Pagi itu, sinar matahari yang lembut menelusup di sela-sela tirai kamar tidur, menerangi sudut ruangan yang luas dan terasa asing bagi Kaira. Ia terbangun perlahan, matanya menyesuaikan dengan cahaya pagi, dan merasakan sejenak keheningan yang menggelayuti udara. Di sebelahnya, Davian masih tertidur dengan posisi tenang, wajahnya terlihat damai, meski perasaan di antara mereka berdua belum bisa dibilang demikian.Tersenyum simpul saat menikmati pemandangan wajah polos sang suami. Nampak kontras dengan ekspresi datar ataupun serius Davian saat dalam mode terjaga. Siapa sangka Davian bisa kelihatan sebegitu lembutnya ketika tertidur begini?Kaira duduk di tepi ranjang, mengumpulkan keberanian untuk memulai hari pertama sebagai istri di rumah yang kini menjadi tempat tinggalnya. Rumah pribadi Davian, dengan dinding-dinding yang tinggi dan elegan, seolah mempertegas sikap sang pemilik rumah yang cenderung tertutup dan dingin. Meskipun begitu, semalam laki-laki itu sendiri yang berjanji ke
Pagi itu, Davian melangkah memasuki kantornya, sebuah ruang terbuka dengan meja-meja besar yang dipenuhi blueprint, model bangunan mini, dan sketsa arsitektural. Cahaya matahari menembus kaca-kaca besar di sudut ruangan, memberikan suasana hangat dan energik. Suara keyboard yang terdengar cepat dan obrolan ringan di antara rekan-rekan kerjanya menandakan awal hari kerja yang sibuk.Namun, begitu Davian melangkah lebih dalam ke ruangan, suasana seketika berubah. Beberapa karyawannya bangkit dari duduk untuk menyapa dengan senyuman di wajah mereka. Davian hanya lewat dan membalas sapaan dengan singkat—berbarengan dengan sebuah senyuman yang bertahan di wajahnya. Para karyawan saling berbisik, agak geger melihat senyuman di wajah pimpinan mereka yang terkenal datar dan dingin itu."Menikah pasti turut mempengaruhi suasana hati Pak Davian," bisik salah seorang drafter yang ditimpali tawa oleh beberapa rekannya. Davian terus berjalan masuk menuju ruangannya dengan langkah tegap seperti bi
Kaira baru saja selesai memasak bubur kacang hijau. Bukan karena ada alasan tertentu, sejujurnya dia hanya berusaha untuk mengolah bahan makanan yang disiapkan di kulkas oleh sang mama mertua. Meskipun disimpan di kulkas, Kaira merasa kualitas bahan makanan bisa saja menurun kalau dibiarkan terlalu lama. Setelah selesai merapikan hasil masakan, wanita itu berencana untuk mengirim sedikit pada sang mertua. Kediaman mereka tak begitu jauh, Kaira juga sedang tidak punya pekerjaan apapun hari ini jadi dia cukup punya waktu untuk sekedar mengirimnya langsung. Dia kembali ke kamar untuk segera bersiap. Iseng memeriksa ponsel yang sudah sejak pagi dia anggurkan. Menemukan satu pesan paling menyala dari suaminya yang sudah diterima sekitar satu jam yang lalu. Kaira tersenyum amat tipis saat membacanya, tanpa menunda lebih banyak waktu, ia segera mengetikkan balasannya."Maaf baru membalas. Iya, selamat bekerja, Mas!" Tulisnya.Tak lama setelah itu, Davian kembali membalas pesannya. Hanya d
Tiga orang teman masa SMA itu duduk kaku bak tengah disidang oleh Tania di ruang keluarga. Wajah-wajah tegang nampak dari ketiganya, terutama Cindy yang sudah lebih dulu pucat pasi tampak tak nyaman dan menggigit bibir bawahnya. Alvero duduk dengan tangan terlipat di dada seolah bersiap untuk menjelaskan. Sementara Kaira nampak sedikit lebih tenang meksipun ada sisa merah di pipinya, tanda dari tragedi yang baru saja terjadi.Tania memandang mereka satu per satu dengan tatapan tajam. Dia bisa saja langsung memeriksa CCTV, namun wanita itu memilih untuk mendengarkan kronologi kejadian dari mereka semua secara jujur. "Siapa yang akan bicara lebih dulu?" Tanyanya. Kekosongan itu membuat Kaira merasa mendapatkan kesempatan untuk menjelaskan, "Aku kemari mengantar ini untuk mama," buka Kaira sesuai porsinya. Wanita itu benar-benar menyerahkan bubur kacang hijau buatannya itu kepada tujuannya."Mama kemarin membawakan banyak sekali kacang hijau. Karena hari ini aku punya cukup banyak wakt
"Kalian nggak mau menginap saja?"Mama Tania cemberut saat keluar-keluar dari kamar, Davian langsung meminta izin untuk kembali ke rumahnya sekaligus memboyong sang istri. Sementara Alvero aat ini sedang mengantar Cindy untuk kembali pulang. Tidak ada lagi toleransi dan semacamnya, sekali Davian mengatakan akan pulang, maka itulah yang akan dia lakukan. Laki-laki itu keras kepala terutama menyangkut keputusannya."Kami pamit pulang ya, ma," ujar Davian lagi. Lelaki itu mengambil tangan sang mama untuk dia salami. Sejujurnya merasa sedikit bersalah sebab Mama Tania nampak tidak rela Davian membawa serta menantunya untuk meninggalkan rumah dengan cara begini. "Mama bahkan belum sempat ngobrol sama Kaira lho, Dav!" Protes Tania lagi. Davian tersenyum lalu mengelus pelan pundak sang mama, "Kaira bisa kesini kapanpun, mama juga bisa mengunjungi Kaira kapanpun mama mau selagi kalian berdua sama-sama punya waktu luang. Tapi untuk kali ini, biarkan Davian dan Kaira kembali ke rumah dulu ya
"Kalau hal semacam ini kembali terjadi, aku nggak yakin bisa bantu kamu lagi," ujar Alvero kesal. Pria itu mematikan mesin kendaraannya lalu keluar lebih dulu. Meninggalkan wanita yang duduk di kursi penumpang masih mempertahankan ekspresi gusar.Cindy keluar dari mobil, berusaha menyusul Alvero yang sudah berjalan cepat lebih dulu. Mereka berdua berada di areal parkir apartmen yang Cindy tempati sekarang. Langkah besar lelaki tinggi itu juga sudah jelas menuju tempat dimana Cindy tinggal. Masuk dalam lift, hanya ada mereka berdua didalamnya. Perdebatan itu kembali dilanjutkan dengan sengit. "Ya makanya kamu jangan deket-deket dong sama Kaira! Harus berapa kali sih aku bilang?!" Cindy melengos tak terima.Alvero berdecak tidak kalah sebal, dia tidak tahu harus menggunakan metode apa lagi untuk menenangkan sang kekasih yang berubah jadi oveprotektif dan bahkan hampir menggila begini."Lho, gimana? Kaira itu sekarang bagian dari keluargaku, dia kakak iparku. Berada di rumah mama jelas
Kaira menghempaskan tubuhnya secara kasar di ranjang kamar pribadinya. Menyentuh bekas luka di pipinya yang sudah sempat diobati oleh Davian, lantas mengingat lagi bagaimana Cindy menyerangnya secara membabi buta tadi. Menjadi istri Davian saja tidak cukup untuk membuat Cindy percaya padanya. Wanita itu mungkin benar-benar tidak menginginkan Kaira ada dalam radius dekat dengan Alvero. Kaira tahu Cindy takut kehilangan Alvero, tapi apa sebegitu cemburunya hingga dia harus bertindak nekat seperti itu padanya?Cindy benar-benar berubah total, bukan lagi seperti teman sebangku periang yang Kaira kenal sebelumnya. Atau mungkin memang Kaira hanya baru melihat aslinya sekarang?Jika dipikir-pikir, kenapa juga Kaira harus memenuhi ego Cindy? Tidak mungkin dia melepas begitu saja kontak dengan Alvero apalagi mereka sekarang sudah menjadi keluarga. Itu adalah pekerjaan mandiri untuk Cindy agar bisa menenangkan pikirannya sendiri dan fokus pada hidupnya. Bukannya malah menganggap semua disekita
Davian tidak main-main dengan ucapannya. Begitupula Kaira yang meskipun sempat setengah sadar nan planga-plongo dalam bersiap, pada akhirnya dia benar-benar berada dalam pesawat tujuan luar negeri dan sudah mengudara hampir selama tiga puluh menit sekarang. Wanita itu tadinya sempat mengutuk dirinya sendiri, mengapa beberapa minggu sebelum menikah ia menurut pada sang mertua dengan tiba-tiba saja diajak membuat pasport waktu itu. Sat set sat set, tiba-tiba saja berangkat tanpa hambatan seperti hari ini. Meskipun hanya ke negeri tetangga, tetap saja ini adalah perjalanan internasional pertama kali bagi Kaira. Sebenarnya tidak serta merta untuk bulan madu, keberangkatan mereka secara tiba-tiba ini adalah karena Davian mendapat tugas menghadiri kegiatan disana. Kegiatan utamanya hanya satu hari, itu mengapa akhirnya dia memboyong serta sang istri untuk menemaninya sekaligus mereka bisa sedikit liburan setelahnya. Di dalam pesawat, suasana begitu tenang, hanya ada dengung lembut dari