Kaira menggenggam map tebal dan juga satu totebag berisi bekal makan siang yang dia siapkan untuk suaminya. Sekitar pukul sepuluh pagi ketika Kaira yang tengah menyelesaikan tulisannya mendapatkan panggilan dari sang suami yang memintanya untuk mengirimkan sebuah dokumen penting yang tertinggal di ruang kerja rumah mereka. Kalau bukan karena merupakan data penting untuk rapat siang ini, Davian mungkin tidak akan terdengar sangat panik saat meminta tolong pada istrinya itu.Sejatinya, Davian hanya meminta Kaira untuk mengirimkannya menggunakan layanan ojek online secara instan. Hanya saja, Kaira sendiri yang menawarkan bantuan untuk membawanya langsung sebab Davian bilang dokumen tersebut sangat penting dan cukup rahasia. Bukankah lebih baik untuk Kaira sendiri yang mengantarkannya dan memastikan dokumen tersebut diterima dengan aman dan selamat langsung oleh sang suami?Lagipula, Kaira juga ingin sekaligus mengunjungi suaminya dan membawakan bekal makan siang. Tadi pagi Davian terlalu
"Selamat Pagi Bu Kaira!"Sapaan Aldo di lobby menyambut Kaira yang baru saja sampai. Pagi itu, Kaira melangkah masuk ke kantor Davian dengan senyum tipis yang tersembunyi di balik wajahnya yang serius. Sebagai istri, rasanya janggal berada di posisi asisten pribadi suaminya, tapi mereka sepakat untuk tidak mengumumkan status pernikahan mereka di kantor demi menjaga profesionalitas. Meskipun mereka juga tidak bermaksud untuk menyembunyikannya. Tidak diumumkan bukan berarti disembunyikan, bukan?Sejujurnya, itu adalah request khusus dari Kaira. Wanita itu ingin dia diperlakukan sama layaknya karyawan lain di kantor. Dia ingin menunjukkan kapasitas kerjanya sebaik mungkin tanpa ada embel-embel 'istri CEO' saja. Katakanlah Kaira terlalu idealis untuk urusan ini. Hanya saja, dia juga tidak mau suaminya diberikan cap-cap negatif jika Kaira tidak menunjukkan kinerja baiknya. Status pernikahan mereka suatu saat pasti akan terungkap, hanya saja Kaira memilih untuk membiarkannya seperti itu sa
Davian duduk di belakang mejanya dengan raut wajah serius, tampak seperti bos besar yang siap memberikan arahan. Di hadapannya, Kaira berdiri tegap, menyiapkan catatan kecil dan pena, berusaha mempertahankan konsentrasinya untuk menerima setiap pekerjaan yang ditugaskan.Sebagai seorang asisten pribadi pemula, Kaira tentu masih memerlukan banyak arahan dan bimbingan dalam pekerjaannya. Aldo memang telah memberikannya informasi sedetail yang dia bisa, namun semua itu harus diaplikasikan secara nyata dalam pekerjaan yang terkadang selalu membutuhkan improvisasi. Ketelitian dan aspek cekatan dari pribadi seseorang akan tercermin langsung melalui hasil kerjanya. Untuk itu, Kaira bertekad untuk menunjukkan kualitas dirinya dengan hasil kerja yang sebaik mungkin.Tanpa banyak basa-basi, Davian mulai menjelaskan beberapa tugas yang perlu Kaira kerjakan hari itu dan beberapa proyek mendatang."Kaira, aku ingin kamu menyiapkan laporan mingguan mengenai progres proyek perumahan di pinggiran kot
Sekarang pukul empat sore. Masih ada waktu sekitar satu jam sebelum jam kerja berakhir apabila memang benar tidak ada lemburan.Kaira melirik bosnya yang masih belum bergerak sama sekali dari tempat duduknya. Pria tersebut nampak sangat fokus menatap layar. Sesekali dia juga terdengar berbicara untuk menyampaikan pendapatnya dalam lokakarya online yang diikutinya. Diam-diam Kaira tersenyum tipis, mengapa Davian nampak seribu kali lebih atraktif saat dia tengah serius bekerja begini?Sadar bahwa dirinya mulai tidak fokus, Kaira menepuk pelan pipinya sendiri. Dia kembali memfokuskan pandangannya pada lembaran-lembaran di mejanya yang dua jam lalu telah diberikan kepadanya untuk diperiksa. Terutama dua dokumen penting yang bersifat urgent, Kaira perlu memastikan bahwa tidak ada tanda salah ketik ataupun poin-poin nyeleneh saat dokumen tersebut nantinya tiba di meja Davian.Yang pertama ada mengenai rancangan proyek resort mewah di Bali dan Lombok milik salah satu klien VIP yang gambarnya
Waktu bergulir begitu cepat hingga Davian tidak menyadari bahwa langit telah berubah menjadi lebih gelap. Ini sudah pukul delapan belas, lebih satu jam dari jam kerja biasanya. Lelaki itu melirik istrinya yang juga masih sibuk menatap laptop. Setelah kesenangan kecil mereka yang terinterupsi tadi, Davian pada akhirnya membuka kembali kunci ruangannya dan tidak melanjutkan rencana jahilnya. Kaira nampak tidak sedang dalam mood untuk melakukan itu disini dan memang staf humasnya diluar cukup perhatian pada mereka sehingga dia bahkan tidak bisa mengunci pintunya tanpa satu alasan jelas.Pada akhirnya, dua manusia itu memilih untuk melanjutkan pekerjaan masing-masing. Kaira dengan jadwal Davian esok hari serta konfirmasi pada orang-orang yang memiliki janji temu dengannya serta Davian yang melanjutkan menandatangani dokumen-dokumen yang sudah diperiksa Kaira sebelumnya.Lelaki itu melepaskan kacamata tanpa bingkainya lanjut memijit pangkal hidungnya untuk menghilangkan ketegangan yang t
Mereka tiba di lobi resto sekaligus hotel itu sekitar sepuluh menit kemudian. Tidak lama sebab hanya berjarak sekitar satu kilometer. Kalau bukan karena kemacetan jam pulang kerja, mereka mungkin bisa sampai lebih cepat daripada itu.Kaira berada dalam mobil yang sama dengan Kenny, Aldo dan Tika. Dalam perjalanan menembus kemacetan, suasana disana terasa cukup menyenangkan sebab terutama Aldo dan Tika adalah tipikal yang banyak bicara dan nyeletuk hal-hal lucu. Ada sekitar tiga mobil dengan total dua belas orang yang ikut dalam makan malam hari itu. Hanya staf humas dan juga divisi yang bersinggungan langsung dengan Aldo saja. Setelah semuanya berkumpul, Kaira dan rekan kerjanya bergegas menuju restoran yang berada tepat di lantai teratas hotel ini.Selain sebagai hotel bintang lima, lantai teratasnya memang difungsikan sebagai luxury fine dining restaurant dengan bagian outdoornya digunakan sebagai area lounge rooftop bar yang cukup trendi. Tempat ini konon katanya langganan para ek
Entah bagaimana sampai akhirnya rombongan tersebut kini berada di outdoor resto. Berpindah meja berbeda entah inisiasi dan tanggungan siapa hingga akhirnya Kaira pun harus terus menahan diri dan bahkan duduk dengan canggung di tengah rekan-rekan kerjanya yang satu per satu mulai menunjukkan tanda-tanda kehilangan kesadaran. Kaira merasa jengah saat melihat suasana makan malam yang semula terasa menyenangkan kini dibayangi dengan keributan teman-teman kerjanya yang mulai ngelantur. Aneka minuman tersaji penuh warna di atas meja, dan cengkerama yang awalnya sekadar basa-basi kerja perlahan berubah jadi obrolan yang semakin tak terkendali.Jangan tanya dimana Aldo! Pria itu sudah lebih dulu dicekoki oleh rekan-rekannya yang lain sehingga sudah teler di meja bar. Kaira bukannya hendak menyalahkannya, dia tahu sejak tadi Aldo sudah berusaha untuk menggiringnya pamit saat ajakan pindah meja itu terdengar. Sayangnya, Kaira yang tidak peka pada akhirnya mengabaikan kode-kode dari tangan kana
Di rumah, suasana terasa begitu sunyi namun tegang. Davian berjalan lebih dulu memasuki rumah, melepaskan jasnya dengan sedikit kasar dan melemparkan kunci mobil ke meja. Kaira mengekor di belakang, merasa sedikit bersalah, namun juga sedikit tersinggung atas raut kesal yang Davian tunjukkan sejak mereka meninggalkan restoran dan bar tadi.Jangan tanya perihal bagaimana suasana saat di mobil tadi. Davian tidak sedikit pun meliriknya apalagi mengajaknya bicara. Kaira paham lelaki itu mungkin kecewa, tapi mengapa dia harus menumpu kekesalannya itu pada Kaira seorang sementara dia tahu situasi macam apa yang tadi Kaira hadapi?"Jadi, ini caramu menghargai pekerjaanmu, Kaira? Aku tidak pernah menyangka kamu akan membiarkan dirimu berada di tengah orang-orang mabuk seperti itu," ucap Davian sambil menatap Kaira dengan tatapan tajam.Akhirnya Davian mengeluarkan suaranya. Mungkin pria itu memang sengaja menyimpan semuanya sampai mereka benar-benar berada di rumah. Kaira menarik napas dalam
Kaira membalut rambut panjangnya yang basah dengan handuk. Wanita itu keluar dari kamar mandi dan langsung menemukan aroma lezat menguar di seluruh kamar. Di meja, terlihat Davian tengah sibuk merapikan teko listrik yang mungkin sudah sempat pria itu gunakan. Kaira mendekat sebab aromanya berhasil memancing indra penciumannya yang mengirimkan sinyal ke tubuhnya bahwa dia sudah benar-benar lapar sekarang.Davian tersenyum menemukan istrinya berdiri tidak jauh dengan wajah excited. Dia tidak bisa memesan makanan secara room service disini karena ada batasan waktu yang ditetapkan oleh hotel. Untung saja tadi dirinya membelia dua cup mie dan juga beberapa makanan ringan pendamping yang setidaknya bisa mereka makan malam ini. "Ayo makan! Kita belum makan malam tadi," ajak Davian yang kini sudah merapikan dan menyiapkan makanan malam mereka. Meskipun hanya dua cup mie, tapi makanan tambahannya cukup banyak dan Kaira rasa sepertinya cukup bagi mereka. Uap panas mengepul dari cup itu, memenu
Hujan deras mengguyur tanpa henti, menutupi pandangan jalan di depan mereka. Petir sesekali menyambar, disusul oleh gemuruh yang mengguncang udara. Di dalam mobil, Kaira duduk dengan cemas sambil memegang ponsel, mencoba mencari informasi tentang kondisi jalan. Davian, di sisi lain, memegang setir dengan penuh perhatian, memastikan kendaraan mereka tetap aman meski jalanan licin.Saat melewati tikungan tajam, lampu mobil menerangi pemandangan yang membuat mereka terdiam sejenak. Sebuah pohon besar tumbang, melintang di tengah jalan, menghalangi sepenuhnya jalur menuju kota.Davian menghela napas panjang dan menginjak rem, menghentikan mobil dengan hati-hati. Ia menatap Kaira, yang kini menatap balik dengan ekspresi khawatir."Ada jalur alternatif lain, tapi kita harus putar balik cukup jauh," ujar Kaira sembari menggigiti kuku jarinya. "—Apa sebaiknya kita menunggu hujannya reda dulu? Aku khawatir mas akan sangat kesulitan dengan jarak pandang terbatas seperti ini," sambung Kaira kha
Di dalam mobil yang melaju tenang di bawah langit malam, suasana terasa begitu sunyi. Hanya deru mesin dan desahan napas yang terdengar. Kaira duduk di kursi penumpang, menunduk sambil memeluk tas kecilnya dengan erat. Matanya menerawang kosong, tetapi bibirnya bergetar seperti menahan emosi yang sudah lama membuncah.Davian meliriknya sesekali dari kursi pengemudi. Tangannya yang kuat menggenggam setir dengan tenang, tetapi hatinya gelisah. Ia tahu betul badai yang berkecamuk di dalam hati istrinya. Kejadian di kantor polisi tadi cukup untuk membuat siapa pun terpukul.Dia menyadari seberapa keras Kaira berjuang selama ini. Sayangnya, dia menutup mata tentang apa yang ada dibelakangnya. Bahwa selama ini Kaira masih berjuang untuk keluarganya, bukan sekedar untuk egonya sendiri. Namun justru seperti tidak dihargai?Sejujurnya, Davian pun turut menyalahkan dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia menjadi suami yang tidak peka terhadap penderitaan istrinya selama ini?“Kaira,” panggil Davian
Kemunculan ayah dan ibu Kaira jelas mengejutkan bagi mereka. Pertama, kasus Aidan ini sebenarnya tengah berusaha ditutupi oleh Bude Mita. Itu sebabnya hanya dia dan Kaira yang tahu tentang ini. Bude Mita memaksa Kaira untuk datang sebab dia yakin Kaira pasti bisa mengurus surat-surat untuk Aidan. Biasanya, Kaira juga tidak akan melibatkan kedua orang tuanya sebab dia tidak pernah ingin menyusahkan mereka.Bude Mita memanfaatkan sikap Kaira yang satu itu untuk diam-diam mendapatkan keuntungannya sendiri.Tapi siapa yang menyangka bahwa seluruh keluarga akan berkumpul disini sekarang? Mendengarkan apa yang seharusnya masih tersembunyi dibawah tangan.Sebelum-sebelumnya, ayah dan ibu Kaira memang tahu bahwa putri mereka turut memberikan uang kepada keluarga budenya itu. Tapi mereka tidak tahu bahwa nominal dan bahkan kejadian semacam ini sampai terjadi. "Kamu sudah tua, tapi masih bersikap tidak tahu malu seperti ini? Kamu benar-benar tidak menganggap kakakmu sendiri, huh?!" Ayah Kaira
Mata Bude Mita membelalak tidak percaya. Kali ini sebab mendengar dari mulut putra kesayangannya sendiri bagaimana tiba-tiba pria muda itu balik menyalahkannya."Kamu ini gimana sih, Aidan? Kamu mau sok membela kakak sepupu kamu yang pelit dan gak berguna ini?" Kesalnya.Aidan memejamkan matanya dan mengepalkan kedua tangannya dengan amarah. Kali ini mungkin sudah habis batas kesabarannya. Pria muda itu menjambak rambutnya keras lalu kembali menatap mama dan kakak sepupunya itu secara bergantian. "Mbak Kaira sudah membantu kita selama ini. Jumlahnya cukup untuk biaya sekolah! Aku bahkan tidak pernah kekurangan uang jajan sebab Mbak Kaira selalu memberi lebih, belum lagi uang bulanan yang masih aku terima dari Pakde. Uang untuk mama dan Aira pun terpisah. Bukankah kita sudah hidup sangat senang dan nyaman disana, ma? Jadi mengapa mama balik menyalahkan Mbak Kaira untuk hal ini?" Tanya Aidan panjang. Aidan melanjutkan bicaranya, "Mama mau tahu kenapa aku melakukan ini, kan?"Dia menat
Sore itu, hujan rintik-rintik menyelimuti kota, namun hati Kaira jauh lebih bergemuruh daripada cuaca di luar. Napasnya memburu ketika ia turun dari mobil dan berlari menembus jalanan menuju kantor polisi. Meninggalkan sang suami yang terus berteriak memanggil namanya khawatir sementara saat ini Davian masih harus memarkirkan mobilnya.Telepon dari seorang petugas barusan membuat dunia Kaira runtuh—Aidan yang selama ini dia usahakan untuk penuhi kebutuhannya, justru diselidiki atas dugaan keterlibatan dalam jaringan judi online.Kaira menahan gemuruh amarah dan kecewa dalam dirinya. Apa yang sebenarnya Aidan lakukan? Apa yang anak itu butuhkan sampai dia harus menempuh dan berada disini? Apa uang yang selama ini dia kirimkan masih kurang?Begitu tiba, Kaira melangkah masuk ke ruang interogasi, dan di sana, ia menemukan Aidan duduk dengan wajah penuh penyesalan namun tak berdaya. Adik sepupunya itu bahkan masih menggunakan seragam sekolahnya. Entah apa yang dia lakukan dan bagaimana di
Bude Mita Calling...Kaira memilih mendiamkan panggilan dari budenya itu. Ini entah sudah keberapa kalinya hari ini wanita itu menghubunginya sejak pagi, bahkan tanpa peduli bahwa Kaira saat ini tengah dalam jam kerja.Sebuah bentuk profesionalitas. Sekalipun perusahaan tempatnya bekerja sekarang adalah milik suaminya dan semua karyawan telah mengetahui pasal itu, Kaira tidak bisa seenaknya. Ralat, dia tidak mau bersikap seenaknya. Bekerja tetaplah bekerja. Kaira membalikkan ponselnya sehingga tak lagi melihat layarnya bercahaya akibat panggilan terus menerus yang Bude Mita alamatkan padanya. Serius! Kaira tidak paham lagi dengan isi kepala bibinya satu itu! Belakangan ini dia terus menerus meminta uang pada Kaira entah untuk apa. Masalahnya, Kaira ingat bahwa dia telah memberikan uang bulanan pada Budenya tersebut seminggu lalu dengan nominal yang bahkan tiga kali lipat dari yang bisa dia beri biasanya. Belum lagi untuk adik-adiknya, Kaira sudah melipatgandakan jumlahnya. "Buat apa
"Sudahlah, yang terpenting mamamu benar-benar merestui kita, kan?"Cindy memainkan kancing kemeja Alvero yang kini tengah bersandar di ranjang dashboard kamar apartemennya. Kepalanya bersandar pada dada bidang Alvero sembari menikmati kebersamaan mereka yang belakangan ini sudah sangat jarang dia dapatkan begini. Alvero hanya memandang satu titik gelap di dinding. Nampak tak tergoyahkan meskipun sejak tadi Cindy memberikan kode-kode menggoda dengan memainkan jemari dan bibirnya di dada Alvero. Sudah hampir tiga puluh menit berada di ranjang kamar Cindy, dan mereka benar-benar hanya tiduran tanpa banyak bicara serius setelah pengumuman keputusan Mama Rajendra petang tadi. Cindy hanya bisa diam saat mendengar wanita yang selama ini menghalangi pernikahannya dengan Alvero pada akhirnya memberikan restu bersyarat. Berbeda dengan Alvero yang nampak tidak puas dan bahkan sampai berani setengah membentak mamanya sendiri. Sejujurnya, Cindy sudah cukup bersyukur dengan keputusan itu. Setida
Di dalam mobil yang melaju perlahan menembus jalanan malam, suasana terasa sunyi. Hanya suara lembut dari mesin mobil yang mengisi kekosongan di antara mereka. Davian duduk di kursi pengemudi, kedua tangannya memegang setir dengan erat, matanya fokus menatap jalan. Sementara itu, Kaira duduk di sampingnya, termenung sambil memandang ke luar jendela.Kaira menghela napas panjang, membiarkan pikirannya kembali pada kejadian di rumah keluarga Rajendra. Keputusan Mama Rajendra untuk merestui hubungan Alvero dan Cindy tadi benar-benar mengejutkannya. Namun, syarat yang menyertainya—agar pasangan itu tetap tinggal di Indonesia—telah memicu reaksi yang tidak biasa dari Alvero.Kaira berbicara pelan, "Alvero terlihat... sangat kesal tadi. Apa menurut mas itu karena syarat Mama?"Davian tidak langsung menjawab. Ia mengubah posisi duduknya sedikit, mencoba mengendurkan ketegangan di bahunya. Setelah beberapa detik, ia akhirnya berbicara dengan nada rendah, "Iya, mungkin."Kaira menoleh, memanda