Sebelum pulang, Mariana dan Nate sepakat untuk makan dulu di salah satu restoran. Sejak duduk di meja makan dan memesan, Mariana mendadak berubah seperti orang yang berbeda. Wajahnya muram, sorot matanya kosong, seolah pikirannya melayang entah ke mana. Nate menyadarinya, tapi ia merasa canggung untuk bertanya.Hingga makanan mereka tiba pun Mariana masih diam. Kedua tangannya terulur meraih peralatan makan, tapi gerakannya lamban seakan-akan ia tengah berjuang melawan sesuatu yang tak kasatmata. Ia tampak enggan menyuapkan makanan itu ke mulutnya.Dari kursinya, Nate sesekali melirik ke arah Mariana. Wanita itu tetap diam, bahkan tidak menyadari tatapan penuh tanya di seberangnya. Baru ketika suapan pertama berhasil masuk ke mulutnya, air mata terlihat memancar dari pelupuk matanya.“Mariana, apa kamu baik-baik saja?” tanya Nate akhirnya.Mariana menggeleng pelan. Setelah itu, air matanya benar-benar jatuh membasahi pipinya. Dadanya naik turun seiring napas yang mulai tidak beraturan
Mariana terdiam. Untuk beberapa saat, ia hanya menatap pria itu dengan mata lebar seolah kata-kata itu baru saja menghantam dadanya dengan keras. Namun, alih-alih melunak, sesuatu di dalam dirinya justru meledak.Ia tertawa—tapi bukan tawa bahagia. Itu adalah tawa getir, penuh kepedihan dan kemarahan yang selama ini terpendam.“Kamu benar-benar keterlaluan, Bara.” Suaranya bergetar. “Kamu menginginkan Selene? Setelah kamu menghancurkan semuanya?”Napas Mariana memburu. Matanya membara dengan kemarahan yang tak lagi bisa ia bendung.“Jangan berbicara omong kosong! Pergilah, Bara! Selene nggak butuh ayah seperti kamu!”Tepat setelah bentakan itu, suara langkah kaki yang mendekat membuat Mariana mengalihkan pandangannya. Begitu melihat siapa yang datang, senyum miris tersungging di bibirnya.“Kalian berdua benar-benar luar biasa.” Mariana mendengus, matanya menatap penuh cemooh. “Benar-benar nggak tahu malu dengan datang ke mari.”Ia sadar betul ini adalah pemakaman—tempat peristirahatan
Setelah mendapat perawatan intensif dan menjalani serangkaian pemeriksaan, bayi dalam kandungan Bianca berhasil diselamatkan. Perempuan itu benar-benar merasa lega, begitu pula dengan Bara. Pria itu tahu, jika sampai kehilangan calon buah hatinya untuk kedua kalinya, ia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.Dokter yang menangani Bianca memasukkan hasil pemeriksaan ke dalam mapnya, lalu menatap pasangan itu dengan ekspresi serius. “Bu Bianca, kondisi Anda sudah stabil untuk saat ini, tetapi kehamilan Anda tetap dalam risiko tinggi. Pendarahan tadi bisa saja berakibat fatal jika terlambat ditangani.”Bianca menelan ludah, tangannya refleks mengelus perutnya yang masih terasa nyeri. “Apa yang harus saya lakukan, Dok?”“Anda harus banyak beristirahat dan menghindari stres,” dokter itu melanjutkan dengan nada tegas. “Tekanan emosional yang berlebihan dapat memicu kontraksi dini. Selain itu, pastikan asupan nutrisi tetap terjaga dan kurangi aktivitas berat. Kalau ada tanda-tanda sepe
Mariana sedang dalam perjalanan pulang ketika ponselnya bergetar. Ia melirik layar sebentar—nama ibunya tertera di sana. Tanpa berpikir panjang, ia langsung mengangkatnya.“Iya, Bu?”Awalnya, ibunya diam. Mariana bisa mendengar tarikan napas di seberang sana sebelum akhirnya suara itu terdengar.“Ibu tahu kamu masih sedih karena kehilangan Selene,” ujar Ratna. “Tapi, Mariana … kamu juga harus mengerti bagaimana rasanya hampir kehilangan anak.”Kening Mariana berkerut. “Maksud Ibu?”“Bianca.”Jantung Mariana berdegup sedikit lebih kencang.“Dia beruntung cepat mendapat pertolongan, tapi bukan berarti dia dan bayinya baik-baik saja.”Mariana menggigit bibirnya. Tangan kirinya mengepal tanpa sadar di atas pangkuannya. Ada sesuatu dalam nada suara ibunya yang membuat dadanya terasa sesak.“Ibu dan Ayah sudah gagal mendidik Bianca,” lanjut Ratna. “Jangan sampai kami juga gagal mendidik kamu, Mariana.”Mariana menelan ludah, tapi rasa kering di tenggorokannya tidak hilang. Pandangannya mene
Lima bulan telah berlalu sejak Mariana resmi menjadi ibu susu Elhan. Waktu terasa begitu cepat, dan kini hanya tersisa satu bulan lagi dari perjanjian awal mereka. Mariana merasa berat hati.Setiap detik bersama Elhan membuatnya semakin terikat pada bayi itu, dan semakin ia merasa dekat, semakin ia takut harus berpisah. Namun, ada juga hal lain yang mengganjal di hatinya. Hubungannya dengan orang tuanya semakin renggang.Sejak ibunya menelepon dan menyalahkannya atas kejadian pendarahan Bianca, Mariana merasa sangat terluka. Ia merasa disalahkan tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan segala sesuatunya, dan meski mencoba untuk menjaga hubungan, ia mulai menghindari mereka.Berbeda dengan Arsita dan Arya yang selalu mendukung dan memahami dirinya tanpa syarat, Mariana merasa lebih diterima bersama mereka. Mereka tidak menghakimi, mereka hanya memberikan perhatian dan pengertian. Sementara itu, dengan orang tuanya, ia merasa seperti terjebak dalam ketegangan yang tidak bisa dijelaskan.
Kamar Hotel, Pukul 10 Malam.Mariana bersandar di kepala ranjang, jari-jarinya masih menggenggam ponsel yang layarnya memantulkan cahaya di wajahnya. Pesan dari Nate masih terbuka.[Jangan terlalu dipikirkan soal tadi. Aku hanya ingin melindungimu.]Ia menghela napas pelan. Seharusnya ia mengabaikannya atau setidaknya membalas dengan sesuatu yang santai. Tapi pikirannya tidak mau diam.Kenapa Nate terlihat begitu nyaman dalam perannya tadi?Apakah itu hanya spontanitas? Atau ada sesuatu yang lebih dalam?Mariana menggigit bibirnya, jempolnya melayang di atas keyboard sebelum akhirnya ia mengetik.Mariana: [Aku nggak menyangka kamu akan mengatakan hal seperti itu di depan Ririn.]Pesannya terkirim, dan ia segera meletakkan ponselnya di samping. Ia pikir Nate tidak akan langsung membalas, tapi beberapa detik kemudian, layarnya kembali menyala.Nathaniel Adikara: [Kamu lebih terkejut yang mana? Karena aku membelamu, atau karena aku mengakui sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak sadar seb
Suasana di kantor cabang terasa lebih sibuk dari biasanya, terutama dengan kehadiran Nathaniel Adikara, CEO yang selama ini lebih sering mengawasi dari pusat. Kehadirannya selalu membawa tekanan tersendiri bagi para karyawan—mereka ingin menunjukkan kinerja terbaik, tetapi di sisi lain, ada ketegangan yang tak terhindarkan.Mariana duduk di salah satu meja konferensi, sibuk mencatat poin-poin penting dari laporan yang baru saja dipresentasikan. Namun, semakin lama ia mulai merasa ada sesuatu yang berbeda.Ada bisik-bisik yang terdengar samar dari berbagai sudut ruangan, beberapa di antaranya terhenti seketika saat ia menoleh. Setiap kali ia mengangkat kepala, beberapa karyawan dengan cepat mengalihkan pandangan.Suara pena yang sebelumnya terdengar ramai kini terasa lebih jarang, seolah beberapa orang lebih sibuk mengamati situasi dibanding benar-benar mencatat.‘Kenapa mereka melihat ke arahku?’ pikirnya dalam hati.Mariana menghela napas pelan, berusaha mengabaikan perasaan tidak ny
Pantry kecil di ujung lorong mulai terisi lagi. Beberapa staf masuk satu per satu, membawa cangkir kopi atau camilan ringan. Tapi meja di pojok kiri—yang biasanya sepi—kali ini jadi pusat bisik-bisik. Bu Sari duduk di sana, ditemani Dira dan Leo. Ketiganya baru saja kembali dari kantin lantai dasar dengan satu topik yang tak bisa mereka lewatkan begitu saja.“Jadi … tadi kalian lihat juga, ‘kan?” Dira membuka percakapan dengan suara pelan tapi penuh tekanan. “Pak Nathaniel masuk ke kantin, Pak Ardi dari tim operasional sudah berdiri menyambutnya. Tapi dia malah langsung duduk di meja yang ada Mariana.”Bu Sari yang sedang mengaduk tehnya pelan lantas mengangguk. “Saya juga lihat. Gaya Pak Nathaniel memang tenang, tapi gerakannya jelas menunjukkan bahwa Pak Nathaniel memang memilih duduk di sana.”Leo bersandar, tangannya meremas kaleng soda yang hampir kosong. “Bukan cuma duduk bareng, Dir. Cara mereka ngobrol itu lho. Santai, kayak udah kenal lama banget. Mbak Mariana juga kelihatan
Ruang rapat terasa hening saat Mariana melangkah masuk lebih dulu. Tangannya masih menggenggam tablet berisi dokumen digital, sementara berkas-berkas cetak sudah ia siapkan rapi di atas meja. Setelah makan siang, ia hanya sempat mengecek ulang proyektor dan presentasi sebelum Nate menyelesaikan rapat sebelumnya.Tak lama, suara langkah yang dikenalnya muncul di balik pintu. Mariana tidak langsung menoleh, tapi senyumnya muncul perlahan begitu Nate masuk ruangan.Tatapan mereka sempat bertemu sebentar. Nate tampak sedikit lelah, tapi tidak kehilangan pesonanya. Ia meletakkan map di depan kursinya, lalu mendekat ke arah Mariana.“Sudah siap?” tanyanya pelan.Mariana mengangguk, masih memeriksa kabel proyektor. “Slide-nya udah aku cek. Semua file masuk. Sekarang tinggal kamu tampil ganteng dan ngomong seperti biasa.”Nate tertawa kecil. “Gantengnya kebetulan memang bawaan lahir.”Mariana meliriknya sambil menahan senyum. “Percaya diri itu penting.”Nate tidak langsung duduk. Ia berdiri d
Mobil Nate melaju pelan di antara padatnya lalu lintas pagi. Di kursi penumpang, Mariana duduk dengan tenang sambil mengunyah jeruk terakhir di mulutnya.“Turunin aku di depan minimarket, ya,” ucapnya tanpa menoleh.Nate menoleh sejenak, lalu kembali ke jalan di depan. Ia tidak langsung menjawab, tapi bibirnya mengerucut tipis sebelum akhirnya bersuara dengan tenang.“Padahal tidak masalah kalau turun bersama di basement. Orang-orang juga tidak memperhatikan.”Mariana menghela napas kecil. “Aku cuma lebih nyaman begini,” ujarnya singkat. “Lagi pula, sudah biasa juga, kan?”Nate tidak membantah lagi. Ia hanya menepikan mobilnya ke sisi jalan, tepat di depan minimarket kecil yang tak jauh dari gedung kantor. Saat Mariana hendak membuka pintu, Nate tiba-tiba menarik pelan pergelangan tangannya.Mariana sedikit terkejut dan segera menoleh. “Ada apa?”Nate menatap Mariana sebentar. Tatapannya tenang, tapi ada sesuatu yang membuat Mariana menunggu. Lalu tanpa sepatah kata pun, Nate mengang
Mobil Nate melaju pelan di tengah ramainya jalanan kota. Suara AC mengalun lembut, dan sesekali terdengar denting mainan Elhan dari kursi belakang.Mariana duduk di samping Nate. Ia belum mengucapkan satu kata pun sejak mereka keluar dari mal. Ekspresinya tenang, tapi pikirannya sibuk memutar ulang perkataan Arsita di depan para sahabat lamanya.‘Aku ingin sekali dia jadi menantuku.’Kalimat itu sederhana, tapi entah mengapa terasa berat bagi Mariana. Kalimat itu mengandung harapan yang tidak pernah Mariana pikirkan.Sejauh ini, hubungannya dengan Nate berjalan apa adanya. Hangat, penuh perhatian, tanpa tekanan. Dan itu sudah lebih dari cukup bagi Mariana.Ia tidak sedang mengejar akhir yang pasti, apalagi mengukur langkah sejauh apa Nate akan membawa hubungan mereka. Belum. Mariana belum berpikir ke arah sana.Yang membuatnya risih justru saat orang lain mulai menggiring semuanya ke arah yang belum ia tuju. Seolah ia seharusnya ikut menaruh harapan yang sama besar.Mariana sempat men
Setelah puas berkeliling dan membeli beberapa kebutuhan Elhan, Mariana dan Nate memutuskan untuk bersantai sejenak di sebuah kafe yang terletak di lantai atas mal.Namun langkah kaki Mariana melambat begitu ia melihat sosok yang familiar berdiri anggun di depan restoran bergaya klasik bernama Venti Prive. Wanita paruh baya itu mengenakan setelan warna pastel lembut dan scarf sutra yang menjuntai elegan di bahunya.“Mariana? Nate?” suara lembut dan tegas itu terdengar begitu khas. Ekspresi Arsita langsung bersinar saat melihat mereka.“Mama?” Nate sedikit terkejut. Ia segera menghampiri ibunya dengan Elhan di gendongannya. “Sedang apa mama di sini?”“Mama ada acara arisan dengan beberapa sahabat lama,” jawab Arsita sambil tersenyum lebar. Matanya lalu tertuju pada Elhan. “Dan lihat siapa yang datang … cucuku yang manis.”Arsita langsung mendekat dan mencium pipi Elhan dengan gemas. Bayi lucu itu tertawa kecil, membuat Arsita begitu senang.“Ini kesempatan langka. Ayo ikut sebentar. Aku
Mariana terbangun dan merasakan kepalanya begitu berat. Sekujur tubuhnya panas, tapi ia justru menggigil kedinginan. Diliriknya jam yang berdetak di dinding—pukul dua belas malam.Dengan sisa tenaga yang ia kumpulkan, Mariana bangkit dari kasur. Langkahnya sedikit berat saat menuju laci untuk mencari obat penurun panas. Tidak ada.Ia menarik napas dalam, lalu membuka pintu dan melangkah keluar kamar. Cahaya lampu terang di koridor membuat matanya langsung terpejam dengan dahi berkerut. Mariana refleks menutupi matanya dengan telapak tangan sebentar sebelum perlahan menurunkannya kembali.“Sayang…?”Mariana langsung membuka mata saat suara Nate masuk ke telinganya dengan sopan. Pria itu tiba-tiba berdiri cukup jauh darinya dan segera melangkah mendekat, wajahnya tampak khawatir.“Ada apa? Kamu lapar?” tanya Nate, suaranya lembut tapi sigap.Mariana menggeleng pelan. “Aku mau cari obat penurun demam.”“Kamu demam?” Nate terkejut, lalu menempelkan punggung tangannya ke dahi Mariana. “Ast
Setibanya di rumah, Nate langsung menyuruh Mariana untuk langsung pergi ke kamar dan berganti pakaian.“Cepat ganti pakaianmu dengan yang lebih hangat. Aku tidak mau kamu sampai kena flu atau demam,” ujarnya tegas tapi penuh perhatian.Mariana hanya mengangguk pelan. Dengan langkah lelah, ia menuju kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat. Tanpa membuang waktu, ia menuruti instruksi Nate—melepas pakaian yang basah dan menggantinya dengan yang lebih tebal dan hangat.Begitu selesai, ia naik ke ranjang dan membenamkan diri di bawah selimut, membiarkan kehangatan perlahan-lahan meresap ke tubuhnya yang masih menggigil.Sekitar sepuluh menit kemudian, terdengar ketukan lembut di pintu.“Masuk,” ucap Mariana lirih.Pintu terbuka perlahan, dan Nate muncul di baliknya. Di tangannya, ada segelas susu hangat yang mengepulkan uap tipis. Ia berjalan pelan mendekati Mariana.“Minum dulu, supaya badanmu lebih hangat,” katanya seraya menyodorkan gelas itu.Mariana menerimanya tanpa banyak bicara, lal
Malam itu mereka duduk di balkon lantai dua saat gerimis mulai turun perlahan. Suara air jatuh di atap membuat suasana jadi tenang.Nate menyandarkan tubuh di kursi rotan. Mariana duduk di sebelahnya sambil memegang mug teh hangat. Wanita itu menarik selimut tipis ke bahunya.Lampu gantung yang menyala temaram memberi cukup cahaya untuk melihat wajah satu sama lain di bawah rinai yang turun lembut itu.“Kalau kamu kedinginan, kita bisa masuk,” kata Nate. Gerimis tidak termasuk ke dalam rencananya malam ini.Mariana menggeleng pelan, senyum di bibirnya melengkung indah. “Di sini saja. Aku suka,” sahutnya.Nate hendak menanggapi, tapi suara dering di ponsel Mariana memotong percakapan mereka.Nama ‘Ibu’ tertera di layar. Mariana sempat terdiam sebelum akhirnya mengangkat.“Halo, Bu?”“Mariana …,” suara Ratna terdengar panik dan bergetar di seberang telepon. “Tolong … Bianca … dia melahirkan, tapi ada pendarahan hebat. Dan rumah sakit kehabisan stok darahnya. Golongan darah kalian sama.
Beberapa hari kemudian…Nate duduk di sebuah ruangan sempit dengan cahaya temaram. Di depannya, terbentang jendela kaca dua arah yang memisahkannya dari ruangan lain—tempat di mana beberapa pria berbadan besar sedang ‘memberi pelajaran’ pada seseorang.Dari balik kaca itu, Nate memperhatikan dalam diam. Sorot matanya tajam tanpa emosi.Di luar, seorang pria yang sudah babak belur tetap mencoba memberontak meski jelas tubuhnya nyaris tak kuat berdiri.“Lepaskan aku, bangsat! Kenapa kalian menghajarku, hah?!” teriak Bara, suara seraknya menggema penuh amarah.Nate hanya tersenyum miring mendengar itu. Tidak puas, tapi cukup untuk menenangkan rasa geram di dadanya. Pria itu—Bara—baru saja menerobos masuk ke rumah Mariana dan mencuri barang-barangnya.Dan sekarang, dia ada di tempat yang seharusnya.“Siapa yang menyuruh kalian?!” Bara kembali melawan. “Suruh aja bos kalian keluar, hadapi aku langsung kalau berani!”Salah satu pria paling kekar mendekat. Ia mencengkeram kerah kemeja Bara d
Mata kedua orang tuanya membelalak seketika. Mereka saling berpandangan, kaget, tak percaya.“Aku menemukan celana dalam yang hilang di gudang rumah Bara,” lanjut Mariana. “Bianca memang bersikeras mengatakan bahwa itu miliknya, tapi aku tahu persis, itu milikku. Dan pagi ini, Pak Nathaniel menerima rekaman CCTV dari tetangga yang memperlihatkan Bara menyelinap masuk ke rumahku.”Tubuh Ratna seketika menegang. Sementara Armand hanya diam dengan rahang mengeras, dan tinjunya mengepal di atas lutut. Wajahnya tampak menahan amarah yang mulai mendidih.“Apa yang kamu bilang barusan benar, Mariana?” tanya Armand akhirnya. Mariana mengangguk pelan. “Benar, Yah. Aku nggak akan datang ke sini membawa cerita seperti ini kalau aku nggak punya bukti. Kalian bisa lihat sendiri videonya kalau mau.”Nate merogoh ponsel dari dalam saku celananya, lalu dengan tenang menyodorkannya ke arah Armand. “Ini, Om.”Armand mengambil ponsel itu dengan tangan gemetar. Ia menonton rekaman itu dalam diam. Wajahn