Lima bulan telah berlalu sejak Mariana resmi menjadi ibu susu Elhan. Waktu terasa begitu cepat, dan kini hanya tersisa satu bulan lagi dari perjanjian awal mereka. Mariana merasa berat hati.Setiap detik bersama Elhan membuatnya semakin terikat pada bayi itu, dan semakin ia merasa dekat, semakin ia takut harus berpisah. Namun, ada juga hal lain yang mengganjal di hatinya. Hubungannya dengan orang tuanya semakin renggang.Sejak ibunya menelepon dan menyalahkannya atas kejadian pendarahan Bianca, Mariana merasa sangat terluka. Ia merasa disalahkan tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan segala sesuatunya, dan meski mencoba untuk menjaga hubungan, ia mulai menghindari mereka.Berbeda dengan Arsita dan Arya yang selalu mendukung dan memahami dirinya tanpa syarat, Mariana merasa lebih diterima bersama mereka. Mereka tidak menghakimi, mereka hanya memberikan perhatian dan pengertian. Sementara itu, dengan orang tuanya, ia merasa seperti terjebak dalam ketegangan yang tidak bisa dijelaskan.
Kamar Hotel, Pukul 10 Malam.Mariana bersandar di kepala ranjang, jari-jarinya masih menggenggam ponsel yang layarnya memantulkan cahaya di wajahnya. Pesan dari Nate masih terbuka.[Jangan terlalu dipikirkan soal tadi. Aku hanya ingin melindungimu.]Ia menghela napas pelan. Seharusnya ia mengabaikannya atau setidaknya membalas dengan sesuatu yang santai. Tapi pikirannya tidak mau diam.Kenapa Nate terlihat begitu nyaman dalam perannya tadi?Apakah itu hanya spontanitas? Atau ada sesuatu yang lebih dalam?Mariana menggigit bibirnya, jempolnya melayang di atas keyboard sebelum akhirnya ia mengetik.Mariana: [Aku nggak menyangka kamu akan mengatakan hal seperti itu di depan Ririn.]Pesannya terkirim, dan ia segera meletakkan ponselnya di samping. Ia pikir Nate tidak akan langsung membalas, tapi beberapa detik kemudian, layarnya kembali menyala.Nathaniel Adikara: [Kamu lebih terkejut yang mana? Karena aku membelamu, atau karena aku mengakui sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak sadar seb
Suasana di kantor cabang terasa lebih sibuk dari biasanya, terutama dengan kehadiran Nathaniel Adikara, CEO yang selama ini lebih sering mengawasi dari pusat. Kehadirannya selalu membawa tekanan tersendiri bagi para karyawan—mereka ingin menunjukkan kinerja terbaik, tetapi di sisi lain, ada ketegangan yang tak terhindarkan.Mariana duduk di salah satu meja konferensi, sibuk mencatat poin-poin penting dari laporan yang baru saja dipresentasikan. Namun, semakin lama ia mulai merasa ada sesuatu yang berbeda.Ada bisik-bisik yang terdengar samar dari berbagai sudut ruangan, beberapa di antaranya terhenti seketika saat ia menoleh. Setiap kali ia mengangkat kepala, beberapa karyawan dengan cepat mengalihkan pandangan.Suara pena yang sebelumnya terdengar ramai kini terasa lebih jarang, seolah beberapa orang lebih sibuk mengamati situasi dibanding benar-benar mencatat.‘Kenapa mereka melihat ke arahku?’ pikirnya dalam hati.Mariana menghela napas pelan, berusaha mengabaikan perasaan tidak ny
Pantry kecil di ujung lorong mulai terisi lagi. Beberapa staf masuk satu per satu, membawa cangkir kopi atau camilan ringan. Tapi meja di pojok kiri—yang biasanya sepi—kali ini jadi pusat bisik-bisik. Bu Sari duduk di sana, ditemani Dira dan Leo. Ketiganya baru saja kembali dari kantin lantai dasar dengan satu topik yang tak bisa mereka lewatkan begitu saja.“Jadi … tadi kalian lihat juga, ‘kan?” Dira membuka percakapan dengan suara pelan tapi penuh tekanan. “Pak Nathaniel masuk ke kantin, Pak Ardi dari tim operasional sudah berdiri menyambutnya. Tapi dia malah langsung duduk di meja yang ada Mariana.”Bu Sari yang sedang mengaduk tehnya pelan lantas mengangguk. “Saya juga lihat. Gaya Pak Nathaniel memang tenang, tapi gerakannya jelas menunjukkan bahwa Pak Nathaniel memang memilih duduk di sana.”Leo bersandar, tangannya meremas kaleng soda yang hampir kosong. “Bukan cuma duduk bareng, Dir. Cara mereka ngobrol itu lho. Santai, kayak udah kenal lama banget. Mbak Mariana juga kelihatan
Mariana berdiri ragu di depan pintu mobil berwarna hitam itu. Sejak mendengar gosip di toilet wanita tadi, pikirannya jadi kacau. Ia tak bisa fokus. Ada rasa tidak nyaman yang terus mengusik, seolah beberapa pasang mata diam-diam mengamati setiap langkahnya.Kaca jendela mobil perlahan turun, menampilkan wajah pria yang begitu dikenalnya.“Berapa lama lagi kamu mau berdiri di situ, Mariana?”Suara bariton Nate terdengar tenang, tapi Mariana langsung tersentak pelan. Ia menunduk sebentar, menarik napas pendek, lalu membuka pintu dan masuk ke dalam mobil.“Aku … maaf. Tadi sempat mikir sebentar,” ucapnya tanpa berani menatap Nate.Mobil mulai melaju perlahan meninggalkan halaman kantor cabang, menuju hotel tempat mereka menginap. Langit sudah mulai menggelap. Hujan tipis menyapa kaca depan, dan suasana kota kecil itu terasa lebih sepi dari yang biasa mereka hadapi.“Kamu terlihat tidak tenang sejak tadi,” ucap Nate.Mariana menggigit bibir. “Tadi ... aku dengar ada yang membicarakan kit
Makan malam selesai tanpa Mariana sadari sudah lebih dari satu jam berlalu. Udara malam di tepi sungai terasa makin dingin, tapi tidak membuat mereka beranjak cepat. Nate sesekali memandang ke arah air yang mengalir tenang sebelum akhirnya berdiri dan menoleh ke Mariana.“Ayo, pulang. Besok kita masih ada rapat pagi.”Mariana mengangguk. Mereka berjalan kembali ke mobil dengan langkah santai. Di sepanjang jalan, keduanya tak banyak bicara. Tapi justru kesunyian itu terasa nyaman, tak canggung seperti sebelumnya.Di dalam mobil, Mariana bersandar ringan sambil menatap keluar jendela. Lampu kota yang berpendar samar memantul di kaca, menyatu dengan pikirannya yang tak kalah remang.“Tempat tadi … enak,” ucapnya pelan.Nate menoleh singkat. “Aku senang kamu suka.”“Biasanya kamu ke sana sama siapa?”Pertanyaan itu keluar begitu saja, dan Mariana langsung menggigit bibir setelahnya.Namun Nate hanya menjawab ringan. “Sendiri. Atau sama tim lokal. Tapi belum pernah mengajak orang luar kant
Keesokan paginya, Mariana sudah tiba lebih dulu di lobi hotel. Rambutnya ia ikat sederhana, wajahnya tanpa riasan mencolok, hanya sapuan tipis bedak dan lip cream yang membuatnya tampak segar. Ia berdiri di dekat sofa panjang sambil memeluk map dokumen yang sudah ia siapkan sejak tadi malam.Ketika Nate muncul dari arah lift, langkahnya mantap seperti biasa, tapi matanya langsung menangkap sosok Mariana.“Kamu datang lebih awal,” katanya sambil menghampiri.Mariana tersenyum tipis. “Iya … aku pikir akan lebih baik kalau kita bisa evaluasi jadwal sebentar sebelum berangkat.”Nate mengangguk. “Kamu baik-baik saja?”“Masih sedikit pusing. Tapi sudah minum obat,” jawab Mariana jujur.Mariana tidak berani menatap Nate terlalu lama. Masih ada sisa kegugupan sejak pesan semalam—pesan yang sampai sekarang belum ia balas.Nate menarik napas pelan. “Harusnya kamu istirahat.”“Aku baik-baik saja. Lagi pula, aku yang mengatur jadwal hari ini. Kalau aku tinggal, kamu bisa nyasar,” katanya dengan n
Siang hari di Kalimantan Timur terasa menyengat dengan langit cerah yang tak berawan. Setelah rapat panjang dan makan siang bersama tim, Mariana memutuskan untuk duduk sebentar di kursi kayu panjang di dekat taman kecil belakang gedung kantor.Mariana melepas heels-nya diam-diam dan mengangkat kakinya sedikit. Kakinya pegal. Sangat pegal.Ia baru saja menggulung ujung roknya agar tidak menyentuh tanah saat suara langkah kaki mendekat.“Kamu bersembunyi di sini?” Suara itu terdengar santai, tapi Mariana langsung tahu siapa pemiliknya.Mariana menoleh pelan. Di sana, Nate berdiri di dekat bangku dengan dua botol minuman isotonik dingin di tangannya.“Aku cuma istirahat sebentar,” jawab Mariana, buru-buru menurunkan kakinya dan bersiap memakai sepatu lagi. Tapi Nate sudah lebih dulu duduk di sampingnya, meletakkan salah satu botol di dekat Mariana.“Jangan dipakai dulu,” kata Nate dengan nada tenang. “Kaki kamu pasti sakit.”Mariana terdiam. Jari-jarinya menggenggam ujung rok yang sudah
Ruang rapat terasa hening saat Mariana melangkah masuk lebih dulu. Tangannya masih menggenggam tablet berisi dokumen digital, sementara berkas-berkas cetak sudah ia siapkan rapi di atas meja. Setelah makan siang, ia hanya sempat mengecek ulang proyektor dan presentasi sebelum Nate menyelesaikan rapat sebelumnya.Tak lama, suara langkah yang dikenalnya muncul di balik pintu. Mariana tidak langsung menoleh, tapi senyumnya muncul perlahan begitu Nate masuk ruangan.Tatapan mereka sempat bertemu sebentar. Nate tampak sedikit lelah, tapi tidak kehilangan pesonanya. Ia meletakkan map di depan kursinya, lalu mendekat ke arah Mariana.“Sudah siap?” tanyanya pelan.Mariana mengangguk, masih memeriksa kabel proyektor. “Slide-nya udah aku cek. Semua file masuk. Sekarang tinggal kamu tampil ganteng dan ngomong seperti biasa.”Nate tertawa kecil. “Gantengnya kebetulan memang bawaan lahir.”Mariana meliriknya sambil menahan senyum. “Percaya diri itu penting.”Nate tidak langsung duduk. Ia berdiri d
Mobil Nate melaju pelan di antara padatnya lalu lintas pagi. Di kursi penumpang, Mariana duduk dengan tenang sambil mengunyah jeruk terakhir di mulutnya.“Turunin aku di depan minimarket, ya,” ucapnya tanpa menoleh.Nate menoleh sejenak, lalu kembali ke jalan di depan. Ia tidak langsung menjawab, tapi bibirnya mengerucut tipis sebelum akhirnya bersuara dengan tenang.“Padahal tidak masalah kalau turun bersama di basement. Orang-orang juga tidak memperhatikan.”Mariana menghela napas kecil. “Aku cuma lebih nyaman begini,” ujarnya singkat. “Lagi pula, sudah biasa juga, kan?”Nate tidak membantah lagi. Ia hanya menepikan mobilnya ke sisi jalan, tepat di depan minimarket kecil yang tak jauh dari gedung kantor. Saat Mariana hendak membuka pintu, Nate tiba-tiba menarik pelan pergelangan tangannya.Mariana sedikit terkejut dan segera menoleh. “Ada apa?”Nate menatap Mariana sebentar. Tatapannya tenang, tapi ada sesuatu yang membuat Mariana menunggu. Lalu tanpa sepatah kata pun, Nate mengang
Mobil Nate melaju pelan di tengah ramainya jalanan kota. Suara AC mengalun lembut, dan sesekali terdengar denting mainan Elhan dari kursi belakang.Mariana duduk di samping Nate. Ia belum mengucapkan satu kata pun sejak mereka keluar dari mal. Ekspresinya tenang, tapi pikirannya sibuk memutar ulang perkataan Arsita di depan para sahabat lamanya.‘Aku ingin sekali dia jadi menantuku.’Kalimat itu sederhana, tapi entah mengapa terasa berat bagi Mariana. Kalimat itu mengandung harapan yang tidak pernah Mariana pikirkan.Sejauh ini, hubungannya dengan Nate berjalan apa adanya. Hangat, penuh perhatian, tanpa tekanan. Dan itu sudah lebih dari cukup bagi Mariana.Ia tidak sedang mengejar akhir yang pasti, apalagi mengukur langkah sejauh apa Nate akan membawa hubungan mereka. Belum. Mariana belum berpikir ke arah sana.Yang membuatnya risih justru saat orang lain mulai menggiring semuanya ke arah yang belum ia tuju. Seolah ia seharusnya ikut menaruh harapan yang sama besar.Mariana sempat men
Setelah puas berkeliling dan membeli beberapa kebutuhan Elhan, Mariana dan Nate memutuskan untuk bersantai sejenak di sebuah kafe yang terletak di lantai atas mal.Namun langkah kaki Mariana melambat begitu ia melihat sosok yang familiar berdiri anggun di depan restoran bergaya klasik bernama Venti Prive. Wanita paruh baya itu mengenakan setelan warna pastel lembut dan scarf sutra yang menjuntai elegan di bahunya.“Mariana? Nate?” suara lembut dan tegas itu terdengar begitu khas. Ekspresi Arsita langsung bersinar saat melihat mereka.“Mama?” Nate sedikit terkejut. Ia segera menghampiri ibunya dengan Elhan di gendongannya. “Sedang apa mama di sini?”“Mama ada acara arisan dengan beberapa sahabat lama,” jawab Arsita sambil tersenyum lebar. Matanya lalu tertuju pada Elhan. “Dan lihat siapa yang datang … cucuku yang manis.”Arsita langsung mendekat dan mencium pipi Elhan dengan gemas. Bayi lucu itu tertawa kecil, membuat Arsita begitu senang.“Ini kesempatan langka. Ayo ikut sebentar. Aku
Mariana terbangun dan merasakan kepalanya begitu berat. Sekujur tubuhnya panas, tapi ia justru menggigil kedinginan. Diliriknya jam yang berdetak di dinding—pukul dua belas malam.Dengan sisa tenaga yang ia kumpulkan, Mariana bangkit dari kasur. Langkahnya sedikit berat saat menuju laci untuk mencari obat penurun panas. Tidak ada.Ia menarik napas dalam, lalu membuka pintu dan melangkah keluar kamar. Cahaya lampu terang di koridor membuat matanya langsung terpejam dengan dahi berkerut. Mariana refleks menutupi matanya dengan telapak tangan sebentar sebelum perlahan menurunkannya kembali.“Sayang…?”Mariana langsung membuka mata saat suara Nate masuk ke telinganya dengan sopan. Pria itu tiba-tiba berdiri cukup jauh darinya dan segera melangkah mendekat, wajahnya tampak khawatir.“Ada apa? Kamu lapar?” tanya Nate, suaranya lembut tapi sigap.Mariana menggeleng pelan. “Aku mau cari obat penurun demam.”“Kamu demam?” Nate terkejut, lalu menempelkan punggung tangannya ke dahi Mariana. “Ast
Setibanya di rumah, Nate langsung menyuruh Mariana untuk langsung pergi ke kamar dan berganti pakaian.“Cepat ganti pakaianmu dengan yang lebih hangat. Aku tidak mau kamu sampai kena flu atau demam,” ujarnya tegas tapi penuh perhatian.Mariana hanya mengangguk pelan. Dengan langkah lelah, ia menuju kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat. Tanpa membuang waktu, ia menuruti instruksi Nate—melepas pakaian yang basah dan menggantinya dengan yang lebih tebal dan hangat.Begitu selesai, ia naik ke ranjang dan membenamkan diri di bawah selimut, membiarkan kehangatan perlahan-lahan meresap ke tubuhnya yang masih menggigil.Sekitar sepuluh menit kemudian, terdengar ketukan lembut di pintu.“Masuk,” ucap Mariana lirih.Pintu terbuka perlahan, dan Nate muncul di baliknya. Di tangannya, ada segelas susu hangat yang mengepulkan uap tipis. Ia berjalan pelan mendekati Mariana.“Minum dulu, supaya badanmu lebih hangat,” katanya seraya menyodorkan gelas itu.Mariana menerimanya tanpa banyak bicara, lal
Malam itu mereka duduk di balkon lantai dua saat gerimis mulai turun perlahan. Suara air jatuh di atap membuat suasana jadi tenang.Nate menyandarkan tubuh di kursi rotan. Mariana duduk di sebelahnya sambil memegang mug teh hangat. Wanita itu menarik selimut tipis ke bahunya.Lampu gantung yang menyala temaram memberi cukup cahaya untuk melihat wajah satu sama lain di bawah rinai yang turun lembut itu.“Kalau kamu kedinginan, kita bisa masuk,” kata Nate. Gerimis tidak termasuk ke dalam rencananya malam ini.Mariana menggeleng pelan, senyum di bibirnya melengkung indah. “Di sini saja. Aku suka,” sahutnya.Nate hendak menanggapi, tapi suara dering di ponsel Mariana memotong percakapan mereka.Nama ‘Ibu’ tertera di layar. Mariana sempat terdiam sebelum akhirnya mengangkat.“Halo, Bu?”“Mariana …,” suara Ratna terdengar panik dan bergetar di seberang telepon. “Tolong … Bianca … dia melahirkan, tapi ada pendarahan hebat. Dan rumah sakit kehabisan stok darahnya. Golongan darah kalian sama.
Beberapa hari kemudian…Nate duduk di sebuah ruangan sempit dengan cahaya temaram. Di depannya, terbentang jendela kaca dua arah yang memisahkannya dari ruangan lain—tempat di mana beberapa pria berbadan besar sedang ‘memberi pelajaran’ pada seseorang.Dari balik kaca itu, Nate memperhatikan dalam diam. Sorot matanya tajam tanpa emosi.Di luar, seorang pria yang sudah babak belur tetap mencoba memberontak meski jelas tubuhnya nyaris tak kuat berdiri.“Lepaskan aku, bangsat! Kenapa kalian menghajarku, hah?!” teriak Bara, suara seraknya menggema penuh amarah.Nate hanya tersenyum miring mendengar itu. Tidak puas, tapi cukup untuk menenangkan rasa geram di dadanya. Pria itu—Bara—baru saja menerobos masuk ke rumah Mariana dan mencuri barang-barangnya.Dan sekarang, dia ada di tempat yang seharusnya.“Siapa yang menyuruh kalian?!” Bara kembali melawan. “Suruh aja bos kalian keluar, hadapi aku langsung kalau berani!”Salah satu pria paling kekar mendekat. Ia mencengkeram kerah kemeja Bara d
Mata kedua orang tuanya membelalak seketika. Mereka saling berpandangan, kaget, tak percaya.“Aku menemukan celana dalam yang hilang di gudang rumah Bara,” lanjut Mariana. “Bianca memang bersikeras mengatakan bahwa itu miliknya, tapi aku tahu persis, itu milikku. Dan pagi ini, Pak Nathaniel menerima rekaman CCTV dari tetangga yang memperlihatkan Bara menyelinap masuk ke rumahku.”Tubuh Ratna seketika menegang. Sementara Armand hanya diam dengan rahang mengeras, dan tinjunya mengepal di atas lutut. Wajahnya tampak menahan amarah yang mulai mendidih.“Apa yang kamu bilang barusan benar, Mariana?” tanya Armand akhirnya. Mariana mengangguk pelan. “Benar, Yah. Aku nggak akan datang ke sini membawa cerita seperti ini kalau aku nggak punya bukti. Kalian bisa lihat sendiri videonya kalau mau.”Nate merogoh ponsel dari dalam saku celananya, lalu dengan tenang menyodorkannya ke arah Armand. “Ini, Om.”Armand mengambil ponsel itu dengan tangan gemetar. Ia menonton rekaman itu dalam diam. Wajahn