“Kamu pacarnya?” Kenzo bertanya dengan raut dan nada yang sama datarnya.
Pria itu melangkah mendekati Rangga.“Iya.” Rangga menjawab cepat, ia tidak punya waktu untuk berpikir.“Kamu enggak usah ke sini lagi, tinggalkan Jillian!”Nada rendah yang terlontar itu sarat akan penekanan dan ancaman.Rangga pikir pria ini berbeda, tapi nyatanya sama dan Rangga tidak gentar sedikitpun.“Kenapa saya harus mengikuti permintaan Anda?”Rangga menghadapkan tubuhnya pada Kenzo lalu mengangkat dagu menantang pria itu.“Pria macam apa yang meninggalkan kekasihnya di saat terburuk?”Dingin dan tersirat ledekan dalam kalimat tersebut.“Saya terikat kontrak, saya harus kerja … untuk menjadi sukses banyak yang harus saya korbankan, Jillian pasti mengerti.”Kenzo menganggukan kepalanya setuju, kembali melangkah mendekat dengan satu tangan yang ia sembunyikan di saku celana.“Demi kebaikan Jillian, tinggalkan dia.”Sekali lagi Kenzo meminta, ia telah menyanggupi permintaan Adolf Guzman untuk menjaga Jillian dan membimbingnya menjadi gadis yang baik.Rangga menyeringai. “Tidak akan, Anda bisa apa memangnya?”Rangga mengatakannya sambil menyeringai, menatap pria yang ia tidak tahu siapa namanya atau statusnya dalam keluarga Guzman lalu pergi menuju pintu keluar melewati para karyawan Adolf Guzman yang datang untuk melayat atau sekedar membantu menyiapkan pemakaman.Sebagai laki-laki, tentu Kenzo tahu bagaimana perasaan Rangga kepada Jillian dengan hanya berbincang beberapa detik dengan pria itu.Menurutnya Rangga tidak tulus dan seperti kata mendiang Adolf Guzman—Rangga hanya memanfaatkan Jillian saja.Kenzo memutar tubuhnya menapaki anak tangga satu persatu hingga tiba di lantai dua.Ia tidak butuh bertanya untuk mengetahui yang mana kamar Jillian karena terdapat nama gadis itu di salah satu pintu.Kenzo masuk, tanpa segan apalagi permisi. Langkah dari kakinya yang panjang berhenti tepat di sisi ranjang Jillian.Menatap gadis itu beberapa saat dengan berbagai pikiran dalam benaknya.Kenzo lalu membungkuk untuk menarik selimut hingga pundak Jillian menyamarkan bentuk dua bagian besar di dada gadis itu.Tapi pergerakannya justru membuat Jillian terjaga, mengerjap lalu refleks menegakan tubuh.“Ngapain Om di sini?” tanya Jillian waspada.Kenzo mengerjap, kehilangan kata-kata untuk menjawab.“Rangga mana?” Jillian bertanya sambil mengedarkan pandangannya ke seisi kamar.Ia mendengar suara Rangga yang panik sebelum pingsan jadi semestinya Rangga ada di sampingnya sekarang.“Barusan pergi, katanya ada job.”Kenzo meraih gelas dari atas nakas yang kemudian ia sodorkan ke hadapan Jillian.“Minum dulu.”Jillian menatap sinis Kenzo lalu menerima gelas itu.“Jangan sembarangan masuk kamar aku lagi, Om bukan siapa-siapa.”Setelah mengeluarkan kalimat bernada ketus, Jillian meneguk semua isi air dari dalam gelas. Jillian kehausan.“Oke,” sahut Kenzo kemudian pergi dengan langkah tegap namun santai.Pria itu masih sempat menatap Jillian yang ternyata juga sedang menatapnya sebelum akhirnya menutup pintu kamar.Malam ini Kenzo tidak tidur dan sudah dipastikan ia juga tidak bisa datang ke kantor karena harus mengurus pemakaman Adolf Guzman.Entah sejak kapan ia menjadi kerabat Adolf Guzman tapi yang pasti, hanya ada dirinya, Amira dan Yuda yang mengurus semua tentang kepergian mendiang.***Rasanya seperti mimpi, baru kemarin sore Jillian bertengkar dengan daddynya dan sekarang Jillian harus menghadiri pemakaman pria yang tanpa ia sadari adalah satu-satunya pria yang paling menyayanginya di dunia ini.Buliran kristal sudah berhenti mengalir meninggalkan mata sembab yang tatapannya selalu kosong.Dari mulai jenazah dimasukkan ke mobil ambulan untuk di makamkan di pemakaman San Diego Hills, Jillian memeluk keranda daddynya yang telah dikalungi bunga.Tidak beranjak dari sisi Adolf Guzman, mengabaikan punggungnya yang pegal dan kakinya yang kram karena terlipat selama beberapa jam di dalam mobil ambulan.Banyak pelayat yang mengantar hingga ke pemakaman, kebanyakan Jillian tidak mengenal wajah-wajah itu.Jillian hanya tersenyum tipis dan mengangguk ketika mereka mengucapkan bela sungkawa.Sesampainya di pemakaman, Jillian memeluk bingkai foto daddynya, melangkah gontai di belakang keranda yang digotong oleh beberapa orang.Biasanya ada bugycar yang khusus membawa keranda tapi karena tempat parkir mobil dan tempat pemakaman Adolf Guzman tidak jauh, maka mereka berinisiatif untuk menggotongnya saja sebagai penghormatan terakhir kepada beliau.Dan Jillian baru sadar bila salah satu pria yang tengah menggotong jenazah daddy adalah Kenzo, pria itu berada di paling depan seperti sedang memimpin pria lain untuk mengantarkan Adolf Guzman ke tempat peristirahatan terakhir.Ternyata jabatan tertinggi di sebuah perusahaan besar tidak membuat Kenzo enggan melakukan hal tersebut.Jillian berlutut di samping makam daddy saat almarhum dimasukkan ke dalam sana.Isak tangisnya menggetarkan siapa saja yang melihat dan mendengar.Bu Salamah menenangkan dengan mengusap punggung Jillian tapi itu tidak cukup, Jillian terus menangis memanggil daddynya.“Daaaad.” Jillian histeris tatkala tanah mulai menutupi tubuh daddy yang terbujur kaku di bawah sana.Jillian hendak melompat tapi sempat dihadang oleh Yuda dan pak Ujang.Meronta sekuat tenaga, Jillian ingin masuk bersama daddy ke liang kubur.Jillian tidak ingin merasakan kehilangan lagi, ia tidak sanggup.“Jill!”Seruan itu datangnya dari Yuda yang tidak mampu lagi menahan rontaan Jillian.“Jillian mau ikut daddy,” katanya sambil menangis tersedu.“Non, nyebut Non.” Bu Salamah dengan air matanya yang kian menderas.Amira pun turut menenangkan Jillian, membawa gadis yang selalu mencurigainya itu ke dalam pelukan.Tangis Jillian belum surut hingga prosesi pemakaman selesai.Jillian bersimpuh di samping gundukan tanah yang mengubur daddy, berpegangan pada nisan bertuliskan beloved daddy.Saat itu Jillian sadar jika dirinya telah menjadi sebatang kara.Satu persatu kerumunan pelayat mengurai menyisakan orang-orang terdekat Jillian saja.Jillian menatap pak Ujang, bu Salamah, Amira dan Yuda.Ia yakin mereka masih tinggal karena daddynya membayar mereka semasa hidup.“Kita pulang, Non.” Pak Ujang membantu Jillian berdiri.Sekali lagi, Jillian mengusap pusara daddy, mengecup nisan seolah sedang mengecup kening Adolf Guzman yang sudah sangat lama ia tidak pernah lakukan semenjak kepergian mommy.Jillian merasa kepalanya sakit di samping dadanya yang sesak, langkahnya juga gontai menyusuri jalan setapak untuk kembali ke mobil.Lama-lama pandangannya tampak kabur membuat Jillian limbung ke depan tapi lagi-lagi satu tangan kekar merengkuh menahan pinggangnya.Jillian tidak jadi tersungkur, lengan itu juga membantu Jillian menegakan tubuh.Jillian mendongak, mencari tahu siapa si pemilik lengan tapi matahari yang sudah berada di titik paling tinggi terhalangi cahayanya oleh kepala pria tinggi yang sedang merengkuh Jillian saat ini.Jillian mengerjap, mengakomodasi netranya agar bisa menangkap siluet wajah pria itu.Dan … sebelum akhirnya kesadaran Jillian di renggut paksa, ia bisa melihat wajah pria itu.Satu yang Jillian akui, wajah itu begitu … tampan.Kenzo menggendong Jillian yang kembali pingsan, membawa sang gadis ke dalam mobil yang dikemudikan pak Ujang.“Pak Kenzo enggak ikut pulang sama saya?” Bu Salamah bertanya setelah Kenzo menurunkan Jillian di dalam mobil.“Pak Kenzo, kalau bisa temenin Jillian dulu … saya harus ngurusin berkas-berkas pak Adolf.”Belum sempat Kenzo menjawab, Yuda sang pengacara keluarga Guzman memberi saran demikian.“Iya Pak, saya juga harus melakukan rapat dengan para pemegang saham.” Amira menambahkan.“Memangnya saya enggak ada kerjaan?” gumam Kenzo meski sebenarnya memang ia telah meluangkan waktu hari ini.Yuda dan Amira tersenyum kecut mendengar gumaman Kenzo yang menggerutu.Mereka berpisah memasuki mobil masing-masing tapi pergerakan Kenzo terhenti ketika melihat Bu Salamah memasuki mobil lain bukan mobil di mana tadi ia menurunkan Jillian.“Pak, nanti jemput saya di rumah Pak Adolf,” titah Kenzo kepada drivernya.Kenzo memberhentikan mobil Jillian ketika melewatinya.“Pak, saya ikut mobil ini.”“Iya Pak, silahkan … kasian Non Jill.”Pak Ujang membuka kunci pintu mobil sehingga Kenzo bisa masuk dan duduk di samping Jillian yang belum sadarkan diri.Kenzo memeriksa kondisi Jillian, memegang denyut nadinya yang berdenyut kencang.Jillian terisak dengan mata terpejam. “Daddy!” Memanggil daddynya berulang kali.Kenzo mengembuskan napas sebelum akhirnya merangkul pundak Jillian membawa kepala gadis itu bersandar di dada.“Daddy, maafin Jill.”Jillian mengusel di dada Kenzo membuat ujung kepalanya menyentuh dagu pria itu dan kedua tangan Jillian melingkar erat di tubuh Kenzo.Ada debar tidak biasa di dada Kenzo, ia berpikir karena kulitnya bersentuhan dengan kulit Jillian yang putih dan mulus.Kenzo adalah pria normal dan wajar merasakan hal tersebut.Jillian sudah membaca pesan Rangga, ia mengerti jika Rangga harus kerja. Terpaksa mengerti sebenarnya. Ternyata Rangga memilih bekerja dibanding menemaninya, lalu apa bedanya dengan Daddy? Jillian menyibak selimut yang membalut tubuhnya, menurunkan kaki untuk membasuh wajah yang matanya sembab. Tadi ponselnya berdering tidak henti memunculkan banyak pop up notifikasi pesan. Pasti dari ketiga sahabat Jillian. Keluar dari kamar mandi, Jillian mencari ponselnya yang ia letakkan di atas nakas. Benar saja, ketika Jillian membuka aplikasi pesan banyak pesan masuk dari ketiga sahabatnya mengucapkan bela sungkawa termasuk para guru dan kepala sekolah. Mereka mengatakan akan datang selepas pembelajaran selesai. Jillian menarik handle pintu kamar, tenggorokannya terasa haus setelah tadi menangis lalu pingsan. Ia terlonjak ketika menemukan Kenzo duduk di sofa yang berada di depan kamarnya.
Di ruang makan, Jillian dan Rangga tidak makan yang sebenarnya. Jillian duduk di atas pangkuan Rangga dengan posisi menyamping, kedua tangannya memeluk leher Rangga membuat pria itu kesulitan menyuapkan makanan padahal ia belum makan sedari siang. “Kamu kenapa lama banget datangnya.” Jillian merengek di ceruk leher Rangga. “Tadi abis pemotretan aku ada meeting, bahas konsep dan tema untuk project yang baru … kamu sudah makan?” Rangga menjelaskan diakhiri pertanyaan agar Jillian bisa melepaskannya sebentar untuk menyantap makan malam. Tapi sang kekasih yang tengah berduka enggan pergi dari atas pangkuannya. Rangga mengusap punggung Jillian lembut sambil mengunyah makan malam yang sempat masuk ke mulut. “Aku enggak selera.” Jillian menyahut lemah, wajahnya masih terbenam di leher Rangga. Bagi Jillian, leher Rangga adalah tempat bersembunyi paling nyaman saat ini. Sembunyi dari r
“Masuk Jill, Ibu mau menyampaikan sesuatu … di depan wali kamu.” Sekarang kening Jillian mengkerut semakin dalam. Sejak kapan Kenzo menjadi walinya? Tapi tak ayal, kakinya ia langkahkan juga masuk lebih jauh ke ruangan bu Eva. Perlahan kaki Jillian melangkah sambil memberikan sorot mata penuh tanya—Jillian menatap Kenzo. Tapi Kenzo hanya diam begitu tenang dengan punggung tegapnya yang tegak, ekspresi pria itu datar tapi tidak dingin. “Jadi, barusan Ibu sudah bicara sama pak Kenzo-wali kamu meny—“ “Sejak kapan Om jadi wali aku?” Jillian menyela ucapan Bu Eva. Tidak bisa untuk tidak bertanya, bila perlu berdebat dengan Kenzo meski dihadapan bu Eva. Karena ia harus tahu kenapa Kenzo bisa menggantikan peran daddynya. “Sekarang wali kamu itu pak Yuda, Irma dan saya … mendiang pak Adolf membuat surat wasiat yang meminta kami untuk menjadi wali kamu … Amira sibuk menangani perusahaa
“Pak Yuda harus segera mengumumkan isi wasiat pak Adolf, harus ada pengganti pak Adolf … jika tidak, nanti keputusan akan diambil alih pemegang saham.” Amira mendesak Yuda untuk membacakan isi wasiat tersebut karena dari informasi yang diberikan Yuda padanya—jika di dalam wasiat itu Adolf Guzman menunjuk seseorang untuk menggantikan beliau. Yuda terlihat gamang, ia yang sudah mengetahui betul tentang isi wasiat kesulitan mengambil keputusan. “Apa tidak ada cara untuk mengulur waktu? Seharusnya wasiat ini diumumkan setelah Jill lulus SMA … sepertinya pak Adolf tidak mengira beliau akan pergi secepat ini.” Yuda menundukkan pandangan, menyembunyikan rasa kehilangan yang menekan dada semenjak kepergian Adolf Guzman-klien sekaligus sahabatnya. “Saya hanya sekertaris, Pak … saya tidak bisa melakukan apapun … tapi jika Pak Yuda bersedia mencoba untuk membuat para pemegang saham mengerti dan mau menunggu—saya akan jadwalkan p
“Rangga,” gumam Jillian yang raut wajahnya berubah senang. Jillian berlari keluar dari ruang kerja sang daddy, kaki mungilnya menapaki turun anak tangga menggunakan sendal rumah. Rangga berdiri di bawah tangga, tersenyum sambil merentangkan kedua tangannya mengundang Jillian ke dalam pelukan. Jillian melihat satu tangan Rangga menggenggam paperbag tapi Jillian mengabaikan itu, tubuh Rangga terlalu menggiurkan untuk dipeluk. Dari lantai dua, Kenzo melihat bagaimana cara Jillian memeluk Rangga, bagaimana gadis itu menatap Rangga dan tersenyum penuh suka cita melupakan semua beban kesedihan atas meninggalnya Adolf Guzman, melupakan kenyataan jika ia sebatang kara.Jillian selalu bahagia setiap kali bersama Rangga seolah-olah Rangga adalah kebahagiaannya di dunia ini. Kenzo masih mengawasi Jillian dan Rangga dari lantai dua dengan tatapan tak terbaca. “Aku bawa ice cream kesukaan kamu, kita makan di dekat kolam
Jillian menoleh ke arah pintu yang menghubungkan ke ruang televisi memastikan Yuda tidak menguping. Jillian bangkit lalu duduk di kursi yang sama dengan Kenzo membuat pria itu duduk menyerong agar bisa menatap Jillian. Berurusan dengan pemimpin perusahaan dan pria serius seperti Kenzo memang seperti ini, ia terbiasa menghargai lawan bicaranya. Namun, melihat gelagat Jillian yang aneh membuat Kenzo dalam mode waspada. “Om ….” Jillian memanggil Kenzo tapi tidak berani menatap matanya, menundukkan pandangan meski tubuh Jillian menghadap Kenzo dengan melipat satu kaki di atas sofa. Kenzo menaikkan satu alisnya, perubahan sikap Jillian ini membuatnya bingung. “Apa Om enggak bisa cari cara agar kita enggak perlu menikah tapi aku enggak masuk Panti Asuhan?” Jillian bertanya hati-hati. Sudah Kenzo duga sebelumnya jika gadis nakal di depannya ini berpikir untuk mengakali wasiat Adolf Guzman.
“Jillian enggak pernah naik motor, Pak … jadi gampang masuk angin,” ujar Bu Salamah sedikit sewot. Tangannya sibuk memeras handuk kecil yang direndam air dingin untuk mengompres kening Jillian. Meski dokter keluarga baru saja pulang setelah memeriksa Jillian dan memberikan resep obat yang sedang dibeli Pak Ujang—tapi Bu Salamah tetap melakukan cara tradisional untuk menurunkan demam Jillian.Yuda sudah membuka mulutnya namun urung ketika Kenzo langsung membuka suara membela diri. “Tadi dia buru-buru pulang karena guru lesnya sudah sampe sini, jadi saya ajak naik motor biar cepet … Pak Yuda juga ngapain nyuruh Jill ke kantor saya segala? Dia sempat nunggu beberapa lama karena saya ada meeting.” Yuda merotasi bola matanya malas. “Iya … saya yang salah.” “Jill, makan bubur dulu ya.” Amira datang membawa nampan berisi semangkuk bubur buatannya sendiri. “Enggak mau!” seru Jillian membalikkan tubuh menjadi
“Udah makan siang?” Suara berat itu bertanya. Jillian menganggukan kepala. “Obat kamu ketinggalan.” Kenzo mengeluarkan botol berisi kapsul obat-obatkan Jillian dari dalam saku jasnya. Jillian meraihnya tapi Kenzo menarik tangan kembali. Pria itu membuka tutup botol obat, mengeluarkan obat-obatan lalu memberikan kepada Jillian tanpa suara atau omelan karena Jillian melupakan obatnya di rumah. Setelah itu Kenzo memberikan botol air mineral baru yang ada di atas meja untuk Jillian. Padahal air mineral yang Bima kasih tadi belum habis, ada di nakas samping ranjang. “Kamu mau pulang atau mau lanjutin belajar?” Kenzo bertanya seraya melirik arlojinya. “Pulang aja,” jawab Jillian karena jam pelajarannya hanya tinggal lima belas menit lagi sebelum bel berbunyi membubarkan para siswa. Kenzo mengangguk setuju, ia menghubungi seseorang untuk membawakan tas Jillian dari kelasnya. “Butuh
“Mommy …,” panggil gadis kecil yang kini telah berusia empat tahun. Gadis kecil itu duduk membelakangi Jillian karena rambutnya sedang diikat pony tail sesuai permintaan sang gadis. “Yess Love?” Jillian menyahut. “Apa Cantik boleh memiliki adik lagi?” Jillian menaikkan kedua alisnya lalu mengerjap pelan. “Pasti Daddy yang meminta Cantik mengatakan itu sama Mommy, kan?” Jillian menjauhkan tangannya dari kepala Cantik, ia selesai mengikat rambut ikal gadis kecil yang cerewet itu. Cantik membalikan badan lalu tersenyum lebar. “Kata Daddy, Cantik bisa main Barbie sama adik Cantik yang baru.” Jillian tertawa sumbang, tangannya terulur merapihkan poni Cantik. “Adik Rae enggak mau main boneka, maunya main mobil sama kereta.” Cantik mengerucutkan bibir. Cassius Rae Maverick-adiknya
Awalnya Callista berpikir kalau Caffe yang dibangun Jillian tidak akan bertahan lama karena ia begitu paham Jillian dengan segala sikap manjanya akan bosan apalagi ia yakin kalau Caffe itu dibangun hanya untuk membalas dendam kepadanya. Tapi nyatanya dua tahun berlalu dan Jillian tampak serius menjalankan Caffe itu, setiap hari pulang dari kampus mobil Jillian terlihat di pelataran Caffe hingga malam suaminya menjemput. Dan yang membuat Callista kesal adalah Caffe Jillian tidak pernah sepi pengunjung. Selalu saja pelataran parkir di depan Caffe itu penuh malah Jillian menyewa satu lahan sepanjang tahun untuk parkiran karena hari Sabtu atau minggu Caffe Jillian akan membudak dengan pengunjung. Padahal yang Callista tahu kalau menu di sana dibandrol cukup mahal. Pintarnya Jillian, ia sengaja membuat Caffenya eksclusive dengan sasaran kalangan atas tapi justru kalangan menengah dan mungkin ka
Jillian belum pernah merasa secemas ini dalam hidupnya. Ia khawatir launching Caffe-nya tidak berjalan lancar meski sudah menyewa EO dan mempersiapkan semuanya sesempurna mungkin. “Sayang, udah siap?” Kenzo melongokan kepala ke dalam walk in closet. Pria itu lantas masuk sambil mengembangkan senyum menawannya melihat Jillian yang tampak cemas berdiri di depan cermin seukuran tinggi Jillian. “Kamu gugup ya?” Kenzo berdiri di depan Jillian, kedua tangannya menggenggam tangan Jillian yang terasa dingin. Jillian meringis seraya mengangguk. “Aku khawatir ada masalah … Callista berulah misalnya.” “Kita enggak akan pernah tahu, tapi aku udah berusaha antisipasi semua faktor kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi.” “Kamu selalu prepare banget kaya gini ya?” “Aku selalu merencanakan semuanya dengan matang.” Kenzo membingkai sisi wajah Jil
“Oke … nanti karangan bunga diletakan di dinding depan sebelah kiri dan tolong geser pot besar yang di depan itu … kayanya menghalangi pemandangan dari sudut bagian kanan,” titah Jillian kepada seorang pria pegawainya. “Baik, Bu!” Pria itu pergi untuk melakukan perintah Jillian. Jillian melangkah cepat menuju kitchen. “Pak Ronald, semua bahan sudah oke? Berapa porsi dari setiap menu yang bisa kita sediakan?” Jillian bertanya kepada kokinya. “Bahan aman Bu, bisa sampai lima puluh porsi dari setiap menu … ibu mau cek lemari pendingin kita?” “Enggak perlu, Pak … saya percayakan sama Bapak ya!” “Siap Bu.” Jillian lantas pergi menuju bar tempat baristanya meracik kopi. “Mas Raka bagaimana bahan-bahannya? Pak Ronald sudah oke di lima puluh porsi dari setiap menu ….” Raut cemas di wajah Jillian membuat Raka tersenyum. “Ten
“Pak Adam boleh kok kalau mau cium Cantik.” Awalnya Adam Askandar tampak ragu tapi kemudian menunduk untuk mengecup kepala Cantik. Bahunya mulai bergetar menahan isak tangis yang sedari tadi ia tahan hingga menyesakan dada. Sang asisten segera memegangi Adam Askandar sementara Augusta Maverick dan ayahnya Bima menghampiri Adam Askandar bermaksud menenangkan. Mereka berdua membawa Adam Askandar ke meja yang telah disediakan. Tatapan sendu Jillian selama beberapa saat memaku Kenzo. Pria itu bergerak mendekat untuk mengecup kening Jillian. “Jangan mikir yang enggak-enggak,” kata Kenzo mengingatkan. “Kamu kira aku lagi mikirin apa?” Jillian mengerucutkan bibirnya. “Tiara.” Jillian mengembuskan napasnya karena jawaban Kenzo benar. “Memangnya kamu udah enggak mikirin dia?”
Jillian melongo takjub dengan rahang sedikit terbuka, luar biasa terpukau semenjak mobil yang dikemudikan driver memasuki gerbang depan rumahnya. Rumah yang disiapkan Kenzo untuknya sebelum mereka membatalkan perjanjian perceraian. Dan sekarang, setelah dilakukan beberapa renovasi kecil dan pengisian furniture yang memakan biaya besar—Jillian ingin menempatinya bersama Kenzo dan si Cantik. “Rumah ini aku banget,” gumam Jillian yang baru saja melangkah memasuki pintu utama. “Kamu suka?” Kenzo yang tengah menggendong si Cantik bertanya dari belakang punggung Jillian. Jillian memutar tubuhnya, melangkah sekali untuk mengikis jarak dengan Kenzo. “Aku suka … sangat suka! Rumah ini pasti mahal banget ya?” Terlihat pendar haru di netra Jillian yang berwarna coklat. Sang suami yang kelewat tampan dan sabar itu memberikan senyumnya. “Buat kamu, enggak ada ya
“Daddy pulaaaang!” seru Jillian yang tengah menggendong si Cantik melangkah mendekati pintu lift yang terbuka menampilkan sosok pria tampan pujaan hatinya. Kenzo menjatuhkan tasnya lalu merentangkan kedua tangan setelah keluar dari lift dan kini Jillian beserta si Cantik berada dalam pelukannya. “Kalian wangi sekali,” kata Kenzo yang telah puas mendaratkan banyak kecupan di wajah Jillian dan si Cantik. “Iya donk, tadi mommy sama Cantik mandi bareng … aku udah bisa mandiin si Cantik lho, Yang.” Jillian begitu bahagia ketika menceritakan prestasi sebagai Ibu yang akhirnya bisa memandikan sang buah hati meski sudah terlambat dua bulan lamanya. “Waaaw, hebat!” Kenzo memuji, memberikan hadiah kecupan lagi di bibir Jillian. “Aku mandi dulu ya,” kata Kenzo yang merasa tidak nyaman dengan tubuhnya yang lengket karena seharian berada di proyek. Kenzo bergegas
“Mau sampai kapan lo ngehindarin gue terus?” Kin berdiri tepat di depan Jillian menghalangi langkah wanita itu yang selama beberapa minggu semenjak kembali berkuliah selalu menghindarinya. Jillian akan menundukkan kepala bila harus terpaksa berpapasan dengan Kin lalu berjalan cepat agar cowok itu tidak bisa menyusul atau bila sudah melihat Kin dari jauh—Jillian lebih baik mengambil jalan memutar. Sebesar itu kekesalan Jillian kepada Kin yang telah dengan sengaja—hanya demi nama baik keluarga—menyerahkannya kepada polisi. Jillian akhirnya mendongak menatap Kin nyalang. “Minggir lo!” serunya, mendorong dada Kin kasar. “Jill … gue minta maaf, denger gue dulu!” Kin mencengkram tangan Jillian yang tidak berhenti meronta. “Lo enggak ada kuliah lagi, kan? Gue mau ngomong sama lo … sebentar aja, gue mau jelasin sama lo.” “Udah jelas, enggak perlu lo jelasin lagi!” seru Jillian
Satu hari setelah Jillian mengetahui Kenzo membiayai pengobatan ibunya Amira. “Yang … duit jajan aku kok belum kamu transfer?” Jillian bertanya sambil mengangkat ponselnya ke udara memberitau bahwa baru saja ia mengecek saldo rekeningnya dan belum bertambah. “Lupa ya? Apa duitnya abis dipake bayar pengobatan ibunya tante Amira?” serobot Jillian padahal Kenzo sudah membuka mulutnya untuk memberi penjelasan. “Bukan begitu sayang, hari ini enggak tahu kenapa m-banking eror … aku coba transfer sekarang ya.” Kenzo mengeluarkan ponselnya dari saku celana, seharian ini selain sibuk, memang setelah berulang kali dicoba—Kenzo tidak bisa mengakses rekeningnya melalui m-banking. “Ga usah lah, urusin aja tuh ibunya tante Amira,” ujar Jillian sambil melengos keluar kamar. “Ya?” Kenzo melongo, kedua alisnya terangkat membuat kerutan di keningnya. Satu minggu setelah Jilli