“Kau memberikan obat pemicu penyakit jantungku. Mudah saja. Kau sengaja ingin membunuhku. Surat itu ada dan sidik jarimu membekas di botol itu,” jelas Tuan White yang tertawa sambil menahan napasnya yang semakin sesak.
Geram dengan rencana busuk Tuan White. Ryan pun berbalik dan membuang napas kasar. “Baiklah! Aku akan menandatanganinya, jika itu maumu!” Dia berjalan menuju meja mengambil surat tadi. “Sialan!” umpatnya dalam hati.
Ryan cepat meraih pena di atas meja kerjanya dan membubuhkan tanda tangan di dasar surat. Dia meletakkan pena dengan kasar, lalu melayangkan surat itu tinggi menghadap Tuan White.
“Kita sepakat, oke? Sekarang hentikan aktingmu di depanku!”
Tuan White menyeringai senang, dia pun meraih botol kapsul lain dari dalam sakunya sendiri dan meminumnya. “Kuberikan tugas pertama untukmu, Ryan.”
“Katakan.” Ryan menjawab dingin, wajahnya menegang merasa dipermainkan.
“Jaga anak gadisku ... Briana.”
“Akan kucarikan pengawal khusus untuknya, ini terlalu pribadi dan bukan urusanku,” ucap Ryan tegas.“Tolong! Aku percayakan kau bisa mengendalikan putriku, aku mengkhawatirkannya. Maka, awasilah dia nanti malam. Dia satu-satunya yang kumiliki.” Tuan White merogoh sesuatu dari dalam saku jas dan menyodorkan sebuah kartu. “Simpanlah, untuk berjaga-jaga.”
Ryan mengambil itu kartu seraya mengernyitkan dahi. “Malam ini? Ya Tuhan ... tapi bagaimana—.” Tuan White kini leluasa menghela napas setelah meminum obat penawar.“Briana, hampir dilecehkan.” Tatapannya menerawang seakan mengkhawatirkan kejadian nahas yang hampir mencelakai putrinya. “Ha-ha-ha, tentu saja, Ryan. Aku tidak bodoh melepaskan pengawal pribadi itu. Dia berakhir di gudang. Tiga tembakan di kepala. Tidak terkecuali jika kau macam-macam.” Pria paruh baya itu kini mengarah pada Ryan yang bergeming dekat meja kerjanya.
Bukan karena terkejut membayangkan eksekusi pada si pelaku. Namun, Ryan merasa bingung dan terpojok. Sebuah amanat yang tidak ada kaitan dengan tugas utama jabatannya. Dia membanting tubuh di kursi, menggeleng sambil mengusap wajah dengan kasar.
“Apa lagi ini ... direktur angkuh itu putri Tuan White dan aku harus bertaruh nyawa demi wanita itu?!" Ryan membatin.Di sisi lain, Tuan White memandangi Ryan seraya tersenyum licik. “Kau pikir bisa mudah melepaskan tanggung jawab itu, Anak muda. Kubuat kau menderita jika berani menyentuh putriku.” ucapnya dalam hati.****** Di sebuah bar pada salah satu hotel ternama di kota New york, seorang gadis tengah duduk di hadapan meja bar, termenung sambil memutar-mutar ujung jari pada bibir gelas minumannya. Pakaian formal yang dikenakannya kini tampak sudah tidak rapi, bagian lengan blusnya sudah digulung naik.
Dari kejauhan Ryan berjalan pelan menghampiri wanita itu. Malas dan lelah bercampur dari aktivitas kerja hari ini. Semakin terbebani karena harus mendekati seorang wanita angkuh seperti anak gadis Tuan White, Briana.Ryan baru hendak menepuk bahu gadis itu dari belakang, tapi niatnya dihentikan hingga dia menurunkan tangannya kembali. Akhirnya dia memilih mendekat dan mengambil posisi duduk di sebelah wanita itu. Berpura-pura memesan minuman dari salah seorang bartender yang menghampiri.
“Ya, Tuan?” tanya sang bartender.
“Bir saja, terima kasih,” ucapnya sekilas, lalu Ryan kembali memperhatikan wanita di sebelahnya.
“Baik, Tuan,” jawab sang bartender yang berlalu dan menyiapkan pesanan.
Ryan mencoba memulai interaksi dengan Briana, sesungguhnya Ryan enggan dipaksa mendekati wanita. Akan tetapi, baru hendak menyapa, sang wanita langsung menoleh dan terkejut memandangnya.“Untuk apa kau di sini?” Briana menatap tajam dan dingin ke arah Ryan.
“Menemanimu sampai kau selesai minum dan kembali ke kamarmu.”“Pria tua itu pasti sudah memaksamu, kan? Katakan saja aku bisa sendiri, aku ini wanita dewasa, dia tidak perlu mengatur hidupku. Suruh saja ayahku berhenti melakukan kebodohan.”“Maksudmu?”Briana menatap Ryan dengan seksama, matanya yang sudah terlihat sayu karena setengah mabuk semakin diperburuk dengan kata-katanya yang meracau.“Kau … ya, kau. Aku kenal kau, penyusup,” ucap Briana suara lemah karena pengaruh alkohol. Dia menunjuk ujung hidung Ryan dengan telunjuknya. “Kau si manager itu, kan? Kutu komputer yang akan menggantikan posisi ayahku, ha-ha-ha …,” lanjut Briana yang lanjut tertawa mengejek.Ryan menggeleng kesal, membuang pandangannya ke arah lain dan menyambut gelas dari sang bartender.“Terima kasih.” Ryan langsung meneguk minumannya. Kembali menoleh pada Briana. “Ini sudah larut, seharusnya kau sadar besok masih hari kerja, untuk apa kau membuang waktu di sini?”
“Ha-ha-ha …, hey, Ryan. Itu bukan urusanmu. Bukankah kau hanya menginginkan jabatan? Kau senang sudah mengalahkan posisiku, bukan?”
“Sebaiknya kita bahas lain kali. Sekarang kau kuantar ke kamarmu.” Ryan bangkit dari duduknya dan meletakkan kartu pembayaran dari dalam dompetnya dan menaruh cepat kartu itu di meja bar. “Bayar minuman wanita ini juga, dia bersamaku.”
Sang bartender yang tadinya bingung dan ragu, akhirnya mengambil kartu milik Ryan untuk transaksi pembayaran.
Briana terkejut saat lengannya dipegang kuat oleh Ryan. Dia berusaha melepaskannya dari genggaman tangan Ryan. “TIdak. Aku tidak akan pulang! Apalagi dengan kau, penjilat!”“Kau menjadi urusanku sekarang, Nona.” Ryan masih dengan kuat menahan Briana yang berontak, hingga membuat sang bartender berniat menegur. Ryan pun mengeluarkan kartu nama Tuan White. “Kau bisa menghubungi orang ini jika tidak percaya, wanita ini adalah tanggung jawabku.” Ryan kembali fokus pada Briana. “Ayo cepat, aku juga butuh istirahat bukan hanya mengurusimu saja!”
“Oke, tapi lepaskan tanganku, Pria bodoh!” umpatnya, Briana lanjut bergumam kesal, “Mau saja dia diperintah pria tua itu, kau naif sekali.”“Kau harus janji tidak akan lari, oke?”Briana berdecak. Mengangguk malas sambil membuang pandangan. “Kalau saja ayahku tidak segila ini, aku memilih mati saja.”“Kau sangat menyebalkan. Apa ini harus jadi bagian tanggung jawab yang tidak aku inginkan!!” Ryan membatin. “Sudahi racaumu! Aku pun tidak berminat kalau ini di bukan bagian dari tugasku sekarang!” ucap Ryan mulai menaikkan nada bicaranya, lalu melepaskan tangan Briana.
Briana berjalan mendahului, saat Ryan mengambil kartunya dari tangan sang bartender. Dia menaruh uang tips di atas meja bar itu, kemudian menyusul Briana yang sudah mulai jauh dari pandangan. Keduanya pun berjalan menuju lift. Pria itu terheran, kenapa Briana tidak memilih ke penthouse, justru masuk ke salah satu kamar di hotel.
Ryan berjalan di belakang Briana, memantau gerak-gerik wanita yang melangkah sempoyongan itu. Dia mengantisipasi agar sigap menangkap wanita itu jika terjatuh atau pingsanSesampainya di depan pintu kamar, Briana berhenti dan menatap Ryan sinis. “Mau apa? Cukup sampai di sini!” ucap Briana dengan nada perintah.“Tidak. Harus kupastikan kau tidak melarikan diri dan beristirahat di kamarmu. Dan aku akan pergi.” Ryan menegaskan, karena sesungguhnya dia sudah tidak sabar menyuruh Briana masuk dan memastikan gadis itu tidak kembali ke bar tadi.
“Alasan! Kau pasti punya rencana lain, kan?” Briana memajukan tubuhnya mendekati Ryan lalu menarik kerah kemeja Ryan. “Pasti ada yang kau inginkan dariku …. Bukankah aku gadis yang menarik? Ha-ha-ha … coba saja jika berani, tapi siap-siaplah kepalamu akan dipenuhi lubang peluru besok pagi.”
“Jangan banyak bicara.” Ryan merampas kunci kamar berupa kartu dari tangan Briana, kemudian menggesekkannya ke bagian pintu untuk membukanya. “Cepat masuk!” Dia menarik lengan Briana untuk ke kamarnya.
Sesaat berada di dalam kamar. “Kembalikan kunci itu!” Briana mendekat dan merampas kartu dari tangan pria itu. Gadis itu mendongak menatap pria tinggi bermata biru, hingga jarak antara mereka begitu dekat hingga ujung hidung Briana nyaris menyentuh dada bidang Ryan. Hingga harum tubuh dan parfum khas pria itu sempat dinikmatinya tanpa sadar.Napas Ryan tertahan sesaat Briana seakan menggodanya. Pikiran pria itu kembali pada kilasan mimpinya beberapa minggu lalu.Namun, tiba-tiba Briana menghentakkan lututnya naik ke atas hingga mengenai alat vital. Ryan pun termundur menahan sakit. Gadis itu mengambil kesempatan lari dan mengunci Ryan di dalam kamar.
Ryan yang melihat Briana melarikan diri pun tidak kalah antisipasi. Kunci ganda berupa kartu yang diberikan Tuan White khusus untuknya segera digunakan. Pria itu pun tidak mau kalah cepat dari seorang wanita mabuk. Dia menggesekkan cepat kartu itu dan keluar berlari mengejar Briana.Dengan langkah cepat, Ryan mampu menyusul Briana yang sudah berada di depan lift sedang menekan-nekan tombol turun. Langsung saja, Ryan menyergap dan mengangkat tubuh Briana, ditaruhnya gadis itu di pundaknya seperti sebuah kantung besar.
Sambil berjalan dengan kesal, Ryan mengabaikan Briana yang terus berontak dengan memukul-mukul punggungnya. “Jangan seperti anak kecil!”
“Turunkan aku ..., Dasar cabul!” Ryan meraih kartu dalam saku celananya, sedangkan tangan satunya masih memikul tubuh Briana. Kini tubuh Briana dijatuhkan di atas tempat tidur, Ryan pun merangkak naik sebelum wanita itu sempat bangkit.“Diamlah di situ!”
Baru saja bergerak hendak menghindar, Ryan mendorongnya kembali hingga jatuh terlentang. “Tidak …tidak mau!”Dengan nekat Ryan mengukung tubuh wanita yang semakin terpojok itu. Briana panik dan ketakutan menatap wajah pria yang seperti ingin menyerangnya. “Berapa pun umpatan yang kau lontarkan tidak akan membuatku berubah pikiran. Kau tahu?” Rahang Ryan tampak mengeras menahan marah. “Malam ini seharusnya aku sudah beristirahat di apartemenku! Tapi terpaksa kutunda, jadi pikirkan baik-baik. Jika kau masih berulah, kubuat kau tidak selamat di tangan pria lain.”Briana tertegun menatap wajah Ryan. Bibirnya sedikit bergetar. “Kau mau apa? Ja-jangan berbuat macam-macam denganku.” Meski kesan menantang, Briana tampak diliputi rasa takut. “Kumohon, kumohon … demi apa pun,” imbuhnya.Ryan membalas tanpa ekspresi, dia memiringkan kepala dan memicingkan matanya.“Kau bukan seleraku. Ingat itu baik-baik, Nona Direktur.” Tawa kecil sinis muncul di salah satu sudut bibirnya. Ujung jari telunjuknya mendorong kening Briana.Tatapan terakhir Ryan yang sangat dingin membuat jantung Briana terpacu. Pria yang selama ini dianggapnya kutu komputer mengeluarkan sisi menyeramkan. Sesaat kemudian Ryan beranjak turun dari atas tempat tidur. Dia melenggang tak acuh meninggalkan Briana yang tidak bisa berkutik memandanginya menjauh. “Awas saja dia!”Setelah malam itu, Ryan tidak pernah lagi menemui Briana di bar dan hotel yang sama. Pria itu kehilangan jejak. Akan tetapi, Tuan White yang memberitahukannya bahwa Briana sempat pulang dan bertengkar dengan sang ayah. Ryan tidak ingin ikut campur masalah keluarga itu, bersikap seakan itu di luar jangkauannya untuk membuntuti keberadaan Briana. Pria itu memilih diam, walau sebenarnya dia mampu mendeteksi lokasi Briana dan bisa meyakinkan bahwa gadis itu baik-baik saja. Beberapa hari kemudian. Tuan White menghubungi Ryan melalui telepon ruangan kantor. Kala itu Ryan tengah sibuk memeriksa beberapa laporan masuk yang mulai ada kejanggalan lagi pada database. "Ryan, di sini.""Ini aku, White. Sebentar lagi akan datang seseorang ke ruanganmu, membawa setelan jas untuk kau pakai pukul 10 nanti." "Aku sudah punya. Untuk apa kau mengirimkan jas?" Ryan tidak habis pikir, sepagi ini pria tua itu menelepon hanya untuk mengatakan membelikannya jas. "Kau harus memakainya, itu jas pilihan put
"Seharusnya keputusan ini lebih dulu diketahui oleh pihak dalam perusahaan, terutama investor! Apa Anda tidak melihat cermat, siapa yang kompeten memimpin perusahaan Anda?!" ucap Chris, suaranya bergetar menahan emosi."Dan siapa kau berani bicara, hum? Apa kau salah satu investor?" Tuan White berjalan pelan ke arah Ryan. "Keputusan yang kuambil tentu bukan hal yang mudah. Aku hanya tidak ingin terpengaruh oleh para penjilat di dalam perusahaanku. Dan aku tahu pemain-pemain kotor di belakangku." Tuan White menatap Chris tajam."Tapi itu tidak bertentangan dan tidak ada etika!""Baiklah, kuperjelas. Meski kau bukan salah satu pemegang saham." Tuan White membalikkan tubuh, berjalan ke kursinya. "Ini harusnya sebuah rahasia. Tapi mungkin pemuda yang terlalu bersemangat sepertimu terlalu banyak ingin tahu. Ha-ha-ha ... ya, ya, baiklah." Tuan White pun duduk, lalu sekretarisnya menekan remote, meredupkan pencahayaan di ruang rapat. Layar presentasi kini menampilkan surat perjanjian dan atu
Ryan berdiri melihat ke atas di depan gedung perkantoran itu. Lalu dia berjalan pelan di sisi jalan dengan lalu lintas padat dan gemerlap lampu kota malam hari itu yang menemani langkahnya menuju apartemen. Dia memilih santai berjalan kaki, setelah menolak ajakan Jacob untuk menumpang. Kendaraannya kini masih berada di bengkel dengan masalah kerusakan lain yang begitu aneh karena merambat pada hal lain, yang seharusnya hanya mengganti kaca depan saja. Saat dia melangkah pelan di jalur yang mulai sedikit tidak ramai, tiba-tiba sebuah sedan mewah merapat dan berjalan pelan di sebelah seakan mengikuti langkahnya. Awalnya Ryan tidak menyadari hal itu, karena risih merasa diikuti akhirnya menoleh ke arah kendaraan itu.Kaca mobil itu pun terbuka pelan, muncul sosok Briana yang memanggilnya untuk berhenti. “Hati-hati kepalamu, kau melihatku sambil berjalan!” teriak Briana dari dalam mobilnya. “Berhentilah sebentar.”“Kau?” Ryan tersentak, dia berhenti dan diam di posisinya. “Mau kuantar?
Ryan memperhatikan Briana dengan seksama, adegan kali ini hampir mirip dengan mimpinya kala itu. Matanya terkecoh oleh cara duduk Briana, benar-benar mengacaukan pikirannya. Pria itu pun sengaja bangkit dari sofa dan berpura-pura mengambil sesuatu di dalam lemari pendingin. “Hey, kau tidak menjawab pertanyaanku!” teriak Briana dari ruang utama. Ruang apartemen berukuran tidak luas yang dihuninya, terdapat ruang-ruang yang saling terhubung dan mudah dilihat dari titik tengah ruangan. Sedangkan kamar pribadi dan kamar mandi yang terpisah, tidak bisa mudah disambangi siapa pun karena letak pintunya terdapat di sudut ruangan dan terhalang sebuah penyekat ruang. Sangat bisa dikatakan kecil untuk orang sekelas Ryan, yang awalnya seorang manager dan kini telah menjadi CEO perusahaan besar.“Untuk apa?” Ryan kembali dengan membawa dua buah apel dan pisau buah di tangannya.“Kau harus menjawabnya. Atau ... akan kubongkar identitasmu pada semua rekan kerja,” ancam Briana pelan.Ryan sempat ka
Ryan lantas berbalik dan berlari keluar dari ruang apartemennya, mencari sumber suara yang kini tidak lagi terdengar. Pria itu bergegas turun dari lantai 2 apartemen dengan berlari, dia yakin Briana belum jauh dari lokasi. “Maaf, apa kau melihat seorang wanita berambut cokelat keluar dari gedung ini?” tanya Ryan pada seorang staff yang sedang sendirian di area lobi. “Aku berada di sini selama beberapa jam dan tidak ada siapa pun yang melewati lobi.” jawabnya tak acuh, dia merasa tidak melihat siapa pun melewati area itu. “Ah, tentu saja!” gumam Ryan dengan malas. Ryan membuang napas kasar dengan jengkel, ketika melihat sebuah headphone di dekat meja penjaga itu, maka bisa dipastikan kalau si staff sedari tadi memasang headphone dan tidak mengawasi sekitarnya.Tidak ingin berhenti untuk mencari Briana, Ryan berlari ke arah luar apartemen. Jika pikirannya benar, Briana mungkin saja dilarikan melalui tangga darurat di luar gedung berlantai 4 itu. Sesampainya di depan apartemen. D
Dengan langkah pelan, Ryan kini masuk ke apartemennya. Dia terus memegangi balutan perban di lengan kiri yang terluka. Tubuhnya begitu lelah, hari yang begitu berat sejak kemarin pagi. Kini dia pun harus mengabaikan kewajiban dan segala masalah kantor. Tidak habis pikir, hari pertamanya sebagai CEO begitu banyak pertentangan dan tantangan dari berbagai arah.Pesan masuk ke ponsel saat Ryan tengah berbaring di tempat tidur. Tak acuh oleh bunyi panggilan telepon sekali pun. Dia berusaha meraih lalu mematikan ponselnya saat panggilan itu sudah terlampau mengganggu. Logika pikirannya ingin menyerah, tapi pria itu telanjur penasaran dan hatinya membara akan dendam. Ryan terpaksa menunjukkan jati dirinya sesegera mungkin. Dia sudah muak oleh segala perlakuan dan hanya mampu berdiam saja. Pria itu akan memastikan tidak akan ada lagi orang yang mencoba mengganggu, karena kekuasaan itu sudah berada di tangannya. Berita kejadian itu cepat menyebar di media. Dua petugas keamanan yang turut menj
"Dia ... tidak melakukan apa-apa padaku. Dan kau sudah berjanji tidak akan bertanya apa pun!" pekik Briana."Hm. Baiklah. Perlukah kucari tahu sendiri?" desak Tuan White."Ayah! Kalau begitu, aku tidak akan makan apa pun sampai tubuhku kering dan mati!""Oke ... oke ... aku tidak akan mencari tahu urusan kalian. Tapi keputusan ayah sudah bulat, Ryan akan mendapatkan asistennya besok."Tuan White segera beranjak dari kamar Briana. Tidak memedulikan putrinya yang menentang keras asisten baru untuk Ryan. Briana tidak pernah berharap ada sosok lain yang akan berada dekat dengan Ryan. Satu-satunya cara bagi dirinya untuk selalu dekat adalah dengan melanggar peraturan sang ayah lagi seperti dulu."Jika aku menurut pada Ayah, maka Ryan tidak akan mengawasiku lagi." ****Jacob menggedor pintu apartemen Ryan, karena staff apartemen tetap bertahan tidak memberikan kunci ganda padanya. Selain demi keamanan, bagi mereka Jacob adalah pria asing, dan Ryan sudah memberikan ketegasan untuk tidak me
Sontak Ryan dan Candice menoleh ke sumber suara. Briana datang membawa sebuah berkas untuk Ryan."Nona White?"Ryan melepaskan tangannya dari tangan Candice, tampak dari kejauhan wajah Briana menegang dan sedikit kemerahan seperti menahan rasa marah. Namun, Ryan dengan tak acuh kembali menggeser pandangannya ke arah laptop. "Ada apa Briana? Apa kau sudah makan si--.""Aku tidak berencana mengajak Anda makan siang, Tuan Miller. Hanya membawa berkas ini saja." Lalu mata Briana melirik sekilas pada Candice. "Dan memastikan bahwa asisten baru Anda bekerja dengan baik. Kurasa ... dia bisa memberikan Anda lebih dari sekadar kepentingan kantor. Aku permisi."Briana pun membalikkan tubuhnya dan berlalu keluar ruangan. Ryan yang sedari tadi bahkan tidak menyahut atau mencegah kepergian Briana, kini memandangi wanita itu dari dalam ruang kerjanya yang berdinding kaca. "Maafkan aku, Tuan Miller. Apakah aku sudah menyinggung Nona White?" ucap Candice dengan nada bersalah. "Tidak tahu. Kau tanya