“Oke. 1 kelompok terdiri dari dua orang ya. Ibu enggak mau 1 kelompok terdiri dari banyak orang karena kalau gitu pasti bakalan banyak yang enggak kerja. Ibu maunya semuanya bekerja jadi paham dengan tugasnya. Mengerti?” “Mengerti Bu!” “Oke. Sekarang Ibu akan bagi kelompoknya ya,” ucap sang dosen seraya memakai kacamatanya lalu menatap ke kertas absen.“Duh, kenapa enggak milih sendiri aja sih kelompoknya,” bisik Rosa ke Reva di sebelahnya. “Iya, enakkan milih sendiri. Tapi, ya udah lah.”“Di catat ya. Kelompok 1, Sinta dan Caca, kelompok 2 Rosa dan Nana."“Yes, kita barengan.” Rosa dan Nana berpegangan tangan sebentar, sementara Reva di tengah di antara mereka cemberut karena otomatis tidak sekelompok dengan salah satu temannya.“Kelompok 3, Gio dan Serli, kelompok 4 Brian dan Ali. Kelompok 6 Reva dan Kevin.”Mata Reva terbuka lebar ketika mendengar nama teman sekelompoknya lalu saling pandang dengan temannya yang berada di kiri dan kanannya. Setelah dosen membagi semua kelompok
“Enggak Tuan, sa-saya enggak apa-apa. Saya izin sebentar mau keluar. Permisi.” Tanpa persetujuan Zidan, Riri langsung menyelonong pergi bahkan dengan langkah terbirit-birit.Zidan berbalik, melihat Riri yang sudah tiba di depan pagar dengan dahi berkerut dan mata memicing. ‘Sepertinya ada yang tidak beres di sini.'Zidan bergegas masuk, memeriksa ke setiap ruangan termasuk kamar Reva. ‘Dia tidak ada di kamarnya. Apa dia belum pulang?’ Zidan memeriksa jam di tangannya yang telah menunjukkan pukul 4 lewat 15 menit. ‘Bukankah seharusnya dia sudah pulang sekarang?’ walaupun cuek dengan Reva, ia tetap mengetahui seluruh jadwal kuliah Reva.Setelah memeriksanya semua tempat di bawah, ia pun pergi ke lantai 2. “Astaga, Reva!” pekik Zidan ketika menemukan istrinya sudah tergeletak tak sadarkan diri di depan kamarnya. Ia memeriksa denyut nadi di tangan Reva dan ia masih bisa merasakannya, ia juga melihat ada lampu tidurnya di sebelah Reva, sepertinya alat itu yang digunakan pelaku sampai membu
“Reva, kamu bisa dengar Mama?” tanya Dina ketika Reva membuka matanya perlahan. Dina masih menggenggam erat tangan putrinya.Reva bisa melihat Mamanya samar-samar, mengedipkan matanya beberapa kali sampai penglihatannya jernih. “Mama,”Sudut bibir Dina terangkat, ia menciumi tangan anaknya beberapa kali. “Alhamdulillah, Reva. Mama senang sekali kamu akhirnya sadar. Bagaimana kabarmu nak?”“Aku cuma pusing sedikit Ma. Tapi,” Reva mengedarkan pandangannya ke sekitar. “Ini di mana Ma?”“Kamu di rumah sakit. Memangnya kamu enggak sadar pas dibawa ke sini?” Reva mengernyitkan dahinya, bola matanya bergerak-gerak, kembali mengingat kejadian yang terjadi padanya sebelum dirinya berakhir di rumah sakit. Seketika matanya membola setelah mengingat semuanya. “Mbak Riri. Ke mana Mbak Riri? Dia orang yang udah memukul kepalaku, Ma. Dia yang buat aku pingsan."Bibir Dina terbuka, “Hah, Riri? Maksud kamu, Riri, pembantu di rumah kamu itu?”“Iya Ma. Dia jahat. Dia yang udah mencelakai aku.” Dina so
“Pak, bisa tunggu di sini sebentar? saya cuma sebentar kok, nanti sama bapak lagi pulangnya,” ucap Rian setelah turun dari ojek. Mereka baru sampai ke rumah sakit pondok indah. “Oh iya bisa. Saya tunggu di sini ya.” “Oke Pak. Sebentar ya.” Rian memasang tudung jaketnya lalu bergegas memasuki area rumah sakit. Rian berlalu lalang di sekitaran IGD dan tak sengaja melihat Reva baru saja keluar dari IGD sambil dipapah dengan seorang pria yang Rian yakin itu adalah suaminya Reva. Ia juga bisa melihat ada dua wanita paruh baya yang salah satunya Rian ketahui adalah mamanya Reva. Ia sontak bersembunyi ke balik tembok ketika mereka melewati area tersebut. ‘Aku harus mengikuti mereka,’ batin Rian lalu mengikuti mereka diam-diam dengan jarak aman. Setelah Reva dan yang lainnya masuk ke mobil Zidan, Rian bergegas menemui ojeknya. “Pak, tolong ikuti mobil itu ya,” ucapnya seraya menunjuk mobil sedan hitam yang mulai bergerak meninggalkan area rumah sakit. “Oke Bang.” Setibanya
Keesokan paginya.Reva sudah bersiap-siap untuk pergi ke kampus, sudah menenteng kunci motornya keluar rumah.“Eh, kamu mau ke mana?” tegur Zidan ketika melihat Reva sudah di atas motor. Zidan tengah mengunci pintu sekarang.“Mau ke kampus lah, Om. Mau ke mana lagi kamu pikir.”“Turun dari situ. Hari ini kamu pergi sama aku.”“Hah? kenapa?” Reva turun dari motornya, menatap Zidan dengan dahi berkerut.“Enggak apa-apa. Kamu ‘kan habis dari rumah sakit kemarin, jadi takut kamu kenapa-kenapa. Lagipula Mama yang menyuruhku untuk mengantarkanmu.”“Ohh jadi karena disuruh? kalau enggak disuruh, pasti kamu enggak bakal mau ngantarin aku ‘kan?”“Udah lah enggak usah banyak ngomong. Cepat masuk.” Zidan lebih dulu masuk ke dalam mobil. Selama perjalanan mereka hanya diam, Zidan fokus menyetir sementara Reva melirik ke kanan dan ke kiri, sesekali mengembungkan pipinya, merasa bosan.“Ehem!” Zidan sengaja berdehem, membuat Reva mengalihkan pandangan padanya. “Kalau ada merasa pusing, mual atau
Selama perjalanan pulang hingga sampai ke rumah, Zidan hanya diam. Walaupun diajak ngobrol, ia hanya merespon dengan anggukan, gelengan atau deheman saja. Itu membuat Reva malas mengajaknya ngobrol.“Kamu enggak turun?” tanya Reva setelah sampai rumah.“Aku mau balik ke perusahaan,” jawab Zidan tanpa mengalihkan pandangan.“Loh katanya kamu tadi udah pulang kerja,” Reva ingat saat di chat tadi, Zidan mengatakan kalau dia sudah mau pulang kerja.“Ada urusan mendadak.”“Tiba-tiba?”Zidan mengangguk. “Hm.”“Oh, ya udah. Makasih ya udah anterin aku pulang.” Lagi-lagi Zidan hanya mengangguk.Setelah Reva turun, mobil Zidan bergerak meninggalkan rumah. Reva terus memandanginya dengan dahi berkerut sampai hilang dari pandangan.‘Aneh banget Om Zidan. Tiba-tiba berubah gitu, kayak baru pertama kali ketemu aja. Canggung banget," batin Reva sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.Ia pun tak ambil pusing, kembali melangkah ke depan pintu namun saat membuka pintu, ternya pintu terkunci. Ia baru sa
“Om Zidan,” gumamnya tanpa sadar sampai membuat Rian mengernyitkan dahinya.“Kamu ngapain di sini? katanya mau pulang,” tanya Zidan tapi matanya melirik Rian yang kini sedang menundukkan kepalanya.Reva sontak berdiri, mendekati Zidan. “Tadinya aku memang mau pulang tapi—““Hm, Reva. Aku pulang duluan ya, ada urusan mendadak. Sampai jumpa lain waktu.” Rian berdiri, memotong perkataan Reva sebelum akhirnya pergi meninggalkan sepasang suami istri itu tanpa menunggu respon dari keduanya.“Dia siapa?” tanya Zidan dengan mata memicing pada Reva. Zidan memang tidak mengenal Rian karena mereka memang tidak pernah bertemu sebelumnya. Ia bahkan baru tahu bila Risa memiliki kekasih di saat hari pernikahannya dan ia sama sekali tidak tahu bila kekasih Risa adalah Rian.“Aku jelasin nanti ya. Sekarang kamu mau ngapain?”“Tadi awalnya mau beli minum tapi kayaknya enggak jadi.”“Ya udah kalau gitu kita pulang aja. Nanti aku ceritakan di rumah.” Zidan mengangguk, menuruti perkataan Reva. Sebelum pul
“Siapa Ibu itu?” gumam Reva pelan saat mengintip dari balik gorden. Ia bisa melihat seorang wanita gemuk paruh baya dengan rambut disanggul berdiri di depan teras sambil menenteng sebuah tas besar.Tok tok tok! Wanita itu masih bersikeras untuk mengetuk pintu. “Assalamualaikum!”Dengan keberanian tinggi, Reva akhirnya membukakan pintu untuk wanita tersebut.“Waalaikumussaalam. Maaf cari siapa ya Bu?” tanya Reva sopan.“Maaf mengganggu malam-malam, perkenalkan saya Bi Juleha, saya ditugaskan sama Mamanya Den Zidan untuk bekerja di sini mulai malam ini.”“Ohh benarkah? tapi saya—“Tringg! (tiba-tiba ponsel Reva berbunyi)Ponsel di tangannya berbunyi menandakan ada sebuah panggilan masuk. “Hm, sebentar ya Bu.” Reva mengangkat telepon dari mertuanya lebih dulu, agak menjauh dari pintu.“Halo assalamualaikum Ma."“Waalaikumussaalam Reva. Reva, Mama mau tanya apa Bi Juleha sudah sampai di rumah kalian? Mama sengaja nyuruh Bi Juleha ke sana sekarang supaya bisa nemenin kamu, kasihan kamu s