"Selamat pagi," sapaku pada seorang dokter yang kami kunjungi. Aku tidak tahu apa yang aku harapkan tapi tentu saja bukan dokter muda yang cantik. Dia mengenakan jas putih yang semakin menunjukkan betapa mengagumkannya dia. Dan sepertinya aku harus menerima fakta jika Tama memang dikelilingi oleh wanita-wanita cantik. Dokter yang aku kunjungi bersama Tama saat ini merupakan sosok wanita bermata sipit dengan berambut hitam panjang. Kulitnya putih dan riasan wajah natural mempermanis dirinya. Dia duduk di balik meja bermonitor. "Selamat pagi, Nyonya Irfandi." Psikiater itu menyapa dengan senyuman sebelum menoleh ke suamiku yang berdiri tegap di belakang kursiku, "kenapa loe nggak duduk di sofa?" Dia menatap Tama dengan salah satu alis yang terangkat. Dia juga menunjuk ke area lain di dalam ruangannya yang sudah tersedia satu set sofa dan televisi yang menyala. "Gue mau dengar keadaan Luna." "Itu tergantung pasiennya, Tama." Dokter melanjutkan sambil berbalik menatap ke arahku, "apa
"Apa yang diomongin Lisa tadi?" Aku mengalihkan pandanganku dari pepohonan yang kami lewati.Tama masih duduk tegang di sampingku. Sepuluh menit yang kami lewati bersama tadi penuh dengan keheningan. Dia tidak menggangguku sama sekali. Aku merasa sedikit kecewa. Mungkin karena efek kehamilan atau mungkin karena saran dari Lisa tadi. Tapi sejujurnya aku akui aku sangat lelah dan juga frustasi. Aku merasa seperti manusia kosong yang tidak memiliki isi karena amnesia ini. Aku sampai tidak bisa menebak apa-apa karena hal itu sangat menakutkan untuk dipikirkan. Tapi jika aku memaksakan diri nyawa bayiku yang menjadi taruhannya. Ini bukan hanya tentangmu tapi tentang bayimu Luna. Jangan egois. Aku mengerjap dua kali sebelum menjawab. "Aku kira dia bakal kasih tahu kamu langsung." Aku tidak bermaksud menuduh Tama. Tapi mengetahui bagaimana dekatnya hubungan mereka bukan hal aneh jika Tama tahu tentang kondisiku. "Dia suruh aku buat langsung tanya ke kamu. Dia mengumpat dan menyuruhku untu
Aku malah tidak bisa beristirahat setelah Tama meninggalkanku sendiri. Tubuhku memang lelah tapi mataku sangat sulit untuk diiatirahatkan. Aku memiringkan tubuhku dan menghela nafas kasar sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhku. Sinar matahari yang menembus jendela terpantul ke barang-barang bermaterial kaca, memainkan bayangan perabotan rumah yang tersebar di seluruh ruangan. Mataku menatap sesuatu yang tidak berada pada tempatnya. Di samping tempat tidur ada nakas kecil dan di atasnya terdapat goodie bag yang aku beli kemarin. Perlengkapan melukis yang aku jatuhkan tanpa sadar karena Tama meraih tanganku kencang. Kejadian itu benar-benar membuatku lupa pada benda ini. Aku suka melukis sejak kecil dan itu yang aku tahu. Tanpa sadar aku beranjak dari ranjangku dan melangkah menuju wardrobe. Sebagian ruangan tidak kugunakan karena aku tidak memiliki banyak baju seperti dulu. Tama membuatkanku studio mini untuk melukis. Saat aku masuk aku dikejutkan dengan adanya stand lukis
Aku terkesiap dan mulai mengamati ruangan di sekitarku. Aku masih di kamar tidur kami. Kejadian tadi benar-benar membuatku takut. Aku merasakan sesuatu yang hangat menjalari lenganku, Tama menatapku penuh rasa lega dan mengusap kepalaku pelan. "Aku bakal telfon Lisa sekarang," ujarnya. Dia sigap mengeluarkan handphonenya. Tama mengeratkan pegangannya pada jemariku. Dia berbicara cepat dan langsung memerintahkan Lisa untuk datang tanpa mau menunggu keputusan wanita itu. Setelahnya dia kembali memerintahkan sesuatu pada orang lain, suasan hari ini benar-benar kacau dan itu karena aku. Aku menatap ekspresi Tama. Dia terlihat seperti sosok yang aku temui di bawah tangga. Dia ingin bergerak menjauh tapi aku menahannya, dalam sekali gerak aku mencengkram kemeja Tama untuk mendekat padaku. "Aku lihat kamu," kataku. Air mataku mulai menggemang lagi. Aku memperhatikan Tama, lengan pria itu menegang ekspresinya berubah kaget seketika. "Aku pingin tahu," bisikku lemah, "kamu harus kasih tah
"Gue kan udah bilang. Jangan cari pemicu yang bisa buat loe sakit kepala Luna. Ini bahkan belum sehari!"Aku melirik Lisa yang berdiri di samping ranjangku dengan tangan yang bersedekap. Penampilannya bahkan terlihat sangat berantakan dengan rambut yang kusut karena tertiup angin serta pakaian yang kelihatan lusuh. Dia tidak mengenakan jas labnya.Tama meminta Lisa untuk segera datang karena kondisiku yang sempat pingsan. Dan dia tidak mentoleransi bentuk terlambat meski pun ini pada Lisa sahabatnya.Aku menggigit bibirku merasa bersalah. Karena aku semua orang jadi terkena imbasnya, "Maaf. Gue nggak tahu kalau itu bisa mancing ingatan gue."Dia menggelengkan kepalanya sebelum ikut menjatuhkan dirinya di sisi tempat tidurku yang kosong. Aku dan Lisa sama-sama menyenderkan kepala kami di dashboard tempat tidur dan dia memutar kepalanya agar dapat melihatku."Jadi gimana? Mau cerita?" tanyanya.Dia menatapku intens dan aku hanya dapat melihat ke bawah. Ke arah tanganku yang menempel pad
Ketika pintu tertutup bunyi debuman kecil itu terdengar amat kencang. Mungkin karena di sini hanya ada aku dan Tama yang sama-sama terdiam.Aku beralih menatap Tama. Ekspresinya perlahan mereda. Pandangannya berubah menjadi kosong.Kenapa Lisa harus mengatakan hal itu dan membuat situasi diantara kami menjadi canggung.Aku menggigiti bibir bawahku saat melihat Tama yang memandangku lekat. Aku cemas.Untuk beberapa saat aku tidak bergerak sama sekali dan juga tidak mencoba untuk berbicara untuk memecah kesunyian. Mungkin butuh waktu bagi Tama untuk menatap ke arahku dan butuh waktu bagiku juga untuk menatap matanya."Apa kamu ngerasa keganggu kalau aku ikut campur?" Kata-katanya berhasil menamparku.Aku sudah membuka mulutku untuk menjelaskan, tapi Tama memberi peringatan padaku agar aku tetap diam, "Jangan," serunya, "kamu nggak perlu ngejelasin apa pun."Suamiku berpaling dariku setelah mengucapkan itu. Dan kali ini, ketika pintu tertutup yang terdengar bukan bunyi yang pelan tapi su
"Luna," suara bariton itu berhasil membangunkanku.Keringat membasahi pelipisku dan nafasku pun ikut terengah-engah. Aku melirik sekeliling dan sadar jika aku bermimpi."Kamu kelihatan nggak nyaman waktu tidur," kata Tama. Dia membantuku bangun dan menyeka keringatbyang membasahi dahi dan pelipisku dengan tangannya. Gerakannya lembut dan penuh perhatian, tapi saat aku meliriknya dia tidak melihatku sama sekali.Aku pun mengalihkan pandanganku ke jendela. Matahari sudah bersinar cukup terik."Aku nunggu kamu tadi malam," kataku pelan. Soal Tama yang tidak pulang sudah menjadi masalah besar untukku, "sampai tengah malam dan kamu nggak pulang-pulang."Dia langsung melihatku saat mendengar kalimatku, "Harusnya kamu nggak usah tunggu aku." Dia mengomel dan membuatku menatapnya tidak percaya."Kamu kemana? Kamu aja nggak kasih tahu aku kalau mau keluar."Dia diam dan melihatku dengan tatapan yang sulit diartikan. Tama terlalu menyembunyikan banyak hal yang membuatku kesal.Aku sudah jengah
Kami tiba di sebuah restoran bertema garden di pusat kota. Entah itu dari Lyan atau Tama, yang pasti tujuan kali ini untuk membuatku rileks. Harusnya seperti itu, tapi kejadian tadi membuat pikiranku sedikit kacau. Aku tahu aku mengalami kecelakaan karena hal itu sudah menjadi konsumsi publik. Tapi, aku tidak tahu jika aku bersama seseorang saat itu. Ada apa sebenarnya? Kenapa Tama tidak memberitahuku kabar tentang orang yang bersama denganku? Atau .... orang itu mati? Aku mual memikirkan kemungkinan terburuk itu. Dan ... aku tiba-tiba teringat kalimat yang dilontarkan reporter saat pesta malam itu. Tentang aku yang memiliki selingkuhan dan juga mamanya Tama yang menganggapku pelacur. Sebuah tepukan menyadarkanku. Lyan menarikku untuk masuk dan membawaku ke lantai dua. Lantainya terbuat dari kayu, meja-mejanya dinaungi payung besar untuk menghalau panas. Di sudut ruangn ada tanaman palem dalam pot tembikar raksasa. Lyan membawaku duduk didekat pembatas pagar agar dapat melihat si