"Luna," suara bariton itu berhasil membangunkanku.Keringat membasahi pelipisku dan nafasku pun ikut terengah-engah. Aku melirik sekeliling dan sadar jika aku bermimpi."Kamu kelihatan nggak nyaman waktu tidur," kata Tama. Dia membantuku bangun dan menyeka keringatbyang membasahi dahi dan pelipisku dengan tangannya. Gerakannya lembut dan penuh perhatian, tapi saat aku meliriknya dia tidak melihatku sama sekali.Aku pun mengalihkan pandanganku ke jendela. Matahari sudah bersinar cukup terik."Aku nunggu kamu tadi malam," kataku pelan. Soal Tama yang tidak pulang sudah menjadi masalah besar untukku, "sampai tengah malam dan kamu nggak pulang-pulang."Dia langsung melihatku saat mendengar kalimatku, "Harusnya kamu nggak usah tunggu aku." Dia mengomel dan membuatku menatapnya tidak percaya."Kamu kemana? Kamu aja nggak kasih tahu aku kalau mau keluar."Dia diam dan melihatku dengan tatapan yang sulit diartikan. Tama terlalu menyembunyikan banyak hal yang membuatku kesal.Aku sudah jengah
Kami tiba di sebuah restoran bertema garden di pusat kota. Entah itu dari Lyan atau Tama, yang pasti tujuan kali ini untuk membuatku rileks. Harusnya seperti itu, tapi kejadian tadi membuat pikiranku sedikit kacau. Aku tahu aku mengalami kecelakaan karena hal itu sudah menjadi konsumsi publik. Tapi, aku tidak tahu jika aku bersama seseorang saat itu. Ada apa sebenarnya? Kenapa Tama tidak memberitahuku kabar tentang orang yang bersama denganku? Atau .... orang itu mati? Aku mual memikirkan kemungkinan terburuk itu. Dan ... aku tiba-tiba teringat kalimat yang dilontarkan reporter saat pesta malam itu. Tentang aku yang memiliki selingkuhan dan juga mamanya Tama yang menganggapku pelacur. Sebuah tepukan menyadarkanku. Lyan menarikku untuk masuk dan membawaku ke lantai dua. Lantainya terbuat dari kayu, meja-mejanya dinaungi payung besar untuk menghalau panas. Di sudut ruangn ada tanaman palem dalam pot tembikar raksasa. Lyan membawaku duduk didekat pembatas pagar agar dapat melihat si
"Kalau loe gimana? Apa yang bakal loe ceritain ke gue?" Saat Lyan beralih ke arahku, aku baru menyadari jika aku membuat keputusan yang salah. Pikiranku kosong. Aku tidak tahu apa-apa tentang diriku sendiri. Apa yang harus aku ceritakan padanya disaat dia menatapku dengan mata yang penuh binar dan rasa ingin tahu yang tinggi. Aku harus berpikir cepat. Memutar otak untuk menceritakan sesuatu agar dia tidak curiga. Tapi apa yang harus kuceritakan? Aku memang memiliki kenangan tentang masa-masa indahku selama sekolah dan kuliah, tapi jika dia menanyakan sesuatu kemungkinan besar aku tidak bisa menjawab karena apa yang aku ceritakan hanyalah kenangan yang tidak sengaja kuingat. Keheningan yang terjadi membuat suasana menjadi canggung. Saat aku akan memulai bercerita Lyan sudah bersandar di kursinya dan menatapku dengan sorot mata penuh luka. "It's okay. Kalau loe ngerasa nggak nyaman buat cerita." Rasa bersealah menggerogotiku, "Bukan itu. Gue cuma-" tidak memiliki apa-apa untuk dice
Anehnya, makan siang yang canggung itu berlanjut tanpa ada tambahan drama lagi. Ketiga wanita itu sudah beralih ke topik lain dan asyik menceritakan tentang skandal-skandal terbaru yang mereka dengar. Hal itu benar-benar memberi kesempatan padaku dan Lyan untuk sedikit bernafas lega.Ponsel Arumi berdering dan dia meminta izin untuk mengangkatnya. Delia dan Sintia kembali asyik bercengkrama berdua, meninggalkanku dan Lyan.Aku diam-diam memajukan kembali steak medium-rare yang mereka pilihkan untukku. Lyan juga tampaknya tidak menyentuh makananya. Aku dan Lyan tidak segila itu untuk memakan makanan yang belum matang sempurna disaat kami berdua tengah mengandung.Pikiranku mengelana ke kartu nama yang tadi Delia sodorkan. Aku harus mencari tahu siapa pemiliknya."Sorry. Cowok baru gue nelfon." Kami semua beralih menatap Arumi yang tidak repot-repot untuk duduk kembali. Dia segera mengambil tasnya, "kita musti pergi sekarang."Dua wanita yang lain ikut berdiri."Lo bayar kayak biasanya,
Aku tidak tahu jika tempat tujuanku kali ini ada di luar kota. Saat kami melewati beberapa perumahan yang membentang di sepanjang jalan, membuatku kembali berpikir. Sebenarnya apa yang kucari?Dan mengapa dengan bodohnya aku langsung merasa terusik hanya karena sebuah kartu nama yang pemiliknya saja aku tidak kenal. Ditambah yang memberikannya juga adalah orang-orang dengan perilaku buruk.Ada jawaban sederhana untuk pertanyaanku itu -aku hanya ingin mengetahui soal diriku, meskipun itu sedikit-. Sebenarnya aku tidak perlu seberusaha ini untuk menggali informasi tentang diriku sendiri karena Lisa pun tidak menyarankan hal itu dilakukan. Tapi jika kejadian seperti tadi terulang kembali aku sendiri yang akan bingung untuk menghadapinya. Dan satu-satunya opsi yang terlintas di otakku adalah aku harus menggali lebih dalam.Sebenarnya ada larangan yang terlintas dibenakku dan itu sulit untuk diabaikan. Tentang aku yang tidak boleh mencari pemicu agar tidak membahayakan kandunganku.Aku seg
Aku akhirnya sampai di rumah dalam keadaan linglung. Saat pintu terbuka aku melihat Tama sudah berdiri di depanku. Dia menungguku. Ketika mata kami bertemu aku melihat perubahan raut wajahnya, dia terkejut."Sayang ... "Aku melangkah cepat mendekatinya. Menghapus jarak yang terbentang di antara kami dan langsung menghambur kepelukannya. Sesuatu dalam diriku yang sebelumnya memberontak menjadi tenang seketika. Sepertinya dia tahu hanya Tama yang bisa memberikan ketenangan yang aku butuhkan. Tapi pikiranku yang kacau merasa kenyamanan ini sebuah kesalahan.Belum sempat aku melepaskan diri, Tama sudah lebih dulu membalas pelukanku. Dia melingkarkan lengannya ke tubuhku dan mendekap kepalaku di dadanya."Kenapa sayang? Hm ... " nada khawatir dari suaranya tidak dia sembunyikan, sebaliknya kalimatnya dia ucapkan setenang mungkin dan itu terasa menyakitkan untukku.Apa dia tahu? Mungkin sebelum kecelakaan ini aku adalah orang yang terpaksa menggugurkan anaknya entah karena alasana apa?Apa
Siapa aku? Jantungku berdegup kencang karena pertanyaanku sendiri. Air mataku bahkan sudah menggenang saking takutnya dengan jawaban terburuk yang akan Tama beri tahu. Tapi dia hanya memandangku lembut. Satu tangannya terangkat untuk merapikan anak-anak rambutku yang sebagian besar sudah menutupi wajahku. Aku sedikit tersentak dengan tindakan tiba-tibanya.. "Itu pertanyaan gampang," gumamnya masih terus merapikan rambutku, "kamu itu istriku." Jawabannya membuatku tersipu dan ritme detak jantungku semakin menjadi. Padahal aku sudah mempersiapkan diri tadi dengan kemungkinan terburuk yang akan dia katakan. Tama menarikku masuk ke dalam pelukannya dan merebahkan diri di atas sofa hingga aku berada tepat di atasnya. Panas kulitnya sampai menembus ke bajuku karena aku kedinginan. Sedangkan telingaku tepat berada di dadanya. Aku iseng menempelkan telingaku dan dengan posisi seperti ini aku dapat mendengar ritme jantungnya yang stabil. Untuk membuat hubungan kami menjadi sedekat ini p
Pembicaraan kami tidak berjalan lancar karena panggilan dari telfon Tama. Pria itu mengabaikannya, menurutnya yang jadi fokus utamanya saat ini hanya aku. Dia tidak menerima intrupsi apa pun disaat dia tengah berbincang denganku.Aku pikir keputusan yang Tama ambil tadi karena memang dia sudah memikirkan hal-hal yang akan terjadi nantinya, tapi ternyata tidak. Tiga puluh menit berlalu, karena Tama benar-benar mengabaikan panggilan itu akhirnya Damar datang. Dia langsung menarik Tama untuk mengikutinya. Salah satu proyek kerjasama yang mereka jalani bersama mendapat hambatan. Dan pihak penanggung jawab ingin berbicara langsung dengan Tama karena dia ingin berdiskusi lebih detail mengenai proyek ini.Aku mengiyakan saat Damar menariknya paksa dan ternyata saat aku mengikuti mereka keluar untuk mengantar di sana sudah ada Sheila. Dia bersedekap sambil memandang kesal padaku. Aku mengernyit tidak mengerti karena hal itu benar-benar menggangguku."Aku bakal pulang cepat. Kamu langsung tid
“Sayang, aku mau belanja dulu ya,” bisik Luna di depan telinga Tama. Pria itu tampak masih setengah sadar dan menjawab kalimat Luna dengan gumaman pelan. Dia terlihat amat sangat lelah, bahkan hanya untuk sekedar membuka matanya saja Tama harus mengumpulkan banyak kekuatan. Tama baru sampai di rumah sekitar pukul 3 dini hari. Karena adanya pembangunan cabang baru di luar kota, Tama terpaksa harus hadir secara langsung untuk melihat bagaimana progres bangunan lima lantai miliknya itu. Dan karena ini pertama kalinya bagi pria itu pergi tanpa berpamitan langsung dengan triplet, jadi dia memutuskan untuk langsung pulang begitu urusannya selesai. “Biar aku antar,” gumam Tama dan kembali berusaha membuka matanya yang masih terasa lengket.“Enggak usah. Kamu tidur lagi aja. Lagian aku Cuma mau pergi ke pasar di belakang komplek. Enggak terlalu jauh. Jalan kaki juga sampai. Sama Bi Susan kok.”Penjelasan Luna kembali membuat Tama berbaring. Pria itu mengangguk dan kembali tidur.“Aku pergi
"Kakak sama adek baru bangun?" Luna bertanya sambil menyerahkan segelas air pada Tama. Dia juga memberikan biskuit pada Rama dan Rajen. Biskuit yang sama seperti yang dia berikan pada Raka"Iya," jawab pria itu setelah meneguk air minumnya hingga tandas. "Tadi aku sengaja mampir ke kamar mereka dan ternyata mereka udah lada bangun. Tumben banget nggak pada nangis," lanjut Tama sambil memajukan diri untuk mencium Luna. Sayangnya ditolak oleh wanita itu."Nggak boleh! Ada anak-anak," peringat wanita itu tanpa boleh dibantah.Sayangnya Tama tetaplah pria. Dia tidak suka dilarang bahkan sampai mengernyitkan dahi karena tidak suka dengan peraturan mendadak itu. Dia masih memeluk Luna dan tetap berusaha untuk mencium Luna."Ayah!" seru Luna dengan tawa tapi tetap mencoba untuk menghindar."Abang, adek, sama kakak lihat ya. ayah mau cium Bunda."Tama berhasil mendapatkan bibir Luna. Dia mencium pendek-pendek hingga beberapa kali. Rajen dan Raka tertawa senang melihat adegan tersebut. Menurut
Luna menatap lekat ke arah ketiga anaknya dengan perasaan yang masih membuncah bahagia. Raka, Rama dan Rajen nampak tengah tertidur lelap, membuat siapa oun yang melihat adegan tersebut akan merasa jatuh hati. Luna memperbaiki letak selimut Rajen yang melorot. Dia juga ikut mengecup kening anak bungsunya dan dilanjutkan ke kening putra-putranya yang lain.Jika memutar kembali ingatannya ke kejadian dua tahun yang lalu, Luna masih saja merasa takjub. Anak yang kini sudah tumbuh besar itu pernah tinggal di rahimnya. Rasanya apa yang sudah terjadi itu bagaikan ilusi. Hanya dalam sekejap mata ketiga buah hatinya sudah berusia tiga tahun saja. Apalagi Rajen, bayi yang dulunya terlahir paling kecil di antara kakak-kakaknya juga sudah terlihat bertumbuh dengan sehat.Dulu Luna selalu merasa was-was karena saat itu Ranen harus di rawat di ruangan khusus bayi yang bermasalah. Tubuhnya yang ringkih juga sampai harus di pasangi berbagai macam kabel dan selang. Tiada hari tanpa air mata kala itu.
Tiga tahun kemudian...Tama mendesis pelan saat tangannya tidak sengaja menyentuh panci panas yang tengah digunakannya untuk memasak sup. Anak-anaknya harus sarapan sedangkan Bi Susan tidak ada di tempat karena wanita paruh baya itu tadi izin akan pergi ke pasar tradisional yang ada di belakang komplek. Sebentar lagi triplets akan bangun dan sudah lasti mereka akan merengek karena kelaparan.Belum ada lima menit dia menggumamakan soal itu di dalam hati dan tidak lama kemudia, suara berisik dari kamar ketiganya membuat fokus Tama teralihkan. Pria itu segera mengecilkan kompor sebelum bergerak untuk mencari tahu penyebab dari keributan tersebut. Meski sesungguhnya dia sudah tahu siapa biangnya.Senyum Tama terbit seketika saat dia melihat putra bungsunya, Rajen, sedang memukul-mukul pagar pembatas menggunakan mainan berbentuk boneka pisang berwarna hijau yang terpasang di setiap pintu. Tingginya sebatas pinggang orang dewasa."Anak Ayah udah bangun ternyata," seru Tama sambil meraih Raj
Luna kecil duduk manis di tengah-tengah ruangan besar nan megah. Tidak ada yang menemani. Hanya keheningan yang tersisa walau pun di dalam ruangan itu sudah dipenuhi banyak hal-hal menakjubkan.Luna kecil menundukkan kepalanya, bukan ini yang di inginkannya. Padahal Mama dan Papanya sudah berjanji kalau hari ini akan menjadi ulang tahun penuh kejutan yang tidak akan pernah mungkin Luna lupakan.Yang dia inginkan bukan barang-barang penuh gemerlapan seperti ini. Luna kecil hanya mengharapkan mereka semua berkumpul bersama dan menghabiskan waktu untuk bercanda riang layaknya keluarga pada umumnya. Tapi sayangnya hal itu sulit untuk terealisasikan karena bahkan sampai saat ini tidak ada tanda-tanda kemunculan mereka.Baginya, itu bukanlah ulang tahun tapi hari paling menyedihkan. Bahkan beberapa asisten rumah tangga yang hadir di sana juga menatap penuh iba ke arahnya. bocah kecil yang malang.Setelah mulai bersekolah, waktu untuk Luna bertemu dengan orang tuanya bahkan sampai bisa dihit
Tama Pov"Buat sekarang lebih baik kita fokusin diri kita untuk menyambut kehadiran triplets dulu. Masa depan juga masih panjang dan untuk urusan adiknya triplets masih bisa kita bahas nanti-nanti," jelasku lagi sambil mencubit pelan pipinya."Kamu nggak mau aku hamil lagi ya?" Mata Luna sudah berkilat memerah. Bahkan air muta sudah mulai menghiasi kornea indah itu."Nggak gitu sayang," ucapku sambil menangkupkan tanganku ke pipi chubby miliknya. "Aku tadi itu cuma bilang buat fokus ke triplets kan. Nggak ada penjelasan tentang aku yang nggak mau kamu hamil lagi. Yang aku maksud supaya kita bisa banyak-bayak saving kenangan sama triplets. Itu doang, nggak ada maksud lain. Kalau memang rezeki lagi kamu hamil, nanti kita pikirkan saat itu.""Tapi aku juga mau punya anak perempuan juga," tangis Luna pecah. Kehamilan memang membuat moodnya naik dan turun macam roller coster. Awalnya aku juga merasa kesulitan dengan kondisi ini, bahkan aku sampai meminta saran dari beberapa pihak hanya dem
Tama Pov Seperti biasanya meski aku mengatakan kalau aku akan lebih memilih bekerja di rumah, tapi kenyataanya tidak berjalan semulus itu. Ada saja kerjaan yang tidak bisa di wakilkan dan membuatku harus turun tangan langsung. Kali ini adalah pembahasan soal kerjasama dengan beberapa rumah sakit. Perkebunan milikku yang sudah beratas namakan Luna semakin membesar dan hasil produksinya juga bertambah. Dengan ide absurd yang awalnya hanya terlontar sekilas dari mulut Bi Susan, kini aku malah benar-benar merealisasikan karena produksi benar-benar sudah tidak bisa ditampung oleh para petani. Pembicaraanya berjalan sangat lancar. Bahkan ahli gizi yang ikut memeriksa sayuran milik perkebunan tersenyum lega karena sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Setelah berhasil menyelesaikan pekerjaan, aku memilih untuk menemui Mela. Suasana di sana tidak ramai tapi juga tidak bisa dibilang sepi. Di hadapanku ada sepasang suami istri yang menunggu dengan tangan bertautan. Sang suami mencoba
Tama PovMalam itu, untuk pertama kalinya aku bisa merasakan gerakan lembut yang berasa dari triplets. Itu adalah moment paling emosional sepanjang kehidupanku sebagai seorang Dytama dan aku jadi yakin jika semuanya akan berjalan baik-baik saja. Luna dan triplets akan sehat sampai jadwal operasi mendatang.Berbeda dengan harapanku kala itu, kini keadaan Luna malah terlihat semakin tidak baik. Keyakinan yang berhasil aku tanamkan hampir sirna semua karena kondisi itu.Luna kini sering mual muntah, pingsan, dan yang paling membuatku hampir kacau adalah, dia juga harus diberikan suntikan untuk pengencer darah setiap dua belas jam sekali. Bukan hanya itu saja, ada kalanya Luna sampai harus di bawa ke UGD karena bekas suntikannya itu terus-menerus mengeluarkan darah tanpa henti. Itu efek dari darah yang ada di tubuhnya terlalu encer.Rasanya, jiwaku seperti ditarik keluar paksa ketika melihat dress favoritnya sudah dipenuhi oleh darahnya. Kala itu aku berserah pada Tuhan.
"Aku tambah berisi banget ya," ucap Luna lagi. Kini dia bahkan sampai membalikkan tubuhnya supaya bisa bertatapan dengan Tama. Momok yang paling menakutkan bagi wanita adalah perubahan bentuk tubuh yang langsung drastis. Aluna hanya wanita biasa yang bisa merasakan takut kehilangan. Apalagi sekarang hubungannya dengan Tama sedang dalam mode yang amat membahagiakan dan benar-benar takut untuk kehilangan."It's okay. I still love you," Tama mulai mendekatkan wajah mereka dan mulai saling menggesekkan kedua ujung hidung mereka berdua karena gemas."Tapi kan nanti badan aku bakal melar habis-habisan?" tanyanya memastikan lagi. Tama membalasnya dengan cara mengecup sudut bibir Luna. "Terus nanti juga perut sama badan aku bakal penuh sama stretchmark," lanjutnya kembali memperjelas. Dia hanya ingin memastikan kalau Tama tidak akan meninggalkan dia saat kondisinya sedang tidak menarik seperti sekarang."Aku nggak pernah mempermasalahkan soal bentuk badan kamu. Aku memilih