"Kalau hal semacam ini kembali terjadi, aku nggak yakin bisa bantu kamu lagi," ujar Alvero kesal. Pria itu mematikan mesin kendaraannya lalu keluar lebih dulu. Meninggalkan wanita yang duduk di kursi penumpang masih mempertahankan ekspresi gusar.Cindy keluar dari mobil, berusaha menyusul Alvero yang sudah berjalan cepat lebih dulu. Mereka berdua berada di areal parkir apartmen yang Cindy tempati sekarang. Langkah besar lelaki tinggi itu juga sudah jelas menuju tempat dimana Cindy tinggal. Masuk dalam lift, hanya ada mereka berdua didalamnya. Perdebatan itu kembali dilanjutkan dengan sengit. "Ya makanya kamu jangan deket-deket dong sama Kaira! Harus berapa kali sih aku bilang?!" Cindy melengos tak terima.Alvero berdecak tidak kalah sebal, dia tidak tahu harus menggunakan metode apa lagi untuk menenangkan sang kekasih yang berubah jadi oveprotektif dan bahkan hampir menggila begini."Lho, gimana? Kaira itu sekarang bagian dari keluargaku, dia kakak iparku. Berada di rumah mama jelas
Kaira menghempaskan tubuhnya secara kasar di ranjang kamar pribadinya. Menyentuh bekas luka di pipinya yang sudah sempat diobati oleh Davian, lantas mengingat lagi bagaimana Cindy menyerangnya secara membabi buta tadi. Menjadi istri Davian saja tidak cukup untuk membuat Cindy percaya padanya. Wanita itu mungkin benar-benar tidak menginginkan Kaira ada dalam radius dekat dengan Alvero. Kaira tahu Cindy takut kehilangan Alvero, tapi apa sebegitu cemburunya hingga dia harus bertindak nekat seperti itu padanya?Cindy benar-benar berubah total, bukan lagi seperti teman sebangku periang yang Kaira kenal sebelumnya. Atau mungkin memang Kaira hanya baru melihat aslinya sekarang?Jika dipikir-pikir, kenapa juga Kaira harus memenuhi ego Cindy? Tidak mungkin dia melepas begitu saja kontak dengan Alvero apalagi mereka sekarang sudah menjadi keluarga. Itu adalah pekerjaan mandiri untuk Cindy agar bisa menenangkan pikirannya sendiri dan fokus pada hidupnya. Bukannya malah menganggap semua disekita
Davian tidak main-main dengan ucapannya. Begitupula Kaira yang meskipun sempat setengah sadar nan planga-plongo dalam bersiap, pada akhirnya dia benar-benar berada dalam pesawat tujuan luar negeri dan sudah mengudara hampir selama tiga puluh menit sekarang. Wanita itu tadinya sempat mengutuk dirinya sendiri, mengapa beberapa minggu sebelum menikah ia menurut pada sang mertua dengan tiba-tiba saja diajak membuat pasport waktu itu. Sat set sat set, tiba-tiba saja berangkat tanpa hambatan seperti hari ini. Meskipun hanya ke negeri tetangga, tetap saja ini adalah perjalanan internasional pertama kali bagi Kaira. Sebenarnya tidak serta merta untuk bulan madu, keberangkatan mereka secara tiba-tiba ini adalah karena Davian mendapat tugas menghadiri kegiatan disana. Kegiatan utamanya hanya satu hari, itu mengapa akhirnya dia memboyong serta sang istri untuk menemaninya sekaligus mereka bisa sedikit liburan setelahnya. Di dalam pesawat, suasana begitu tenang, hanya ada dengung lembut dari
Kaira dapat sedikit bernafas lega setelah Davian melepaskannya dari cengkraman maut tadi. Laki-laki itu mundur sembari mengacak pelan surai Kaira saat gadis itu nampak lucu dengan mata besar kagetnya. Davian tersenyum lalu mundur untuk menggunakan layanan kamar melalui telepon. Memilih beberapa menu yang sepertinya memenuhi selera mereka berdua malam ini.Usai memesan, Davian kembali melirik istrinya yang masih diam di pojok ruangan. “Kamu bisa mandi dulu, Kai. Saya pesan layanan in-dining, jadi tolong biarkan mereka masuk dan menata semuanya ya,” titah Davian yang langsung membuat Kaira terbirit menuju lokasi koper mereka berada. Mengambil pakaian ganti sebelum akhirnya masuk ke kamar mandi.Begitu pintu tertutup, Davian mengulum senyuman misterius. Pria itu mengambil botol minuman diatas meja, menuangnya kedalam gelas dan meminumnya perlahan sembari menghadap hamparan samudera dihadapannya. Benaknya telah merancang beragam skenario menyenangkan tentang apa saja yang akan mereka
Usai menikmati makanan, sepasang suami istri itu punya kegiatan masing-masing yang sama sekali berbeda. Davian duduk di balkon dengan tabletnya, tengah sibuk mempersiapkan bahan presentasinya esok hari. Sementara Kaira tiduran diatas ranjang sembari mengerjakan beberapa artikel ringan untuk dia kirim esok hari.Masih pukul delapan malam, wajar sekali keduanya belum mengantuk dan memilih untuk tetap produktif mengerjakan pekerjaan masing-masing. Apalagi suara deburan ombak dan juga suasana baru disekitar yang seolah mendukung kinerja otak untuk bekerja secara maksimal. Kaira membuka perlahan tws yang sejak tadi menyumpal telinganya. Alunan lo-fi cukup membantunya semakin fokus hingga berhasil menyimpan sekitar lima artikel pendek dalam satu jam bekerja. Wanita itu meletakkan laptopnya lalu meregangkan tubuhnya yang sedikit kaku akibat terlalu lama bertahan dalam posisi yang sama. Wanita itu menghela napas panjang, menatap langit-langit kamar hotel yang terasa semakin sempit seiring b
Kaira menghela napas panjang, menatap layar TV di depannya yang kini memutar episode lain dari serial Netflix yang sudah berjam-jam ia tonton. Sejak pagi, Davian pergi mengikuti lokakarya arsitektur, meninggalkannya sendirian di kamar hotel yang mewah namun terasa sunyi. Awalnya, Kaira menikmati waktu sendirinya—berbaring di ranjang empuk, memesan room service, dan maraton film. Namun, seiring berjalannya waktu, rasa bosan mulai menyusup mengganggunya.Gadis itu bahkan sudah melakukan hal penting yang selama ini ia abaikan—bermeditasi, membaca buku, atau menulis jurnal. Sesuatu yang lebih produktif yang dia lakukan untuk membunuh waktu. Tidur siang? Kaira bukan tipikal yang rutin tidur siang, jadi sulit sekali untuk memejamkan matanya mendapatkan tidur siang dengan kualitas terbaik. Dulu saat masih aktif bekerja, Kaira merindukan waktu-waktu bersantai di rumah tanpa melakukan apapun dan hanya tiduran sepanjang hari. Kini, angan-angannya itu terwujud. Bedanya, Kaira justru sekarang ri
Davian melangkah cepat setelah mobil yang ditumpanginya sampai di lobby hotel tempatnya dan Kaira menginap. Lelaki itu patut lega sebab presentasinya hari ini berjalan lancar dan ia bahkan mengantongi beberapa klien-klien potensial yang menunggunya untuk menyerahkan beberapa draf kerjasama nanti setelah kembali ke Indonesia. Begitu pula pertemuannya dengan salah satu klien yang sempat berjanji untuk mendengarkan penawarannya pasal introverted rooms waktu itu, berjalan sukses dan tentunya tidak lepas dari masukan dari Kaira semalam.Ah, bicara tentang istrinya, Davian sudah tidak sabar bertemu dengan Kaira. Sepatu pantovelnya melangkah panjang dan cepat agar segera bisa sampai kamar. Dia bahkan langsung pulang dari lokakarya tadi, melewatkan beberapa ajakan makan malam diluar demi menemui sang istri yang sejak pagi dia kurung dalam sangkar emas. Bukannya apa-apa, Davian sejujurnya hanya khawatir kalau harus melepas Kaira sendirian berada di negeri orang. Bukannya dia tidak percaya den
Setelah hampir seharian berada di dalam kamar hotel, akhirnya Kaira merasa udara malam Thailand memeluknya dengan lembut. Angin tropis yang hangat, suara riuh rendah dari kehidupan malam, dan aroma masakan jalanan yang menggoda indra membuatnya tersenyum lebar. Dia merasa segar, seolah seluruh kebosanan yang menjeratnya sejak pagi telah terlepas."Akhirnya keluar," Kaira tertawa pelan, tangannya digenggam erat oleh Davian yang berjalan di sampingnya. Wajahnya berseri-seri, matanya berbinar penuh semangat. "Seharian di kamar bikin aku hampir gila," tambahnya dengan tawa ringan, melepaskan rasa sumpek yang selama ini menyelimutinya.Padahal kemarin Kaira sendiri yang mengatakan bahwa dia mungkin tidak akan bosan sebab kamar mereka memiliki fasilitas yang luar biasa lengkap dan juga pemandangan indah. Ternyata dengan cepat ia menjilat ludah sendiri.Davian menatap istrinya, senyum lembut menghiasi wajahnya. "Saya tahu, maaf ya," ucapnya sedikit bersalah. "Seharusnya kita keluar dari tadi
Pagi ini Kaira bangun lebih awal. Jika biasanya Davian akan merecoki tidur Kaira dengan membuat wanita itu terbangun melalui decap ciuman dan bahkan kegiatan-kegiatan panas pagi hari, belakangan ini sepertinya tidak lagi. Atau untuk sementara tidak dulu. Kondisi kehamilan Kaira yang masih sangat awal dan juga kesehatan Davian yang malah turut angin-anginan membuat mereka lebih sering saling merawat sekarang. Ada bagusnya, bukan? Kalau tidak, Kaira sudah pasti gempor sebab harus melayani nafsu Davian yang terkadang tidak terkendali itu.Wanita itu membelai perut ratanya, mengirimkan kasih sayang pada sang buah hati yang tengah bertumbuh di dalam sana. Ia melirik wajah damai suaminya yang masih tertidur pulas. Setelah kemarin periksa ke dokter dan mendapatkan cukup banyak obat, Davian langsung tepar. Kaira sama sekali tak ada niatan merecoki tidur suaminya hari ini. Ini akhir pekan dan memang sudah sepantasnya Davian menikmati istirahatnya tersebut.Ada banyak hal yang harus Kaira kerj
Davian duduk di kursi kerjanya dengan ekspresi gelisah. Pagi itu, ia merasa mual sejak baru bangun tidur. Pikirnya karena terlambat makan dan mungkin masuk angin sebab semalam pulang meeting di lokasi yang cukup berangin. Merasa kondisinya tak begitu buruk, dia putuskan untuk tetap ke kantor seperti biasa. Namun alih-lih membaik, rasa aneh dalam tubuhnya justru makin menjadi-jadi. Ia menekan pelipisnya, mencoba mendoktrin tubuhnya sekaligus untuk menenangkan perutnya yang terus bergejolak. Wajahnya pucat, dan ia bahkan enggan menyentuh secangkir kopi yang biasanya menjadi penyemangat paginya.Tumben sekali ia merasakan gejala yang seperti ini. Davian menunduk di meja kerjanya, perlahan mulai merebahkan kepalanya diatas meja tersebut. Kaira yang baru saja masuk ke dalam ruangan menjadi sangat khawatir. Dia berjalan dengan cepat lantas meraup wajah sang suami. Tidak ada demam, namun tidak biasanya wajah sang suami pucat begini."Mas, kamu kenapa?" tanya Kaira dengan nada khawatir. Seb
Siang itu, suasana rumah terasa hangat meski di luar hujan rintik-rintik. Davian membantu Kaira melepas jaketnya begitu mereka masuk ke dalam rumah sepulang dari hotel dan rumah sakit. Wajahnya tampak serius dengan gesture tubuh yang hampir setiap waktu selalu memegangi punggung dan perut Kaira padahal masih rata. Davian nampak penuh kekhawatiran yang membuat Kaira tak tahan untuk tersenyum kecil melihatnya.“Kaira, mulai sekarang kamu harus banyak istirahat, ya,” kata Davian sambil membimbing istrinya duduk di sofa. “Enggak usah capek-capek lagi, aku yang akan urus semuanya.”Kaira tertawa menyaksikan bagaimana suaminya itu bahkan menjadi sangat-sangat menempel padanya hingga membuat Kaira jadi terbatas ruang gerak. Bahkan hanya sekedar bergerak mengambil remote AC di meja saja Kaira harus ditempeli Davian hingga sebegitunya.“Mas, aku baik-baik saja kok. Enggak usah khawatir berlebihan begitu,” jawab Kaira lembut, senyum manis menghiasi wajahnya.Davian memandangnya dengan raut tega
Hampir semua manusia yang berada dalam ruangan rawat tersebut menatap dokter tanpa kedip. Wajah-wajah bingung itu memiliki tanya dalam benak, mengapa dokter mengatakannya pada Kaira? Bukankah Cindy yang tengah mengandung? "Dok? Anda mengatakan ini pada putri saya yang mana?" Tanya Mama Rajendra memastikan. Dokter yang melihat kebingungan di wajah pasien dan keluarganya itu menegaskan kembali, "Ibu Kaira tentu saja. Usia kandungannya masih sangat muda dan rentan. Syukurnya tidak ada benturan yang membahayakan kesehatan janin," ulang sang dokter. Kali ini dengan jelas menyebut nama Kaira. Davian melirik sang istri yang nampak syok. Begitupula Mama Rajendra yang tengah mencerna situasi. Di satu sisi dia sangat bahagia mengetahui menantunya itu kini tengah berbadan dua, di sisi lain dia tidak bisa tidak khawatir melirik Cindy dan Alvero yang nampak memalingkan wajah. Ada apa ini? Bukankah Cindy juga tengah hamil? "Lalu..bagaimana dengan Cindy?" Mama Rajendra bertanya penuh harap,
Suara bel lift berbunyi saat pintu terbuka. Kaira melangkah masuk, menatap lurus ke depan sambil sesekali memeriksa ponselnya. Langkahnya terhenti ketika dia mendapati Cindy sudah berdiri di dalam lift, masih mengenakan pakaian kasual tapi tetap elegan, sisa kemewahan pernikahannya semalam seolah masih terasa.Kaira menarik napas pelan, menyadari situasi ini tak akan mudah. Namun, dia mencoba tersenyum kecil, memecah kecanggungan."Kemana?" Tanyanya sebelum memencet tombol. Cindy bersidekap membuang muka, "Lobi," ujarnya singkat. Kaira mengangguk lantas menekan tombol tujuan mereka yang ternyata sama. Tidak mengherankan sebab pagi ini mereka memang sama-sama harus checkout dari kamar hotel dan menuju kediaman utama. Kaira turun ke lobi lebih lambat daripada suaminya sebab katanya ada yang harus Davian urus lebih dulu. Mungkin juga Cindy memiliki case yang sama sepertinya.Kedua makhluk cantik itu saling membuang muka, hening di dalam ruang tertutup yang entah mengapa terasa sangat l
Pernikahan siapa, yang lelah siapa. Meskipun Kaira tak banyak bergerak di pesta pernikahan 'adik iparnya' itu, dia tetap merasakan kelelahan super. Wanita yang tengah melepas cepolan rambutnya itu meluruskan kedua kakinya yang lelah setelah turut seharian berdiri mengenakan heels. Kaira belum mengganti kebaya setelan keluarganya, namun rasanya dia hampir tak punya tenaga untuk bahkan membersihkan diri sebelum tidur. Kaira kembali ke kamar hotel bersama dengan sang suami. Memang malam ini keluarga mereka masih stay di hotel sebab acara berlangsung seharian sejak pagi hingga malam. Ini pukul 11 malam—ketika pada akhirnya Kaira bisa kembali ke kamar untuk beristirahat. Sebagai seorang introvert, Kaira rasa energi dirinya tersedot maksimal selama acara. Itu jauh lebih melelahkan daripada aktivitas fisik baginya. Apalagi, statusnya sebagai menantu sulung di keluarga Rajendra membuatnya harus mau tidak mau mempertahankan senyuman di wajah dan turut serta menyapa tamu-tamu keluarga. Bagian
Ada banyak hal yang terjadi belakangan. Waktu rasanya berjalan begitu cepat dengan beragam kejadian dan plot twist tak terduga yang menyerang kehidupan. Tapi begitulah, namanya juga hidup.Hingga hari ini, Kaira tak pernah mendapatkan panggilan secara personal dari sang bude. Entah apa yang terjadi disana, tapi Kaira yakin ayahnya masih cukup bijak dan tidak akan membiarkan adik semata wayangnya itu hidup susah juga. Jadi, Kaira punya sedikit keyakinan bahwa semuanya baik-baik saja. Hari ini Kaira nampak cantik mengenakan kebaya seragaman yang senada dengan ibu mertuanya. Rambutnya disanggul sederhana dengan makeup yang membuat fitur wajahnya semakin ayu. Gelaran pernikahan hari ini dilangsungkan secara privat, hanya keluarga kedua mempelai dan kerabat dekat saja yang diundang.Yap, sat-set, pernikahan Alvero dan Cindy berjalan mulus sesuai rencana. Suara musik lembut mengisi ruangan resepsi yang dipenuhi dekorasi bunga putih dan emas. Cindy dan Alvero berdiri di pelaminan, tersenyum
Kaira mengerjapkan matanya tidak percaya. Dia tidak salah dengar, kan?Lahan Madika yang merupakan salah satu proyek mereka, ternyata justru Davian siapkan untuk dimiliki atas nama Kaira. Wanita itu bahkan tidak punya sedikitpun clue mengenai hal ini sebelumnya. Davian memberikan kumpulan kunci, membiarkan Kaira menggenggamnya dengan bingung melongo. Masih tidak seratus persen percaya dengan apa yang ada di tangannya dan juga perkataan Davian tadi. Untuknya? Yang benar saja?Melihat Kaira yang masih mematung, Davian dengan gemas menariknya. Pria itu mengarahkan Kaira untuk mengamati lebih dekat kepemilikan barunya. Lelaki itu membuka pintunya dan membawa Kaira masuk untuk memeriksa semuanya secara lebih dekat."Ini tempat yang aku siapkan buat kamu. Kamu pernah bilang ingin punya tempat usaha sendiri, kan? Jadi aku pikir, kenapa nggak aku wujudkan? Ini kos-kosan milikmu sekarang."Kaira terdiam, matanya berkeliling menatap setiap sudut ruangan. Interiornya telah diatur sedemikian rup
Davian tertawa saat melihat istrinya keluar dari kamar mandi dengan cara berjalan yang terlihat aneh. Wanita itu sudah kembali mengenakan pakaiannya semalam, rapi dengan makeup seadanya namun tetap cantik. Yang lucu hanya satu, bibirnya yang terus manyun sebab melihat sang suami tengah jelas-jelas menahan tawa kencang saat melihatnya."Ini juga gara-gara kamu, mas!" Sebalnya. Kaira duduk diatas kursi—tentunya setelah susah payah berjalan bahkan tanpa bantuan suaminya. Tapi lelaki yang beberapa tahun lebih tua darinya itu justru menertawakannya. Davian berusaha menghentikan tawanya, pria itu harus menggunakan akal sehatnya untuk sekarang. Tadi dia bablas tertawa namun akhirnya sadar bahwa itu mungkin tidak akan menguntungkannya sama sekali.Maksudnya, ini bahkan bukan kali pertama, kedua, ataupun ketiga, tapi Kaira masih sama seperti biasa. Paham maksudnya, kan?Sebenarnya, salah siapa? Davian memang tidak bisa menahan diri ketika melihat istrinya. Apalagi saat semalam Kaira berinisi