Seminggu kemudian“Rosa, hasilnya udah keluar belum sih?” tanya Reva di telepon. Ia sedang duduk di kamarnya, bersandar di sandaran ranjang, menghubungi sahabatnya sejak SMA, menanyakan hasil ujian seleksi masuk perguruan tinggi yang akan keluar sore ini. Mereka memang sudah berencana untuk masuk ke kampus dan fakultas yang sama.“Belum. Katanya sih jam 3 keluarnya."Reva melirik jam dinding di kamarnya yang baru menunjukkan pukul 2 siang. “Oh, masih 1 jam lagi dong. Kita ketemuan aja yuk, biar meriksanya bareng nanti.” “Ayo! ke kafe biasa ya~” “Oke, aku siap-siap dulu. Sampai jumpa di sana ya bye-bye~” “Bye~” Setelah memutuskan sambungan, Reva beranjak dari kasur, berdiri di depan lemari, memeriksa koleksi pakaiannya cukup lama sampai pilihannya jatuh kepada celana highwaist snowblack dengan atasan blouse crinckle putih lengan panjang, ada hiasan pita di bagian dadanya. Setelah mengenakan pakaian, ia duduk di depan meja hias, menata rambutnya. Ia membuka kotak yang berisi banyak a
“Tumben belum berangkat, Om? biasanya cepat,” celetuk Reva yang terus memandang Zidan sampai duduk di kursi yang berhadapan dengan Zidan.Zidan mendongak menatap Reva datar. “Kamu enggak lihat aku masih makan?”“Wes santai dong Om, nanya doang padahal,” ucap Reva seraya menyendokkan nasi goreng ke atas piringnya. Zidan pun hanya diam.Setelah menyendokkan nasi, Reva kembali menatap orang di hadapannya. “Ehem!” Reva berdehem sekali namun Zidan tak terganggu sama sekali. “Hmm semalam siapa ya yang ngasih lampu hias ke aku?” sambung Reva kembali berbicara dengan pandangan mata yang pura-pura melirik ke arah lain.Zidan kembali menatap Reva. Reva ikut melirik Zidan. “Kamu lagi ngomong sama siapa?”Reva menghela napas kesal. “Ya, sama kamu lah Om. Memangnya di ruang makan ini ada siapa saja selain kita berdua?”“Oh, kirain kamu ngomong sendiri. Anak remaja kayak kamu ‘kan hobi ngomong sendiri.”Reva menyipitkan matanya, menatap sinis suaminya yang enggak jelas itu. “Dih, apaan sih. Udah ng
Hari terus berganti sampai tibalah saat mahasiswa baru menjalani pengenalan kehidupan kampus dan disinilah Reva, di kediamannya sudah sibuk bersiap-siap pagi-pagi sekali pasalnya pkkmb akan dilaksanakan jam 7 pagi, mau tak mau Reva, si calon mahasiswa baru harus datang sebelum jam 7. Tok tok tok!“Om, buka pintunya!”Reva mengedor pintu kamar Zidan, berseru membangunkannya.Ceklek! “Kenapa sih? Pagi-pagi udah ribut aja kamu.” Zidan keluar dengan muka kusut, dan mata yang belum sepenuhnya terbuka.“Om cepat mandi, antarin aku ke kampus. Hari ini, hari pertama aku pkkmb.”“Kamu ‘kan ada motor. Kenapa enggak berangkat sendiri?” tanya Zidan setelah menguap lebar.“Kalau lagi pkkmb enggak dibolehin bawa kendaraan sendiri Om. Ayolah cepat pleasee, udah jam 6 lewat ini. Kamu aja belum siap-siap, aku masuknya jam 7.”“Ya udah iya-iya. Kamu tunggu di bawah aja, aku mau siap-siap dulu.”“Oke. Jangan lama-lama tapi, awas aja kalau lama,” ucap Reva seraya menunjuk wajah Zidan, mengancamnya.“Hm
‘Hah, siapa ini? kok mesra banget. Apa Om Zidan punya pacar?’ batin Reva bertanya-tanya namun ia kembali pada posisi semula ketika Zidan kembali.Zidan sontak menoleh ketika Reva duduk menjauh darinya. “Kenapa kamu?”“Enggak apa-apa.”Zidan sebenarnya menaruh curiga namun ia tidak mau ambil pusing dan kembali menonton.Reva pun meraih ponselnya dan sibuk sendiri dengan ponselnya. “Ya ampun! cakep-cakep banget sih aktor korea ini. Udah ganteng, tinggi, putih, kaya, berbakat lagi!” celetuk Reva sengaja dengan suara keras, melirik Zidan yang tak bergeming. Itupun membuat Reva kesal, ia menggembungkan pipinya kesal. “Mana sifatnya juga baik, lembut, gentleman ke lawan mainnya," sambung Reva namun Zidan tetap bersikap tidak perduli. Karena tidak mendapatkan reaksi yang diinginkan, Reva akhirnya mendekati Zidan. “Om, lihat deh aktor korea ini cakep-cakep banget ya. Kira-kira aku cocoknya sama siapa ya di antara 3 cowok ini?” tanya Reva seraya menunjukkan beberapa foto aktor korea di depan
“Kevin,” ucap Reva ketika melihat orang itu.Kevin, pria itu mengangkat sudut bibirnya sedikit. “Aku terharu ternyata kamu masih mengingatku. Aku pikir kamu sudah melupakanku.” melangkah mendekati Reva.“Hm, aku rasa kamu enggak banyak berubah jadi aku masih mengingatmu,” jawab Reva seadanya. Sebenarnya ia tidak terlalu akrab dengan salah satu teman SMP-nya itu tapi namanya bertemu teman lama, tidak mungkin ia bersikap pura-pura tidak tahu.“Oh iya aku udah denger kabar kalau kamu udah nikah dengan seorang CEO terkenal dari perusahaan manufaktur ternama.”Reva mengalihkan pandangannya ketika Kevin menatapnya intens setelah berbicara. “Hm, iya. Aku di jodohin. Jadi, mau tidak mau, aku harus nikah,” jawabnya tanpa menatap sang lawan bicara.“Ohh. Tapi enak dong jadi istri CEO kaya raya dan tampan. Tinggal ongkang-ongkang kaki aja terus terima duit banyak. Hidup mewah."Reva sontak melirik Kevin tajam. “Aku rasa itu bukan urusanmu. Kenapa kamu kelihatan sibuk sekali mengurus rumah tangga
“Mama~” Reva keluar dari kamar dan langsung menghambur ke dalam pelukan mamanya.“Reva, mama kangen banget sama kamu. Kamu kangen enggak sama Mama?”Reva mendongak menatap wajah mamanya tanpa melepas pelukan. “Kangen banget Ma~” lalu kembali memeluk erat mamanya. Mamanya tersenyum sambil menutup mata, hatinya menghangat bertemu dengan anak bungsunya.“Pagi Mama Dina!” sapa Zidan yang baru muncul dengan senyum ramah membuat kedua wanita cantik itu melepas pelukannya.“Eh, Zidan. Pagi!” Zidan tak lupa menyalim tangan mertuanya. “Kamu mau berangkat kerja ya?” sambung Dina ketika memperhatikan pakaian Zidan yang sudah rapi.“Iya Ma.”“Aku juga mau berangkat kuliah Ma. Mama enggak apa-apa ‘kan sendirian dulu di rumah? Eh, tapi ada Mbak Riri kok,” timpal Reva.“Iya enggak apa-apa. Eh, tapi kalian enggak keberatan ‘kan kalau Mama nginap di sini selama beberapa hari?”“Enggak lah Ma, kami malah senang,” ucap Zidan.“Iya apalagi aku senang banget lah Mama ada di sini."Dina menarik sudut bibir
Reva kembali ke bawah untuk mengambil selimut di kamarnya. Perlahan ia melangkah, mengendap-endap sambil memperhatikan sekitar, jangan sampai mamanya tahu kalau selama ini ia dan Zidan sebenarnya tidak tidur satu kamar.Setelah memastikan keadaan aman, Reva membuka pintu kamarnya pelan-pelan pasalnya kamar mamanya juga berada di lantai bawah, takutnya mamanya dengar dan memergokinya. Ia mengambil selimut bulu lembut berwarna soft pink kesayangannya yang berada di atas kasur lalu bergegas keluar namun siapa sangka mamanya telah berdiri di depan pintu kamarnya. “Aaa!” pekik Reva kaget. Dina reflek menutup telinganya. “Reva! jangan teriak-teriak. Udah malam ini.”“Mama ngejutin aku sih. Mama ngapain di sini?”“Harusnya Mama yang tanya sama kamu, ngapain kamu ke kamar ini? Ini kamar kamu sama Zidan? tapi kok Mama lihat tadi Zidan ke atas?” tanya Dina, berusaha untuk mengintip ke dalam kamar.Reva langsung menutup pintu rapat. “Enggak Ma. Ini bukan kamar kami. Kamar kami memang ada di at
Sepulang kuliah, Reva langsung pulang ke rumah. “Mbak, mama ke mana? sepi banget rumah,” ujar Reva saat baru saja tiba di rumah. “Mama Non lagi tidur siang.”“Ohh oke.” “Ya udah kalau gitu saya ke belakang ya non,” Reva mengangguk lalu pergi ke kamarnya, mengganti pakaian yang lebih santai kemudian pergi ke dapur untuk mengambil minum.“Mbak lagi masak buat makan malam ya?” tanya Reva yang sedang berdiri di depan kulkas. Riri sontak menoleh, “Iya Non. Apa Non mau request sesuatu buat makan malam?" Riri menawarkan.“Enggak. Tapi saya pengen buat pie susu deh sekarang, buat Mama,” jawab Reva setelah meneguk air putih dingin di kursi lalu berdiri, mendekati Riri. “Bahan-bahannya ada enggak ya Mbak di rumah?” memperhatikan ke sekitar pantry.“Bahan-bahan buat pie susu itu apa aja ya Non?”“Sebentar,” Reva mengeluarkan ponsel dari saku celananya untuk mencari resep membuat pie susu. “Ini Mbak.” Riri mendekat, menatap layar ponsel Reva yang sedang menampilkan resep pie susu. “Oh nanti
10 bulan kemudianWaktu berlalu begitu cepat, tidak terasa sudah hampir di penghujung tahun lagi.“Oaakk oeeekkk.”Zivana Quincy Fernando, bayi yang baru berumur 3 bulan itu menangis saat dimandikan sang Ibu. Zivana adalah putri tunggal Reva dan Zidan yang baru saja lahir 3 bulan yang lalu. Nama Ziva diambil dari gabungan nama Zidan dan Reva.“Cup cup cup, iya iya sabar ya nak. Sebentar lagi selesai mandi, dingin ya?” ucap Reva seraya membasuh badan si buah hati dengan lembut.“Sayang, ini handuknya,” Zidan datang memberikan handuk bayi sesuai permintaan istrinya.“Makasih Mas.”Setelah memandikan Ziva, Reva membawa anaknya yang sudah dibalut dengan handuk ke kamar, Ziva mulai anteng.“Anak siapa ini? lucu bangett sihh.” Reva berbicara dengan nada imut, ia bahkan memasang wajah lucu di depan anaknya sampai membuat anaknya tertawa, menampilkan gusinya yang belum tumbuh gigi. “Eh, malah ketawain mama,” Reva mencuil pelan badan Ziva sambil tersenyum manis.“Sayang kalau kamu mau
Prok prok prok!Zaki menepuk tangannya sambil berjalan ke arah orang yang baru saja tiba, membuat Zidan ikut mengalihkan pandangan.“Aku tidak menyangka kamu akan datang, Kakak ipar,” celetuknya seraya menyunggingkan smirk.Zidan ingin bersuara, namun mulutnya di lakban. Ia hanya bisa menatap mamanya dengan mata berkaca-kaca.“Aku ingin bicara dengan anakku.”“Silakan,” Zaki mempersilakan Eva menemui Zidan. Dia tidak menghalangi. Eva menatap Zaki dengan mata menyipit tajam sebelum melangkahkan kakinya mendekati anaknya. Seorang penjaga membuka lakban yang menutupi mulut Zidan.“Hah, mas Zidan,” gumam Reva di luar. Ia menutup mulutnya kaget. Ia dan Arka sedang mengintip dari luar. Mata Arka membulat, ia sama kagetnya. Reva berbalik menghadap Arka. “Kak, bagaimana ini? Bagaimana cara kita membebaskan Mas Zidan? Apa kita lapor polisi aja?”Arka diam beberapa saat, mencoba untuk berpikir. “Sepertinya begitu. Kita harus panggil polisi, tapi kita enggak boleh gegabah kalau tidak in
“Hilang gimana maksud kamu, Rev?” tanya Risa.“Mas Zidan udah dari semalam enggak pulang. Aku bingung banget mau cari ke mana makanya aku ke sini buat minta bantuan.”Risa pindah posisi ke sebelah adiknya, mengusap pundak adiknya, ia tahu Reva sedang panik. “Kamu tenang dulu ya,” Reva menelan ludahnya, matanya mulai berkaca-kaca.“Hm, tapi Zidan belum menghubungi aku sih. Terakhir dia menghubungiku kemarin pagi.”“Ya Allah,” Reva menutup wajahnya, merasa pusing sedangkan Risa sontak memberikan death glare pada Arka. Risa berpikir omongan Arka barusan malah membuat Reva makin stres.“Kamu tenang dulu ya, jangan stres. Ingat janin dalam kandunganmu. Kalau kamu stres, janin dalam kandunganmu bisa ikut stres.”“Terus aku harus gimana Kak? Aku enggak bisa berdiam diri aja. Kalau Mas Zidan kenapa-napa gimana?”“Bagaimana kalau kita lapor polisi aja?” usul Risa seraya melirik ke Arka.“Kalau belum 24 jam, belum bisa. Jadi harus nunggu 24 jam dulu. Paling enggak besok pagi baru bisa l
Sementara itu Reva di rumah belum tidur. Ia bolak-balik ke depan pintu, menunggu suaminya yang tak kunjung pulang. Sesekali ia menatap ke jam dinding yang terus bergerak. “Mas Zidan kok belum pulang ya? enggak ngabarin juga kalau mau lembur.”Ia mengigit kuku jarinya, hatinya gelisah. Baru saja duduk, ia kembali berdiri. Ia tidak bisa santai-santai saja. Beberapa kali sudah ia mencoba menghubungi suaminya itu namun hasilnya nihil, panggilannya tak terjawab.“Aku harus hubungi siapa sekarang? Apa aku harus hubungi Mama Eva? Tapi nanti mama Eva khawatir.” Reva bermonolog.Kembali ke tempat Zidan disekap. Kepala Zidan masih ditutup. Ia masih sadar dan bernapas. Samar-samar ia mendengar suara langkah kaki mendekat sampai kain yang menutupi kepalanya diangkat. Ia melebarkan matanya ketika mengetahui orang yang tengah berdiri di hadapannya.“Om Zaki.”Zaki menyunggingkan senyum yang terlihat misterius. “Apa kamu kaget, Zidan? Tapi, tenang aku akan menjelaskan semuanya nanti. Untuk seme
2 hari kemudian, Zidan dan Reva sudah kembali dari liburannya. Zidan kembali bekerja dan Reva kembali ke rutinitasnya sebagai ibu rumah tangga.Zidan baru saja tiba di perusahaan, ia kebetulan bertemu dengan Zaki di lobi perusahaan. “Pagi Zidan!”“Pagi Om!”“Bagaimana kabarmu dan istri? Om dengar kamu habis dari liburan?”“Aku dan istri baik. Ya, aku baru pulang dari Labuan Bajo kemarin sore, Om.”“Wah pantas saja mukamu berseri-seri sekali.” Zidan menyunggingkan senyum kecil. “Hm, gimana kalau kita ngobrol sebentar di sana? Enggak enak ngobrol kayak gini.” Zaki menawarkan untuk mengobrol di kursi tunggu yang tersedia di lobi.“Boleh.” Zaki menjulurkan tangannya, mempersilakan Zidan untuk jalan duluan. Zidan mengikuti saja, tidak mau basa-basi.Mereka duduk di sebuah sofa. Zaki sesekali memandang ke sekitar. “Bagaimana liburannya Zidan? Kamu ke mana aja selama di sana? Om kamu ini ‘kan juga pengen dengar cerita liburanmu.” Zaki bersikap seolah-olah mereka dekat.“Biasalah
Mereka tiba di penginapan menjelang malam hari. Mereka sengaja pulang setelah makan malam agar bisa langsung istirahat.Reva langsung mengambil kesempatan untuk mandi duluan ketika melihat Zidan sedang duduk di depan tv.Setelah 20 menit, Reva keluar dengan wajah lebih fresh, rambutnya masih basah. Ia mengenakan kemeja putih oversize dengan bawahan celana pendek selutut warna hitam.“Mas, kamu mau mandi enggak? Aku udah selesai.”Zidan menoleh, seketika matanya terkunci pada penampilan istrinya yang terlihat fresh dan seksi. Bulir-bulir air dari rambutnya yang basah mengalir hingga ke lehernya, wajahnya putih bersih, bibirnya merah. Kaki jenjangnya yang mulus terekspos sempurna. Penampakan yang sangat indah di mata Zidan.“Ih, kenapa lihatin aku gitu banget sih Mas.” Reva reflek menutup dada dan pahanya. Ia takut sama suaminya sendiri pasalnya Zidan menatapnya liar, tanpa berkedip.Zidan berdiri, bergerak mendekati istrinya tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Mau tak mau Reva me
2 Minggu kemudian Tak terasa tahun telah berganti. Awal tahun adalah awal yang baik untuk memulai kembali apa yang sudah dilakukan di tahun sebelumnya dan berusaha untuk lebih baik lagi dari sebelumnya dalam hal apapun.Terhitung sudah 8 bulan pernikahan Zidan dan Reva berjalan, masih terbilang seumur jagung memang namun berbagai macam rintangan yang datang sudah mereka lewati dan mereka bertekad untuk selalu berpegang tangan bersama melewati segala rintangan yang mungkin akan datang di masa depan. Dari akhir tahun menjelang awal tahun biasanya orang ramai berbondong-bondong menghabiskan waktu untuk liburan sebelum kembali ke rutinitas. Tak terkecuali dengan Zidan dan Reva yang baru mau pergi berlibur ke luar kota pada awal tahun ini, cukup terlambat memang tapi tidak apa-apa. Mereka berencana akan menghabiskan waktu liburan di luar kota selama 3-4 harian saja karena Zidan juga tidak mungkin mengambil libur panjang.“Mas, apa semuanya sudah siap?” Reva datang dari belakang, memp
Zidan akhirnya berhasil membawa istrinya pulang. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia dan syukurnya. Saat tiba di rumah, ia langsung menggendong istrinya bridal style, berputar-putar seperti drama india.“Aduh duh Mas. Kamu bersemangat banget, aku jadi pusing nih," celetuk Reva seraya menyentuh kepalanya, pura-pura merasa pusing.“Ups! maaf enggak sengaja.” Zidan malah nyengir sementara Reva menggelengkan kepalanya seraya mengerucutkan bibir. Zidan membawa istrinya masuk, mendudukkannya pelan ke sofa empuk lalu berlutut, memegang tangan istrinya. “Aku minta maaf ya. Aku enggak tahu apa kata maaf ini cukup tapi aku janji akan selalu percaya sama kamu.”Reva menyunggingkan senyum kecil, sebelah tangannya diletakkannya di atas tangan Zevano. “Aku maafin. Tapi mulai sekarang kamu harus janji kalau kita harus selalu saling percaya satu sama lain. Janji?” Reva mengangkat jari kelingkingnya.“Harus begitu?”“Iya, Mas. Kamu enggak mau janji sama aku?” Reva merengek seperti anak keci
Zidan kembali bersama orangtua Rian ke tempat di mana Rian ditawan. Ia akan lakukan apapun agar Rian buka suara, mengakui semua kesalahannya.“Rian, astaga! ke mana saja kamu selama ini nak? apa kamu enggak kasihan sama Mama, Papa?!” wanita paruh baya yang memakai hijab segi empat itu lari menghampiri anaknya, menangkup wajah anaknya dengan berlinang air mata. Rian hanya diam, menunduk, tidak berani menatap mata mamanya. Ia merasa sangat bersalah pada mamanya.“Jawab Mama, Rian hiks. Ka-kamu udah enggak sayang sama Mama, huh? Kenapa kamu enggak pernah pulang ke rumah?” Riska, mamanya Rian terisak. Ia ngomong terbata-bata, bibirnya bergetar.Walaupun Rian anak yang nakal namun jauh di dalam lubuk hatinya, ia menyayangi orangtuanya terutama Mamanya. Kristal bening lolos dari pelupuk matanya, hati kerasnya tergoyah ketika mendengar isakan pilu mamanya. “Maafkan aku Ma, hiks.” Rian ikut terisak, merutuki diri dalam-dalam.Riska menarik Rian dalam pelukannya, mengusap kepala anaknya lemb