“Lalu, apa urusannya denganku. Kau sudah menikmati uang kotor dari hasil jabatanmu?” Ryan kembali menjawab dengan tenang.
Langsung saja Chris turut melangkah maju mendekat dan meninggikan suara.
“Apa yang kau ketahui, huh! Tuan White begitu puas akan kinerjaku selama bertahun-tahun. Seketika kau muncul, seakan menjadi pahlawan menyelamatkan data keuangan! Tunjukkan bukti-bukti itu, jika kau berani membeberkan semua itu pada dewan direksi, mari bertaruh!" Tiba-tiba Chris kembali mengendalikan emosinya, berusaha membujuk. "Sudahlah, sebaiknya kau terima kerja sama ini, akan kuberikan bagianku. Sejujurnya aku tidak sabar ingin mendekati Briana. Maka kita berdua akan aman.” Chris menyodorkan jabat tangan.
“Briana?” Ryan masih melipat tangannya di dada dan hanya melirik tangan Chris yang menggantung di depannya. Memberi kesan abai.
Geram menerima penolakan, Chris menurunkan tangannya kembali. “Jangan pura-pura bodoh. Briana tidak hadir di rapat karena baginya ini tidak penting dihadiri seorang direktur. Aku diminta khusus mewakilinya untuk melihat presentasimu!” Dia menunjuk-nunjuk dada Ryan.
“Aku tidak tahu persis Briana. Apakah ... dia cantik? Wanita berambut cokelat, yang kemarin memakai blouse putih dan rok biru gelap?” ucap Ryan dengan santai sambil mengangkat sebelah alisnya.
Chris mengulas senyum sinis dan berjalan ke belakang Ryan. “Tepat sekali! Wanita cerdas yang membuang-buang waktunya. Dia butuh pria sepertiku." Ekspresinya berubah seketika, Chris pun berjalan maju melewati Ryan sambil menepuk engan pria itu dengan kuat. "Jangan coba-coba kau dekati, dia milikku,” lanjutnya.
Ryan hanya melirik tidak peduli saat Chris berjalan cepat ke luar ruangan dengan wajah kesal. Dia malah memikirkan wanita bernama Briana. Sang wanita di dalam lift yang masuk ke dalam mimpinya
***** Baru kemarin Ryan mendapat teror, kaca depan mobilnya dipecahkan orang misterius di gedung parkir. Karena White Stone Construction akan merayakan ulang tahun perusahaan dalam waktu dekat, sangat mungkin muncul gangguan berbagai arah untuk mengacaukan perayaan itu. Pagi ini, Ryan tengah fokus memantau data yang masih entan serangan siber susulan di masa tenang perusahaan itu. Tiba-tiba dia tersentak oleh kehadiran seorang pria berjas hitam ke dalam ruangannya.
“Tanda tangani berkas ini, Ryan. Mulai besok, kau gantikan posisiku.”
Sebuah folder berisi lembaran surat perjanjian menggantung menutupi layar laptop. Tatapan Ryan pun merespon cepat ke arah si pemilik tangan yang menyodorkan folder itu. Pandangannya bergeser pada sosok yang dilihatnya kini, seorang pria tua yang tidak dikenal.Sesaat tadi, Ryan menulikan telinga di tengah fokusnya, hingga tidak menyadari siapa pun yang menyelonong masuk. Namun, siapa pria tua yang berani masuk tanpa mengetuk pintu.
Bibir tipis Ryan tertutup rapat tanpa senyum. Ekspesinya bingung bercampur kesal melihat bolak-balik ke wajah sang pria dan folder itu. Dengan perasaan terpaksa Ryan menyambutnya dari tangan pria kisaran enam puluh tahunan itu.Ryan menatap heran dan menaikkan sebelah alisnya. “Menggantikan posisimu?Apa maksudnya?” Dia membuka folder itu dan membaca cepat isi berkas. “Huf ... surat yang sama? Sudah kukatakan pada orang-orang seperti Anda yang mendatangiku sejak kemarin. Aku tidak ingin membahasnya lagi.” Ryan mengendikkan bahu dengan tak acuh, pasalnya surat itu berisikan persetujuan untuk kenaikan jabatan sebagai CEO-White Stone Construction---perusahaan terbesar kedua di negara itu.Dengan abai, ditaruhnya folder itu di sisi kiri laptop. Ryan kembali fokus tanpa bicara apa pun lagi.
Pria itu mengulurkan jabat tangan. “Selamat. Kurasa kau tahu maksud kedatangan dua pria asing ke ruanganmu beberapa waktu lalu. Tuan Steel, kau kenal?”
Sorot mata biru Ryan naik turun melihat wajah pria dan uluran jabat tangannya. Ryan melepas kacamata dan menyandarkan kepala di kursi. “Belum kusetujui. Sesuai SOP, tentu harus menunggu promosi jabatan dua tahun lagi. Lantas, siapa yang mengutus Anda?”
“Aku?" balas pria tua itu sambil tertawa. "Ha-ha-ha, Albert James White. Senang akhirnya kita bisa bertemu, Tuan Miller.”
“Kau?” Ryan sedikit tersentak, mata pria tiga puluh tahunan itu pun membulat sempurna. Tanpa sadar, orang yang mengikutinya sejak masuk ke lobi kantor adalah seorang CEO.
“Ryan Miller. Ini sesuatu yang fantastis, bonus dan gaji utamamu akan berlipat ganda. Bagaimana? Tapi, aku memiliki satu misi lain untukmu." "Jika menyangkut kepentingan pribadi, maka aku berhak menolak." "Anak gadisku tidak mampu memimpin perusahaan ini, Ryan. Aku selalu mengawasi dia.” Tuan White berbicara langsung, dia pun mendengkus kesal mengingat kelakuan putrinya. "Putrimu? Kenapa begitu sulit?" ucap Ryan remeh. “Dia melupakan reputasinya sebagai seorang direktur, kebiasaan mabuk gadis pembangkang itu membuatku tidak tahan!" Dia tampak gusar dan berjalan mondar-mandir di depan meja kerja Ryan. "Perusahaanku bisa saja hancur di tangannya, banyak tender gagal karena sikapnya yang keras kepala!”
Ryan mengernyitkan dahi, bagaimana Tuan White begitu percaya orang asing yang baru setahun bekerja ketimbang anaknya sendiri. “Aku rasa ini bukan keputusan main-main. Sangat tidak tepat. Maaf, aku harus kembali pada pekerjaanku.” Ryan menggeser kembali surat itu di atas mejanya. “Pertimbangkanlah orang lain yang potensial.”
Keberadaan Ryan di tengah persaingan begitu meresahkan, sampai-sampai segelintir dari pesaing rela berada di bawah kaki para pemilik saham demi sebuah promosi jabatan. Tercium kabar, posisi CEO sedang diperebutkan, tapi keputusan Tuan White kini sangat tak beralasan jelas. Pria tampan berambut cokelat gelap itu memilih berkutat di posisi manager IT. CEO adalah lonjakan yang terlalu cepat dan tinggi bagi dirinya
Alis keabu-abuan Tuan White bertaut. Baru kali ini ada orang yang menolak tawaran besar hingga membuat dirinya turun tangan langsung meminta. Merasakan penolakan tajam itu, tiba-tiba tangan sang pria tua terangkat lalu menepuk dada kirinya. Dia meringis atas kemunculan rasa sakit yang mendadak.
“Apa yang terjadi? ... Tuan White!" Ryan panik dan bangkit dari duduknya, dia menangkap tubuh Tuan White yang nyaris tumbang. Lalu memapahnya ke sofa panjang sudut ruangan. "Aku segera panggilkan ambulan! Bersabarlah.”
Langkah Ryan pun dihentikan. “Ryan, tunggu dulu! A-ambilkan saja obat dalam tasku. Cepat!” titah Tuan White.Ryan berbalik dan beralih pada tas yang diminta, membawanya pada Tuan White. Dia merogoh-rogoh bagian saku tas untuk mencari obat yang dimaksud. Kemudian dia mendapatkan sebuah botol kecil berisi penuh kapsul berwarna merah.
"Apakah ini?" tanya Ryan panik. Dia menyodorkan sebutir kapsul itu beserta segelas air putih yang tersedia di meja. Tuan White membisu dan mengangguk pelan. Menepuk dadanya yang sesak hingga terbatuk-batuk. Tetapi dia kerap memaksa kepastian dari Ryan. “Percayalah, Ryan, kau tidak punya pilihan lain." Senyum licik muncul di bibir pria tua itu. "Ikuti permintaanku … atau dalam waktu 10 menit, polisi akan datang menangkapmu karena telah meracuniku.”
"Sial! Ini jebakan!" Ryan membatin. “Kau melakukan ini agar aku menyetujuimu? Tuan White, kau mengharapkan keputusan sepihak tanpa pertimbangan para investor, ini tidak sesuai prosedur!” Ryan menegaskan prosedur kenaikan jabatan pada Tuan White, dia mengerutkan dahinya terheran-heran.
“Christopher Burton, satu nama yang mengincar putri dan hartaku. Aku bisa membaca isi kepala si pirang itu. Dan kau, tentunya. Tidak kubiarkan perusahaan ini jatuh di tangan seseorang yang ingin merampas kejayaanku,” ungkap Tuan White tiba-tiba.
“Aku tidak peduli tentang Chris. Tuan, ini darurat! Aku tidak habis pikir kau masih memaksaku di saat seperti ini, apa kau gila?”“Pilihan ada di tanganmu. Tanda tangani surat itu atau siapkan pembelaan diri di ruang pengadilan. Kujamin kau tidak bisa lolos, semua alat bukti ini ada padamu.”“Kau sengaja menjebakku, huh?”“Kau memberikan obat pemicu penyakit jantungku. Mudah saja. Kau sengaja ingin membunuhku. Surat itu ada dan sidik jarimu membekas di botol itu,” jelas Tuan White yang tertawa sambil menahan napasnya yang semakin sesak.Geram dengan rencana busuk Tuan White. Ryan pun berbalik dan membuang napas kasar. “Baiklah! Aku akan menandatanganinya, jika itu maumu!” Dia berjalan menuju meja mengambil surat tadi. “Sialan!” umpatnya dalam hati.Ryan cepat meraih pena di atas meja kerjanya dan membubuhkan tanda tangan di dasar surat. Dia meletakkan pena dengan kasar, lalu melayangkan surat itu tinggi menghadap Tuan White.“Kita sepakat, oke? Sekarang hentikan aktingmu di depanku!”Tuan White menyeringai senang, dia pun meraih botol kapsul lain dari dalam sakunya sendiri dan meminumnya. “Kuberikan tugas pertama untukmu, Ryan.”“Katakan.” Ryan menjawab dingin, wajahnya menegang merasa dipermainkan.“Jaga anak gadisku ... Briana.”“Akan kucarikan pengawal khusus untuknya, ini terlalu pribadi dan buka
Setelah malam itu, Ryan tidak pernah lagi menemui Briana di bar dan hotel yang sama. Pria itu kehilangan jejak. Akan tetapi, Tuan White yang memberitahukannya bahwa Briana sempat pulang dan bertengkar dengan sang ayah. Ryan tidak ingin ikut campur masalah keluarga itu, bersikap seakan itu di luar jangkauannya untuk membuntuti keberadaan Briana. Pria itu memilih diam, walau sebenarnya dia mampu mendeteksi lokasi Briana dan bisa meyakinkan bahwa gadis itu baik-baik saja. Beberapa hari kemudian. Tuan White menghubungi Ryan melalui telepon ruangan kantor. Kala itu Ryan tengah sibuk memeriksa beberapa laporan masuk yang mulai ada kejanggalan lagi pada database. "Ryan, di sini.""Ini aku, White. Sebentar lagi akan datang seseorang ke ruanganmu, membawa setelan jas untuk kau pakai pukul 10 nanti." "Aku sudah punya. Untuk apa kau mengirimkan jas?" Ryan tidak habis pikir, sepagi ini pria tua itu menelepon hanya untuk mengatakan membelikannya jas. "Kau harus memakainya, itu jas pilihan put
"Seharusnya keputusan ini lebih dulu diketahui oleh pihak dalam perusahaan, terutama investor! Apa Anda tidak melihat cermat, siapa yang kompeten memimpin perusahaan Anda?!" ucap Chris, suaranya bergetar menahan emosi."Dan siapa kau berani bicara, hum? Apa kau salah satu investor?" Tuan White berjalan pelan ke arah Ryan. "Keputusan yang kuambil tentu bukan hal yang mudah. Aku hanya tidak ingin terpengaruh oleh para penjilat di dalam perusahaanku. Dan aku tahu pemain-pemain kotor di belakangku." Tuan White menatap Chris tajam."Tapi itu tidak bertentangan dan tidak ada etika!""Baiklah, kuperjelas. Meski kau bukan salah satu pemegang saham." Tuan White membalikkan tubuh, berjalan ke kursinya. "Ini harusnya sebuah rahasia. Tapi mungkin pemuda yang terlalu bersemangat sepertimu terlalu banyak ingin tahu. Ha-ha-ha ... ya, ya, baiklah." Tuan White pun duduk, lalu sekretarisnya menekan remote, meredupkan pencahayaan di ruang rapat. Layar presentasi kini menampilkan surat perjanjian dan atu
Ryan berdiri melihat ke atas di depan gedung perkantoran itu. Lalu dia berjalan pelan di sisi jalan dengan lalu lintas padat dan gemerlap lampu kota malam hari itu yang menemani langkahnya menuju apartemen. Dia memilih santai berjalan kaki, setelah menolak ajakan Jacob untuk menumpang. Kendaraannya kini masih berada di bengkel dengan masalah kerusakan lain yang begitu aneh karena merambat pada hal lain, yang seharusnya hanya mengganti kaca depan saja. Saat dia melangkah pelan di jalur yang mulai sedikit tidak ramai, tiba-tiba sebuah sedan mewah merapat dan berjalan pelan di sebelah seakan mengikuti langkahnya. Awalnya Ryan tidak menyadari hal itu, karena risih merasa diikuti akhirnya menoleh ke arah kendaraan itu.Kaca mobil itu pun terbuka pelan, muncul sosok Briana yang memanggilnya untuk berhenti. “Hati-hati kepalamu, kau melihatku sambil berjalan!” teriak Briana dari dalam mobilnya. “Berhentilah sebentar.”“Kau?” Ryan tersentak, dia berhenti dan diam di posisinya. “Mau kuantar?
Ryan memperhatikan Briana dengan seksama, adegan kali ini hampir mirip dengan mimpinya kala itu. Matanya terkecoh oleh cara duduk Briana, benar-benar mengacaukan pikirannya. Pria itu pun sengaja bangkit dari sofa dan berpura-pura mengambil sesuatu di dalam lemari pendingin. “Hey, kau tidak menjawab pertanyaanku!” teriak Briana dari ruang utama. Ruang apartemen berukuran tidak luas yang dihuninya, terdapat ruang-ruang yang saling terhubung dan mudah dilihat dari titik tengah ruangan. Sedangkan kamar pribadi dan kamar mandi yang terpisah, tidak bisa mudah disambangi siapa pun karena letak pintunya terdapat di sudut ruangan dan terhalang sebuah penyekat ruang. Sangat bisa dikatakan kecil untuk orang sekelas Ryan, yang awalnya seorang manager dan kini telah menjadi CEO perusahaan besar.“Untuk apa?” Ryan kembali dengan membawa dua buah apel dan pisau buah di tangannya.“Kau harus menjawabnya. Atau ... akan kubongkar identitasmu pada semua rekan kerja,” ancam Briana pelan.Ryan sempat ka
Ryan lantas berbalik dan berlari keluar dari ruang apartemennya, mencari sumber suara yang kini tidak lagi terdengar. Pria itu bergegas turun dari lantai 2 apartemen dengan berlari, dia yakin Briana belum jauh dari lokasi. “Maaf, apa kau melihat seorang wanita berambut cokelat keluar dari gedung ini?” tanya Ryan pada seorang staff yang sedang sendirian di area lobi. “Aku berada di sini selama beberapa jam dan tidak ada siapa pun yang melewati lobi.” jawabnya tak acuh, dia merasa tidak melihat siapa pun melewati area itu. “Ah, tentu saja!” gumam Ryan dengan malas. Ryan membuang napas kasar dengan jengkel, ketika melihat sebuah headphone di dekat meja penjaga itu, maka bisa dipastikan kalau si staff sedari tadi memasang headphone dan tidak mengawasi sekitarnya.Tidak ingin berhenti untuk mencari Briana, Ryan berlari ke arah luar apartemen. Jika pikirannya benar, Briana mungkin saja dilarikan melalui tangga darurat di luar gedung berlantai 4 itu. Sesampainya di depan apartemen. D
Dengan langkah pelan, Ryan kini masuk ke apartemennya. Dia terus memegangi balutan perban di lengan kiri yang terluka. Tubuhnya begitu lelah, hari yang begitu berat sejak kemarin pagi. Kini dia pun harus mengabaikan kewajiban dan segala masalah kantor. Tidak habis pikir, hari pertamanya sebagai CEO begitu banyak pertentangan dan tantangan dari berbagai arah.Pesan masuk ke ponsel saat Ryan tengah berbaring di tempat tidur. Tak acuh oleh bunyi panggilan telepon sekali pun. Dia berusaha meraih lalu mematikan ponselnya saat panggilan itu sudah terlampau mengganggu. Logika pikirannya ingin menyerah, tapi pria itu telanjur penasaran dan hatinya membara akan dendam. Ryan terpaksa menunjukkan jati dirinya sesegera mungkin. Dia sudah muak oleh segala perlakuan dan hanya mampu berdiam saja. Pria itu akan memastikan tidak akan ada lagi orang yang mencoba mengganggu, karena kekuasaan itu sudah berada di tangannya. Berita kejadian itu cepat menyebar di media. Dua petugas keamanan yang turut menj
"Dia ... tidak melakukan apa-apa padaku. Dan kau sudah berjanji tidak akan bertanya apa pun!" pekik Briana."Hm. Baiklah. Perlukah kucari tahu sendiri?" desak Tuan White."Ayah! Kalau begitu, aku tidak akan makan apa pun sampai tubuhku kering dan mati!""Oke ... oke ... aku tidak akan mencari tahu urusan kalian. Tapi keputusan ayah sudah bulat, Ryan akan mendapatkan asistennya besok."Tuan White segera beranjak dari kamar Briana. Tidak memedulikan putrinya yang menentang keras asisten baru untuk Ryan. Briana tidak pernah berharap ada sosok lain yang akan berada dekat dengan Ryan. Satu-satunya cara bagi dirinya untuk selalu dekat adalah dengan melanggar peraturan sang ayah lagi seperti dulu."Jika aku menurut pada Ayah, maka Ryan tidak akan mengawasiku lagi." ****Jacob menggedor pintu apartemen Ryan, karena staff apartemen tetap bertahan tidak memberikan kunci ganda padanya. Selain demi keamanan, bagi mereka Jacob adalah pria asing, dan Ryan sudah memberikan ketegasan untuk tidak me
Saat berada di dalam ruangan, tiba-tiba Briana kembali mengirimkan pesan pada Ryan.Briana : [ Ryan, apa kau sudah makan siang? ]Ryan : [ Ya, Candice membawakan pesananku ke ruangan. Aku ingin segera menyelesaikan analisisku untuk beberapa proposal. Kita perlu membuang pikiran tentang pekerjaan besok, bukan? ]Briana : [ Oh, baiklah. Katakan padaku jika kau sudah selesai. Aku ingin bicara denganmu ]Ryan : [ Apakah itu penting? ]Briana : [ Entahlah Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu ]Ryan : [ Baiklah, aku akan ke tempatmu setengah jam lagi ]Setelah Ryan menyelesaikan proposal terakhir, dia bergegas datang ke ruangan Briana, wajahnya menunjukkan kekhawatiran, tidak biasanya Briana bicara empat mata secara tiba-tiba. Dia sempat berpikir bahwa gadis itu ingin membatalkan rencana besok. Saat memasuki ruangan dan menutup pintu. Kecanggungan terasa saat Ryan berjalan mendekat ke mejanya."Ada apa, Briana?"Sejenak Briana tampak menggigit bibirnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat
Seorang pria tampan melangkah masuk ke lobi kantor perusahaan White dengan percaya diri. Setelan jas abu-abu tua yang membalut tubuh tegapnya terlihat sempurna, menonjolkan postur tubuh yang atletis dan penampilan elegan. Rambut cokelatnya tertata rapi dan mata biru yang tajam seolah menarik perhatian setiap orang yang berada di lobi. Aaron Ford, kakak kedua Ryan, menyambangi kantor itu untuk menemui Briana. Para karyawan yang kebetulan berada di lobi tidak bisa menyembunyikan kekaguman mereka. Beberapa dari mereka berbisik-bisik, mencoba menebak siapa pria berkharisma ini.Pria setinggi enam kaki itu terus melangkah menuju meja resepsionis. Tatapannya yang menawan membuat sang resepsionis tersenyum kikuk, tetap berusaha profesional."Selamat siang, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis itu dengan suara yang berusaha tetap tenang.Aaron membalas dengan senyum menenangkan. "Selamat siang. Saya Aaron Ford. Saya ingin bertemu dengan Nona White," ucapnya dengan suara bariton
Setelah beberapa hari pemulihan dan kejenuhannya selama berada di mansion, Ryan akhirnya kembali ke kantor dengan penuh semangat. Pagi itu dengan langkah yang tidak lagi tertatih, dia memasuki area lobi, tampil tampan dan berkharisma dengan setelan jas biru gelap dan kemeja putih.Ryan kini tampak jauh berbeda jika dibandingkan dirinya dulu, seorang manager IT perusahaan itu. Kewibawaan sosok CEO-nya semakin terpancar, menampakkan jiwa sesungguhnya yang seorang Ryan Stanley Ford—sang anak pengusaha kedua terbesar di US. Meskipun kini dia masih menjaga identitas palsunya sebagai Ryan Miller, tapi tidak bisa dipungkiri jati dirinya yang garis keturunan seorang miliarder.Para karyawan yang telah merindukan kehadiran sang CEO, pun menyambutnya dengan hangat. Mereka semua berdiri di lobi, bertepuk tangan dan tersenyum ketika Ryan memasuki lift khusus menuju lantai atas. Ryan membalas sambutan itu dengan senyum lebar dan anggukan kepala, merasa sangat dihargai oleh tim dan karyawan yang ber
Briana mengangkat pandangan dari bunga mawar itu dan melihat ke arah Candice. "Selamat pagi, Candice. Ada yang bisa kubantu?" tanyanya, mencoba menjaga nada suaranya tetap profesional meskipun ada perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba muncul."Ini adalah laporan yang perlu Anda tinjau hari ini. Selain itu, ada beberapa hal yang perlu dibicarakan mengenai proyek baru." Candice tersenyum tipis dan melangkah mendekat, menaruh berkas-berkas di meja Briana. Briana mengangguk. "Terima kasih. Aku akan melihatnya segera," jawabnya singkat sambil melihat pada berkas yang ditaruh ke meja. Mata Candice masih menatap bunga dan kotak perhiasan yang ada di meja Briana. "Pemberian dari seseorang yang spesial?" tanyanya dengan senyum canggung. "Ya, seseorang yang sangat berarti bagiku," sahut Briana sambil mengulas senyum, teringat kembali oleh Ryan. "Senang mendengarnya. Jika ada yang perlu dibantu, tolong beritahu saya." Candice mengangguk, menyembunyikan perasaannya dengan baik. Setelah itu, Ca
Ryan menatap langit-langit penthouse-nya, pikirannya dipenuhi dengan bayangan Briana. Dia memutuskan untuk menghubungi Briana, merasa perlu mendengar suaranya untuk sedikit mengobati rasa rindunya. Dia mengambil ponselnya dan menekan nomor Briana, menunggu dengan cemas."Halo, Ryan," suara lembut Briana terdengar dari seberang sana."Briana. Bagaimana kabarmu? Kau sudah kembali ke kantor?" tanya Ryan, mencoba menjaga nada suaranya tetap ringan.Terdengar tawa halus sekilas dari Briana, sedikit memanjakan telinga Ryan mendengar gadis itu menerima teleponnya dengan manis. "Ya, aku sudah kembali. Rasanya aneh setelah sekian lama tidak di sana, tapi semuanya berjalan lancar. Bagaimana denganmu? Bagaimana pemulihanmu?"Ryan menghela napas, mencoba terdengar ceria. "Aku baik-baik saja. Hanya saja, terjebak di sini membuatku merasa sedikit ... terisolasi."Briana merasakan simpati. "Aku bisa membayangkan. Aku berharap bisa datang menemuimu dan membuatmu merasa lebih baik. Aku tidak cukup ban
“Selamat siang, Tuan Miller.” Candice melangkah gemulai di atas lantai marmer dengan heelsnya. "Saya pikir ada beberapa detail teknis yang perlu kita diskusikan lebih lanjut," ucapnya dengan nada profesional, sambil menata beberapa dokumen di atas meja ruang utama itu.Setelah beberapa hari selalu berada di kantor, Candice akhirnya mengunjungi Ryan di penthouse. Kunjungannya kali diisi dengan tugas profesional yang semakin intens. Namun, di antara niatnya untuk membicarakan serangkaian rapat dan diskusi, dia menemukan kesempatan untuk mendekati Ryan.Diskusi panjang itu kini rampung dan telah mendapatkan hasil yang baik dari para tim project yang bekerja profesional, sebuah proyek masa depan yang sangat menjanjikan. “Baiklah, segalanya be
Ryan mengatur langkahnya dengan hati-hati di lorong rumah sakit yang sepi. Dibantu oleh Jacob yang sesekali memapahnya. Cahaya redup lampu-lampu koridor dini hari itu memantulkan kelelahan yang dirasakannya setelah berhari-hari penuh dengan tekanan. Namun, pikirannya terus saja melayang pada sosok Briana.Di ujung lorong, Ryan tiba di kamar Briana dan membuka pintunya dengan diantar oleh pengawas ruangan kelas presidential rumah sakit. Setelah pintu dibuka, dilihatnya Briana yang terbaring lemah di tempat tidur, tapi senyum tipis mengembang di bibirnya saat dia masuk perlahan."Briana," desis Ryan dengan suara lembut, mencoba tidak mengganggu keadaan istirahatnya.Briana membuka matanya perlahan, dia belum bisa nyenyak tidur setelah apa yang terjadi kemarin. Namun, suara Ryan adalah harapan baginya saat ini, pria yang ditunggunya sungguh telah hadir. "Ryan, kau di sini," sahutnya dengan suara yang lemah, menyambut kehadiran Ryan dengan senyuman lembut.Ryan mengambil tempat di sampin
Ryan duduk tegang di dalam mobil bersama Jacob. Dia merenungkan pertanyaan-pertanyaan yang masih menggantung. Apa yang sebenarnya terjadi di dalam mansion ayahnya? Mengapa Chris ada di sana? Dan apa peran ayahnya dalam semua ini? Apakah ini semua terkait dengan misi rahasia sang ayah di perusahaan White? Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan yang bergulir tanpa jawaban pasti."Kami akan menyerbu mansion Ford dalam satu jam. Persiapan harus matang." Jacob menatap Ryan dengan ekspresi serius. Ryan mengangguk, meski merasakan sakit yang menyiksa pada pergelangan kakinya. Dia semakin menguatkan keinginannya untuk mengetahui kebenaran di balik misteri ini. "Aku akan ikut. Aku perlu tahu apa yang sedang terjadi di sana.""Kondisimu belum pulih sepenuhnya. Aku akan memastikan semuanya berjalan lancar." Jacob menggeleng dengan perasaan khawatir. "Tidak!" Ryan bersikeras. "Aku harus ada di sana. Ini penting.""Baiklah, tapi kau harus patuh pada perintah. Jangan bertindak gegabah!"Namun, t
Baru saja selesai mengambil sejumlah swafoto dirinya dan Briana yang terkesan vulgar. Ketenangan Chris tiba-tiba terganggu oleh suara gaduh di lorong. Dia mendengar suara langkah kaki cepat mendekat. Chris merasa curiga. Dia melongok tipis dengan membuka pintu perlahan, menyadari kini dia terjebak oleh sejumlah agen berpakaian hitam disertai kelengkapan senjata, tengah mencari keberadaan Briana. Dia panik, waktunya semakin menipis. Dengan cepat menyembunyikan bukti dan bersiap melarikan diri.Saat pintu kamar diketuk, Chris sudah siap. Dia bergegas menuju pintu belakang villa yang terhubung dengan sebuah taman umum. Dengan langkah cepat, dia meloloskan diri sebelum siapa pun sempat masuk ke kamar. Sementara itu, di luar kamar, tim keamanan villa bersama agen polisi dan Ryan---yang berjalan dengan sedikit tertatih, tetap memaksa untuk ikut. Mereka berhenti di depan kamar yang diduga tempat Briana berada.Ryan, dengan napas tersengal-sengal karena rasa sakit di kakinya, menatap pintu k