Cemburu itu buta. Seperti warna yang bercampur dan berubah tidak menjadi tidak menarik. Seperti kayu yang dibakar dan lama-kelamaan menjadi bara merah yang membuat emosi naik turun tidak stabil.Itu deskripsiku pada Sheila yang menatapku penuh kebencian. Mungkin awalnya perasaanya sama sepertiku yang senang dan khawatir tapi karena dia tahu Tama tidak pernah dan tidak akan pernah membalasnya membuatnya memupuk kebencian. Bukan pada Tama, melainkan pada pasangan Tama."Loe benar-benar nggak tahu malu, ya?""Maksud loe apa?" Aku mundur saat tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Tubuhku sepertinya sangat mengerti situasi ini dan tahu bahaya akan mengancamku yang membuatku bergerak mencari posisi aman.Loe mesti lari sebelum terlambat, batinku berbisik mendesak. Aku sudah mengambil langkah lebar menjauh dari meja kerja Tama sebelumnya, dan bergerak sealami mungkin agar Sheila tidak sadar, tapi sialnya dia tahu jika aku berencana untuk lari. Dia semakin maju.Aku menatapnya dengan waspada
Wanita itu membuatku terkekeh. Ekspresi kaget dan raut wajah tidak menyangkanya benar-benar menjadi hiburan tersendiri buatku."Kenapa kaget? Loe sengaja bohong sama gue berarti. Padahal loe sendiri orang yang terakhir ketemu sama gue dan juga kita ketemu di kantor ini, kan?"Aku sebenarnya tidak ingat siapa orang yang aku temui di tempat ini. Aku hanya menerka karena dalam ingatan terakhirku perawakan wanita itu sangat mirip dengan Sheila.Aku menatapnya tajam karena dia masih enggan menjawab, "Gue cuma pingin kasih tahu loe soal ini," kataku. Aku sudah tidak ingin berlama-lama lagi di tempat ini. Aku melangkah menjauh, tapi Sheila mencengkeram lenganku. Kukunya sampai menembus kulitku karena aku merasa perih seketika.Apa yang dia lakukan sangat mirip dengan yang ada di ingatanku. Perasaan takut dari tingkahnya masih terasa jelas. Rasa takut dan gemetar menghantuiku."Jadi loe bermaksud nyalahin gue soal kecelakaan loe?" teriaknya tidak terima.Aku mencoba menarik lenganku tapi cen
Kelopak mataku terbuka. Dan saat itulah aku merasa sesuatu yang hangat dan lengket merembes di sekitar kakiku. Aku menggelengkan kepalaku, menghalau pandanganku yang mengabur. Aku memutar kepalaku untuk melihat. Aku terbelalak. Itu darah. Darah itu sudah merembes ke dress yang aku gunakan. Jantungku rasanya ikut berhenti berdetak menyaksikan pemandangan mengerikan itu. Tubuhku lemas seketika. Sheila hanya berdiri di tempatnya. Dan dia pun juga terkejut dengan kondisiku. Wajahnya pusat pasi. Aku sudah sangat putus asa dan lemah sampai meminta bantuan padanya. "T-tolong..." isakku, "please ... Gue mohon..." Air mataku mulai mempengaruhi pandanganku dan membuatku tidak dapat melihat jelas. Langanku sudah terulur ke arah Sheila, tapi dia malah mundur. Aku ingin menangis keras tapi tidak ada suara yang keluar. Tidak! Jangan biarkan anak ini mati, dia tidak bersalah. Tolong, please. Aku memohon dengan mata berair saat mulutku sudah tidak berfungsi. Aku tidak tahu apa yang terjadi sela
Pertama kali aku membuka mata di rumah sakit, aku tidak merasakan apa pun selain kebingungan.Siapa aku? Di mana aku? Kenapa aku ada di sini? Dan kenapa pria aneh itu selalu ada di sampingku?Rasa frustasi juga mendominasiku. Ketakutan yang tidak bisa dijelaskan secara gamblang, yang aku sendiri pun tidak tahu asalnya dari mana. Aku khawatir pada banyak hal dan juga pada rasa hampa yang aku rasakan.Aku pikir itu akan menjadi hal terburuk yang terjadi padaku. Setiap hari ini aku terbangun ditemani dengan langit-langit putih di kamar rumah sakit, yang semakin lama membuatku terasa familiar. Itu yang aku rasakan saat pertama kali sadar. Dan aku lebih memilih saat di mana aku sadar dalam kondisi amnesia dibandingkan saat ini.Tidak ada apa-apa. Pikiranku kosong."Kamu udah bangun." Terdengar suara lega dari seseorang di samping tempat tidurku, "Terima kasih Tuhan."Untuk apa aku bangun? Aku ingin memejamkan mata lagi.Kali ini aku tahu siapa yang duduk di sampingku. Kali ini, aku cukup i
Telingaku berdengung saat mendengar penjelasan Tama. Apa aku salah dengar? Aku sangat berharap tapi jika bayiku gugur apa aku mampu untuk menghadapi Tama? Aku takut menerima kebenaran dari berita ini."Maksudnya?" bisikku tidak berani berharap."Bayinya baik-baik aja," kata Tama perlahan, "kalian berdua baik-baik aja."Jantungku mulai berdebar. Degupannya sangat kencang karena aku dapat mendengarnya.Apa? Aku masih hamil?Aku menatap Tama penuh haru sambil mengusap perutku. Tanganku gemetar saat berhasil menyentuk gundukan yang mulai terasa itu."K-kamu yakin?" tanyaku ulang."Jadi loe belum ingat. Kalau gitu gue bakal ceritain secara singkat apa yang udah terjadi kemarin," kata Lisa yang masih berdiri di sisi samping ranjangku. Pandanganku langsung beralih padanya menunggu penjelasannya dengan cemas, "Tama nemuin loe pingsan di kantornya. Dia langsung panggil ambulance dan loe di bawa ke sini dalamkurun waktu lima belas menit. Waktu loe dipindahin masuk, loe sempat sadar beberapa me
"Luna," panggil Tama.Dia memanggilku Luna? Padahal selama seminggu ini dia selalu memanggilku sayang tanpa ada embel-embel memanggil namaku.Tapi sekarang, cara dia yang memanggil namaku, aku jadi mengetahui alasan berbedanya arti kedua nama itu. Aku pikir panggilan sayang itu digunakannya saat dia harus berbicara serius denganku dan membutuhkan perhatian dariku. Dan ternyata aku salah. Panggilan sayang itu ternyata untuk wanita yang dia temui di bawah tangga. Wanita yang dia hibur karena bakatnya yang luar biasa dalam melukis. Sayang itu wanita yang menarik perhatiannya dan wanita yang dia inginkan untuk terus selalu bersamanya. Sayang itu ... istrinya.Dan Luna ... dia itu hanya wanita asing. Bukan hanya wanita asing, dia itu sosok yang harus dia ajak berinteraksi meski sebenarnya dia enggan.Dan sekarang, aku menjadi Luna.Nada suaranya yang dingin membuat Lisa bergerak. Dia melangkah mendekat ke kami dan berdiri ditengah-tengah kami, "Tam, ini bukan waktu yang tepat. Loe kan tahu
Otakku menjadi blank karena jawaban Tama "Aku nggak pernah bohong ke kamu soal ini," ualangnya.Aku beberapa kali membuka dan menutup mulutku sebelum bersuara, "Tapi aku ingat jelas kejadian itu. Aku yakin aku pernah ke sana. Aku juga ketemu Sheila waktu itu."Tatapan Tama tiba-tiba membuatku bimbang seketika. Sebenarnya apa yang sudah terjadi?"Lis ... " Tama memanggil wanita itu tanpa mengalihkan pandangannya dariku."Gue juga dengar." Ekspresi Lisa terlihat bingung. Dia menatap Tama dulu sebelum beralih untuk menatapku, "apa loe bakal tanya ke gue siapa yang bohong diantara kalian?"Aku menyanggah, "Tapi aku nggak bohong ..."Tama mengalihkan pandangannya, "Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia malah dapat ingatan palsu sekarang?"Lisa menatap Tama karena tuduhan yang dilayangkan kepadanya."Ingatan palsu? Loe bercanda?" Dia menyangkal ucapan Tama yang tidak masuk akal menurutnya.Seberapa tidak masuk akalnya ingatanku, hal itu tetap membuatju berpikir keras. Jantungku pun sampa
"Pas aku sadar dari koma setelah kecelakaan itu. Aku dapat penjelasan dari dokter soal retaknya tulang rusukku sama lecet dibagian lengan. Sampai kemarin aku masih mikir kalau itu akibat dari kecelakaan, tapi kemarin ... waktu Sheila datang dan aku ingat tentang kejadian itu aku mancing dia soal luka cakaran. Dan ternyata emang itu bukan luka karena kecelakaan."Lisa menatap Tama tajam, "Gimana menurt loe sekarang. Gue udah sering kasih tahu loe soal sekertaris loe yang naksir berat sama loe. Dan lihat apa yang terjadi sekarang? Dia bertingkah seolah loe itu punya dia," lalu dia beralih ke Damar, "gue juga kasih tahu loe soal ini. Dan apa yang loe bilang ke gue? Nggak usah dipikirin." Nadanya tinggi saat mengatakan kalimat itu. Dia terlihat marah.Damar mengelak, " Karena hal ini lumrah terjadi di dunia perkantoran dan juga bukan hal baru ya emang nggak masalah. Selama dia lakuin tugasnya dengan baik dan sesuai deadline apalagi yang harus dipermasalahkan? Kita nggak bisa main asal pec