “Kamu buru-
“Mommy …,” panggil gadis kecil yang kini telah berusia empat tahun. Gadis kecil itu duduk membelakangi Jillian karena rambutnya sedang diikat pony tail sesuai permintaan sang gadis. “Yess Love?” Jillian menyahut. “Apa Cantik boleh memiliki adik lagi?” Jillian menaikkan kedua alisnya lalu mengerjap pelan. “Pasti Daddy yang meminta Cantik mengatakan itu sama Mommy, kan?” Jillian menjauhkan tangannya dari kepala Cantik, ia selesai mengikat rambut ikal gadis kecil yang cerewet itu. Cantik membalikan badan lalu tersenyum lebar. “Kata Daddy, Cantik bisa main Barbie sama adik Cantik yang baru.” Jillian tertawa sumbang, tangannya terulur merapihkan poni Cantik. “Adik Rae enggak mau main boneka, maunya main mobil sama kereta.” Cantik mengerucutkan bibir. Cassius Rae Maverick-adiknya
Awalnya Callista berpikir kalau Caffe yang dibangun Jillian tidak akan bertahan lama karena ia begitu paham Jillian dengan segala sikap manjanya akan bosan apalagi ia yakin kalau Caffe itu dibangun hanya untuk membalas dendam kepadanya. Tapi nyatanya dua tahun berlalu dan Jillian tampak serius menjalankan Caffe itu, setiap hari pulang dari kampus mobil Jillian terlihat di pelataran Caffe hingga malam suaminya menjemput. Dan yang membuat Callista kesal adalah Caffe Jillian tidak pernah sepi pengunjung. Selalu saja pelataran parkir di depan Caffe itu penuh malah Jillian menyewa satu lahan sepanjang tahun untuk parkiran karena hari Sabtu atau minggu Caffe Jillian akan membudak dengan pengunjung. Padahal yang Callista tahu kalau menu di sana dibandrol cukup mahal. Pintarnya Jillian, ia sengaja membuat Caffenya eksclusive dengan sasaran kalangan atas tapi justru kalangan menengah dan mungkin ka
Jillian belum pernah merasa secemas ini dalam hidupnya. Ia khawatir launching Caffe-nya tidak berjalan lancar meski sudah menyewa EO dan mempersiapkan semuanya sesempurna mungkin. “Sayang, udah siap?” Kenzo melongokan kepala ke dalam walk in closet. Pria itu lantas masuk sambil mengembangkan senyum menawannya melihat Jillian yang tampak cemas berdiri di depan cermin seukuran tinggi Jillian. “Kamu gugup ya?” Kenzo berdiri di depan Jillian, kedua tangannya menggenggam tangan Jillian yang terasa dingin. Jillian meringis seraya mengangguk. “Aku khawatir ada masalah … Callista berulah misalnya.” “Kita enggak akan pernah tahu, tapi aku udah berusaha antisipasi semua faktor kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi.” “Kamu selalu prepare banget kaya gini ya?” “Aku selalu merencanakan semuanya dengan matang.” Kenzo membingkai sisi wajah Jil
“Oke … nanti karangan bunga diletakan di dinding depan sebelah kiri dan tolong geser pot besar yang di depan itu … kayanya menghalangi pemandangan dari sudut bagian kanan,” titah Jillian kepada seorang pria pegawainya. “Baik, Bu!” Pria itu pergi untuk melakukan perintah Jillian. Jillian melangkah cepat menuju kitchen. “Pak Ronald, semua bahan sudah oke? Berapa porsi dari setiap menu yang bisa kita sediakan?” Jillian bertanya kepada kokinya. “Bahan aman Bu, bisa sampai lima puluh porsi dari setiap menu … ibu mau cek lemari pendingin kita?” “Enggak perlu, Pak … saya percayakan sama Bapak ya!” “Siap Bu.” Jillian lantas pergi menuju bar tempat baristanya meracik kopi. “Mas Raka bagaimana bahan-bahannya? Pak Ronald sudah oke di lima puluh porsi dari setiap menu ….” Raut cemas di wajah Jillian membuat Raka tersenyum. “Ten
“Pak Adam boleh kok kalau mau cium Cantik.” Awalnya Adam Askandar tampak ragu tapi kemudian menunduk untuk mengecup kepala Cantik. Bahunya mulai bergetar menahan isak tangis yang sedari tadi ia tahan hingga menyesakan dada. Sang asisten segera memegangi Adam Askandar sementara Augusta Maverick dan ayahnya Bima menghampiri Adam Askandar bermaksud menenangkan. Mereka berdua membawa Adam Askandar ke meja yang telah disediakan. Tatapan sendu Jillian selama beberapa saat memaku Kenzo. Pria itu bergerak mendekat untuk mengecup kening Jillian. “Jangan mikir yang enggak-enggak,” kata Kenzo mengingatkan. “Kamu kira aku lagi mikirin apa?” Jillian mengerucutkan bibirnya. “Tiara.” Jillian mengembuskan napasnya karena jawaban Kenzo benar. “Memangnya kamu udah enggak mikirin dia?”
Jillian melongo takjub dengan rahang sedikit terbuka, luar biasa terpukau semenjak mobil yang dikemudikan driver memasuki gerbang depan rumahnya. Rumah yang disiapkan Kenzo untuknya sebelum mereka membatalkan perjanjian perceraian. Dan sekarang, setelah dilakukan beberapa renovasi kecil dan pengisian furniture yang memakan biaya besar—Jillian ingin menempatinya bersama Kenzo dan si Cantik. “Rumah ini aku banget,” gumam Jillian yang baru saja melangkah memasuki pintu utama. “Kamu suka?” Kenzo yang tengah menggendong si Cantik bertanya dari belakang punggung Jillian. Jillian memutar tubuhnya, melangkah sekali untuk mengikis jarak dengan Kenzo. “Aku suka … sangat suka! Rumah ini pasti mahal banget ya?” Terlihat pendar haru di netra Jillian yang berwarna coklat. Sang suami yang kelewat tampan dan sabar itu memberikan senyumnya. “Buat kamu, enggak ada ya
“Daddy pulaaaang!” seru Jillian yang tengah menggendong si Cantik melangkah mendekati pintu lift yang terbuka menampilkan sosok pria tampan pujaan hatinya. Kenzo menjatuhkan tasnya lalu merentangkan kedua tangan setelah keluar dari lift dan kini Jillian beserta si Cantik berada dalam pelukannya. “Kalian wangi sekali,” kata Kenzo yang telah puas mendaratkan banyak kecupan di wajah Jillian dan si Cantik. “Iya donk, tadi mommy sama Cantik mandi bareng … aku udah bisa mandiin si Cantik lho, Yang.” Jillian begitu bahagia ketika menceritakan prestasi sebagai Ibu yang akhirnya bisa memandikan sang buah hati meski sudah terlambat dua bulan lamanya. “Waaaw, hebat!” Kenzo memuji, memberikan hadiah kecupan lagi di bibir Jillian. “Aku mandi dulu ya,” kata Kenzo yang merasa tidak nyaman dengan tubuhnya yang lengket karena seharian berada di proyek. Kenzo bergegas
“Mau sampai kapan lo ngehindarin gue terus?” Kin berdiri tepat di depan Jillian menghalangi langkah wanita itu yang selama beberapa minggu semenjak kembali berkuliah selalu menghindarinya. Jillian akan menundukkan kepala bila harus terpaksa berpapasan dengan Kin lalu berjalan cepat agar cowok itu tidak bisa menyusul atau bila sudah melihat Kin dari jauh—Jillian lebih baik mengambil jalan memutar. Sebesar itu kekesalan Jillian kepada Kin yang telah dengan sengaja—hanya demi nama baik keluarga—menyerahkannya kepada polisi. Jillian akhirnya mendongak menatap Kin nyalang. “Minggir lo!” serunya, mendorong dada Kin kasar. “Jill … gue minta maaf, denger gue dulu!” Kin mencengkram tangan Jillian yang tidak berhenti meronta. “Lo enggak ada kuliah lagi, kan? Gue mau ngomong sama lo … sebentar aja, gue mau jelasin sama lo.” “Udah jelas, enggak perlu lo jelasin lagi!” seru Jillian
Satu hari setelah Jillian mengetahui Kenzo membiayai pengobatan ibunya Amira. “Yang … duit jajan aku kok belum kamu transfer?” Jillian bertanya sambil mengangkat ponselnya ke udara memberitau bahwa baru saja ia mengecek saldo rekeningnya dan belum bertambah. “Lupa ya? Apa duitnya abis dipake bayar pengobatan ibunya tante Amira?” serobot Jillian padahal Kenzo sudah membuka mulutnya untuk memberi penjelasan. “Bukan begitu sayang, hari ini enggak tahu kenapa m-banking eror … aku coba transfer sekarang ya.” Kenzo mengeluarkan ponselnya dari saku celana, seharian ini selain sibuk, memang setelah berulang kali dicoba—Kenzo tidak bisa mengakses rekeningnya melalui m-banking. “Ga usah lah, urusin aja tuh ibunya tante Amira,” ujar Jillian sambil melengos keluar kamar. “Ya?” Kenzo melongo, kedua alisnya terangkat membuat kerutan di keningnya. Satu minggu setelah Jilli