Anehnya, makan siang yang canggung itu berlanjut tanpa ada tambahan drama lagi. Ketiga wanita itu sudah beralih ke topik lain dan asyik menceritakan tentang skandal-skandal terbaru yang mereka dengar. Hal itu benar-benar memberi kesempatan padaku dan Lyan untuk sedikit bernafas lega.Ponsel Arumi berdering dan dia meminta izin untuk mengangkatnya. Delia dan Sintia kembali asyik bercengkrama berdua, meninggalkanku dan Lyan.Aku diam-diam memajukan kembali steak medium-rare yang mereka pilihkan untukku. Lyan juga tampaknya tidak menyentuh makananya. Aku dan Lyan tidak segila itu untuk memakan makanan yang belum matang sempurna disaat kami berdua tengah mengandung.Pikiranku mengelana ke kartu nama yang tadi Delia sodorkan. Aku harus mencari tahu siapa pemiliknya."Sorry. Cowok baru gue nelfon." Kami semua beralih menatap Arumi yang tidak repot-repot untuk duduk kembali. Dia segera mengambil tasnya, "kita musti pergi sekarang."Dua wanita yang lain ikut berdiri."Lo bayar kayak biasanya,
Aku tidak tahu jika tempat tujuanku kali ini ada di luar kota. Saat kami melewati beberapa perumahan yang membentang di sepanjang jalan, membuatku kembali berpikir. Sebenarnya apa yang kucari?Dan mengapa dengan bodohnya aku langsung merasa terusik hanya karena sebuah kartu nama yang pemiliknya saja aku tidak kenal. Ditambah yang memberikannya juga adalah orang-orang dengan perilaku buruk.Ada jawaban sederhana untuk pertanyaanku itu -aku hanya ingin mengetahui soal diriku, meskipun itu sedikit-. Sebenarnya aku tidak perlu seberusaha ini untuk menggali informasi tentang diriku sendiri karena Lisa pun tidak menyarankan hal itu dilakukan. Tapi jika kejadian seperti tadi terulang kembali aku sendiri yang akan bingung untuk menghadapinya. Dan satu-satunya opsi yang terlintas di otakku adalah aku harus menggali lebih dalam.Sebenarnya ada larangan yang terlintas dibenakku dan itu sulit untuk diabaikan. Tentang aku yang tidak boleh mencari pemicu agar tidak membahayakan kandunganku.Aku seg
Aku akhirnya sampai di rumah dalam keadaan linglung. Saat pintu terbuka aku melihat Tama sudah berdiri di depanku. Dia menungguku. Ketika mata kami bertemu aku melihat perubahan raut wajahnya, dia terkejut."Sayang ... "Aku melangkah cepat mendekatinya. Menghapus jarak yang terbentang di antara kami dan langsung menghambur kepelukannya. Sesuatu dalam diriku yang sebelumnya memberontak menjadi tenang seketika. Sepertinya dia tahu hanya Tama yang bisa memberikan ketenangan yang aku butuhkan. Tapi pikiranku yang kacau merasa kenyamanan ini sebuah kesalahan.Belum sempat aku melepaskan diri, Tama sudah lebih dulu membalas pelukanku. Dia melingkarkan lengannya ke tubuhku dan mendekap kepalaku di dadanya."Kenapa sayang? Hm ... " nada khawatir dari suaranya tidak dia sembunyikan, sebaliknya kalimatnya dia ucapkan setenang mungkin dan itu terasa menyakitkan untukku.Apa dia tahu? Mungkin sebelum kecelakaan ini aku adalah orang yang terpaksa menggugurkan anaknya entah karena alasana apa?Apa
Siapa aku? Jantungku berdegup kencang karena pertanyaanku sendiri. Air mataku bahkan sudah menggenang saking takutnya dengan jawaban terburuk yang akan Tama beri tahu. Tapi dia hanya memandangku lembut. Satu tangannya terangkat untuk merapikan anak-anak rambutku yang sebagian besar sudah menutupi wajahku. Aku sedikit tersentak dengan tindakan tiba-tibanya.. "Itu pertanyaan gampang," gumamnya masih terus merapikan rambutku, "kamu itu istriku." Jawabannya membuatku tersipu dan ritme detak jantungku semakin menjadi. Padahal aku sudah mempersiapkan diri tadi dengan kemungkinan terburuk yang akan dia katakan. Tama menarikku masuk ke dalam pelukannya dan merebahkan diri di atas sofa hingga aku berada tepat di atasnya. Panas kulitnya sampai menembus ke bajuku karena aku kedinginan. Sedangkan telingaku tepat berada di dadanya. Aku iseng menempelkan telingaku dan dengan posisi seperti ini aku dapat mendengar ritme jantungnya yang stabil. Untuk membuat hubungan kami menjadi sedekat ini p
Pembicaraan kami tidak berjalan lancar karena panggilan dari telfon Tama. Pria itu mengabaikannya, menurutnya yang jadi fokus utamanya saat ini hanya aku. Dia tidak menerima intrupsi apa pun disaat dia tengah berbincang denganku.Aku pikir keputusan yang Tama ambil tadi karena memang dia sudah memikirkan hal-hal yang akan terjadi nantinya, tapi ternyata tidak. Tiga puluh menit berlalu, karena Tama benar-benar mengabaikan panggilan itu akhirnya Damar datang. Dia langsung menarik Tama untuk mengikutinya. Salah satu proyek kerjasama yang mereka jalani bersama mendapat hambatan. Dan pihak penanggung jawab ingin berbicara langsung dengan Tama karena dia ingin berdiskusi lebih detail mengenai proyek ini.Aku mengiyakan saat Damar menariknya paksa dan ternyata saat aku mengikuti mereka keluar untuk mengantar di sana sudah ada Sheila. Dia bersedekap sambil memandang kesal padaku. Aku mengernyit tidak mengerti karena hal itu benar-benar menggangguku."Aku bakal pulang cepat. Kamu langsung tid
Aku memutuskan untuk mandi sebelum berangkat ke kantonya Tama. Saat tubuhku tersiram air panas aku merasa seluruh otot-otot yang sebelumnya tegang menjadi nyaman seketika. Aku meletakkan telapak tanganku ke oerutku yang membuncit dan mengusapnya. Sweety apa kamu baik-baik aja? Maafin Mama. Rasa bersalahku semakin menjadi. Aku menghela nafas kasar dan membuangnya perlahana agar tidak membebani bayi yang aku kandung. Harusnya aku tidak bepikir keras hanya karena Tama yang harus tinggal di kantor. Lisa sudah menekankan soal bayi ini yang harus selalu menjadi prioritas utamaku, tapi aku melupakan hal itu. Betapa egoisnya aku, hanya karena cemburu aku malah membahayakan bayi ini. Aku berendam agak lama di bathup sampai aku merasa ketegangan di pundakku sudah berkurang. *** Ternyata aku menghabiskan waktu cukup lama hanya untuk berendam. Saat sudah sampai bawah bi Susan sudah menyiapkan papper bag di atas meja. "Ini menu makan siang kalian," katanya. Aku mengintip ke dalam untuk mel
Perasaan tenangku itu ternyata tidak bertahan lama. Saat pintu tertutup dan saat aku menyadari jika aku terjebak di ruangan asing yang hanya berdua dengan Tama, tiba-tiba membuatku canggung. Lengannya yang mendekapku membuat sekeliling tubuhku memanas. Saat aku mendongak matanya sudah menatap ke mataku. Aku membeku berada di dekatnya."Kamu kelihatan pucat hari ini." Dia mengangkat tangannya dan ingin memeriksaku tapi aku refleks mundur. Aku mendorong tangannya dan berdeham."Ini idenya Bi Susan," kataku cepat, "soal makan siang ini maksudku, itu idenya dia."Mata cokelat Tama menyipit dan dia pun terkekeh geli, "Ah ... jadi begitu."Aku tidak sanggup lagi menatap matanya dan aku pun menoleh untuk menghindar. Aku terperanjat melihat ruangan Tama yang termat lebar. Isinya super lengkap menurutku karena ada mini bar dan juga pantry. Beberapa pot tanaman hias juga ada memberi kesan sejuk yang menyenangkan. Dan untuk beberapa alasan aku merasa familiry dengan ruangan ini.Aku menoleh lag
Cemburu itu buta. Seperti warna yang bercampur dan berubah tidak menjadi tidak menarik. Seperti kayu yang dibakar dan lama-kelamaan menjadi bara merah yang membuat emosi naik turun tidak stabil.Itu deskripsiku pada Sheila yang menatapku penuh kebencian. Mungkin awalnya perasaanya sama sepertiku yang senang dan khawatir tapi karena dia tahu Tama tidak pernah dan tidak akan pernah membalasnya membuatnya memupuk kebencian. Bukan pada Tama, melainkan pada pasangan Tama."Loe benar-benar nggak tahu malu, ya?""Maksud loe apa?" Aku mundur saat tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Tubuhku sepertinya sangat mengerti situasi ini dan tahu bahaya akan mengancamku yang membuatku bergerak mencari posisi aman.Loe mesti lari sebelum terlambat, batinku berbisik mendesak. Aku sudah mengambil langkah lebar menjauh dari meja kerja Tama sebelumnya, dan bergerak sealami mungkin agar Sheila tidak sadar, tapi sialnya dia tahu jika aku berencana untuk lari. Dia semakin maju.Aku menatapnya dengan waspada