“Maaf Jill, Daddy kamu enggak bisa saya selamatkan.”
Jillian tidak bertanya lebih jauh tentang maksud dari pernyataan dokter Agung barusan.Langsung memutus sambungan telepon dan pergi ke rumah sakit kepercayaan daddy di mana dokter Agung berpraktik di sana.Mengabaikan pertanyaan Rangga apa yang terjadi ketika ia bergegas memakai kembali pakaiannya dengan linangan air mata.Jillian harus memastikan sendiri apa yang terjadi dengan daddy.“Jill, aku antar.” Rangga menarik tangan Jillian ketika Jillian dengan tampang linglung beranjak dari ruang televisi.Jillian hanya menganggukan kepala lalu melanjutkan langkahnya menuju pintu keluar.“Jill, tunggu!” Rangga yang tengah memakai kaosnya berseru sambil menyusul Jillian.“Ada apa sebenarnya? Telepon dari siapa tadi?” Rangga mengulang pertanyaannya dengan napas tersengal karena berlari menyusul Jillian.Keduanya sudah berada di dalam lift menuju bassement di mana mobil Rangga terparkir.“Daddy ….” Suara Jillian tercekat.“Yang telepon tadi, dokternya daddy dari rumah sakit.” Jillian melanjutkan, nada suaranya bergetar dampak dari benaknya yang memutar skenario terburuk yang tengah terjadi dengan sang daddy.“Jadi, kita ke rumah sakit?” Rangga memastikan sebelum menginjak pedal gasnya.Jillian yang sudah duduk di samping Rangga lantas mengangguk.“Ngebut ya, Ga.” Sorot mata Jillian tampak memohon meski suaranya terdengar lemah.Rangga menganggukan kepala dan mulai fokus pada kemudi.Kejadian ini juga sudah sering Rangga alami selama menjadi kekasih Jillian, apalagi setiap kali Jillian baru saja membuat onar.Rangga akan mengantar Jillian ke rumah sakit lalu pergi setelah ia tidak dibutuhkan lagi karena orang-orang yang berada di sekitar Jillian tidak menyukainya termasuk Adolf Guzman.“Dokter Agung bilang, daddy … enggak selamat.” Jillian bergumam tapi masih bisa Rangga dengar, ia pun menoleh.Menarik tangan Jillian, Rangga membawanya untuk ia kecup dibagian telapak.Awalnya Rangga kesal karena hasrat yang sudah berada di ubun-ubun tidak bisa ia tuntaskan, tapi mendengar pengakuan Jillian dan keadaan mental gadis itu yang terlihat kacau—Rangga justru menjadi iba.Bertanya-tanya apakah benar Adolf Guzman semudah itu meninggal dunia?“Tenang sayang, ada aku.”Kalimat itu mampu membuat hati Jillian menghangat sekaligus tenang.Ya, ia tahu Rangga akan selalu ada di sampingnya bahkan ketika sibuk pemotretan pria itu akan selalu menyempatkan untuk bertemu dan mencumbunya.Rangga jarang absen menghubungi Jillian untuk memberi tahu apa kegiatan hari itu selain memperlakukan Jillian layaknya seorang putri.Rangga adalah dunia Jillian selama satu tahun terakhir, meski tidak tinggal bersama tapi Jillian merasa Rangga akan selalu ada di setiap hembusan napasnya.Perhatian Rangga yang begitu besar dan intens tidak ia dapatkan dari daddy yang selalu sibuk dengan pekerjaan.Rangga tidak segan memuji jika Jillian terlihat cantik ketika bertemu dengannya atau ketika Jillian mendapat nilai bagus dalam ujian.Rangga juga tidak pernah mengkritik sikap atau tingkah laku Jillian yang buruk, selalu memaklumi membuat Jillian merasa memiliki seseorang yang berpihak padanya di dunia ini.“Kamu turun duluan, aku cari parkir.” Suara Rangga membawa Jillian kembali dari lamunannya tentang arti Rangga dalam hidupnya.Bukan tentang Adolf Guzman-sang daddy yang keadaannya saat ini tidak Jillian ketahui dengan pasti.Sejujurnya Jillian hanya menolak percaya jika dua kata ‘tidak selamat’ yang diucapkan dokter berarti daddynya telah tiada.Ia sedang membohongi hati dan benaknya dengan mengalihkan fokus pada Rangga.Sol sepatu Jillian menggema di sepanjang lorong rumah sakit, dalam sambungan teleponnya tadi dokter Agung meminta Jillian datang ke ruang ICU maka sekarang langkah kaki Jillian tertuju ke sana.Kata-kata Jillian yang dengan sangat kasar terlontar dari bibirnya untuk Adolf Guzman tiba-tiba saja berkelebat di benak Jillian menghasilkan rasa sesak di dada dan matanya kembali meluncurkan banyak buliran kristal.“No, Dad …Jillian enggak sungguh-sungguh berkata seperti itu … Jillian lagi marah, Jillian enggak ingin Daddy pergi.”Jillian bergumam seiring langkah kakinya yang kian mendekat ruang ICU.Di ruang tunggu, ia melihat Amira tengah menangis duduk di kursi.Ada pak Ujang dan bu Salamah-yang mengurus rumah dan membantu merawat Jillian semenjak kepergian mommy— juga sedang menangis.Yuda-pengacara keluarga Guzman yang Jillian panggil Om itu juga ada di sana sedang berbincang dengan dokter Agung bersama seorang pria entah siapa.Jillian tidak mengenali pria yang bersama dokter Agung dan Yuda karena pria yang berperawakan tinggi dan pundaknya yang lebar juga memiliki punggung tegap itu sedang membelakanginya.Jillian memelankan langkah melihat suasana ruang tunggu ICU yang mencekam oleh suara tangis kehilangan.Hingga akhirnya langkah itu benar-benar berhenti karena semua orang menoleh pada Jillian termasuk pria jangkung yang memunggungi Jillian tadi.Kenzo, pria itu menatap Jillian dengan tatapan tak terbaca tapi dari netra cokelatnya yang indah—Jillian seolah tahu jika hal buruk tengah terjadi.“Jill.” Panggilan itu keluar dari bibir Yuda dan dokter Agung.“Daddy mana?” Jillian bertanya tanpa berniat meneruskan langkahnya.“Non Jiiil.” Bu Salamah histeris sambil berderai air mata.Beliau hendak bangkit namun kakinya terasa lemas tidak mampu menopang tubuhnya yang gemuk sehingga kembali terduduk.“Jill, begini … tadi daddy kamu dilarikan ke rumah sakit ….”Yuda menjeda setelah langkahnya tiba di depan Jillian, menarik tangan gadis itu untuk mendekat ke depan pintu ruangan ICU di mana dokter Agung dan Kenzo masih berdiri di sana.Jillian sekarang menatap dokter Agung, menuntut penjelasan.Dokter Agung menelan saliva sebelum akhirnya bicara.“Kondisi daddy kamu memburuk akhir-akhir ini dan tadi sore dia dibawa supirnya ke sini … kami sudah melakukan banyak penanganan tap—““Mana daddy? Aku mau ketemu daddy.” Jillian mendorong tubuh Kenzo dan dokter Agung yang menghalangi pintu ICU, bermaksud masuk ke dalam sana mencari Adolf Guzman.“Jill!” seru dokter Agung menahan tubuh Jillian“Daddy kamu enggak berhasil kami selamatkan, dia telah meninggal dunia pukul sembilan lewat tiga belas menit.”Raut wajah dokter Agung tampak menyesal sekaligus iba untuk Jillian karena tahu sekarang Jillian sebatang kara.Jillian menggelengkan kepalanya. “Enggak mungkin, Dok ….”Bibir Jillian dengan mata menatap nyalang dokter Agung, Jillian tidak percaya.“Tadi Tante hubungin kamu waktu daddy kamu kritis tapi enggak kamu angkat, kenapa?”Amira sudah beranjak dari kursi dan melangkah mendekati Jillian.“Dia memanggil nama kamu Jill, Tante ada di sampingnya waktu beliau menghembuskan napas terakhir.”Air mata Jillian jatuh lebih banyak lagi, jantungnya sakit seolah ada tangan besar tak kasat mata meremat kuat.“Daddy ….” Jillian melirih, kembali membalikkan badan untuk masuk ke dalam ruang ICU.Namun, satu tangan kekar melingkari pinggang di bagian depan menahan tubuh Jillian.“Lepas, Jill mau ketemu daddy!” Jillian berseru berusaha melepaskan tangan itu.Tapi Kenzo malah menarik tubuh Jillian hingga punggung sang gadis membentur dadanya yang bidang.“Tunggu di sini, nanti almarhum akan keluar … biarkan perawat menyelesaikan tugasnya dulu,” bisik Kenzo di sisi wajah Jillian.Mendengar kata almarhum keluar dari mulut Kenzo membuat isak tangis Jillian berubah menjadi raungan pilu.“Aku mau ketemu daddy.”Jillian meronta sampai Kenzo harus mengungkung Jillian dengan satu tangannya lagi agar Jillian tidak masuk ke dalam ruang ICU.Detik berikutnya pintu ruang ICU terbuka lebar, sebuah ranjang beroda di dorong oleh dua perawat pria dari dalam.Jillian berhenti meronta, tubuh gadis itu menegang melihat sesuatu di depannya.Di atas ranjang beroda terdapat sosok yang ditutupi kain di sekujur tubuhnya.“Almarhum pak Adolf Guzman akan kami mandikan sebelum dipulangkan ke rumah duka,” seorang perawat berujar.Dari sana Jillian tahu jika yang berada di atas ranjang beroda itu adalah daddynya.Daddy yang sering mendapat keketusan dan bentakan darinya.Daddy yang selalu tersenyum dan membawanya bercanda meski Jillian menunjukkan tampang masam tidak bersahabat.Daddy yang selalu mengikuti semua keinginannya meski jarang ada sosoknya.Daddy yang selalu mampu menyelesaikan masalahnya.Dan Daddy yang baru tadi sore ia usir dari kehidupannya untuk bertemu mommy di surga.“Daddyyyyyy!”Tangis Jillian kembali pecah, Jillian membuka kasar kain penutup di wajah daddy lalu memeluk beliau.Menumpahkan tangis di dada daddy lalu mengecup setiap jengkal wajahnya.“Dad, jangan tinggalin Jill … Jill janji akan jadi anak baik, bangun Dad ... Jill enggak punya siapa-siapa lagi selain Daddy, please Dad … bangun … Jill akan jadi anak baik, Jill janji … jangan tinggalin Jill, Dad … Heu … Heu ….”Tangis pilu mengudara menarik atensi dan merenggut perasaan semua orang yang ada di sana untuk larut bersama Jillian.“Daaaad, bangun … Jillian mohon bangun, maafin Jill.”Sebanyak apapun permohonan maaf Jillian tidak akan mendapat jawaban Adolf Guzman.Wajah daddynya tampak tenang seolah tertidur pulas dengan bibir sedikit tersenyum.Adolf Guzman pergi untuk memenuhi keinginan Jillian agar beliau menyusul sang istri tercinta di surga.Beliau tidak ingin membuat putrinya susah seperti apa yang dikatakan Jillian saat di pelataran parkir sekolah Jillian—tempat terakhir kalinya mereka bertemu.Dan Jillian telah menyadari itu semenjak mendengar pernyataan dokter Agung ketika masih berada di apartemen Rangga.Segudang sesal dan rasa bersalah yang menghantamnya membuat Jillian hancur berkeping-keping.Kaki Jillian sudah tidak bisa lagi dipaksakan menopang tubuh.Kesadarannya tertarik oleh rasa sedih yang mendalam hingga tubuh Jillian melorot ke bawah.Sebelum akhirnya semua gelap, Jillian masih mendengar suara Rangga yang panik memanggil namanya.Jillian akhirnya pingsan dalam pelukan sang kekasih.***Rangga mengecek terus arloji hadiah ulang tahun dari Jillian yang melingkar di lengannya.Sudah hampir lewat dini hari dan ia masih di kamar Jillian menemani gadisnya yang belum siuman setelah pingsan di rumah sakit tadi.Rangga ada pemotretan catching sunrise pagi ini dan ia harus berada di TKP beberapa jam sebelum matahari terbit.Di luar, semua orang sibuk membenahi rumah untuk tamu yang akan melayat sekaligus mempersiapkan pemakaman Adolf Guzman.Rangga bisa melihat dari jendela kamar Jillian, banyak mobil terparkir dan beberapa pekerja memasang tenda.Tidak heran, Adolf Guzman adalah pengusaha sukses Negri ini dengan kerajaan bisnisnya yang tersebar di seluruh Negri.Pasti memiliki banyak kenalan, rekanan dan kerabat yang akan mengantar kepergiannya.Ceklek.Suara pintu yang terbuka membuat Rangga menoleh, seorang wanita paruh baya masuk dengan tampang tidak ramah.Rangga sudah imun, semua orang di sekitar Jillian memang tidak menyukainya kecuali tiga sahabat Jillian; Izora, Callista dan Kirana.Bu Salamah berjalan mendekati ranjang Jillian tanpa menghiraukan keberadaan Rangga.Di tangannya terdapat nampan berisi satu gelas air yang masih mengepul.Beliau menyimpannya di atas nakas samping tempat tidur, mengusap kepala Jillian penuh sayang, terlihat di matanya yang bengkak.Setelah itu Bu Salamah pergi tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya.Rangga mendengkus sebal, dirinya yang berstatus hanya orang biasa dengan pekerjaan tidak keren selalu dianggap rendah juga remeh oleh banyak orang.Keberadaannya di samping Jillian kerap kali disangsikan, dianggap hanya menginginkan materi dari Jillian.Mereka salah, Rangga menginginkan tubuh Jillian selain memang menyayangi gadis itu.Untuk urusan materi, Jillian yang bersedia memberikan—Rangga tidak pernah memaksa.Detik jam terus berputar, ia tidak bisa tinggal di sini terus karena terikat kontrak oleh salah satu brand kosmetik ternama.“Sayang,” panggil Rangga seraya duduk di sisi tempat tidur.“Aku pergi sebentar … nanti setelah pemotretan aku balik lagi …..”Tidak ada jawaban dari Jillian yang masih belum bergerak dari posisinya dengan mata terpejam erat.Rangga beranjak, ia merogoh ponselnya dari saku celana.Mengirim pesan kepada Jillian agar ketika bangun nanti dan Jillian mencari—gadis itu tau alasannya pergi.Rangga yakin Jillian akan mengerti dan ia berjanji mengganti waktu pagi ini dengan seharian bersama Jillian setelah pemakaman Adolf Guzman.Setelah memastikan pesannya sampai di ponsel Jillian, Rangga keluar dari kamar Jillian.Ia tidak perlu berbasa-basi dengan siapapun toh tidak ada yang menyukai dan mengenalnya.“Kamu mau pergi?” Suara bariton seorang pria menghentikan langkah Rangga.Menoleh dan mendapati sosok pria yang tadi ia temui di rumah sakit sedang berdiri di antara ruang makan dan ruang televisi.Rangga terkejut, ia baru melihat pria itu dan sepertinya tidak mengetahui jika ia dibenci orang-orang terdekat Jillian sehingga dengan santai mau menyapanya.“Iya, ada pemotretan pagi ini tapi setelah setelah selesai balik lagi.”Semestinya Rangga pergi tapi malah berdiri menunggu tanggapan pria jangkung dengan wajah tampan—Rangga berpikir andaikan pria itu adalah seorang model pasti akan bagus tertangkap oleh lensa kamera.“Kamu pacarnya?” Kenzo bertanya dengan raut dan nada yang sama datarnya.Pria itu melangkah mendekati Rangga. “Iya.” Rangga menjawab cepat, ia tidak punya waktu untuk berpikir. “Kamu enggak usah ke sini lagi, tinggalkan Jillian!” Nada rendah yang terlontar itu sarat akan penekanan dan ancaman. Rangga pikir pria ini berbeda, tapi nyatanya sama dan Rangga tidak gentar sedikitpun. “Kenapa saya harus mengikuti permintaan Anda?” Rangga menghadapkan tubuhnya pada Kenzo lalu mengangkat dagu menantang pria itu. “Pria macam apa yang meninggalkan kekasihnya di saat terburuk?” Dingin dan tersirat ledekan dalam kalimat tersebut. “Saya terikat kontrak, saya harus kerja … untuk menjadi sukses banyak yang harus saya korbankan, Jillian pasti mengerti.” Kenzo menganggukan kepalanya setuju, kembali melangkah mendekat dengan satu tangan yang ia sembunyikan di saku celana.
Jillian sudah membaca pesan Rangga, ia mengerti jika Rangga harus kerja. Terpaksa mengerti sebenarnya. Ternyata Rangga memilih bekerja dibanding menemaninya, lalu apa bedanya dengan Daddy? Jillian menyibak selimut yang membalut tubuhnya, menurunkan kaki untuk membasuh wajah yang matanya sembab. Tadi ponselnya berdering tidak henti memunculkan banyak pop up notifikasi pesan. Pasti dari ketiga sahabat Jillian. Keluar dari kamar mandi, Jillian mencari ponselnya yang ia letakkan di atas nakas. Benar saja, ketika Jillian membuka aplikasi pesan banyak pesan masuk dari ketiga sahabatnya mengucapkan bela sungkawa termasuk para guru dan kepala sekolah. Mereka mengatakan akan datang selepas pembelajaran selesai. Jillian menarik handle pintu kamar, tenggorokannya terasa haus setelah tadi menangis lalu pingsan. Ia terlonjak ketika menemukan Kenzo duduk di sofa yang berada di depan kamarnya.
Di ruang makan, Jillian dan Rangga tidak makan yang sebenarnya. Jillian duduk di atas pangkuan Rangga dengan posisi menyamping, kedua tangannya memeluk leher Rangga membuat pria itu kesulitan menyuapkan makanan padahal ia belum makan sedari siang. “Kamu kenapa lama banget datangnya.” Jillian merengek di ceruk leher Rangga. “Tadi abis pemotretan aku ada meeting, bahas konsep dan tema untuk project yang baru … kamu sudah makan?” Rangga menjelaskan diakhiri pertanyaan agar Jillian bisa melepaskannya sebentar untuk menyantap makan malam. Tapi sang kekasih yang tengah berduka enggan pergi dari atas pangkuannya. Rangga mengusap punggung Jillian lembut sambil mengunyah makan malam yang sempat masuk ke mulut. “Aku enggak selera.” Jillian menyahut lemah, wajahnya masih terbenam di leher Rangga. Bagi Jillian, leher Rangga adalah tempat bersembunyi paling nyaman saat ini. Sembunyi dari r
“Masuk Jill, Ibu mau menyampaikan sesuatu … di depan wali kamu.” Sekarang kening Jillian mengkerut semakin dalam. Sejak kapan Kenzo menjadi walinya? Tapi tak ayal, kakinya ia langkahkan juga masuk lebih jauh ke ruangan bu Eva. Perlahan kaki Jillian melangkah sambil memberikan sorot mata penuh tanya—Jillian menatap Kenzo. Tapi Kenzo hanya diam begitu tenang dengan punggung tegapnya yang tegak, ekspresi pria itu datar tapi tidak dingin. “Jadi, barusan Ibu sudah bicara sama pak Kenzo-wali kamu meny—“ “Sejak kapan Om jadi wali aku?” Jillian menyela ucapan Bu Eva. Tidak bisa untuk tidak bertanya, bila perlu berdebat dengan Kenzo meski dihadapan bu Eva. Karena ia harus tahu kenapa Kenzo bisa menggantikan peran daddynya. “Sekarang wali kamu itu pak Yuda, Irma dan saya … mendiang pak Adolf membuat surat wasiat yang meminta kami untuk menjadi wali kamu … Amira sibuk menangani perusahaa
“Pak Yuda harus segera mengumumkan isi wasiat pak Adolf, harus ada pengganti pak Adolf … jika tidak, nanti keputusan akan diambil alih pemegang saham.” Amira mendesak Yuda untuk membacakan isi wasiat tersebut karena dari informasi yang diberikan Yuda padanya—jika di dalam wasiat itu Adolf Guzman menunjuk seseorang untuk menggantikan beliau. Yuda terlihat gamang, ia yang sudah mengetahui betul tentang isi wasiat kesulitan mengambil keputusan. “Apa tidak ada cara untuk mengulur waktu? Seharusnya wasiat ini diumumkan setelah Jill lulus SMA … sepertinya pak Adolf tidak mengira beliau akan pergi secepat ini.” Yuda menundukkan pandangan, menyembunyikan rasa kehilangan yang menekan dada semenjak kepergian Adolf Guzman-klien sekaligus sahabatnya. “Saya hanya sekertaris, Pak … saya tidak bisa melakukan apapun … tapi jika Pak Yuda bersedia mencoba untuk membuat para pemegang saham mengerti dan mau menunggu—saya akan jadwalkan p
“Rangga,” gumam Jillian yang raut wajahnya berubah senang. Jillian berlari keluar dari ruang kerja sang daddy, kaki mungilnya menapaki turun anak tangga menggunakan sendal rumah. Rangga berdiri di bawah tangga, tersenyum sambil merentangkan kedua tangannya mengundang Jillian ke dalam pelukan. Jillian melihat satu tangan Rangga menggenggam paperbag tapi Jillian mengabaikan itu, tubuh Rangga terlalu menggiurkan untuk dipeluk. Dari lantai dua, Kenzo melihat bagaimana cara Jillian memeluk Rangga, bagaimana gadis itu menatap Rangga dan tersenyum penuh suka cita melupakan semua beban kesedihan atas meninggalnya Adolf Guzman, melupakan kenyataan jika ia sebatang kara.Jillian selalu bahagia setiap kali bersama Rangga seolah-olah Rangga adalah kebahagiaannya di dunia ini. Kenzo masih mengawasi Jillian dan Rangga dari lantai dua dengan tatapan tak terbaca. “Aku bawa ice cream kesukaan kamu, kita makan di dekat kolam
Jillian menoleh ke arah pintu yang menghubungkan ke ruang televisi memastikan Yuda tidak menguping. Jillian bangkit lalu duduk di kursi yang sama dengan Kenzo membuat pria itu duduk menyerong agar bisa menatap Jillian. Berurusan dengan pemimpin perusahaan dan pria serius seperti Kenzo memang seperti ini, ia terbiasa menghargai lawan bicaranya. Namun, melihat gelagat Jillian yang aneh membuat Kenzo dalam mode waspada. “Om ….” Jillian memanggil Kenzo tapi tidak berani menatap matanya, menundukkan pandangan meski tubuh Jillian menghadap Kenzo dengan melipat satu kaki di atas sofa. Kenzo menaikkan satu alisnya, perubahan sikap Jillian ini membuatnya bingung. “Apa Om enggak bisa cari cara agar kita enggak perlu menikah tapi aku enggak masuk Panti Asuhan?” Jillian bertanya hati-hati. Sudah Kenzo duga sebelumnya jika gadis nakal di depannya ini berpikir untuk mengakali wasiat Adolf Guzman.
“Jillian enggak pernah naik motor, Pak … jadi gampang masuk angin,” ujar Bu Salamah sedikit sewot. Tangannya sibuk memeras handuk kecil yang direndam air dingin untuk mengompres kening Jillian. Meski dokter keluarga baru saja pulang setelah memeriksa Jillian dan memberikan resep obat yang sedang dibeli Pak Ujang—tapi Bu Salamah tetap melakukan cara tradisional untuk menurunkan demam Jillian.Yuda sudah membuka mulutnya namun urung ketika Kenzo langsung membuka suara membela diri. “Tadi dia buru-buru pulang karena guru lesnya sudah sampe sini, jadi saya ajak naik motor biar cepet … Pak Yuda juga ngapain nyuruh Jill ke kantor saya segala? Dia sempat nunggu beberapa lama karena saya ada meeting.” Yuda merotasi bola matanya malas. “Iya … saya yang salah.” “Jill, makan bubur dulu ya.” Amira datang membawa nampan berisi semangkuk bubur buatannya sendiri. “Enggak mau!” seru Jillian membalikkan tubuh menjadi
“Mommy …,” panggil gadis kecil yang kini telah berusia empat tahun. Gadis kecil itu duduk membelakangi Jillian karena rambutnya sedang diikat pony tail sesuai permintaan sang gadis. “Yess Love?” Jillian menyahut. “Apa Cantik boleh memiliki adik lagi?” Jillian menaikkan kedua alisnya lalu mengerjap pelan. “Pasti Daddy yang meminta Cantik mengatakan itu sama Mommy, kan?” Jillian menjauhkan tangannya dari kepala Cantik, ia selesai mengikat rambut ikal gadis kecil yang cerewet itu. Cantik membalikan badan lalu tersenyum lebar. “Kata Daddy, Cantik bisa main Barbie sama adik Cantik yang baru.” Jillian tertawa sumbang, tangannya terulur merapihkan poni Cantik. “Adik Rae enggak mau main boneka, maunya main mobil sama kereta.” Cantik mengerucutkan bibir. Cassius Rae Maverick-adiknya
Awalnya Callista berpikir kalau Caffe yang dibangun Jillian tidak akan bertahan lama karena ia begitu paham Jillian dengan segala sikap manjanya akan bosan apalagi ia yakin kalau Caffe itu dibangun hanya untuk membalas dendam kepadanya. Tapi nyatanya dua tahun berlalu dan Jillian tampak serius menjalankan Caffe itu, setiap hari pulang dari kampus mobil Jillian terlihat di pelataran Caffe hingga malam suaminya menjemput. Dan yang membuat Callista kesal adalah Caffe Jillian tidak pernah sepi pengunjung. Selalu saja pelataran parkir di depan Caffe itu penuh malah Jillian menyewa satu lahan sepanjang tahun untuk parkiran karena hari Sabtu atau minggu Caffe Jillian akan membudak dengan pengunjung. Padahal yang Callista tahu kalau menu di sana dibandrol cukup mahal. Pintarnya Jillian, ia sengaja membuat Caffenya eksclusive dengan sasaran kalangan atas tapi justru kalangan menengah dan mungkin ka
Jillian belum pernah merasa secemas ini dalam hidupnya. Ia khawatir launching Caffe-nya tidak berjalan lancar meski sudah menyewa EO dan mempersiapkan semuanya sesempurna mungkin. “Sayang, udah siap?” Kenzo melongokan kepala ke dalam walk in closet. Pria itu lantas masuk sambil mengembangkan senyum menawannya melihat Jillian yang tampak cemas berdiri di depan cermin seukuran tinggi Jillian. “Kamu gugup ya?” Kenzo berdiri di depan Jillian, kedua tangannya menggenggam tangan Jillian yang terasa dingin. Jillian meringis seraya mengangguk. “Aku khawatir ada masalah … Callista berulah misalnya.” “Kita enggak akan pernah tahu, tapi aku udah berusaha antisipasi semua faktor kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi.” “Kamu selalu prepare banget kaya gini ya?” “Aku selalu merencanakan semuanya dengan matang.” Kenzo membingkai sisi wajah Jil
“Oke … nanti karangan bunga diletakan di dinding depan sebelah kiri dan tolong geser pot besar yang di depan itu … kayanya menghalangi pemandangan dari sudut bagian kanan,” titah Jillian kepada seorang pria pegawainya. “Baik, Bu!” Pria itu pergi untuk melakukan perintah Jillian. Jillian melangkah cepat menuju kitchen. “Pak Ronald, semua bahan sudah oke? Berapa porsi dari setiap menu yang bisa kita sediakan?” Jillian bertanya kepada kokinya. “Bahan aman Bu, bisa sampai lima puluh porsi dari setiap menu … ibu mau cek lemari pendingin kita?” “Enggak perlu, Pak … saya percayakan sama Bapak ya!” “Siap Bu.” Jillian lantas pergi menuju bar tempat baristanya meracik kopi. “Mas Raka bagaimana bahan-bahannya? Pak Ronald sudah oke di lima puluh porsi dari setiap menu ….” Raut cemas di wajah Jillian membuat Raka tersenyum. “Ten
“Pak Adam boleh kok kalau mau cium Cantik.” Awalnya Adam Askandar tampak ragu tapi kemudian menunduk untuk mengecup kepala Cantik. Bahunya mulai bergetar menahan isak tangis yang sedari tadi ia tahan hingga menyesakan dada. Sang asisten segera memegangi Adam Askandar sementara Augusta Maverick dan ayahnya Bima menghampiri Adam Askandar bermaksud menenangkan. Mereka berdua membawa Adam Askandar ke meja yang telah disediakan. Tatapan sendu Jillian selama beberapa saat memaku Kenzo. Pria itu bergerak mendekat untuk mengecup kening Jillian. “Jangan mikir yang enggak-enggak,” kata Kenzo mengingatkan. “Kamu kira aku lagi mikirin apa?” Jillian mengerucutkan bibirnya. “Tiara.” Jillian mengembuskan napasnya karena jawaban Kenzo benar. “Memangnya kamu udah enggak mikirin dia?”
Jillian melongo takjub dengan rahang sedikit terbuka, luar biasa terpukau semenjak mobil yang dikemudikan driver memasuki gerbang depan rumahnya. Rumah yang disiapkan Kenzo untuknya sebelum mereka membatalkan perjanjian perceraian. Dan sekarang, setelah dilakukan beberapa renovasi kecil dan pengisian furniture yang memakan biaya besar—Jillian ingin menempatinya bersama Kenzo dan si Cantik. “Rumah ini aku banget,” gumam Jillian yang baru saja melangkah memasuki pintu utama. “Kamu suka?” Kenzo yang tengah menggendong si Cantik bertanya dari belakang punggung Jillian. Jillian memutar tubuhnya, melangkah sekali untuk mengikis jarak dengan Kenzo. “Aku suka … sangat suka! Rumah ini pasti mahal banget ya?” Terlihat pendar haru di netra Jillian yang berwarna coklat. Sang suami yang kelewat tampan dan sabar itu memberikan senyumnya. “Buat kamu, enggak ada ya
“Daddy pulaaaang!” seru Jillian yang tengah menggendong si Cantik melangkah mendekati pintu lift yang terbuka menampilkan sosok pria tampan pujaan hatinya. Kenzo menjatuhkan tasnya lalu merentangkan kedua tangan setelah keluar dari lift dan kini Jillian beserta si Cantik berada dalam pelukannya. “Kalian wangi sekali,” kata Kenzo yang telah puas mendaratkan banyak kecupan di wajah Jillian dan si Cantik. “Iya donk, tadi mommy sama Cantik mandi bareng … aku udah bisa mandiin si Cantik lho, Yang.” Jillian begitu bahagia ketika menceritakan prestasi sebagai Ibu yang akhirnya bisa memandikan sang buah hati meski sudah terlambat dua bulan lamanya. “Waaaw, hebat!” Kenzo memuji, memberikan hadiah kecupan lagi di bibir Jillian. “Aku mandi dulu ya,” kata Kenzo yang merasa tidak nyaman dengan tubuhnya yang lengket karena seharian berada di proyek. Kenzo bergegas
“Mau sampai kapan lo ngehindarin gue terus?” Kin berdiri tepat di depan Jillian menghalangi langkah wanita itu yang selama beberapa minggu semenjak kembali berkuliah selalu menghindarinya. Jillian akan menundukkan kepala bila harus terpaksa berpapasan dengan Kin lalu berjalan cepat agar cowok itu tidak bisa menyusul atau bila sudah melihat Kin dari jauh—Jillian lebih baik mengambil jalan memutar. Sebesar itu kekesalan Jillian kepada Kin yang telah dengan sengaja—hanya demi nama baik keluarga—menyerahkannya kepada polisi. Jillian akhirnya mendongak menatap Kin nyalang. “Minggir lo!” serunya, mendorong dada Kin kasar. “Jill … gue minta maaf, denger gue dulu!” Kin mencengkram tangan Jillian yang tidak berhenti meronta. “Lo enggak ada kuliah lagi, kan? Gue mau ngomong sama lo … sebentar aja, gue mau jelasin sama lo.” “Udah jelas, enggak perlu lo jelasin lagi!” seru Jillian
Satu hari setelah Jillian mengetahui Kenzo membiayai pengobatan ibunya Amira. “Yang … duit jajan aku kok belum kamu transfer?” Jillian bertanya sambil mengangkat ponselnya ke udara memberitau bahwa baru saja ia mengecek saldo rekeningnya dan belum bertambah. “Lupa ya? Apa duitnya abis dipake bayar pengobatan ibunya tante Amira?” serobot Jillian padahal Kenzo sudah membuka mulutnya untuk memberi penjelasan. “Bukan begitu sayang, hari ini enggak tahu kenapa m-banking eror … aku coba transfer sekarang ya.” Kenzo mengeluarkan ponselnya dari saku celana, seharian ini selain sibuk, memang setelah berulang kali dicoba—Kenzo tidak bisa mengakses rekeningnya melalui m-banking. “Ga usah lah, urusin aja tuh ibunya tante Amira,” ujar Jillian sambil melengos keluar kamar. “Ya?” Kenzo melongo, kedua alisnya terangkat membuat kerutan di keningnya. Satu minggu setelah Jilli