Perasaan tenangku itu ternyata tidak bertahan lama. Saat pintu tertutup dan saat aku menyadari jika aku terjebak di ruangan asing yang hanya berdua dengan Tama, tiba-tiba membuatku canggung. Lengannya yang mendekapku membuat sekeliling tubuhku memanas. Saat aku mendongak matanya sudah menatap ke mataku. Aku membeku berada di dekatnya."Kamu kelihatan pucat hari ini." Dia mengangkat tangannya dan ingin memeriksaku tapi aku refleks mundur. Aku mendorong tangannya dan berdeham."Ini idenya Bi Susan," kataku cepat, "soal makan siang ini maksudku, itu idenya dia."Mata cokelat Tama menyipit dan dia pun terkekeh geli, "Ah ... jadi begitu."Aku tidak sanggup lagi menatap matanya dan aku pun menoleh untuk menghindar. Aku terperanjat melihat ruangan Tama yang termat lebar. Isinya super lengkap menurutku karena ada mini bar dan juga pantry. Beberapa pot tanaman hias juga ada memberi kesan sejuk yang menyenangkan. Dan untuk beberapa alasan aku merasa familiry dengan ruangan ini.Aku menoleh lag
Cemburu itu buta. Seperti warna yang bercampur dan berubah tidak menjadi tidak menarik. Seperti kayu yang dibakar dan lama-kelamaan menjadi bara merah yang membuat emosi naik turun tidak stabil.Itu deskripsiku pada Sheila yang menatapku penuh kebencian. Mungkin awalnya perasaanya sama sepertiku yang senang dan khawatir tapi karena dia tahu Tama tidak pernah dan tidak akan pernah membalasnya membuatnya memupuk kebencian. Bukan pada Tama, melainkan pada pasangan Tama."Loe benar-benar nggak tahu malu, ya?""Maksud loe apa?" Aku mundur saat tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Tubuhku sepertinya sangat mengerti situasi ini dan tahu bahaya akan mengancamku yang membuatku bergerak mencari posisi aman.Loe mesti lari sebelum terlambat, batinku berbisik mendesak. Aku sudah mengambil langkah lebar menjauh dari meja kerja Tama sebelumnya, dan bergerak sealami mungkin agar Sheila tidak sadar, tapi sialnya dia tahu jika aku berencana untuk lari. Dia semakin maju.Aku menatapnya dengan waspada
Wanita itu membuatku terkekeh. Ekspresi kaget dan raut wajah tidak menyangkanya benar-benar menjadi hiburan tersendiri buatku."Kenapa kaget? Loe sengaja bohong sama gue berarti. Padahal loe sendiri orang yang terakhir ketemu sama gue dan juga kita ketemu di kantor ini, kan?"Aku sebenarnya tidak ingat siapa orang yang aku temui di tempat ini. Aku hanya menerka karena dalam ingatan terakhirku perawakan wanita itu sangat mirip dengan Sheila.Aku menatapnya tajam karena dia masih enggan menjawab, "Gue cuma pingin kasih tahu loe soal ini," kataku. Aku sudah tidak ingin berlama-lama lagi di tempat ini. Aku melangkah menjauh, tapi Sheila mencengkeram lenganku. Kukunya sampai menembus kulitku karena aku merasa perih seketika.Apa yang dia lakukan sangat mirip dengan yang ada di ingatanku. Perasaan takut dari tingkahnya masih terasa jelas. Rasa takut dan gemetar menghantuiku."Jadi loe bermaksud nyalahin gue soal kecelakaan loe?" teriaknya tidak terima.Aku mencoba menarik lenganku tapi cen
Kelopak mataku terbuka. Dan saat itulah aku merasa sesuatu yang hangat dan lengket merembes di sekitar kakiku. Aku menggelengkan kepalaku, menghalau pandanganku yang mengabur. Aku memutar kepalaku untuk melihat. Aku terbelalak. Itu darah. Darah itu sudah merembes ke dress yang aku gunakan. Jantungku rasanya ikut berhenti berdetak menyaksikan pemandangan mengerikan itu. Tubuhku lemas seketika. Sheila hanya berdiri di tempatnya. Dan dia pun juga terkejut dengan kondisiku. Wajahnya pusat pasi. Aku sudah sangat putus asa dan lemah sampai meminta bantuan padanya. "T-tolong..." isakku, "please ... Gue mohon..." Air mataku mulai mempengaruhi pandanganku dan membuatku tidak dapat melihat jelas. Langanku sudah terulur ke arah Sheila, tapi dia malah mundur. Aku ingin menangis keras tapi tidak ada suara yang keluar. Tidak! Jangan biarkan anak ini mati, dia tidak bersalah. Tolong, please. Aku memohon dengan mata berair saat mulutku sudah tidak berfungsi. Aku tidak tahu apa yang terjadi sela
Pertama kali aku membuka mata di rumah sakit, aku tidak merasakan apa pun selain kebingungan.Siapa aku? Di mana aku? Kenapa aku ada di sini? Dan kenapa pria aneh itu selalu ada di sampingku?Rasa frustasi juga mendominasiku. Ketakutan yang tidak bisa dijelaskan secara gamblang, yang aku sendiri pun tidak tahu asalnya dari mana. Aku khawatir pada banyak hal dan juga pada rasa hampa yang aku rasakan.Aku pikir itu akan menjadi hal terburuk yang terjadi padaku. Setiap hari ini aku terbangun ditemani dengan langit-langit putih di kamar rumah sakit, yang semakin lama membuatku terasa familiar. Itu yang aku rasakan saat pertama kali sadar. Dan aku lebih memilih saat di mana aku sadar dalam kondisi amnesia dibandingkan saat ini.Tidak ada apa-apa. Pikiranku kosong."Kamu udah bangun." Terdengar suara lega dari seseorang di samping tempat tidurku, "Terima kasih Tuhan."Untuk apa aku bangun? Aku ingin memejamkan mata lagi.Kali ini aku tahu siapa yang duduk di sampingku. Kali ini, aku cukup i
Telingaku berdengung saat mendengar penjelasan Tama. Apa aku salah dengar? Aku sangat berharap tapi jika bayiku gugur apa aku mampu untuk menghadapi Tama? Aku takut menerima kebenaran dari berita ini."Maksudnya?" bisikku tidak berani berharap."Bayinya baik-baik aja," kata Tama perlahan, "kalian berdua baik-baik aja."Jantungku mulai berdebar. Degupannya sangat kencang karena aku dapat mendengarnya.Apa? Aku masih hamil?Aku menatap Tama penuh haru sambil mengusap perutku. Tanganku gemetar saat berhasil menyentuk gundukan yang mulai terasa itu."K-kamu yakin?" tanyaku ulang."Jadi loe belum ingat. Kalau gitu gue bakal ceritain secara singkat apa yang udah terjadi kemarin," kata Lisa yang masih berdiri di sisi samping ranjangku. Pandanganku langsung beralih padanya menunggu penjelasannya dengan cemas, "Tama nemuin loe pingsan di kantornya. Dia langsung panggil ambulance dan loe di bawa ke sini dalamkurun waktu lima belas menit. Waktu loe dipindahin masuk, loe sempat sadar beberapa me
"Luna," panggil Tama.Dia memanggilku Luna? Padahal selama seminggu ini dia selalu memanggilku sayang tanpa ada embel-embel memanggil namaku.Tapi sekarang, cara dia yang memanggil namaku, aku jadi mengetahui alasan berbedanya arti kedua nama itu. Aku pikir panggilan sayang itu digunakannya saat dia harus berbicara serius denganku dan membutuhkan perhatian dariku. Dan ternyata aku salah. Panggilan sayang itu ternyata untuk wanita yang dia temui di bawah tangga. Wanita yang dia hibur karena bakatnya yang luar biasa dalam melukis. Sayang itu wanita yang menarik perhatiannya dan wanita yang dia inginkan untuk terus selalu bersamanya. Sayang itu ... istrinya.Dan Luna ... dia itu hanya wanita asing. Bukan hanya wanita asing, dia itu sosok yang harus dia ajak berinteraksi meski sebenarnya dia enggan.Dan sekarang, aku menjadi Luna.Nada suaranya yang dingin membuat Lisa bergerak. Dia melangkah mendekat ke kami dan berdiri ditengah-tengah kami, "Tam, ini bukan waktu yang tepat. Loe kan tahu
Otakku menjadi blank karena jawaban Tama "Aku nggak pernah bohong ke kamu soal ini," ualangnya.Aku beberapa kali membuka dan menutup mulutku sebelum bersuara, "Tapi aku ingat jelas kejadian itu. Aku yakin aku pernah ke sana. Aku juga ketemu Sheila waktu itu."Tatapan Tama tiba-tiba membuatku bimbang seketika. Sebenarnya apa yang sudah terjadi?"Lis ... " Tama memanggil wanita itu tanpa mengalihkan pandangannya dariku."Gue juga dengar." Ekspresi Lisa terlihat bingung. Dia menatap Tama dulu sebelum beralih untuk menatapku, "apa loe bakal tanya ke gue siapa yang bohong diantara kalian?"Aku menyanggah, "Tapi aku nggak bohong ..."Tama mengalihkan pandangannya, "Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia malah dapat ingatan palsu sekarang?"Lisa menatap Tama karena tuduhan yang dilayangkan kepadanya."Ingatan palsu? Loe bercanda?" Dia menyangkal ucapan Tama yang tidak masuk akal menurutnya.Seberapa tidak masuk akalnya ingatanku, hal itu tetap membuatju berpikir keras. Jantungku pun sampa
“Sayang, aku mau belanja dulu ya,” bisik Luna di depan telinga Tama. Pria itu tampak masih setengah sadar dan menjawab kalimat Luna dengan gumaman pelan. Dia terlihat amat sangat lelah, bahkan hanya untuk sekedar membuka matanya saja Tama harus mengumpulkan banyak kekuatan. Tama baru sampai di rumah sekitar pukul 3 dini hari. Karena adanya pembangunan cabang baru di luar kota, Tama terpaksa harus hadir secara langsung untuk melihat bagaimana progres bangunan lima lantai miliknya itu. Dan karena ini pertama kalinya bagi pria itu pergi tanpa berpamitan langsung dengan triplet, jadi dia memutuskan untuk langsung pulang begitu urusannya selesai. “Biar aku antar,” gumam Tama dan kembali berusaha membuka matanya yang masih terasa lengket.“Enggak usah. Kamu tidur lagi aja. Lagian aku Cuma mau pergi ke pasar di belakang komplek. Enggak terlalu jauh. Jalan kaki juga sampai. Sama Bi Susan kok.”Penjelasan Luna kembali membuat Tama berbaring. Pria itu mengangguk dan kembali tidur.“Aku pergi
"Kakak sama adek baru bangun?" Luna bertanya sambil menyerahkan segelas air pada Tama. Dia juga memberikan biskuit pada Rama dan Rajen. Biskuit yang sama seperti yang dia berikan pada Raka"Iya," jawab pria itu setelah meneguk air minumnya hingga tandas. "Tadi aku sengaja mampir ke kamar mereka dan ternyata mereka udah lada bangun. Tumben banget nggak pada nangis," lanjut Tama sambil memajukan diri untuk mencium Luna. Sayangnya ditolak oleh wanita itu."Nggak boleh! Ada anak-anak," peringat wanita itu tanpa boleh dibantah.Sayangnya Tama tetaplah pria. Dia tidak suka dilarang bahkan sampai mengernyitkan dahi karena tidak suka dengan peraturan mendadak itu. Dia masih memeluk Luna dan tetap berusaha untuk mencium Luna."Ayah!" seru Luna dengan tawa tapi tetap mencoba untuk menghindar."Abang, adek, sama kakak lihat ya. ayah mau cium Bunda."Tama berhasil mendapatkan bibir Luna. Dia mencium pendek-pendek hingga beberapa kali. Rajen dan Raka tertawa senang melihat adegan tersebut. Menurut
Luna menatap lekat ke arah ketiga anaknya dengan perasaan yang masih membuncah bahagia. Raka, Rama dan Rajen nampak tengah tertidur lelap, membuat siapa oun yang melihat adegan tersebut akan merasa jatuh hati. Luna memperbaiki letak selimut Rajen yang melorot. Dia juga ikut mengecup kening anak bungsunya dan dilanjutkan ke kening putra-putranya yang lain.Jika memutar kembali ingatannya ke kejadian dua tahun yang lalu, Luna masih saja merasa takjub. Anak yang kini sudah tumbuh besar itu pernah tinggal di rahimnya. Rasanya apa yang sudah terjadi itu bagaikan ilusi. Hanya dalam sekejap mata ketiga buah hatinya sudah berusia tiga tahun saja. Apalagi Rajen, bayi yang dulunya terlahir paling kecil di antara kakak-kakaknya juga sudah terlihat bertumbuh dengan sehat.Dulu Luna selalu merasa was-was karena saat itu Ranen harus di rawat di ruangan khusus bayi yang bermasalah. Tubuhnya yang ringkih juga sampai harus di pasangi berbagai macam kabel dan selang. Tiada hari tanpa air mata kala itu.
Tiga tahun kemudian...Tama mendesis pelan saat tangannya tidak sengaja menyentuh panci panas yang tengah digunakannya untuk memasak sup. Anak-anaknya harus sarapan sedangkan Bi Susan tidak ada di tempat karena wanita paruh baya itu tadi izin akan pergi ke pasar tradisional yang ada di belakang komplek. Sebentar lagi triplets akan bangun dan sudah lasti mereka akan merengek karena kelaparan.Belum ada lima menit dia menggumamakan soal itu di dalam hati dan tidak lama kemudia, suara berisik dari kamar ketiganya membuat fokus Tama teralihkan. Pria itu segera mengecilkan kompor sebelum bergerak untuk mencari tahu penyebab dari keributan tersebut. Meski sesungguhnya dia sudah tahu siapa biangnya.Senyum Tama terbit seketika saat dia melihat putra bungsunya, Rajen, sedang memukul-mukul pagar pembatas menggunakan mainan berbentuk boneka pisang berwarna hijau yang terpasang di setiap pintu. Tingginya sebatas pinggang orang dewasa."Anak Ayah udah bangun ternyata," seru Tama sambil meraih Raj
Luna kecil duduk manis di tengah-tengah ruangan besar nan megah. Tidak ada yang menemani. Hanya keheningan yang tersisa walau pun di dalam ruangan itu sudah dipenuhi banyak hal-hal menakjubkan.Luna kecil menundukkan kepalanya, bukan ini yang di inginkannya. Padahal Mama dan Papanya sudah berjanji kalau hari ini akan menjadi ulang tahun penuh kejutan yang tidak akan pernah mungkin Luna lupakan.Yang dia inginkan bukan barang-barang penuh gemerlapan seperti ini. Luna kecil hanya mengharapkan mereka semua berkumpul bersama dan menghabiskan waktu untuk bercanda riang layaknya keluarga pada umumnya. Tapi sayangnya hal itu sulit untuk terealisasikan karena bahkan sampai saat ini tidak ada tanda-tanda kemunculan mereka.Baginya, itu bukanlah ulang tahun tapi hari paling menyedihkan. Bahkan beberapa asisten rumah tangga yang hadir di sana juga menatap penuh iba ke arahnya. bocah kecil yang malang.Setelah mulai bersekolah, waktu untuk Luna bertemu dengan orang tuanya bahkan sampai bisa dihit
Tama Pov"Buat sekarang lebih baik kita fokusin diri kita untuk menyambut kehadiran triplets dulu. Masa depan juga masih panjang dan untuk urusan adiknya triplets masih bisa kita bahas nanti-nanti," jelasku lagi sambil mencubit pelan pipinya."Kamu nggak mau aku hamil lagi ya?" Mata Luna sudah berkilat memerah. Bahkan air muta sudah mulai menghiasi kornea indah itu."Nggak gitu sayang," ucapku sambil menangkupkan tanganku ke pipi chubby miliknya. "Aku tadi itu cuma bilang buat fokus ke triplets kan. Nggak ada penjelasan tentang aku yang nggak mau kamu hamil lagi. Yang aku maksud supaya kita bisa banyak-bayak saving kenangan sama triplets. Itu doang, nggak ada maksud lain. Kalau memang rezeki lagi kamu hamil, nanti kita pikirkan saat itu.""Tapi aku juga mau punya anak perempuan juga," tangis Luna pecah. Kehamilan memang membuat moodnya naik dan turun macam roller coster. Awalnya aku juga merasa kesulitan dengan kondisi ini, bahkan aku sampai meminta saran dari beberapa pihak hanya dem
Tama Pov Seperti biasanya meski aku mengatakan kalau aku akan lebih memilih bekerja di rumah, tapi kenyataanya tidak berjalan semulus itu. Ada saja kerjaan yang tidak bisa di wakilkan dan membuatku harus turun tangan langsung. Kali ini adalah pembahasan soal kerjasama dengan beberapa rumah sakit. Perkebunan milikku yang sudah beratas namakan Luna semakin membesar dan hasil produksinya juga bertambah. Dengan ide absurd yang awalnya hanya terlontar sekilas dari mulut Bi Susan, kini aku malah benar-benar merealisasikan karena produksi benar-benar sudah tidak bisa ditampung oleh para petani. Pembicaraanya berjalan sangat lancar. Bahkan ahli gizi yang ikut memeriksa sayuran milik perkebunan tersenyum lega karena sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Setelah berhasil menyelesaikan pekerjaan, aku memilih untuk menemui Mela. Suasana di sana tidak ramai tapi juga tidak bisa dibilang sepi. Di hadapanku ada sepasang suami istri yang menunggu dengan tangan bertautan. Sang suami mencoba
Tama PovMalam itu, untuk pertama kalinya aku bisa merasakan gerakan lembut yang berasa dari triplets. Itu adalah moment paling emosional sepanjang kehidupanku sebagai seorang Dytama dan aku jadi yakin jika semuanya akan berjalan baik-baik saja. Luna dan triplets akan sehat sampai jadwal operasi mendatang.Berbeda dengan harapanku kala itu, kini keadaan Luna malah terlihat semakin tidak baik. Keyakinan yang berhasil aku tanamkan hampir sirna semua karena kondisi itu.Luna kini sering mual muntah, pingsan, dan yang paling membuatku hampir kacau adalah, dia juga harus diberikan suntikan untuk pengencer darah setiap dua belas jam sekali. Bukan hanya itu saja, ada kalanya Luna sampai harus di bawa ke UGD karena bekas suntikannya itu terus-menerus mengeluarkan darah tanpa henti. Itu efek dari darah yang ada di tubuhnya terlalu encer.Rasanya, jiwaku seperti ditarik keluar paksa ketika melihat dress favoritnya sudah dipenuhi oleh darahnya. Kala itu aku berserah pada Tuhan.
"Aku tambah berisi banget ya," ucap Luna lagi. Kini dia bahkan sampai membalikkan tubuhnya supaya bisa bertatapan dengan Tama. Momok yang paling menakutkan bagi wanita adalah perubahan bentuk tubuh yang langsung drastis. Aluna hanya wanita biasa yang bisa merasakan takut kehilangan. Apalagi sekarang hubungannya dengan Tama sedang dalam mode yang amat membahagiakan dan benar-benar takut untuk kehilangan."It's okay. I still love you," Tama mulai mendekatkan wajah mereka dan mulai saling menggesekkan kedua ujung hidung mereka berdua karena gemas."Tapi kan nanti badan aku bakal melar habis-habisan?" tanyanya memastikan lagi. Tama membalasnya dengan cara mengecup sudut bibir Luna. "Terus nanti juga perut sama badan aku bakal penuh sama stretchmark," lanjutnya kembali memperjelas. Dia hanya ingin memastikan kalau Tama tidak akan meninggalkan dia saat kondisinya sedang tidak menarik seperti sekarang."Aku nggak pernah mempermasalahkan soal bentuk badan kamu. Aku memilih