Aku terkesiap dan mulai mengamati ruangan di sekitarku. Aku masih di kamar tidur kami. Kejadian tadi benar-benar membuatku takut. Aku merasakan sesuatu yang hangat menjalari lenganku, Tama menatapku penuh rasa lega dan mengusap kepalaku pelan. "Aku bakal telfon Lisa sekarang," ujarnya. Dia sigap mengeluarkan handphonenya. Tama mengeratkan pegangannya pada jemariku. Dia berbicara cepat dan langsung memerintahkan Lisa untuk datang tanpa mau menunggu keputusan wanita itu. Setelahnya dia kembali memerintahkan sesuatu pada orang lain, suasan hari ini benar-benar kacau dan itu karena aku. Aku menatap ekspresi Tama. Dia terlihat seperti sosok yang aku temui di bawah tangga. Dia ingin bergerak menjauh tapi aku menahannya, dalam sekali gerak aku mencengkram kemeja Tama untuk mendekat padaku. "Aku lihat kamu," kataku. Air mataku mulai menggemang lagi. Aku memperhatikan Tama, lengan pria itu menegang ekspresinya berubah kaget seketika. "Aku pingin tahu," bisikku lemah, "kamu harus kasih tah
"Gue kan udah bilang. Jangan cari pemicu yang bisa buat loe sakit kepala Luna. Ini bahkan belum sehari!"Aku melirik Lisa yang berdiri di samping ranjangku dengan tangan yang bersedekap. Penampilannya bahkan terlihat sangat berantakan dengan rambut yang kusut karena tertiup angin serta pakaian yang kelihatan lusuh. Dia tidak mengenakan jas labnya.Tama meminta Lisa untuk segera datang karena kondisiku yang sempat pingsan. Dan dia tidak mentoleransi bentuk terlambat meski pun ini pada Lisa sahabatnya.Aku menggigit bibirku merasa bersalah. Karena aku semua orang jadi terkena imbasnya, "Maaf. Gue nggak tahu kalau itu bisa mancing ingatan gue."Dia menggelengkan kepalanya sebelum ikut menjatuhkan dirinya di sisi tempat tidurku yang kosong. Aku dan Lisa sama-sama menyenderkan kepala kami di dashboard tempat tidur dan dia memutar kepalanya agar dapat melihatku."Jadi gimana? Mau cerita?" tanyanya.Dia menatapku intens dan aku hanya dapat melihat ke bawah. Ke arah tanganku yang menempel pad
Ketika pintu tertutup bunyi debuman kecil itu terdengar amat kencang. Mungkin karena di sini hanya ada aku dan Tama yang sama-sama terdiam.Aku beralih menatap Tama. Ekspresinya perlahan mereda. Pandangannya berubah menjadi kosong.Kenapa Lisa harus mengatakan hal itu dan membuat situasi diantara kami menjadi canggung.Aku menggigiti bibir bawahku saat melihat Tama yang memandangku lekat. Aku cemas.Untuk beberapa saat aku tidak bergerak sama sekali dan juga tidak mencoba untuk berbicara untuk memecah kesunyian. Mungkin butuh waktu bagi Tama untuk menatap ke arahku dan butuh waktu bagiku juga untuk menatap matanya."Apa kamu ngerasa keganggu kalau aku ikut campur?" Kata-katanya berhasil menamparku.Aku sudah membuka mulutku untuk menjelaskan, tapi Tama memberi peringatan padaku agar aku tetap diam, "Jangan," serunya, "kamu nggak perlu ngejelasin apa pun."Suamiku berpaling dariku setelah mengucapkan itu. Dan kali ini, ketika pintu tertutup yang terdengar bukan bunyi yang pelan tapi su
"Luna," suara bariton itu berhasil membangunkanku.Keringat membasahi pelipisku dan nafasku pun ikut terengah-engah. Aku melirik sekeliling dan sadar jika aku bermimpi."Kamu kelihatan nggak nyaman waktu tidur," kata Tama. Dia membantuku bangun dan menyeka keringatbyang membasahi dahi dan pelipisku dengan tangannya. Gerakannya lembut dan penuh perhatian, tapi saat aku meliriknya dia tidak melihatku sama sekali.Aku pun mengalihkan pandanganku ke jendela. Matahari sudah bersinar cukup terik."Aku nunggu kamu tadi malam," kataku pelan. Soal Tama yang tidak pulang sudah menjadi masalah besar untukku, "sampai tengah malam dan kamu nggak pulang-pulang."Dia langsung melihatku saat mendengar kalimatku, "Harusnya kamu nggak usah tunggu aku." Dia mengomel dan membuatku menatapnya tidak percaya."Kamu kemana? Kamu aja nggak kasih tahu aku kalau mau keluar."Dia diam dan melihatku dengan tatapan yang sulit diartikan. Tama terlalu menyembunyikan banyak hal yang membuatku kesal.Aku sudah jengah
Kami tiba di sebuah restoran bertema garden di pusat kota. Entah itu dari Lyan atau Tama, yang pasti tujuan kali ini untuk membuatku rileks. Harusnya seperti itu, tapi kejadian tadi membuat pikiranku sedikit kacau. Aku tahu aku mengalami kecelakaan karena hal itu sudah menjadi konsumsi publik. Tapi, aku tidak tahu jika aku bersama seseorang saat itu. Ada apa sebenarnya? Kenapa Tama tidak memberitahuku kabar tentang orang yang bersama denganku? Atau .... orang itu mati? Aku mual memikirkan kemungkinan terburuk itu. Dan ... aku tiba-tiba teringat kalimat yang dilontarkan reporter saat pesta malam itu. Tentang aku yang memiliki selingkuhan dan juga mamanya Tama yang menganggapku pelacur. Sebuah tepukan menyadarkanku. Lyan menarikku untuk masuk dan membawaku ke lantai dua. Lantainya terbuat dari kayu, meja-mejanya dinaungi payung besar untuk menghalau panas. Di sudut ruangn ada tanaman palem dalam pot tembikar raksasa. Lyan membawaku duduk didekat pembatas pagar agar dapat melihat si
"Kalau loe gimana? Apa yang bakal loe ceritain ke gue?" Saat Lyan beralih ke arahku, aku baru menyadari jika aku membuat keputusan yang salah. Pikiranku kosong. Aku tidak tahu apa-apa tentang diriku sendiri. Apa yang harus aku ceritakan padanya disaat dia menatapku dengan mata yang penuh binar dan rasa ingin tahu yang tinggi. Aku harus berpikir cepat. Memutar otak untuk menceritakan sesuatu agar dia tidak curiga. Tapi apa yang harus kuceritakan? Aku memang memiliki kenangan tentang masa-masa indahku selama sekolah dan kuliah, tapi jika dia menanyakan sesuatu kemungkinan besar aku tidak bisa menjawab karena apa yang aku ceritakan hanyalah kenangan yang tidak sengaja kuingat. Keheningan yang terjadi membuat suasana menjadi canggung. Saat aku akan memulai bercerita Lyan sudah bersandar di kursinya dan menatapku dengan sorot mata penuh luka. "It's okay. Kalau loe ngerasa nggak nyaman buat cerita." Rasa bersealah menggerogotiku, "Bukan itu. Gue cuma-" tidak memiliki apa-apa untuk dice
Anehnya, makan siang yang canggung itu berlanjut tanpa ada tambahan drama lagi. Ketiga wanita itu sudah beralih ke topik lain dan asyik menceritakan tentang skandal-skandal terbaru yang mereka dengar. Hal itu benar-benar memberi kesempatan padaku dan Lyan untuk sedikit bernafas lega.Ponsel Arumi berdering dan dia meminta izin untuk mengangkatnya. Delia dan Sintia kembali asyik bercengkrama berdua, meninggalkanku dan Lyan.Aku diam-diam memajukan kembali steak medium-rare yang mereka pilihkan untukku. Lyan juga tampaknya tidak menyentuh makananya. Aku dan Lyan tidak segila itu untuk memakan makanan yang belum matang sempurna disaat kami berdua tengah mengandung.Pikiranku mengelana ke kartu nama yang tadi Delia sodorkan. Aku harus mencari tahu siapa pemiliknya."Sorry. Cowok baru gue nelfon." Kami semua beralih menatap Arumi yang tidak repot-repot untuk duduk kembali. Dia segera mengambil tasnya, "kita musti pergi sekarang."Dua wanita yang lain ikut berdiri."Lo bayar kayak biasanya,
Aku tidak tahu jika tempat tujuanku kali ini ada di luar kota. Saat kami melewati beberapa perumahan yang membentang di sepanjang jalan, membuatku kembali berpikir. Sebenarnya apa yang kucari?Dan mengapa dengan bodohnya aku langsung merasa terusik hanya karena sebuah kartu nama yang pemiliknya saja aku tidak kenal. Ditambah yang memberikannya juga adalah orang-orang dengan perilaku buruk.Ada jawaban sederhana untuk pertanyaanku itu -aku hanya ingin mengetahui soal diriku, meskipun itu sedikit-. Sebenarnya aku tidak perlu seberusaha ini untuk menggali informasi tentang diriku sendiri karena Lisa pun tidak menyarankan hal itu dilakukan. Tapi jika kejadian seperti tadi terulang kembali aku sendiri yang akan bingung untuk menghadapinya. Dan satu-satunya opsi yang terlintas di otakku adalah aku harus menggali lebih dalam.Sebenarnya ada larangan yang terlintas dibenakku dan itu sulit untuk diabaikan. Tentang aku yang tidak boleh mencari pemicu agar tidak membahayakan kandunganku.Aku seg