Pembicaraan kami tidak berjalan lancar karena panggilan dari telfon Tama. Pria itu mengabaikannya, menurutnya yang jadi fokus utamanya saat ini hanya aku. Dia tidak menerima intrupsi apa pun disaat dia tengah berbincang denganku.Aku pikir keputusan yang Tama ambil tadi karena memang dia sudah memikirkan hal-hal yang akan terjadi nantinya, tapi ternyata tidak. Tiga puluh menit berlalu, karena Tama benar-benar mengabaikan panggilan itu akhirnya Damar datang. Dia langsung menarik Tama untuk mengikutinya. Salah satu proyek kerjasama yang mereka jalani bersama mendapat hambatan. Dan pihak penanggung jawab ingin berbicara langsung dengan Tama karena dia ingin berdiskusi lebih detail mengenai proyek ini.Aku mengiyakan saat Damar menariknya paksa dan ternyata saat aku mengikuti mereka keluar untuk mengantar di sana sudah ada Sheila. Dia bersedekap sambil memandang kesal padaku. Aku mengernyit tidak mengerti karena hal itu benar-benar menggangguku."Aku bakal pulang cepat. Kamu langsung tid
Aku memutuskan untuk mandi sebelum berangkat ke kantonya Tama. Saat tubuhku tersiram air panas aku merasa seluruh otot-otot yang sebelumnya tegang menjadi nyaman seketika. Aku meletakkan telapak tanganku ke oerutku yang membuncit dan mengusapnya. Sweety apa kamu baik-baik aja? Maafin Mama. Rasa bersalahku semakin menjadi. Aku menghela nafas kasar dan membuangnya perlahana agar tidak membebani bayi yang aku kandung. Harusnya aku tidak bepikir keras hanya karena Tama yang harus tinggal di kantor. Lisa sudah menekankan soal bayi ini yang harus selalu menjadi prioritas utamaku, tapi aku melupakan hal itu. Betapa egoisnya aku, hanya karena cemburu aku malah membahayakan bayi ini. Aku berendam agak lama di bathup sampai aku merasa ketegangan di pundakku sudah berkurang. *** Ternyata aku menghabiskan waktu cukup lama hanya untuk berendam. Saat sudah sampai bawah bi Susan sudah menyiapkan papper bag di atas meja. "Ini menu makan siang kalian," katanya. Aku mengintip ke dalam untuk mel
Perasaan tenangku itu ternyata tidak bertahan lama. Saat pintu tertutup dan saat aku menyadari jika aku terjebak di ruangan asing yang hanya berdua dengan Tama, tiba-tiba membuatku canggung. Lengannya yang mendekapku membuat sekeliling tubuhku memanas. Saat aku mendongak matanya sudah menatap ke mataku. Aku membeku berada di dekatnya."Kamu kelihatan pucat hari ini." Dia mengangkat tangannya dan ingin memeriksaku tapi aku refleks mundur. Aku mendorong tangannya dan berdeham."Ini idenya Bi Susan," kataku cepat, "soal makan siang ini maksudku, itu idenya dia."Mata cokelat Tama menyipit dan dia pun terkekeh geli, "Ah ... jadi begitu."Aku tidak sanggup lagi menatap matanya dan aku pun menoleh untuk menghindar. Aku terperanjat melihat ruangan Tama yang termat lebar. Isinya super lengkap menurutku karena ada mini bar dan juga pantry. Beberapa pot tanaman hias juga ada memberi kesan sejuk yang menyenangkan. Dan untuk beberapa alasan aku merasa familiry dengan ruangan ini.Aku menoleh lag
Cemburu itu buta. Seperti warna yang bercampur dan berubah tidak menjadi tidak menarik. Seperti kayu yang dibakar dan lama-kelamaan menjadi bara merah yang membuat emosi naik turun tidak stabil.Itu deskripsiku pada Sheila yang menatapku penuh kebencian. Mungkin awalnya perasaanya sama sepertiku yang senang dan khawatir tapi karena dia tahu Tama tidak pernah dan tidak akan pernah membalasnya membuatnya memupuk kebencian. Bukan pada Tama, melainkan pada pasangan Tama."Loe benar-benar nggak tahu malu, ya?""Maksud loe apa?" Aku mundur saat tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Tubuhku sepertinya sangat mengerti situasi ini dan tahu bahaya akan mengancamku yang membuatku bergerak mencari posisi aman.Loe mesti lari sebelum terlambat, batinku berbisik mendesak. Aku sudah mengambil langkah lebar menjauh dari meja kerja Tama sebelumnya, dan bergerak sealami mungkin agar Sheila tidak sadar, tapi sialnya dia tahu jika aku berencana untuk lari. Dia semakin maju.Aku menatapnya dengan waspada
Wanita itu membuatku terkekeh. Ekspresi kaget dan raut wajah tidak menyangkanya benar-benar menjadi hiburan tersendiri buatku."Kenapa kaget? Loe sengaja bohong sama gue berarti. Padahal loe sendiri orang yang terakhir ketemu sama gue dan juga kita ketemu di kantor ini, kan?"Aku sebenarnya tidak ingat siapa orang yang aku temui di tempat ini. Aku hanya menerka karena dalam ingatan terakhirku perawakan wanita itu sangat mirip dengan Sheila.Aku menatapnya tajam karena dia masih enggan menjawab, "Gue cuma pingin kasih tahu loe soal ini," kataku. Aku sudah tidak ingin berlama-lama lagi di tempat ini. Aku melangkah menjauh, tapi Sheila mencengkeram lenganku. Kukunya sampai menembus kulitku karena aku merasa perih seketika.Apa yang dia lakukan sangat mirip dengan yang ada di ingatanku. Perasaan takut dari tingkahnya masih terasa jelas. Rasa takut dan gemetar menghantuiku."Jadi loe bermaksud nyalahin gue soal kecelakaan loe?" teriaknya tidak terima.Aku mencoba menarik lenganku tapi cen
Kelopak mataku terbuka. Dan saat itulah aku merasa sesuatu yang hangat dan lengket merembes di sekitar kakiku. Aku menggelengkan kepalaku, menghalau pandanganku yang mengabur. Aku memutar kepalaku untuk melihat. Aku terbelalak. Itu darah. Darah itu sudah merembes ke dress yang aku gunakan. Jantungku rasanya ikut berhenti berdetak menyaksikan pemandangan mengerikan itu. Tubuhku lemas seketika. Sheila hanya berdiri di tempatnya. Dan dia pun juga terkejut dengan kondisiku. Wajahnya pusat pasi. Aku sudah sangat putus asa dan lemah sampai meminta bantuan padanya. "T-tolong..." isakku, "please ... Gue mohon..." Air mataku mulai mempengaruhi pandanganku dan membuatku tidak dapat melihat jelas. Langanku sudah terulur ke arah Sheila, tapi dia malah mundur. Aku ingin menangis keras tapi tidak ada suara yang keluar. Tidak! Jangan biarkan anak ini mati, dia tidak bersalah. Tolong, please. Aku memohon dengan mata berair saat mulutku sudah tidak berfungsi. Aku tidak tahu apa yang terjadi sela
Pertama kali aku membuka mata di rumah sakit, aku tidak merasakan apa pun selain kebingungan.Siapa aku? Di mana aku? Kenapa aku ada di sini? Dan kenapa pria aneh itu selalu ada di sampingku?Rasa frustasi juga mendominasiku. Ketakutan yang tidak bisa dijelaskan secara gamblang, yang aku sendiri pun tidak tahu asalnya dari mana. Aku khawatir pada banyak hal dan juga pada rasa hampa yang aku rasakan.Aku pikir itu akan menjadi hal terburuk yang terjadi padaku. Setiap hari ini aku terbangun ditemani dengan langit-langit putih di kamar rumah sakit, yang semakin lama membuatku terasa familiar. Itu yang aku rasakan saat pertama kali sadar. Dan aku lebih memilih saat di mana aku sadar dalam kondisi amnesia dibandingkan saat ini.Tidak ada apa-apa. Pikiranku kosong."Kamu udah bangun." Terdengar suara lega dari seseorang di samping tempat tidurku, "Terima kasih Tuhan."Untuk apa aku bangun? Aku ingin memejamkan mata lagi.Kali ini aku tahu siapa yang duduk di sampingku. Kali ini, aku cukup i
Telingaku berdengung saat mendengar penjelasan Tama. Apa aku salah dengar? Aku sangat berharap tapi jika bayiku gugur apa aku mampu untuk menghadapi Tama? Aku takut menerima kebenaran dari berita ini."Maksudnya?" bisikku tidak berani berharap."Bayinya baik-baik aja," kata Tama perlahan, "kalian berdua baik-baik aja."Jantungku mulai berdebar. Degupannya sangat kencang karena aku dapat mendengarnya.Apa? Aku masih hamil?Aku menatap Tama penuh haru sambil mengusap perutku. Tanganku gemetar saat berhasil menyentuk gundukan yang mulai terasa itu."K-kamu yakin?" tanyaku ulang."Jadi loe belum ingat. Kalau gitu gue bakal ceritain secara singkat apa yang udah terjadi kemarin," kata Lisa yang masih berdiri di sisi samping ranjangku. Pandanganku langsung beralih padanya menunggu penjelasannya dengan cemas, "Tama nemuin loe pingsan di kantornya. Dia langsung panggil ambulance dan loe di bawa ke sini dalamkurun waktu lima belas menit. Waktu loe dipindahin masuk, loe sempat sadar beberapa me