Suasana malam di rumah Davian malam ini terasa begitu syahdu. Belum pernah Davian merasakan perbedaan signifikan dan nuansa seperti ini di rumahnya selama menempatinya lima tahun belakangan. Keberadaan satu orang saja ternyata berhasil mengubah segalanya.Lelaki itu duduk bersandar di kursi ruang kerjanya sembari memegang stylus pen miliknya. Meskipun tangan dan otaknya bekerja, beberapa kali senyum di bibirnya terbit secara sendirinya. Ketika menyadari hal tersebut, Davian akan terus menggelengkan kepala untuk menyadarkan dirinya sendiri. Dia mirip orang gila karena biasanya jarang tersenyum namun kini justru kedapatan sering sekali senyum-senyum sendiri.Davian berusaha menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Ada perasaan aneh yang menyergap hingga membuatnya merasa tidak ingin berlama-lama meninggalkan istrinya itu seorang diri. Sementara itu di depan kamar Davian, Kaira menggigit kuku jarinya sendiri dengan cemas. Semakin larut, dia terpaksa harus segera masuk kamar. Wanita itu
Pagi itu, sinar matahari yang lembut menelusup di sela-sela tirai kamar tidur, menerangi sudut ruangan yang luas dan terasa asing bagi Kaira. Ia terbangun perlahan, matanya menyesuaikan dengan cahaya pagi, dan merasakan sejenak keheningan yang menggelayuti udara. Di sebelahnya, Davian masih tertidur dengan posisi tenang, wajahnya terlihat damai, meski perasaan di antara mereka berdua belum bisa dibilang demikian.Tersenyum simpul saat menikmati pemandangan wajah polos sang suami. Nampak kontras dengan ekspresi datar ataupun serius Davian saat dalam mode terjaga. Siapa sangka Davian bisa kelihatan sebegitu lembutnya ketika tertidur begini?Kaira duduk di tepi ranjang, mengumpulkan keberanian untuk memulai hari pertama sebagai istri di rumah yang kini menjadi tempat tinggalnya. Rumah pribadi Davian, dengan dinding-dinding yang tinggi dan elegan, seolah mempertegas sikap sang pemilik rumah yang cenderung tertutup dan dingin. Meskipun begitu, semalam laki-laki itu sendiri yang berjanji ke
Pagi itu, Davian melangkah memasuki kantornya, sebuah ruang terbuka dengan meja-meja besar yang dipenuhi blueprint, model bangunan mini, dan sketsa arsitektural. Cahaya matahari menembus kaca-kaca besar di sudut ruangan, memberikan suasana hangat dan energik. Suara keyboard yang terdengar cepat dan obrolan ringan di antara rekan-rekan kerjanya menandakan awal hari kerja yang sibuk.Namun, begitu Davian melangkah lebih dalam ke ruangan, suasana seketika berubah. Beberapa karyawannya bangkit dari duduk untuk menyapa dengan senyuman di wajah mereka. Davian hanya lewat dan membalas sapaan dengan singkat—berbarengan dengan sebuah senyuman yang bertahan di wajahnya. Para karyawan saling berbisik, agak geger melihat senyuman di wajah pimpinan mereka yang terkenal datar dan dingin itu."Menikah pasti turut mempengaruhi suasana hati Pak Davian," bisik salah seorang drafter yang ditimpali tawa oleh beberapa rekannya. Davian terus berjalan masuk menuju ruangannya dengan langkah tegap seperti bi
Kaira baru saja selesai memasak bubur kacang hijau. Bukan karena ada alasan tertentu, sejujurnya dia hanya berusaha untuk mengolah bahan makanan yang disiapkan di kulkas oleh sang mama mertua. Meskipun disimpan di kulkas, Kaira merasa kualitas bahan makanan bisa saja menurun kalau dibiarkan terlalu lama. Setelah selesai merapikan hasil masakan, wanita itu berencana untuk mengirim sedikit pada sang mertua. Kediaman mereka tak begitu jauh, Kaira juga sedang tidak punya pekerjaan apapun hari ini jadi dia cukup punya waktu untuk sekedar mengirimnya langsung. Dia kembali ke kamar untuk segera bersiap. Iseng memeriksa ponsel yang sudah sejak pagi dia anggurkan. Menemukan satu pesan paling menyala dari suaminya yang sudah diterima sekitar satu jam yang lalu. Kaira tersenyum amat tipis saat membacanya, tanpa menunda lebih banyak waktu, ia segera mengetikkan balasannya."Maaf baru membalas. Iya, selamat bekerja, Mas!" Tulisnya.Tak lama setelah itu, Davian kembali membalas pesannya. Hanya d
Tiga orang teman masa SMA itu duduk kaku bak tengah disidang oleh Tania di ruang keluarga. Wajah-wajah tegang nampak dari ketiganya, terutama Cindy yang sudah lebih dulu pucat pasi tampak tak nyaman dan menggigit bibir bawahnya. Alvero duduk dengan tangan terlipat di dada seolah bersiap untuk menjelaskan. Sementara Kaira nampak sedikit lebih tenang meksipun ada sisa merah di pipinya, tanda dari tragedi yang baru saja terjadi.Tania memandang mereka satu per satu dengan tatapan tajam. Dia bisa saja langsung memeriksa CCTV, namun wanita itu memilih untuk mendengarkan kronologi kejadian dari mereka semua secara jujur. "Siapa yang akan bicara lebih dulu?" Tanyanya. Kekosongan itu membuat Kaira merasa mendapatkan kesempatan untuk menjelaskan, "Aku kemari mengantar ini untuk mama," buka Kaira sesuai porsinya. Wanita itu benar-benar menyerahkan bubur kacang hijau buatannya itu kepada tujuannya."Mama kemarin membawakan banyak sekali kacang hijau. Karena hari ini aku punya cukup banyak wakt
"Kalian nggak mau menginap saja?"Mama Tania cemberut saat keluar-keluar dari kamar, Davian langsung meminta izin untuk kembali ke rumahnya sekaligus memboyong sang istri. Sementara Alvero aat ini sedang mengantar Cindy untuk kembali pulang. Tidak ada lagi toleransi dan semacamnya, sekali Davian mengatakan akan pulang, maka itulah yang akan dia lakukan. Laki-laki itu keras kepala terutama menyangkut keputusannya."Kami pamit pulang ya, ma," ujar Davian lagi. Lelaki itu mengambil tangan sang mama untuk dia salami. Sejujurnya merasa sedikit bersalah sebab Mama Tania nampak tidak rela Davian membawa serta menantunya untuk meninggalkan rumah dengan cara begini. "Mama bahkan belum sempat ngobrol sama Kaira lho, Dav!" Protes Tania lagi. Davian tersenyum lalu mengelus pelan pundak sang mama, "Kaira bisa kesini kapanpun, mama juga bisa mengunjungi Kaira kapanpun mama mau selagi kalian berdua sama-sama punya waktu luang. Tapi untuk kali ini, biarkan Davian dan Kaira kembali ke rumah dulu ya
"Kalau hal semacam ini kembali terjadi, aku nggak yakin bisa bantu kamu lagi," ujar Alvero kesal. Pria itu mematikan mesin kendaraannya lalu keluar lebih dulu. Meninggalkan wanita yang duduk di kursi penumpang masih mempertahankan ekspresi gusar.Cindy keluar dari mobil, berusaha menyusul Alvero yang sudah berjalan cepat lebih dulu. Mereka berdua berada di areal parkir apartmen yang Cindy tempati sekarang. Langkah besar lelaki tinggi itu juga sudah jelas menuju tempat dimana Cindy tinggal. Masuk dalam lift, hanya ada mereka berdua didalamnya. Perdebatan itu kembali dilanjutkan dengan sengit. "Ya makanya kamu jangan deket-deket dong sama Kaira! Harus berapa kali sih aku bilang?!" Cindy melengos tak terima.Alvero berdecak tidak kalah sebal, dia tidak tahu harus menggunakan metode apa lagi untuk menenangkan sang kekasih yang berubah jadi oveprotektif dan bahkan hampir menggila begini."Lho, gimana? Kaira itu sekarang bagian dari keluargaku, dia kakak iparku. Berada di rumah mama jelas
Kaira menghempaskan tubuhnya secara kasar di ranjang kamar pribadinya. Menyentuh bekas luka di pipinya yang sudah sempat diobati oleh Davian, lantas mengingat lagi bagaimana Cindy menyerangnya secara membabi buta tadi. Menjadi istri Davian saja tidak cukup untuk membuat Cindy percaya padanya. Wanita itu mungkin benar-benar tidak menginginkan Kaira ada dalam radius dekat dengan Alvero. Kaira tahu Cindy takut kehilangan Alvero, tapi apa sebegitu cemburunya hingga dia harus bertindak nekat seperti itu padanya?Cindy benar-benar berubah total, bukan lagi seperti teman sebangku periang yang Kaira kenal sebelumnya. Atau mungkin memang Kaira hanya baru melihat aslinya sekarang?Jika dipikir-pikir, kenapa juga Kaira harus memenuhi ego Cindy? Tidak mungkin dia melepas begitu saja kontak dengan Alvero apalagi mereka sekarang sudah menjadi keluarga. Itu adalah pekerjaan mandiri untuk Cindy agar bisa menenangkan pikirannya sendiri dan fokus pada hidupnya. Bukannya malah menganggap semua disekita
Seberapa keras pun Kaira berusaha untuk tidur, dia tetap saja sulit terlelap. Wanita itu membuka mata yang tadi dipaksanya untuk terpejam. Kali ini kembali dipaksa menghadapi kamar yang temaram dan sunyi. Disampingnya sang mama mertua sudah terlelap lebih dulu. Wanita itu memang menginap sesuai dengan permintaan Davian katanya yang ingin supaya Kaira ada yang menjaga di rumah.Mengingat lagi tentang Davian, Kaira hanya bisa menghela nafasnya dengan kasar. Sejak panggilannya yang canggung tadi bersama sang suami, dia jadi banyak pikiran. Meskipun begitu, ia tentu tidak bisa menumpahkan seluruh kekhawatirannya itu pada sang mertua. Kaira takut dianggap posesif dan berlebihan hanya karena mendengar ada suara wanita lain di dekat Davian. Tapi serius, Davian katanya kan sedang berada di site dan langsung mengikuti acara formal, wajar saja kalau dia jadi banyak bersosialisasi dan bercengkrama dengan lawan jenis. Itu bukan hal baru dan sebelumnya pun Kaira tidak pernah sampai mempermasalahk
Kaira sedang sibuk berkutat dengan peralatan di dapur ketika suara bel di rumahnya terdengar. Wanita itu tinggal menunggu makanan matang sempurna, mengaduk singkat sayuran yang berada dalam teflon miliknya. Dia menutup masakannya itu dengan tutup kaca sebelum akhirnya mengeringkan tangannya di apron dan berjalan menuju pintu dengan perlahan untuk mengintip siapa tamu yang hinggap ke rumahnya malam-malam begini. Bibirnya mengulas senyum tipis saat melihat ibu mertuanya yang ternyata datang. Dia segera membuka pintu dan menyambut wanita tersebut. Memeluknya sekilas sebelum akhirnya mengamit lengan sang mertua untuk turut masuk ke dalam rumah.Memang belakangan ini mama mertuanya itu jadi lebih sering berkunjung. Selain karena kediaman mereka dekat, juga karena Mama Tania sedang berusaha mengalihkan kesepiannya setelah putra bungsunya lebih memilih untuk pergi keluar negeri dengan turut memboyong istrinya. Memang sih sudah Tania izinkan, tapi tetap saja dia jadi merasa kesepian sekarang
Di dalam mobil, suasana terasa sunyi. Hanya suara mesin dan hembusan lembut AC yang mengisi ruang kecil itu. Kaira duduk di kursi penumpang, sesekali melirik Davian yang fokus mengemudi. Namun, tatapan suaminya terasa jauh, seperti pikirannya sedang berada di tempat lain.Sorot mata terluka, lengkap dengan dengusan lambat yang berpadu dengan upaya untuk mengalihkan diri. Kaira yakin belum pernah melihat dan merasakan ini dari Davian sebelumnya. Begitu lengannya ditarik Davian, Kaira hanya sempat melirik senyum terpaksa milik dokter Raina. Wanita itu melengkungkan senyum di bibirnya dan melambai pelan pada Kaira. Tapi matanya, jelas masih ada kekagetan disana. Detik itu juga, Kaira sadar ada sesuatu yang berbeda.Dia berada disamping kemudi sekarang. Bersama dengan Davian yang sama sekali belum membuka mulut sejak awal memboyongnya masuk secara buru-buru ke dalam mobil. Pandangan Davian seolah kosong, sama sekali tidak melirik Kaira lagi namun juga dia yakin itu bukan karena semata f
Kaira melangkah pelan keluar dari kamar, tangannya menenteng tas kecil berisi dokumen medis dan botol air minum. Senyum tipis terulas di wajahnya, namun tidak menyembunyikan sedikit rasa gugup yang membayang. Davian, suaminya, sudah menunggu di depan pintu dengan kunci mobil di tangan.Hari ini mereka berdua libur. Sengaja meliburkan diri lebih tepatnya. Lagipula, siapa yang akan melarang pasangan tersebut untuk off sehari saja dari kantor? Davian teringat percakapannya dengan sang mama tempo hari. Sesuatu yang membuatnya semakin protektif terhadap sang istri."Meskipun Kaira itu sangat mandiri, kamu sebagai suami nggak boleh membiarkan dia melakukan semuanya sendiri. Apalagi kalau sering ditinggal-tinggal. Fisiknya boleh terlihat baik-baik saja, tapi yang namanya ditemani suami semasa hamil, rasanya berbeda," ujar sang mama memberi wejangan. Meminta putranya untuk lebih atentif dan menjaga menantu serta calon cucunya itu.Pagi ini mereka ada appointment dengan dokter kandungan. Peme
Sore itu Kaira berada di toko buku dalam pusat perbelanjaan bersama dengan Kenny. Davian saat ini sedang mengikuti rapat penting di salah satu site ditemani oleh Aldo. Awalnya seharusnya Kaira yang berangkat, tapi tentu saja Davian 'posesif' Rajendra melarangnya untuk ikut sebab lokasi tersebut menurutnya cukup berbahaya untuk Kaira. Bukan hanya karena Kaira tengah mengandung, bahkan kalaupun Kaira tidak hamil, Davian tidak akan membawa Kaira berangkat ke tempat rapat yang hanya diisi oleh kaum laki-laki saja. Sebenarnya bisa saja Kaira pulang ke rumah bersama dengan supir, hanya saja ia menolak dan memilih untuk ikut bersama dengan Kenny untuk jalan-jalan sebentar di mall. Sekalian girls time, kan? Lagipula memang kebetulan ada beberapa hal yang juga hendak Kaira beli. Kedua wanita itu memasuki toko buku dengan tujuan menemukan novel incaran Kenny yang katanya baru dipublikasikan. Sementara Kenny sibuk mencari, Kaira lebih memilih untuk secara santai melihat-lihat. Dia sebenarnya b
Kalau sebelumnya Davian harus makan brownies tiga kali sekali secara langsung dihadapan Kaira, kali ini lelaki itu hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah istrinya. Kaira dibantu Kenny dan Tika tengah membagikan macaroon buatan Kaira semalam. Wanita itu semakin produktif saja dengan karyanya. Entah apakah calon bayinya itu nanti akan jadi baker atau semacamnya mengingat ngidamnya Kaira yang tidak jauh-jauh dari memasak, terutama kue.Davian sudah khatam sekali dengan aroma manis dari gula dan almond yang memenuhi udara rumahnya. Bahkan hingga kini wangi itu seolah melekat di indra penciumannya hingga tiap melihat Kaira membawa kotak sudah membuatnya bisa mencium wanginya dari jarak jauh begini. Lelaki itu mengawasi dari atas, melihat bagaimana wajah ceria istrinya itu saat membagikan kue warna-warni buatannya dan sesekali bercengkrama dengan para staf yang sepertinya memberikan review positif terhadap hasil karyanya.Davian, yang berdiri di ambang pintu dengan lengan bersilang
Pagi ini Kaira bangun lebih awal. Jika biasanya Davian akan merecoki tidur Kaira dengan membuat wanita itu terbangun melalui decap ciuman dan bahkan kegiatan-kegiatan panas pagi hari, belakangan ini sepertinya tidak lagi. Atau untuk sementara tidak dulu. Kondisi kehamilan Kaira yang masih sangat awal dan juga kesehatan Davian yang malah turut angin-anginan membuat mereka lebih sering saling merawat sekarang. Ada bagusnya, bukan? Kalau tidak, Kaira sudah pasti gempor sebab harus melayani nafsu Davian yang terkadang tidak terkendali itu.Wanita itu membelai perut ratanya, mengirimkan kasih sayang pada sang buah hati yang tengah bertumbuh di dalam sana. Ia melirik wajah damai suaminya yang masih tertidur pulas. Setelah kemarin periksa ke dokter dan mendapatkan cukup banyak obat, Davian langsung tepar. Kaira sama sekali tak ada niatan merecoki tidur suaminya hari ini. Ini akhir pekan dan memang sudah sepantasnya Davian menikmati istirahatnya tersebut.Ada banyak hal yang harus Kaira kerj
Davian duduk di kursi kerjanya dengan ekspresi gelisah. Pagi itu, ia merasa mual sejak baru bangun tidur. Pikirnya karena terlambat makan dan mungkin masuk angin sebab semalam pulang meeting di lokasi yang cukup berangin. Merasa kondisinya tak begitu buruk, dia putuskan untuk tetap ke kantor seperti biasa. Namun alih-lih membaik, rasa aneh dalam tubuhnya justru makin menjadi-jadi. Ia menekan pelipisnya, mencoba mendoktrin tubuhnya sekaligus untuk menenangkan perutnya yang terus bergejolak. Wajahnya pucat, dan ia bahkan enggan menyentuh secangkir kopi yang biasanya menjadi penyemangat paginya.Tumben sekali ia merasakan gejala yang seperti ini. Davian menunduk di meja kerjanya, perlahan mulai merebahkan kepalanya diatas meja tersebut. Kaira yang baru saja masuk ke dalam ruangan menjadi sangat khawatir. Dia berjalan dengan cepat lantas meraup wajah sang suami. Tidak ada demam, namun tidak biasanya wajah sang suami pucat begini."Mas, kamu kenapa?" tanya Kaira dengan nada khawatir. Seb
Siang itu, suasana rumah terasa hangat meski di luar hujan rintik-rintik. Davian membantu Kaira melepas jaketnya begitu mereka masuk ke dalam rumah sepulang dari hotel dan rumah sakit. Wajahnya tampak serius dengan gesture tubuh yang hampir setiap waktu selalu memegangi punggung dan perut Kaira padahal masih rata. Davian nampak penuh kekhawatiran yang membuat Kaira tak tahan untuk tersenyum kecil melihatnya.“Kaira, mulai sekarang kamu harus banyak istirahat, ya,” kata Davian sambil membimbing istrinya duduk di sofa. “Enggak usah capek-capek lagi, aku yang akan urus semuanya.”Kaira tertawa menyaksikan bagaimana suaminya itu bahkan menjadi sangat-sangat menempel padanya hingga membuat Kaira jadi terbatas ruang gerak. Bahkan hanya sekedar bergerak mengambil remote AC di meja saja Kaira harus ditempeli Davian hingga sebegitunya.“Mas, aku baik-baik saja kok. Enggak usah khawatir berlebihan begitu,” jawab Kaira lembut, senyum manis menghiasi wajahnya.Davian memandangnya dengan raut tega