"Ayo menikah."
'Braaak!'
Zey menghempas kedua tangannya ke meja menimbulkan dentum cukup nyaring membekukan Hazel di tempat. Bisa-bisanya pria yang baru dikenal beberapa hari nekat ngajak nikah, dia pikir menikah itu lelucon apa?
"Nikah? Yang bener aja, kenal lama aja engga kenapa buru-buru nikah." Zey masih menahan tubuh limbungnya dengan kedua tangan di meja.
Hazel mengurut dada pelan, "Aku tidak menerima penolakan, Zey."
"Ga nerima penolak? Nih, ya, Om. Nikah itu sekali seumur hidup, saya bukan mainan yang bisa dipake trus buang langsung cari yang lain. Om pikir saya ga tau Om itu suka main cewek sama aja kek Om-om belang di luaran sana!" bentak Zey walau tak sopan setidaknya dia lega mengutarakan uneg-uneg yang terpendam sejak siang tadi.
Tak terima, Hazel cepat bangkit, rahangnya mengeras disama-samakan dengan pria lain membuat harga dirinya sedikit tersentil.
"Aku menikahimu bukan semata-mata karena menarik. Banyak alasan yang membuatku ingin memilikim—"
"Alasan apa!" potong Zey marah, dadanya yang tertutup mukena naik turun pertanda emosi, deru napasnya memburu diiringi keringat dingin mengalir dari pelipis.
"Cinta." Hazel menyahut santai, "Cinta pandangan pertama yang mampu menggetarkan hati ini." Hazel menunjuk dadanya.
"Cih, lebay!" bentak Zey walau tak bisa dipungkiri pipinya sedikit merona, "Alasan cinta ga bisa diterima. Gimana kalau besok-besok ketemu cewek lain yang lebih cantik? Jatuh cinta, akhirnya minta cerai, saya ditalak, heuh ngeri!" Zey terbayang film pelakor yang pernah ditontonnya meski hanya sekali.
Gelak tawa Hazel membuyarkan lamunan Zey, "Kecil sekali otakmu, Zey. Kamu fikir aku mudah jatuh cinta? Heool, aku bukan pria seperti yang kamu fikirkan."
"Sekarang bilang enggak, besok apa masih bisa bilang enggak?" Zey menurunkan sebelah alisnya sambil merengut, "Saya juga baru lulus SMA, kenapa harus buru-buru nikah sama orang yang gak saya kenal? Bisa aja orang yang ada di depan saya ini udah nikah dan punya anak lima, iyakan?"
Tawa Hazel terhenti, netranya yang pekat menatap Zey tajam, "Demi Tuhan aku masih single, Zey."
"Tuhan?" Giliran Zey yang terbahak, "Apa Om percaya Tuhan? Bahkan bodyguard tadi aja gak tau waktu-waktu salat, cihh parah banget." Zey menekan tiap kata yang terlontar dari bibirnya yang ranum.
Hazel terdiam beberapa saat. "Usiaku 28 tahun, Zey. Jangan panggil aku Om," imbuhnya mengalihkan percakapan.
"Di mata saya Tuan memang mirip Om-om pinggiran jalan yang tegila-gila sama anak gadis. Om Pedofil, ya?" Zey menutup bibir sambil memicingkan mata meremehkan.
"Kamu! Ah, menyebalkan sekali! Jika kamu tidak mau menjadi istriku, maka tetaplah menjadi pembantu da—"
"Oke, fine dan deal! Saya milih jadi pembantu, babaay!" potong Zey langsung pergi setelah memberi kedipan sebelah mata pada Hazel.
Pria tampan berkaus hitam itu memegang kepalanya yang mulai berdenyut, jantungnya pun berdetak cukup cepat akibat kedipan dari Zey.
"Wah, sebulan dia tinggal di rumah ini jantungku pasti lepas," gumam Hazel juga berjalan mengikuti Zey dari belakang, hanya saja dia membelokkan arah ketika Zey masuk ke kamar.
Hazel masuk ke kamar dan duduk di kursi kerjanya, termenung.
'Tuhan?'
'Apa Om percaya Tuhan?'
'Cih, parah banget.'
Perkataan Zey berputar di otaknya. Tuhan? Pernahkah Hazel bersujud untuk Tuhannya? Bahkan Hazel tak pernah hafal satu ayat pun dari sekian ratus ayat yang dipelajari temannya dulu. Hazel lebih tertarik dengan dunia kerja, melupakan urusan akhirat dan terus bersenang-senang dengan banyak wanita.
"Sepertinya ... alasan mengapa hati ini bergetar saat bertemu kamu, karena kamu adalah pintu cahaya yang akan membawa saya dari kehidupan suram ini." Kedua telunjuk dan ibu jari tangan Hazel memegang wajah membentuk segitiga sisanya dibiarkan saling bertautan.
Hazel meraih HP, "Ro, tolong cari tahu keluarga Zey."
'Untuk apa Tuan?'
"Jangan banyak tanya, lakukan saja tugasmu."
'Baik Tuan.'
"Terima kasih." Melempar benda pipih itu ke sudut meja, bergerak sedikit saja benda itu pasti jatuh. Hazel kembali ke alam lamunan, terbayang lagi wajah kesal Zey waktu di club tempo hari.
"Dia manis," bisik Hazel sambil tersenyum tipis.
***
"Zey, ambilkan udangnya dong "
"Zey, tuangkan airnya."
"Oh, ya. Nasinya tolong tambah lagi."
"Zey, goreng lagi ikannya."
"Zey, ambilkan sepatuku di dalam kamar."
"Zey!"
"Arghhh gue bunuh mampus lo Om-om kampret!" Zey mendumel geram, meninju air di bak mandi sambil menyuarakan kekesalan di hatinya.
"Hazel kampreeet! Om-om sialan! Astagfirullah dosa gue jadinya!"
"Arghhh nyebelin!"
Hazel bertingkah menyebalkan. Semua yang dia ingin harus Zey yang melakukan. Bahkan hal-hal kecil yang bisa Hazel lakukan sendiri Zey harus melakukannya. Zey tak habis pikir Hazel bisa bertingkah di luar akal sehat.
"Huaaa mo nanges gue lama-lama dibuatnya." Zey mengusap sudut mata frustasi.
Zey bangkit dan berjalan keluar kamar dengan mata sembab. Sudahlah, dia juga letih seharian penuh disusahkan Hazel yang makin sore makin bertingkah absurd.
"Zey."
Baru dua langkah Zey keluar kamar, suara pengganggu terdengar lagi.
"Ada suara tapi gak ada orang. Setan nih pasti," ujar Zey sinis, berjalan melewati Hazel yang tersenyum tengil padanya.
"Zey Qamelia Aaliyah."
"Hmmm, hantu jaman sekarang abdet juga, ya. Buktinya tau nama panjang gue." Zey masih bergumam.
"Hey calon istrinya Hazel Erlangga Derrick." Senyum tipis tampil di wajah Hazel melihat senyum tak enak mampir di bibir indah Zey.
"Kita berantem yuk!" Zey mengangkat tinju bersiap memukul Hazel tetapi pria itu lebih dulu lenyap dari pandangannya.
"Arghhh! Mo mampus rasanya!" Zey berlonjak gregetan sambil mengepalkan kedua tangannya.
Entahlah, saat ini Hazel memiliki hobi baru yaitu mengganggu hati Zey dan sayangnya itu berpengaruh buruk untuk hati Zey. Iya, jantung Zey jadi tak terkendali.
***
"Tuan." Wanita berpakaian seksi membuka pintu ruangan Hazel. Berjalan melenggang menampakkan lekuk tubuhnya yang luar biasa menonjol. Berusaha menggoda si CEO dingin.
"Ini berkas-berkas yang harus Tuan tanda tangani." Wanita itu menaruh map ke meja, menggigit bibir bawah diiringi kedipan nakal.
Hazel tak peduli, "Ada jadwal apa siang ini?"
"Meeting dengan klien dari Jerman membahas kerja sama yang terputus kemarin. Tuan, saya menyewa satu kamar hotel ap—"
"Baiklah saya paham, kamu boleh keluar," potong Hazel cuek, tak mau mendengar kata-kata menjijikkan keluar lebih banyak dari mulut sekretarisnya.
"Huh nyebelin!" Sekretaris bernama Bella itu lekas keluar dengan bibir manyun dan wajah ditekuk. Lagi-lagi usahanya gagal.
Hazel lekas menandatangani berkas-berkas yang diserahkan Bella tadi. Membaca seksama beberapa berkas penting takutnya ada kesalahan yang akan merugikan saham perusahaan. Hazel berusaha fokus meski bayang-bayang wajah Zey mampir di otaknya tiap saat.
"Aishh, kenapa dengan wajahmu, Zey? Cantik sekali ketika marah." Hazel mengetepikan berkas-berkas tersebut. Mengambil benda pipih di saku celana kemudian menghubungi kepala maid di rumah.
'Hallo, ada apa Tuan?'
"Di mana Zey?"
'Sedang mencuci piring sambil menyumpahimu, Tuan.' Terdengar suara kekehan dari si kepala maid.
Hazel tertawa pelan, "Berikan HP kepadanya."
'Baik. Nona, Tuan ingin bicara.'
Hazel menunggu respon gadisnya.
Lama sekali.
'Apa?' Suara ketus Zey mampu membuat senyum perlahan terbit di bibirnya.
"Pulang nanti ... ayo berkencan." Kata-kata di luar kendali muncul begitu saja. Hazel menepuk bibir sambil meringis pelan.
'Stress! Udah ah Bu, matiin aja tar saya ikutan stress gara-gara dia!'
Benar. Tak lama kemudian telepon terputus.
"Apa ini? Perasaan kehilangan?" Hazel memegang dadanya, baru pertama kali telepon dimatikan sepihak oleh wanita, biasanya Hazel yang akan mematikan lebih dulu.
"Ck, aku harus pulang secepatnya." Hazel merapikan seluruh map di meja, menaruh kembali pena ke tempat semula kemudian memasang jas yang tersampir di sandaran meja.
Dia berjalan keluar ruangan sambil bersiul kecil. Wajahnya berseri-seri dengan senyum tipis terus terukir di bibirnya. Hazel akui, sepertinya dia terkenal pelet cinta dari Zey buktinya bisa bertingkah seperti remaja baru kenal cinta.
Cih, memalukan sekali!
"Tuan tunggu!" Bella menghentikan pintu lift yang akan tertutup.
"Tuan, anu ... emm saya ...." Bella menggantung ucapannya. Membuang blazer yang tersampir di pundaknya sembarang, menampakkan belahan dada dan bahu yang terekspos di depan Hazel.
"Tuan ... ayo puaskan saya." Bella mendekat, mengalungkan tangan ke leher Hazel sambil berjinjit ingin mencium bibir pria tampan yang membuatnya tergila-gila.
"Shit!" Hazel mendorong tubuh Bella hingga terpojok ke pintu lift.
Bella yang merasa usahanya memancing nafsu Hazel berhasil langsung tersenyum senang. Saat ingin mencium bibir Hazel, pria itu malah mundur tiga langkah dengan tatapan dingin menghunus tajam ke arahnya.
"Are you crazy, bitch?" Bella tertegun di tempat, "Kau ingin mati Bella?" Kabut hitam seolah muncul mengelilingi tubuh Hazel. Pria berjas hitam itu menatap Bella tak suka.
"Tu—tuan aku a—aku hanya ...." Bella tergagap melihat betapa tajam Hazel menatapnya. Dia menundukkan kepala dalam-dalam, meski sudah menunduk Bella masih bisa merasakan hawa tak sedap yang terpancar dari tubuh Hazel.
"Harus kuingatkan berapa kali Bella?" Hazel memungut blazer yang dibuang Bella tadi, "Aku lebih suka gadis yang tertutup rapat, masih bisa kujamin harga diri dan martabatnya daripada kau yang bertingkah seperti pelacur hanya untuk menarik perhatianku. Kau tahu? Ini menjijikkan." Hazel melempar blazer ke muka Bella. Tepat setelahnya, pintu lift terbuka dan Bella terjatuh ke belakang karena masih bersandar pada pintu lift.
"Aku muak melihatmu. Pergi. Besok jangan datang lagi." Hazel berujar dingin, tak ada niat untuk menolong sekretarisnya, ah ralat mantan sekretaris karena besok sudah tak bekerja lagi.
Bella menjerit histeris. Dia kehilangan dua hal dalam satu waktu. Kerja dan cintanya.
"Pergi sana, lo ganggu gue!" tekan gadis berhijab pasmina marun dengan wajah datar serta sorot mata tajam mengintimidasi, menyuruh pria tampan di depannya pergi."Berapa hargamu?" tanyanya spontan membuat mata tajam si gadis membulat sempurna."Lo stres, ya?" Zey menerobos masuk ke dalam bangunan megah penuh gemerlap lampu menghias ruangan. Zey memegang kepala, pusing dengan lampu warna-warni yang terus berkedip seirama dengan musik DJ.Saat akan melangkah lebih dalam, cekalan di tangannya membuat Zey terhenti. Dia menatap pria yang sedari tadi mengekori ke mana langkahnya. Jujur saja gadis itu merasa terganggu, dapat dilihat jelas di mata tajamnya yang malah menarik perhatian si pria."Aku bertanya. Berapa hargamu?" beonya serius.Zey tertawa, "Harga gue mahal, lo bahkan gak akan sanggup bayarnya.""Sebutkan nominalnya," tegas pria itu.Zey menepis tangannya ya
Hazel Erlangga Derrick, putra dari Carlos Derrick seorang pengusaha kaya yang sudah mewariskan hampir seluruh asetnya pada Hazel. Pria berwajah tampan bak pahatan dewa Yunani ini bukanlah orang sembarangan, dia mampu membeli apapun yang menarik perhatian, termasuk Zey, gadis yang diam-diam menarik perhatiannya."Kok bisa lo sih?" Zey masih tak percaya, ia hendak tertawa rasanya melihat betapa dunia sedang mempermainkan keadaan hidupnya."Kenapa?" Suara serak basah Hazel membuat Zey merinding ngeri. Hazel menatap datar gadis di depannya, "Terkejut? Bukankah kita sudah pernah bertemu sebelumnya.""Wahh luar biasa." Zey memijit pelipis hampir terhuyung jatuh kalau saja pria tegap yang tadi membawanya masuk tak segera memegang bahunya.Senyum tipis terbit di bibir menggoda Hazel, "Sekali lagi aku bertanya, berapa hargamu?""Lo pikir gue cewek murahan, hah?! Enak banget lo nanya harga segala macem, gue b
Zey tengah sibuk membersihkan piring kotor bekas makan malam majikannya, ia masih memikirkan perkataan yang terlontar di bibir Hazel siang tadi.Calon istri? Wah, yang benar saja. Hazel pasti kehilangan akal, bagaimana bisa dia mengklaim Zey sebagai calon istri. Rasanya kepala Zey ingin meledak memikirkan ini."Dia pikir dia siapa seenaknya nganggep gue calon istri. Gendeng, siapa juga yang mau sama dia, orang jelalatan begitu." Zey mendumal pelan karena dia tahu ada kamera CCTV yang terus memantau kegiatannya, belum lagi CCTV mulut lemes para maid yang siap melapor 24 jam ke Hazel.Zey seperti terkurung di kandang emas tapi isinya macan semua. Apes!"Hwaaa kaget!" Tepukan di bahu membuat Zey terperanjat dan hampir memecahkan piring kalau saja tak lekas ditangkap."Fyuhhh, alhamdulillah ya Allah kalau pecah berabe urusannya." Zey mengusap dada beberapa kali kemudian mengembalikan piring ke tempat se