"Kamu tidak harus memaksakan diri menerima tawaran itu. Ingat, semua keputusan ada di tangan kamu."Davian membelai puncak kepala istrinya dengan penuh sayang. Keduanya sudah berada di mobil, diantar oleh supir keluarga Rajendra menuju kantor Davian sebelum nantinya bertolak mengantar Kaira kembali ke rumah Davian. Sebuah peluang besar yang disampaikan di meja makan keluarga Rajendra tadi menghuni pikiran Kaira secara terus menerus. Bahkan setelah hampir lima belas menit mereka meninggalkan halaman kediaman utama tersebut. Sementara Davian cukup sibuk dengan pekerjaan di tangannya, Kaira mengarahkan pandang keluar jendela dan tenggelam dalam pikirannya. Davian yang sempat melirik sekilas kearahnya tentu memahami bahwa istrinya itu tengah berpikir keras."Terus terang, aku juga setuju dengan keputusan mama. Tapi kamu bisa pikirkan dulu, ya? Aku nggak mau kamu jadi merasa terbebani," tambah Davian lagi.Lelaki itu mengulum senyuman tipis saat menggenggam jemari sang istri. Beberapa pem
Sibuk dengan tumpukan dokumen yang menunggu untuk disentuhnya setelah tiga hari tidak berada di kantor. Davian tidak punya banyak waktu untuk bersantai sebab semuanya tiba-tiba saja nampak seperti pekerjaan yang mendesak. Ada banyak dokumen yang harus dia periksa sebelum harus dia bubuhi tanda tangan. Begitu pula hasil kerjanya saat di Thailand kemarin, sudah dia delegasikan kepada tim dan perintahkan untuk melakukan pengembangan sesuai rencana. Tidak boleh ada waktu yang terbuang sia-sia.Lelaki itu bahkan tidak sadar bahwa ia belum menyentuh makanan sejak jam makan siang tadi. Padahal Aldo sudah memintanya untuk beristirahat dan menghabiskan makanan yang telah dipesankan sebelum melanjutkan pekerjaan. Tapi begitulah Davian, manusia keras kepala yang hanya peduli pada tujuannya dan sering abai pada diri sendiri.Ini sudah mendekati pukul lima sore, mata lelaki itu super lelah sebenarnya setelah sekian jam tanpa henti terus menatapi layar komputer dan terus membaca hardcopy. Tubuhnya
Bukannya istirahat, Kaira sampai rumah justru langsung beberes rumah, membersihkan diri, memasak dan merapikan kembali barang-barangnya dan Davian usai liburan di Thailand kemarin. Setelah percakapan ambigunya dengan Davian pagi ini, wanita itu punya terlalu banyak bahan pikiran. Daripada tenggelam di dalamnya, Kaira lebih memilh untuk menyibukkan diri sebagai bentuk distraksi. Wanita itu melambat dalam aktivitasnya setelah upaya kerasnya itu seakan menghianatinya. Dia kembali mengingat percakapannya dengan Davian terakhir kali yang terdengar begitu ganjil di telinganya. Maksudnya, itu lebih terdengar seperti Davian menyalahkannya karena bertemu dengan Alvero padahal adik iparnya itu sendiri yang datang mengetuk kamar mereka. Lagipula apa salah pakaian tidur Kaira yang ikut dibawa-bawa dijadikan permasalahan? Wanita itu berpikir keras, mencari letak kesalahannya yang menurut egonya sendiri tentu tidak dapat dia temukan. Apa dan kenapa? Sisi apa dari Davian yang belum wanita itu pah
Dengan kecamuk pikiran yang masih ribut di kepala, Kaira memutuskan untuk kembali ke dapur. Mendengar suaminya berkata bahwa dia akan segera pulang, setidaknya Kaira perlu menghangatkan kembali masakannya. Dia tidak tahu pembicaraan dan suasana macam apa yang akan terbentuk setelahnya, hanya saja wanita itu setidaknya perlu menyiapkan makanan. Kaira mengaduk sup dengan tatapan kosong. Wanita itu menghela nafas lelah menyadari bahwa mungkin dia telah membuat kesalahan besar. Bagaimana dia menghadapi Davian sekarang? Mau ditaruh dimana wajahnya?Di tengah aktivitasnya, ponsel Kaira kembali berdering. Wanita itu setengah panik hingga tidak sadar mencipratkan kuah panasnya ke tangan. Sembari menahan ringisan, Kaira mematikan kompor dan membaca nama pemanggil, itu Aidan.Untuk apa Aidan tiba-tiba meneleponnya? Adik sepupunya itu jarang sekali bertukar kontak dengannya. Selama ini Kaira hanya mengirim uang untuk adik-adiknya itu lewat Bude Mita. Sesekali juga langsung pada Aira. Setelah be
Kaira refleks membulatkan matanya saat menemukan tubuh tinggi pria secara cepat mengukungnya. Dia terhuyung hingga terjatuh di sofa dengan sebuah lengan kekar yang secara sigap menyangga kepalanya. Wajah keduanya terlalu dekat, Kaira hampir tidak bisa bernafas dengan normal apalagi saat melihat tatapan tajam yang masih dapat ditembus meskipun dihalangi kaca mata. "Mbak? Mbak Kaira nggak apa-apa?"Pekikan Kaira tadi tentu dapat didengar oleh Aidan diseberang panggilan. Laki-laki yang beranjak dewasa itu tentu sedikit khawatir dengan kondisi kakak sepupunya. Si pelaku—siapa lagi kalau bukan Davian, seolah tak terganggu justru menggunakan jemarinya untuk membelai dan menarik pelan rahang Kaira. Mengirimkan desiran lembut namun penuh tuntutan yang tiba-tiba saja membuat Kaira jadi seolah melemah. Dia sempat melirik nama pemanggil yang tertulis di layar ponsel istrinya. Sebuah senyuman miring refleks terbit di bibir Davian. "Y—ya, aku baik-baik saja, kok! Nanti mbak telfon lagi ya, Dan!
Davian menerima piring penuh yang disodorkan istrinya dengan baik. Aromanya menggugah selera, hanya saja pernyataan Kaira tadi masih lebih menarik perhatiannya. Istrinya itu tersenyum ringan, menatapnya dengan mata bulat yang berbinar sembari menumpu dagunya dengan dua siku di meja. Sesuatu dibalik senyuman Kaira membuat Davian mengangkat sebelah alisnya dibarengi sebuah tatapan menyelidik."Berapa yang kamu butuhkan? Kamu bisa menggunakan cara yang lebih sederhana untuk mendapatkan uang," ujar Davian dengan makna terselubung. Lelaki itu masih belum melepaskan tatapannya pada sang istri. Ingin mengetahui apa yang sebenarnya tengah Kaira pikirkan.Mendengarnya, Kaira mengendikkan bahu dengan senyuman yang ditarik paksa. "Aku hanya ingin merasakan bekerja secara produktif lagi. Mendapatkan uang yang aku hasilkan dari keringat sendiri meskipun tetap saja berangkat dari kantong Mas Davi," tanggapnya sederhana dengan sebuah senyum jenaka.Pembahasan ini sebenarnya bukan pertama kalinya ba
Mata Davian mengerjap pelan menyadari arah pertanyaan istrinya. Itu sebuah pertanyaan serius, kan?Kaira nampak polos dengan mata bulat besar nan jernih yang menatapnya seperti anak anjing lucu. Namun di saat yang bersamaan, gerakan perlahan telunjuk wanita itu di belakang leher Davian justru kontras sebab menunjukkan seberapa flirty Kaira yang sebenarnya. Bagaimana bisa Davian menahan diri dari godaan secara terang-terangan seperti ini?"Kenapa?" Tanya Davian yang kini telah sepenuhnya meninggalkan makanannya. Fokus pria itu tentu saja istrinya yang memberi sebuah pertanyaan polos namun penuh godaan. Mengendikkan bahunya sekali lagi, Kaira melanjutkannya dengan membentuk senyum segaris tanpa rasa bersalah. "Hanya penasaran. Apa yang mas tinggalkan selalu sulit bagiku untuk menyembunyikannya. Tapi aku bahkan tidak berhasil membuat satu," ungkapnya jujur. Entah apa motivasi Kaira mengatakan ini sekarang. Terkadang, wanita itu cukup frontal terhadap apa yang ada dalam benaknya. Davia
Kaira menggenggam map tebal dan juga satu totebag berisi bekal makan siang yang dia siapkan untuk suaminya. Sekitar pukul sepuluh pagi ketika Kaira yang tengah menyelesaikan tulisannya mendapatkan panggilan dari sang suami yang memintanya untuk mengirimkan sebuah dokumen penting yang tertinggal di ruang kerja rumah mereka. Kalau bukan karena merupakan data penting untuk rapat siang ini, Davian mungkin tidak akan terdengar sangat panik saat meminta tolong pada istrinya itu.Sejatinya, Davian hanya meminta Kaira untuk mengirimkannya menggunakan layanan ojek online secara instan. Hanya saja, Kaira sendiri yang menawarkan bantuan untuk membawanya langsung sebab Davian bilang dokumen tersebut sangat penting dan cukup rahasia. Bukankah lebih baik untuk Kaira sendiri yang mengantarkannya dan memastikan dokumen tersebut diterima dengan aman dan selamat langsung oleh sang suami?Lagipula, Kaira juga ingin sekaligus mengunjungi suaminya dan membawakan bekal makan siang. Tadi pagi Davian terlalu