"Pergi sana, lo ganggu gue!" tekan gadis berhijab pasmina marun dengan wajah datar serta sorot mata tajam mengintimidasi, menyuruh pria tampan di depannya pergi.
"Berapa hargamu?" tanyanya spontan membuat mata tajam si gadis membulat sempurna.
"Lo stres, ya?" Zey menerobos masuk ke dalam bangunan megah penuh gemerlap lampu menghias ruangan. Zey memegang kepala, pusing dengan lampu warna-warni yang terus berkedip seirama dengan musik DJ.
Saat akan melangkah lebih dalam, cekalan di tangannya membuat Zey terhenti. Dia menatap pria yang sedari tadi mengekori ke mana langkahnya. Jujur saja gadis itu merasa terganggu, dapat dilihat jelas di mata tajamnya yang malah menarik perhatian si pria.
"Aku bertanya. Berapa hargamu?" beonya serius.
Zey tertawa, "Harga gue mahal, lo bahkan gak akan sanggup bayarnya."
"Sebutkan nominalnya," tegas pria itu.
Zey menepis tangannya yang masih berada dalam genggaman pria tak dikenal, "Memangnya kenapa? Kalau gue sebutin lo bakal beli gitu? Apa wanita di dunia ini punya harga spesial? Wahh, cowok kayak lo ini wajib dijauhi."
"Aku bertanya serius. Berapa hargamu. Berapa pun akan kubayar."
Wah lihatlah, pria ini secara tidak langsung menyinggung perasaan Zey. Seolah-olah harga diri Zey tak sebanding dengan uang yang dimilikinya.
"Lo pengen tau berapa harga gue?" Zey menatap intens tepat ke bola matanya, "Harga gue setara dengan Ar-Rahman dan seperangkat alat salat."
Zey berlalu begitu saja. Sedangkan pria yang sedari tadi mengekor tampak diam di tempat. Apa yang gadis itu ucapkan? Dia tak paham sama sekali. Ar-Rahman, apa itu?
Dia memanggil salah satu bodyguardnya, "Cari tahu tentang gadis itu."
Sedangkan di dalam sana, Zey tengah menghadapi Amora dan Queen yang menatapnya dengan ejekan tertahan.
"Mana Qila?" Zey mencari-cari keberadaan sahabat polosnya.
Amora menggelengkan kepalanya sambil terbahak, "Gak ada. Udah dijamah Om-om kali."
Rahang Zey mengeras disusul kepalan tangan melayang tepat di depan wajah Amora, hanya tinggal beberapa cm saja dari hidung mancung gadis menor itu. Zey masih menahan diri.
"Jangan bikin kesabaran gue habis Amora Zerhalges! Nama Bapak lo aja udah ribet, anaknya jangan nambah ribet!" Zey menarik tangannya, balik menatap Queen dengan tatapan sinis penuh hujatan.
"Se—sedikit aja lo sentuh gue, rumah reyot lo bakal hancur ga tersisa," ancam Amora gugup.
"Sedikit aja kalian sentuh sahabat gue, kepala sama badan bakalan kepisah. Percaya aja," balas Zey sambil tersenyum manis, sangat manis bahkan siapa pun yang melihatnya akan terpesona. Tak terkecuali pria yang sejak awal Zey datang sampai sekarang masih memperhatikan.
"Cewek muna kek elo mau gebukin kita? Heleeeh yang ada lo kali yang kami gebukin! Baby, where are you?" Amora menatap kekasihnya yang sedari tadi bersembunyi di balik meja DJ. "Keluar! Pukulin si Zey! Janjinya kan gitu," pintanya menarik paksa Cellan.
"Hay Cellan," sapa Zey, alisnya naik turun meremehkan.
Cellan bergetar, "Ha—hay guru."
"Hah? Guru?" Amora tak paham.
"Yank, aku kira Zey yang mana. Ini Zey guru silat aku, dia pegang sabuk hitam. Kita pulang aja." Cellan menggandeng Amora yang terpaku, disusul Queen, "Ka—kami pulang dulu, Guru."
Zey mengangguk saja, "Gih, jauh-jauh dari gue."
"E—eh! Bentar!" cegat Zey, "Qila mana?"
"Anu, si Qila udah diantar pulang sama Alex, tenang aja, Guru. Tadi gue udah chat Alex bilang jangan apa-apain Qila." Cellan masih gugup.
Zey mengangguk saja. Lantas ia segera beranjak dari tempatnya, berjalan keluar diskotik tempat mabuk para manusia stres. Zey pusing, dirinya tak pantas berada di ruangan penuh musik itu.
"Tawari sesuatu padanya," bisik pria tadi.
"Baik, Tuan."
***
"Zey, kamu yakin mau kerja, Nak?" tanya Adiba menatap nanar putrinya yang tengah mengepak barang bawaan untuk dibawa ke tempat kerjanya nanti. Zey akan tinggal di sana karena jarak dari sana ke rumah memakan waktu cukup lama.
Zey melirik ibunya setengah terisak. Dia tak tega tapi keadaan memaksa. Zey harus bekerja agar ia yak membebani ibunya yang kelimpungan mengurusi sekolah dua adiknya, tambahan, Zey ingin mencari pengalaman.
"Zey janji akan jaga diri baik-baik, Bu. Tiap bulan Zey bakal kirimin uang ke Ibu biar keluarga kita dapat hidup layak." Zey menatap dinding rumah yang hanya ditutupi triplek bekas serta papan beberapa buah.
Alas rumah mereka hanya tanah, kadang saat hujan air masuk alhasil rumah pun kebanjiran. Itulah mengapa barang-barang yang mudah rusak diletakkan tinggi-tinggi.
Rumah Zey tak ada listrik. Jadi, ketika malam datang keluarga kecilnya akan duduk bercerita di depan pelita sumbu diisi minyak solar, begitu terus selama belasan tahun ini. Meskipun begitu, keluarga mereka sangat harmonis walau kehadiran sang Ayah tak dapat dirasakan, sebab lelaki hebat itu telah menemui jalan hidup lebih baik dan meninggalkan Zey, ibu, serta dua adiknya.
Zey tersadar saat isak tangis Adiba terdengar. Dia langsung memeluk ibunya erat seolah tak ada hari esok. Dua adik Zey ikut menangis sambil memeluk kaki Zey meminta untuk tetap tinggal.
"Kakak kalau udah sukses bakalan pulang, 'kan? Zia takut Kakak pergi kayak Papa. Gak pulang-pulang," tutur Zia, anak bungsu yang kini menduduki meja kelas 3 SD, dianguki oleh Zen anak kedua yang kini menduduki meja kelas 5.
"Iya, Sayang. In syaa Allah kakak bakalan pulang dan bawa uang yang buanyaaak banget."
"Janji, ya?" Zen mengangkat kelingkingnya.
Zey tersenyum, menakutkan kelingking rampingnya dengan kelingking mungil Zen, "Janji."
"Zia juga Zia juga!" Zia melonjak, mengangkat kelingkingnya tinggi-tinggi lalu disambut hangat oleh kelingking kiri Zey yang menganggur.
"Kakak janji bakalan pulang dan bikin hidup kita lebih layak." Zey menciumi adiknya, menenangkan ibunya yang masih terisak.
Siapa sangka saat pulang dari diskotik tadi Zey ditawari kerja di sebuah rumah sebagai pembantu. Meski awalnya ragu, tapi diiming-imingi uang ya siapa yang tidak mau, apalagi Zey sangat butuh untuk biaya hidup dua adik serta ibunya.
Tawaran yang menggiurkan. Sepuluh juta sebulan, menjadi ART saja. Wah beberapa bulan Zey bekerja dia sudah bisa menaikkan haji ibunya.
***
Pagi hari datang sangat cepat. Usai salat subuh Zey melangkah keluar rumah, meregangkan tubuh sembari membaca beberapa hafalan ayat Al-Qur'an yang sudah lengket di kepalanya.
Zey berlari kecil mengitari rumahnya, sekali putar tak akan membuat nafas Zey terengah. Zey berhenti si belakang rumah, mengambil secekal bayam yang tumbuh subur lalu masuk jalan belakang. Mulai menyalakan tungku kemudian membersihkan bayam, lanjut memotong bawang putih dan merah.
Zey menuang minyak ke wajan yang sudah berumur. Sekejap saja minyak panas, lanjut memasukkan bawang yang sudah dipotong. Tak menunggu bawang berwarna kecokelatan, Zey langsung memasukkan bayam yang sudah ia bersihkan tadi.
Selesai menumis. Zey mengambil periuk yang bergelantungan di samping tungku. Menuang beras dalam beledi rapuh yang tinggal segenggam saja. Mencuci beras tersebut lalu meletaknya di atas tungku.
Sambil menunggu nasi mendidih. Zey bersiap mandi dan mencari pakaian untuk kerja di hari pertamanya menjadi seorang ART. Zey menyemprotkan parfum aroma vanilla secukupnya saja, memoles liptint lalu memakai kerudungnya.
Saat kembali ke dapur, nasi dalam periuk sudah matang. Tentu saja Adiba yang menggantikan tugas anaknya. Dia tahu Zey tengah sibuk membersihkan diri.
"Bu, maaf hampir aja gosong kalau gak diangkat." Adiba tertawa kecil melihat anaknya tengah menunduk.
"Gak apa, tadi juga ibu liat apinya kekecilan makanya ibu tambahin lagi arangnya sekalian ibu tungguin mateng biar bisa dimasukin ke kukusan." Adiba mendekati anaknya, menepuk pundak Zey lalu pergi ke kamar Zia dan Zen. Membangunkan dua bocah itu.
Selesai sarapan Zey langsung pamitan. Dia dijemput mobil sedan hitam di depan gang karena rumahnya ada di dalam gang sempit nan becek. Mobil mewah mana mau masuk ke dalam.
"Padahal saya bisa pergi sendiri, kok." Zey membantu supir memasukkan barangnya ke bagasi mobil.
"Tak apa. Saya juga diperintah Tuan untuk menjemput Anda." Supir mempersilakan Zey duduk di kursi belakang.
"Wah, terima kasih sekali. Pasti Tuan kalian baik, buktinya ART pun dijemput pake mobil sedan." Zey terkekeh melihat raut bingung supir itu. "Sudahlah, ayo pergi, Pak," lanjut Zey langsung dituruti.
Cukup lama mobil melaju di antara padatnya Jakarta. Lalu-lalang taksi, bus, dan angkot membuat sebagian jalan dipenuhi kendaraan. Apalagi pedagang asongan yang ikut menyesakkan jalan, berada di tempat yang gak seharusnya membuat kendaraan susah bergerak.
"Mari saya bantu." Supir bernama Ambon tersebut membukakan pintu untuk Zey padahal gadis itu masih belum sadar dari lamunannya. Dia juga tak sadar sudah sampai di rumah majikannya.
"Ha? E—eh udah nyampe, ya? Haha gak nyadar." Zey tertawa kikuk.
Dia turun dari mobil, lekas membantu Pak Ambon yang kesusahan membawa barang-barangnya.
Mereka berjalan beriringan menuju pintu utama. Zey terkagum-kagum melihat desain rumah megah di depannya, matanya pun tak berkedip melihat betapa banyak deretan mobil di garasinya. Luar biasa, Zey mendadak panas dingin.
"Mari, saya antar ke dalam." Seorang pria berjas hitam mengangsur membukakan pintu.
Zey merasa diperlakukan seperti Tuan Putri.
'Plaak.'
"Sadar Zey." Zey menampar pipinya pelan. Apa-apaan pikirannya malah melanglang buana entah ke mana.
"Tuan, ini gadis yang Tuan maksud." Pria itu menunduk di sebelah Zey, menunduk hormat untuk pria jangkung yang tengah membelakangi mereka.
"Akhirnya ketemu lagi ... calon istri."
Zey membelalak kaget melihat siapa majikannya.
"Kok elo?"
Hazel Erlangga Derrick, putra dari Carlos Derrick seorang pengusaha kaya yang sudah mewariskan hampir seluruh asetnya pada Hazel. Pria berwajah tampan bak pahatan dewa Yunani ini bukanlah orang sembarangan, dia mampu membeli apapun yang menarik perhatian, termasuk Zey, gadis yang diam-diam menarik perhatiannya."Kok bisa lo sih?" Zey masih tak percaya, ia hendak tertawa rasanya melihat betapa dunia sedang mempermainkan keadaan hidupnya."Kenapa?" Suara serak basah Hazel membuat Zey merinding ngeri. Hazel menatap datar gadis di depannya, "Terkejut? Bukankah kita sudah pernah bertemu sebelumnya.""Wahh luar biasa." Zey memijit pelipis hampir terhuyung jatuh kalau saja pria tegap yang tadi membawanya masuk tak segera memegang bahunya.Senyum tipis terbit di bibir menggoda Hazel, "Sekali lagi aku bertanya, berapa hargamu?""Lo pikir gue cewek murahan, hah?! Enak banget lo nanya harga segala macem, gue b
Zey tengah sibuk membersihkan piring kotor bekas makan malam majikannya, ia masih memikirkan perkataan yang terlontar di bibir Hazel siang tadi.Calon istri? Wah, yang benar saja. Hazel pasti kehilangan akal, bagaimana bisa dia mengklaim Zey sebagai calon istri. Rasanya kepala Zey ingin meledak memikirkan ini."Dia pikir dia siapa seenaknya nganggep gue calon istri. Gendeng, siapa juga yang mau sama dia, orang jelalatan begitu." Zey mendumal pelan karena dia tahu ada kamera CCTV yang terus memantau kegiatannya, belum lagi CCTV mulut lemes para maid yang siap melapor 24 jam ke Hazel.Zey seperti terkurung di kandang emas tapi isinya macan semua. Apes!"Hwaaa kaget!" Tepukan di bahu membuat Zey terperanjat dan hampir memecahkan piring kalau saja tak lekas ditangkap."Fyuhhh, alhamdulillah ya Allah kalau pecah berabe urusannya." Zey mengusap dada beberapa kali kemudian mengembalikan piring ke tempat se
"Ayo menikah."'Braaak!'Zey menghempas kedua tangannya ke meja menimbulkan dentum cukup nyaring membekukan Hazel di tempat. Bisa-bisanya pria yang baru dikenal beberapa hari nekat ngajak nikah, dia pikir menikah itu lelucon apa?"Nikah? Yang bener aja, kenal lama aja engga kenapa buru-buru nikah." Zey masih menahan tubuh limbungnya dengan kedua tangan di meja.Hazel mengurut dada pelan, "Aku tidak menerima penolakan, Zey.""Ga nerima penolak? Nih, ya, Om. Nikah itu sekali seumur hidup, saya bukan mainan yang bisa dipake trus buang langsung cari yang lain. Om pikir saya ga tau Om itu suka main cewek sama aja kek Om-om belang di luaran sana!" bentak Zey walau tak sopan setidaknya dia lega mengutarakan uneg-uneg yang terpendam sejak siang tadi.Tak terima, Hazel cepat bangkit, rahangnya mengeras disama-samakan dengan pria lain membuat harga dirinya sedikit tersentil.