“Tunggu sini aja ya, Pak … aku cuma sebentar kok.”
“Baik, Non.”Setelah mobil yang dikendarai driver Ujang berhenti sempurna di depan loby kantor daddynya—Chalondra Jillian Guzman, putri tunggal dari Adolf Guzman-pemilik kerajaan bisnis yang terdiri dari real estate, komunikasi, jasa keuangan, jasa kesehatan, perusahaan kertas dan agribisnis di Indonesia—turun dari mobil mewahnya dan melangkah gemulai melintasi loby.Semua mengangguk disertai senyum ramah menyapa putri dari pemilik perusahaan di mana mereka bekerja.Tapi tidak sedikitpun senyum ramah berbalas dari bibir gadis yang kerap disapa Jillian itu, malah dagunya terangkat tinggi dengan tatapan lurus ke depan.Jillian terkenal sombong dan jutek juga bermasalah.Seringkali Adolf terkena serangan jantung karena ulah putrinya.Terlibat perkelahian di nightclub hampir setiap minggu.Merasa anak Sultan, Jillian juga selalu bersikap semena-mena dalam memperlakukan seseorang.“Daddy ada ‘kan, Tante?”Jillian bertanya kepada Amira-sekertaris daddynya yang telah bertahun-tahun mengabdi.Meski demikian, langkahnya sama sekali tidak ia hentikan. Langsung berjalan menuju pintu lalu membukanya tanpa bersedia mendengar jawaban Amira.Amira yang sudah membuka mulutnya jadi urung bersuara ketika melihat Jillian sudah masuk ke dalam ruangan Adolf Guzman.Hembusan napas panjang keluar dari bibir mungil wanita itu bersama gelengan kepala samar.“Dad, minta duit!” seru Jillian ketika daddynya mendongak dari berkas di meja.“Buat apalagi, sayang? Minggu kemarin kamu menghabiskan satu koma lima Milyar untuk sebuah tas berukuran kecil.”Kalimat sindiran itu diucapkan Adolf dengan nada lembut dan tatapan mata teduh memandang putri kecilnya yang kini telah beranjak dewasa.“Jil mau shopping,” jawab Jillian santai, menghempaskan bokongnya di kursi yang ada di depan meja Adolf Guzman.“Berapa?” Adolf bertanya seraya meraih ponselnya untuk mentransfer sejumlah uang melalui Mobile Banking ke rekening Jillian.“Emm ….” Jillian tampak berpikir.“Tujuh ratus ribu Euro kayanya cukup,” jawabnya kemudian.“Astaga sayang, tujuh ratus ribu Euro itu hampir sebelas Milyar … kamu enggak salah?”Jillian menggelengkan kepala dengan bibir menyunggingkan senyum sejuta pesona.“Jil shopping-nya di Eropa … mau Euro Trip sama teman-teman, boleh ya Dad.”Jillian meminta ijin tapi matanya malah menatap kuku-kukunya yang baru saja ia manicure.Gadis itu sangat tidak menghormati daddynya.“Tapi sebentar lagi kamu ujian kelulusan, apa kamu sudah belajar? Sudah menentukan mau kuliah di mana?”Jillian menggelengkan kepala, bibir bawahnya maju sedikit membuat wajah cantik gadis itu tampak menggemaskan.Adolf Guzman jadi merindukan mendiang istrinya-Maharani Putri yang wajahnya mirip Jillian.“Belum, Jillian bingung mau kuliah di mana.” Sungguh jawaban yang kelewat enteng dari siswi kelas dua belas yang sebentar lagi akan menghadapi ujian akhir kelulusan.“Ya ampun Jil, tolong Daddy sekali ini saja … kamu pikirkan masa depan kamu … jangan main-main terus, kamu harus kuliah setinggi mungkin lalu memegang perusahaan Daddy … hanya kamu harapan Daddy satu-satunya.”Ekspresi memelas di wajah Adolf Guzman yang sudah keriput dimakan usia itu tidak juga bisa meluluhkan hati Jillian.Sang putri beranjak dari kursinya, menatap nyalang Adolf Guzman dengan kedua tangan ia simpan di pinggang.“Daddy selalu nuntut Jill untuk jadi ini dan itu tapi Daddy enggak pernah ada untuk Jill, ingat pentas seni di sekolah Jill waktu SD? Cuma Daddy Jill yang enggak hadir, ingat waktu Jill SMP? Daddy enggak ada untuk menonton Resital Piano Jill padahal Daddy sudah bayar mahal guru les buat Jill dan ketika SMA … Daddy hanya nama buat Jill, seolah enggak ada sosoknya … bahkan ketika mommy meninggal, Daddy tega ninggalin Jill untuk perjalanan bisnis … jadi stop! Ngatur hidup Jill!!!”Dada Jillian kembang kempis dampak dari emosi yang membuncah.Buliran kristal meluncur dari sudut matanya tanpa bisa Jillian cegah.Jillian menyusutnya kasar. “Sekali lagi, jangan pernah atur hidup Jill karena Jill enggak akan mau nurut sama Daddy!”Jillian membalikan badan lalu pergi setelah berkata demikian, melupakan niat awalnya datang ke sini.Amira yang berpapasan dengan Jill di lorong—dilewati Jill begitu saja tanpa sapa, malah mendelik kesal kepada wanita yang ia curigai menjalin kasih dengan daddynya.“Siapa dia seenaknya ngatur-ngatur hidup gue.” Jillian menggeram penuh emosi, menekan tombol lift tidak sabaran.Napasnya masih memburu hingga pintu lift terbuka di lantai dasar.Dan seperti ketika ia masuk, sekarang pada saat hendak keluar dari gedung pencakar langit milik daddynya pun Jillian tidak membalas sapaan karyawan di sana.Kebetulan mobil sedan mewah berwarna silver yang mirip seperti miliknya berhenti tepat di depan loby.Jillian menarik handle pintu lantas masuk begitu saja.“Ke Kemang, Pak … Caffenya Callista,” titah Jillian pada driver sambil menatap layar ponselnya.Jemari Jillian yang di setiap kukunya terdapat nail extension itu sibuk mengetikan sesuatu.Namun, mobil yang baru saja ia masuki tidak bergerak sedikitpun dan Jillian merasa ada sesosok makhluk duduk di sampingnya.Jillian refleks menoleh, matanya membulat melihat seorang pria dengan pakaian formal seperti yang sering digunakan sang daddy ke kantor—duduk tenang dan menatap datar ke arahnya.Jillian melongok ke depan, driver yang duduk di belakang kemudi bukanlah pak Ujang.“Ah sialan, gue salah masuk mobil.” Jillian mengumpat di dalam hati.“Sorry Om, salah masuk mobil ….”Jillian langsung turun tanpa mau mendengar tanggapan apapun dari pria yang sudah dipastikan adalah si pemilik mobil.Malu?Sedikit, tapi ya sudah lah ya. Kejadian konyol itu terjadi di kantor daddynya dan pria tadi pasti mengenal daddynya.Pandangan Jillian langsung tertuju pada jenis mobil dan warna sama.Mobil hadiah ulang tahun dari daddynya itu terparkir di ujung jalur drop out agar tidak menghalangi mobil yang lewat.“Pak, ke Kemang … ke Caffe Callista,” titah Jillian kepada driver Ujang.“Siap Nooon!” seru driver Ujang membuat senyum di bibir Jillian terbit.Kali ini ia tidak salah mobil dan bersama orang yang tepat, orang yang semenjak kecil selalu menemani ke mana ia pergi.Berbanding terbalik dengan suasana hati Adolf Guzman yang kini tengah bersedih karena baru menyadari jika selama ini telah menyakiti putri semata wayangnya.Terbukti dari ungkapan kekesalan Jillian barusan yang diucapkan dengan pendar mata penuh kebencian.Tok …Tok …Adolf Guzman menoleh ke arah pintu, tangannya bergerak cepat menyusut buliran kristal yang lancang keluar dari sudut mata.“Pak … Pak Kenzo sudah datang,” kata Amira memberitau.“Suruh masuk, Mir.”“Baik Pak,” sahut Amira sedikit mengangguk kemudian bergeser untuk mempersilahkan Kenzo Maverick-klien besar perusahaan GZ Corp. Milik Adolf Guzman.“Pak Adolf,” sapa Kenzo disertai senyum ramah.“Kenzo … duduklah,” balas Adolf yang sudah menganggap Kenzo seperti anaknya sendiri karena umur mereka terpaut dua puluh lima tahun.“Bagaimana dengan kesehatan Pak Adolf, waktu saya di Canada … saya dengar Pak Adolf harus pasang ring lagi.”Kenzo sangat perhatian karena dari klien yang lain hanya Adolf Guzman yang sangat mempercayai dan selalu mendukung juga banyak mengajarinya berbisnis.“Ya, kemarin saya pasang ring … kebetulan Jillian sedang liburan di Singapura jadi dia enggak tahu.”Raut wajah Adolf berubah sendu. Adolf tidak ingin membuat putrinya bersedih meratapi penyakitnya yang semakin memburuk sehingga selalu merahasiakan apapun yang terjadi dengan kesehatannya.Tapi jika dipikirkan kembali, mungkin Jillian tidak akan peduli.Gadis berusia sembilan belas tahun itu hanya peduli dengan uang daddynya saja.“Umur kamu berapa tahun ini, Ken?”Tiba-tiba Adolf bertanya setelah terdiam beberapa detik dan selama keterdiaman Adolf yang menatap kosong pada sudut ruangan—Kenzo juga dengan sabar menunggu pria yang sangat ia hormati itu mengutarakan maksud memintanya datang ke sini.“Tiga puluh satu tahun … tahun ini, Pak.” Kenzo menjawab cepat.“Kenapa kamu belum menikah? Saya juga enggak mendengar kamu dekat dengan seorang wanita … kamu normal ‘kan, Ken?”Kenzo tertawa menanggapi pertanyaan absurd Adolf.“Saya normal, Pak … tapi pekerjaan saya sangat menuntut waktu dan perhatian jadi saya enggak punya waktu menjalin hubungan.”Kenzo menjawab diplomatis menghasilkan senyum tipis Adolf, sejenis senyum bangga dalam hati berharap ia memiliki putra yang hebat dan tangguh dalam bisnis seperti Kenzo.Tapi tidak mungkin ia menikah lagi apalagi memiliki anak kembali karena umurnya saja divonis dokter hanya tersisa beberapa bulan.“Ken ….”“Ya, Pak?”“Saya ingin kamu memimpin perusahaan saya, semua perusahaan saya … saya tahu kamu bisa.”Kalimat yang diucapkan Adolf dengan ekspresi serius itu membuat Kenzo menaikkan kedua alisnya terkejut.Beberapa detik kemudian ia tersenyum.“Sebaiknya Pak Adolf mengurungkan niat Bapak itu karena nanti Pak Adolf akan diprotes keras oleh para pemegang saham … mereka juga meski hanya sedikit memiliki saham GZ Corp. Tapi pasti memiliki anak atau kerabat yang bisa dipercaya untuk memimpin perusahaan ini.”“Maka dari itu menikah dengan anak saya.”Kenzo mengerjap pelan, wajah tampannya yang sedang tertegun semakin tampan saja.Pria itu kemudian tertawa kering. “Jangan becanda, Pak … saya rasa putri Bapak tidak akan mau menikah karena perjodohan.”Gadis yang tadi tidak sengaja masuk ke dalam mobilnya itu memang cantik, seringkali Adolf memperlihatkan foto Jillian kepadanya tapi seragam SMA yang dikenakan Jillian memberitau Kenzo betapa masih sangat mudanya Jillian dan tidak mungkin mau untuk membina biduk rumah tangga dengan pria yang baru ia kenal.Memang benar, Jillian akan menentang keras—Adolf sangat tahu itu.“Ken, saya titip anak saya … saya ingin kamu yang menikahi dia dan pimpin perusahaan saya dengan baik, saya percaya sama kamu … saya mohon, Ken. Anggap saja ini permintaan terakhir saya, mungkin hidup saya tidak akan lama lagi.”“Jangan berkata seperti itu, Pak … apapun yang divonis dokter belum tentu menjadi takdir Pak Adolf, semangat Pak … Bapak memiliki seorang putri yang sangat membutuhkan Bapak.”Adolf menundukkan pandangan menatap ujung sepatunya.“Dia membenci saya, Ken … saya tahu kenakalan Jillian selama ini adalah bentuk protesnya terhadap saya yang dianggap menelantarkannya … saya harap setelah saya tiada nanti, dia bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi … tolong bimbing dia, Ken … Jillian sebenarnya anak yang baik dan penurut.”Adolf mendongak dengan matanya yang telah basah oleh buliran kristal.Kenzo menatap Adolf lekat, sorot mata permohonan yang terpancar di netra Adolf memberitau Kenzo betapa sayangnya Adolf pada Jillian.Beruntungnya Jillian memiliki ayah yang sangat sayang dan peduli terhadap masa depannya.Tidak seperti Kenzo yang lahir dari ibu seorang pelacur meski ayahnya adalah pengusaha sukses di Negri Paman Sam.Tapi Augusta Maverick memiliki banyak anak laki-laki dari istri syahnya sehingga Kenzo hanya mewarisi nama pria itu saja dan luka yang terlalu dalam yang beliau torehkan karena semasa hidup tidak sepeserpun membiayai kehidupan Kenzo.Apa yang Kenzo capai sekarang adalah murni kerja kerasnya sendiri, untuk bisa dipercaya menjadi CEO di salah satu perusahaan besar ini tidaklah mudah.Begitu banyak yang sudah ia korbankan.Di koordinat lain tepatnya di Caffe milik Callista-sahabat Jillian.Keempat gadis cantik yang masih memakai baju SMA itu sedang asyik bercengkerama disertai gelak tawa.Jillian selalu bersikap ceria dan bahagia di depan ketiga sahabatnya, tidak akan sekalipun ia menunjukkan tampang sedih karena baginya itu adalah aib.“Gimana nih, jadi enggak kita Euro Trip?” Izora bertanya antusias.“Jadi donk,” sahut Kirana semangat.“Jil, kok lo diem aja? Bokap lo ngijinin enggak?” Callista menyenggol lengan Jillian yang terlihat tidak bersemangat ketika Izora menyinggung tentang rencana liburan mereka.“Iya, diijinin lah … masa iya enggak.” Jillian menjawab tanpa berani menatap lawan bicaranya.“Asyiiiik, begitu donk! Kita harus kompak.”“Kompak ngabisin duit orang tua.” Kirana menimpali ucapan Callista.“Gue disuruh bokap survei kampus di sana,” cetus Izora yang refleks membuat ketiga sahabatnya tersedak minuman.“Kok gitu! Katanya kita mau kuliah di Jakarta.” Jillian tidak terima, ia belum mempersiapkan apapun untuk kuliah di luar Negri.“Sorry, ghenks … bokap ingin gue kuliah di Inggris.” Izora mengaku dengan raut sendu.“Yaaaa ….” Callista dan Kirana melorotkan bahunya sedih.“Sorry banget, gue enggak bisa membantah … selama ini bokap selalu ngasih apa yang gue minta.”Jillian merasa tersindir tapi bibirnya berusaha tersenyum dan mengerti dengan keputusan Izora.Mungkin ayah dari Izora sangat menyayangi Izora jadi Izora tidak membenci ayahnya seperti perasaan yang dimiliki Jillian saat ini kepada Adolf.“Baru pulang, sayang?” Suara berat Adolf mengudara padahal sosoknya entah di mana itu membuat Jillian menghentikan langkah seketika. Adolf selalu memanggil Jillian dengan sebutan sayang tapi tidak pernah mampu sampai menyentuh hati Jillian. Hati Jillian beku semenjak daddynya terbang ke Singapura untuk keperluan bisnis—satu jam setelah sang mommy dimakamkan. “Anak gadis enggak baik tidur larut malam, nanti kantung matanya timbul.” Adolf berusaha menasihati Jillian dengan candaan. “Jil, ke kamar dulu.” Jillian pamit, enggan berkomunikasi dengan Adolf setelah pertengkaran mereka tadi sore. Kakinya hendak ia hentakan menaiki anak tangga. “Jil, Daddy mau bicara sebentar boleh?” “Sudah malem, Dad … Daddy harus istirahat, sudah tua.” Tidak ada nada tinggi atau ketus, setiap kali setelah pertengkaran—Adolf memulai pembicaraan kembali dengan lemah lembut maka Jillian akan
“Pak Adolf … maaf, tadi Non Jill pergi ….” Pak Ujang melapor dengan napas tersengal menginterupsi perbincangan Adolf dengan salah satu kliennya. “Jill,” gumam Adolf dengan raut wajah cemas. Jadi ingat jika ia datang ke sini bersama sang putri, Adolf terlalu asyik berbincang dengan pak Wijaya-kliennya yang tidak sengaja bertemu di resto ini. “Tadi … Non Jill pergi meninggalkan resto ini, Pak … maaf Pak, saya enggak bisa ngejar.” “Pak Adolf, sebaiknya kita sambung pembicaraan kita nanti … sepertinya ada hal yang lebih penting yang membutuhkan perhatian Anda.” Pak Wijaya mengerti, ia pun harus kembali ke meja di mana keluarganya berada. “Baik, Pak Wijaya … sampai bertemu hari Senin di kantor.” Pak Wijaya akhirnya meninggalkan meja Adolf sehingga daddynya Jill bisa fokus kembali pada putrinya. “Jill pergi menggunakan apa?” Adolf bertanya kepada Pak Ujang. “Naik mobil, Pak … tapi enggak tah
“Menurut kamu Kenzo itu gimana?” Adolf Guzman bertanya pada putrinya yang diam saja selama sarapan pagi. “Enggak gimana-gimana,” sahut Jillian malas. “Jadi ….” Adolf Guzman menjeda dan Jillian tidak berminat baik menyelesaikan sarapannya maupun mendengar pernyataan kelanjutan sang daddy. Jillian beranjak dari kursi makan. “Jill pergi, Dad.” “Jil,” panggil Adolf Guzman menghentikan pergerakan Jillian yang tengah berjalan menjauh. Jillian menunggu tanpa bersedia membalikan badannya. “Mau ya Jill … menikah dengan Kenzo … dia pria baik, Jill … dia bertanggung jawab dan—“ “Dad!!” Jillian membalikkan badannya. “Daddy enggak liat baju apa yang dipakai Jill? Ini seragam SMA, Dad!” Jillian mencubit kemeja sekolahnya di bagian kerah. “Umur Jillian masih belasan, Daddy itu dimana sih pikirannya? Jillian enggak mau nikah sama siapapun sekarang, Dad ….” Jillian per
“Pak … ada telepon dari kepala sekolahnya Jill.” Amira memberitau melalui sambungan interkom disambut embusan napas panjang Adolf Guzman. “Sambungkan, Mir.” Suara lemah itu memerintah. “Baik Pak.” Setelah nada tunggu maka tersambung lah Adolf Guzman dengan kepala sekolah Jillian yang memintanya datang ke sekolah sekarang juga. Memaksakan diri, dengan tubuhnya yang lemah—Adolf Guzman pergi ke sekolah Jillian. Turun dari mobil, Adolf Guzman melangkah gontai menuju ruang kepala sekolah. Ancaman kepala sekolah yang mengatakan jika Jillian tidak bisa lulus tahun ini karena pertengkaran dengan teman sekolahnya menjadi beban tersendiri bagi Adolf Guzman. Bukan beban tentang rasa malu karena anaknya tinggal kelas tapi justru khawatir akan merusak mental Jillian. Putrinya akan bersedih dan rendah diri juga mungkin harus menanggung malu karena teman-temannya yang lain melanjutkan ke jen
“Maaf Jill, Daddy kamu enggak bisa saya selamatkan.” Jillian tidak bertanya lebih jauh tentang maksud dari pernyataan dokter Agung barusan. Langsung memutus sambungan telepon dan pergi ke rumah sakit kepercayaan daddy di mana dokter Agung berpraktik di sana. Mengabaikan pertanyaan Rangga apa yang terjadi ketika ia bergegas memakai kembali pakaiannya dengan linangan air mata. Jillian harus memastikan sendiri apa yang terjadi dengan daddy. “Jill, aku antar.” Rangga menarik tangan Jillian ketika Jillian dengan tampang linglung beranjak dari ruang televisi. Jillian hanya menganggukan kepala lalu melanjutkan langkahnya menuju pintu keluar. “Jill, tunggu!” Rangga yang tengah memakai kaosnya berseru sambil menyusul Jillian. “Ada apa sebenarnya? Telepon dari siapa tadi?” Rangga mengulang pertanyaannya dengan napas tersengal karena berlari menyusul Jillian. Keduanya sudah berada di dalam lift menuju bassement di mana mobil Rangga terparkir. “Daddy ….” Suara Jillian tercekat. “Yang te
“Kamu pacarnya?” Kenzo bertanya dengan raut dan nada yang sama datarnya.Pria itu melangkah mendekati Rangga. “Iya.” Rangga menjawab cepat, ia tidak punya waktu untuk berpikir. “Kamu enggak usah ke sini lagi, tinggalkan Jillian!” Nada rendah yang terlontar itu sarat akan penekanan dan ancaman. Rangga pikir pria ini berbeda, tapi nyatanya sama dan Rangga tidak gentar sedikitpun. “Kenapa saya harus mengikuti permintaan Anda?” Rangga menghadapkan tubuhnya pada Kenzo lalu mengangkat dagu menantang pria itu. “Pria macam apa yang meninggalkan kekasihnya di saat terburuk?” Dingin dan tersirat ledekan dalam kalimat tersebut. “Saya terikat kontrak, saya harus kerja … untuk menjadi sukses banyak yang harus saya korbankan, Jillian pasti mengerti.” Kenzo menganggukan kepalanya setuju, kembali melangkah mendekat dengan satu tangan yang ia sembunyikan di saku celana.
Jillian sudah membaca pesan Rangga, ia mengerti jika Rangga harus kerja. Terpaksa mengerti sebenarnya. Ternyata Rangga memilih bekerja dibanding menemaninya, lalu apa bedanya dengan Daddy? Jillian menyibak selimut yang membalut tubuhnya, menurunkan kaki untuk membasuh wajah yang matanya sembab. Tadi ponselnya berdering tidak henti memunculkan banyak pop up notifikasi pesan. Pasti dari ketiga sahabat Jillian. Keluar dari kamar mandi, Jillian mencari ponselnya yang ia letakkan di atas nakas. Benar saja, ketika Jillian membuka aplikasi pesan banyak pesan masuk dari ketiga sahabatnya mengucapkan bela sungkawa termasuk para guru dan kepala sekolah. Mereka mengatakan akan datang selepas pembelajaran selesai. Jillian menarik handle pintu kamar, tenggorokannya terasa haus setelah tadi menangis lalu pingsan. Ia terlonjak ketika menemukan Kenzo duduk di sofa yang berada di depan kamarnya.
Di ruang makan, Jillian dan Rangga tidak makan yang sebenarnya. Jillian duduk di atas pangkuan Rangga dengan posisi menyamping, kedua tangannya memeluk leher Rangga membuat pria itu kesulitan menyuapkan makanan padahal ia belum makan sedari siang. “Kamu kenapa lama banget datangnya.” Jillian merengek di ceruk leher Rangga. “Tadi abis pemotretan aku ada meeting, bahas konsep dan tema untuk project yang baru … kamu sudah makan?” Rangga menjelaskan diakhiri pertanyaan agar Jillian bisa melepaskannya sebentar untuk menyantap makan malam. Tapi sang kekasih yang tengah berduka enggan pergi dari atas pangkuannya. Rangga mengusap punggung Jillian lembut sambil mengunyah makan malam yang sempat masuk ke mulut. “Aku enggak selera.” Jillian menyahut lemah, wajahnya masih terbenam di leher Rangga. Bagi Jillian, leher Rangga adalah tempat bersembunyi paling nyaman saat ini. Sembunyi dari r
“Mommy …,” panggil gadis kecil yang kini telah berusia empat tahun. Gadis kecil itu duduk membelakangi Jillian karena rambutnya sedang diikat pony tail sesuai permintaan sang gadis. “Yess Love?” Jillian menyahut. “Apa Cantik boleh memiliki adik lagi?” Jillian menaikkan kedua alisnya lalu mengerjap pelan. “Pasti Daddy yang meminta Cantik mengatakan itu sama Mommy, kan?” Jillian menjauhkan tangannya dari kepala Cantik, ia selesai mengikat rambut ikal gadis kecil yang cerewet itu. Cantik membalikan badan lalu tersenyum lebar. “Kata Daddy, Cantik bisa main Barbie sama adik Cantik yang baru.” Jillian tertawa sumbang, tangannya terulur merapihkan poni Cantik. “Adik Rae enggak mau main boneka, maunya main mobil sama kereta.” Cantik mengerucutkan bibir. Cassius Rae Maverick-adiknya
Awalnya Callista berpikir kalau Caffe yang dibangun Jillian tidak akan bertahan lama karena ia begitu paham Jillian dengan segala sikap manjanya akan bosan apalagi ia yakin kalau Caffe itu dibangun hanya untuk membalas dendam kepadanya. Tapi nyatanya dua tahun berlalu dan Jillian tampak serius menjalankan Caffe itu, setiap hari pulang dari kampus mobil Jillian terlihat di pelataran Caffe hingga malam suaminya menjemput. Dan yang membuat Callista kesal adalah Caffe Jillian tidak pernah sepi pengunjung. Selalu saja pelataran parkir di depan Caffe itu penuh malah Jillian menyewa satu lahan sepanjang tahun untuk parkiran karena hari Sabtu atau minggu Caffe Jillian akan membudak dengan pengunjung. Padahal yang Callista tahu kalau menu di sana dibandrol cukup mahal. Pintarnya Jillian, ia sengaja membuat Caffenya eksclusive dengan sasaran kalangan atas tapi justru kalangan menengah dan mungkin ka
Jillian belum pernah merasa secemas ini dalam hidupnya. Ia khawatir launching Caffe-nya tidak berjalan lancar meski sudah menyewa EO dan mempersiapkan semuanya sesempurna mungkin. “Sayang, udah siap?” Kenzo melongokan kepala ke dalam walk in closet. Pria itu lantas masuk sambil mengembangkan senyum menawannya melihat Jillian yang tampak cemas berdiri di depan cermin seukuran tinggi Jillian. “Kamu gugup ya?” Kenzo berdiri di depan Jillian, kedua tangannya menggenggam tangan Jillian yang terasa dingin. Jillian meringis seraya mengangguk. “Aku khawatir ada masalah … Callista berulah misalnya.” “Kita enggak akan pernah tahu, tapi aku udah berusaha antisipasi semua faktor kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi.” “Kamu selalu prepare banget kaya gini ya?” “Aku selalu merencanakan semuanya dengan matang.” Kenzo membingkai sisi wajah Jil
“Oke … nanti karangan bunga diletakan di dinding depan sebelah kiri dan tolong geser pot besar yang di depan itu … kayanya menghalangi pemandangan dari sudut bagian kanan,” titah Jillian kepada seorang pria pegawainya. “Baik, Bu!” Pria itu pergi untuk melakukan perintah Jillian. Jillian melangkah cepat menuju kitchen. “Pak Ronald, semua bahan sudah oke? Berapa porsi dari setiap menu yang bisa kita sediakan?” Jillian bertanya kepada kokinya. “Bahan aman Bu, bisa sampai lima puluh porsi dari setiap menu … ibu mau cek lemari pendingin kita?” “Enggak perlu, Pak … saya percayakan sama Bapak ya!” “Siap Bu.” Jillian lantas pergi menuju bar tempat baristanya meracik kopi. “Mas Raka bagaimana bahan-bahannya? Pak Ronald sudah oke di lima puluh porsi dari setiap menu ….” Raut cemas di wajah Jillian membuat Raka tersenyum. “Ten
“Pak Adam boleh kok kalau mau cium Cantik.” Awalnya Adam Askandar tampak ragu tapi kemudian menunduk untuk mengecup kepala Cantik. Bahunya mulai bergetar menahan isak tangis yang sedari tadi ia tahan hingga menyesakan dada. Sang asisten segera memegangi Adam Askandar sementara Augusta Maverick dan ayahnya Bima menghampiri Adam Askandar bermaksud menenangkan. Mereka berdua membawa Adam Askandar ke meja yang telah disediakan. Tatapan sendu Jillian selama beberapa saat memaku Kenzo. Pria itu bergerak mendekat untuk mengecup kening Jillian. “Jangan mikir yang enggak-enggak,” kata Kenzo mengingatkan. “Kamu kira aku lagi mikirin apa?” Jillian mengerucutkan bibirnya. “Tiara.” Jillian mengembuskan napasnya karena jawaban Kenzo benar. “Memangnya kamu udah enggak mikirin dia?”
Jillian melongo takjub dengan rahang sedikit terbuka, luar biasa terpukau semenjak mobil yang dikemudikan driver memasuki gerbang depan rumahnya. Rumah yang disiapkan Kenzo untuknya sebelum mereka membatalkan perjanjian perceraian. Dan sekarang, setelah dilakukan beberapa renovasi kecil dan pengisian furniture yang memakan biaya besar—Jillian ingin menempatinya bersama Kenzo dan si Cantik. “Rumah ini aku banget,” gumam Jillian yang baru saja melangkah memasuki pintu utama. “Kamu suka?” Kenzo yang tengah menggendong si Cantik bertanya dari belakang punggung Jillian. Jillian memutar tubuhnya, melangkah sekali untuk mengikis jarak dengan Kenzo. “Aku suka … sangat suka! Rumah ini pasti mahal banget ya?” Terlihat pendar haru di netra Jillian yang berwarna coklat. Sang suami yang kelewat tampan dan sabar itu memberikan senyumnya. “Buat kamu, enggak ada ya
“Daddy pulaaaang!” seru Jillian yang tengah menggendong si Cantik melangkah mendekati pintu lift yang terbuka menampilkan sosok pria tampan pujaan hatinya. Kenzo menjatuhkan tasnya lalu merentangkan kedua tangan setelah keluar dari lift dan kini Jillian beserta si Cantik berada dalam pelukannya. “Kalian wangi sekali,” kata Kenzo yang telah puas mendaratkan banyak kecupan di wajah Jillian dan si Cantik. “Iya donk, tadi mommy sama Cantik mandi bareng … aku udah bisa mandiin si Cantik lho, Yang.” Jillian begitu bahagia ketika menceritakan prestasi sebagai Ibu yang akhirnya bisa memandikan sang buah hati meski sudah terlambat dua bulan lamanya. “Waaaw, hebat!” Kenzo memuji, memberikan hadiah kecupan lagi di bibir Jillian. “Aku mandi dulu ya,” kata Kenzo yang merasa tidak nyaman dengan tubuhnya yang lengket karena seharian berada di proyek. Kenzo bergegas
“Mau sampai kapan lo ngehindarin gue terus?” Kin berdiri tepat di depan Jillian menghalangi langkah wanita itu yang selama beberapa minggu semenjak kembali berkuliah selalu menghindarinya. Jillian akan menundukkan kepala bila harus terpaksa berpapasan dengan Kin lalu berjalan cepat agar cowok itu tidak bisa menyusul atau bila sudah melihat Kin dari jauh—Jillian lebih baik mengambil jalan memutar. Sebesar itu kekesalan Jillian kepada Kin yang telah dengan sengaja—hanya demi nama baik keluarga—menyerahkannya kepada polisi. Jillian akhirnya mendongak menatap Kin nyalang. “Minggir lo!” serunya, mendorong dada Kin kasar. “Jill … gue minta maaf, denger gue dulu!” Kin mencengkram tangan Jillian yang tidak berhenti meronta. “Lo enggak ada kuliah lagi, kan? Gue mau ngomong sama lo … sebentar aja, gue mau jelasin sama lo.” “Udah jelas, enggak perlu lo jelasin lagi!” seru Jillian
Satu hari setelah Jillian mengetahui Kenzo membiayai pengobatan ibunya Amira. “Yang … duit jajan aku kok belum kamu transfer?” Jillian bertanya sambil mengangkat ponselnya ke udara memberitau bahwa baru saja ia mengecek saldo rekeningnya dan belum bertambah. “Lupa ya? Apa duitnya abis dipake bayar pengobatan ibunya tante Amira?” serobot Jillian padahal Kenzo sudah membuka mulutnya untuk memberi penjelasan. “Bukan begitu sayang, hari ini enggak tahu kenapa m-banking eror … aku coba transfer sekarang ya.” Kenzo mengeluarkan ponselnya dari saku celana, seharian ini selain sibuk, memang setelah berulang kali dicoba—Kenzo tidak bisa mengakses rekeningnya melalui m-banking. “Ga usah lah, urusin aja tuh ibunya tante Amira,” ujar Jillian sambil melengos keluar kamar. “Ya?” Kenzo melongo, kedua alisnya terangkat membuat kerutan di keningnya. Satu minggu setelah Jilli