"Seharusnya keputusan ini lebih dulu diketahui oleh pihak dalam perusahaan, terutama investor! Apa Anda tidak melihat cermat, siapa yang kompeten memimpin perusahaan Anda?!" ucap Chris, suaranya bergetar menahan emosi.
"Dan siapa kau berani bicara, hum? Apa kau salah satu investor?" Tuan White berjalan pelan ke arah Ryan. "Keputusan yang kuambil tentu bukan hal yang mudah. Aku hanya tidak ingin terpengaruh oleh para penjilat di dalam perusahaanku. Dan aku tahu pemain-pemain kotor di belakangku." Tuan White menatap Chris tajam."Tapi itu tidak bertentangan dan tidak ada etika!""Baiklah, kuperjelas. Meski kau bukan salah satu pemegang saham." Tuan White membalikkan tubuh, berjalan ke kursinya. "Ini harusnya sebuah rahasia. Tapi mungkin pemuda yang terlalu bersemangat sepertimu terlalu banyak ingin tahu. Ha-ha-ha ... ya, ya, baiklah."Tuan White pun duduk, lalu sekretarisnya menekan remote, meredupkan pencahayaan di ruang rapat. Layar presentasi kini menampilkan surat perjanjian dan aturan kepemilikan saham perusahaan White Stone Construction.
Seisi ruangan terasa senyap, semua mata tertuju pada layar dan membaca jelas apa yang sedang ditampilkan. Tertera jelas bahwa Tuan White mengatur dalam setiap keputusan utama termasuk pengangkatan jabatan seorang petinggi perusahaan. Mungkin ini akan terlihat beda dari banyaknya perusahaan lain, tapi di situlah tampak bagaimana kekuasaan Tuan White begitu mendominasi.
Pertumbuhan pesat perusahaanlah yang membuat orang berlomba-lomba menaruh saham di dalamnya. Sedangkan Chris hanyalah salah seorang pegawai perusahaan yang sudah naik jabatan semenjak awalnya hanya seorang supervisor.
Chris perlahan kembali duduk di kursinya, sikap tidak terimanya tampak sesaat menatap Ryan dengan tajam.
Dalam perkenalan sebagai CEO baru, Ryan pun tidak ingin banyak bicara. Namun, hal-hal penting yang dia sampaikan begitu jelas dan sangat memukau para investor, berikut para petinggi departemen, dengan memberikan catatan bahwa perencanaan ke depan masih dirahasiakan.
Tidak terkecuali Briana, yang selama ini menganggap Ryan hanya sibuk berkutat di balik perangkatnya. Dia tidak bisa menyangkal bahwa sosok pemimpin yang tenang, cerdas, dan bijaksana sepenuhnya muncul di diri Ryan. Briana saat ini merasa malu sendiri telah salah menilai, tapi tetap memberi kesan tidak tertarik oleh sosok Ryan.
Jam sudah menunjukkan waktu makan siang, pertemuan disudahi dengan ucapan selamat dan bersalaman dengan setiap orang di dalam ruangan itu. Kecuali Chris, yang memilih melengos keluar ruangan saat semuanya tengah sibuk mengerumuni Ryan dan melempar kata-kata sanjungan. Ryan yang sesungguhnya tidak tertarik oleh basa-basi itu, hanya menanggapinya dengan senyum.
“Selamat. Tuan CEO.” Briana mengulurkan tangan menyalami Ryan, sudut bibirnya terangkat dan hanya sekilas memandang Ryan.
“Terima kasih.” Ryan membalas senyum canggung.
Briana pun keluar ruangan, berikut satu per satu orang yang akan melanjutkan untuk makan siang bersama, di salah satu restoran berkelas favorit Tuan White. Akan tetapi, dengan berbagai alasan Ryan mencoba menghindari ajakan darinya. Meski kecewa, pada akhirnya Tuan White mempersilakan Ryan untuk tidak bergabung bersamanya, memaklumi kepribadian Ryan yang tertutup.
“Biasakan dirimu mulai sekarang, Anak muda.” Tuan White menepuk pelan punggung Ryan sambil berlalu.
Ryan kini sudah kembali berada di ruangannya dan segera keluar untuk mengganti pakaian di toilet khusus. Tanpa sadar, seseorang tengah membuntutinya. Sampai setelah dia selesai mengganti pakaian, tiba-tiba seseorang menarik kerah kemejanya dan menyeretnya keluar sesaat dia membuka pintu.
“Kau sudah merencanakan ini, bukan?!” Chris mencengkeram kerah kemeja Ryan sambil memojokkannya ke dinding di dalam kamar kecil VIP itu.
Meski terkejut, Ryan tetap bersikap dingin. Dia sudah tahu pasti ini akan terjadi. Chris yang berambisi meraih posisi CEO, sudah terlihat sangat emosi seakan ingin membunuh dirinya.
“Aku tidak akan menjawab pertanyaan konyol! Tanyakan saja pada dirimu, kenapa hanya aku yang menjadi kandidat satu-satunya bagi Tuan White.” Ryan sambil menepis kuat lengan Chris hingga terlepas dari lehernya, karena mulai terasa mencekiknya.
“Ternyata kau kuat juga. Brengsek! Kita lihat sebatas apa kemampuanmu.”
Chris langsung melayangkan kepalan tangan untuk mengenai sisi wajah Ryan, tapi dengan cepat Ryan menangkap pukulan yang nyaris mendarat di wajahnya. Kemudian bagian pergelangan tangannya diputar oleh Ryan hingga Chris meringis kesakitan.
“Hanya sebatas ini, huh? Aku tidak biasa menggunakan emosi untuk menyakiti orang.” Ryan membalas dengan nada datar. "Rasakan ini!" Satu tangan lainnya terangkat untuk memukul bagian perut, tapi segera ditahan oleh lutut Ryan yang langsung menendang tubuh Chris hingga termundur beberapa langkah dengan tidak seimbang. "Ini hanya sedikit tenaga, Chris. Ayolah, ini kantor bukan jalanan.“ Ryan memasang wajah remeh pada Chris. "Lanjutkan, tapi jangan lupa kau sedang membelakangi CCTV. Ini bukan di dalam kamar kecil.”
Chris yang sudah memasang posisi untuk berkelahi, akhirnya menyadari itu. Dia segera menarik dirinya mundur. “Kau! Berhati-hatilah. Jangan sampai aku tahu kau merebut Briana, sebaiknya jaga nyawamu baik-baik,” ancam Chris pelan, lalu membalikkan tubuhnya dengan cepat berjalan keluar dari tempat itu dengan menunduk menghindari sorotan kamera pengamanan. Karena kesal, Ryan merapikan kerah kemejanya dengan kasar sambil menatap dirinya di cermin. Chris benar-benar mulai mengawasi gerak-geriknya akhir-akhir ini. Sambil mengusap wajah, dia membatin, "Sangat sulit menemukan bukti-bukti lebih jauh lagi, gerakanku semakin terbatas karena orang-orang ini! Sial!" Telapak tangannya mengepal dan memukul marmer washtafel dengan kuat.
Ryan pun lalu berjalan keluar menuju ruangannya kembali. Sesaat kemudian dia baru membuka pintu, dilihatnya kini Briana tengah duduk di salah satu sofa ruang kerjanya. "Sedang apa kau di sini?" "Menunggumu. Siapa lagi?" jawab Briana sambil mengangkat dagunya.
"Ada hal apa mencariku?" Ryan melenggang tak acuh melewati Briana dan duduk di kursi meja kerjanya.
"Aku ingin mengajakmu makan siang. Banyak yang perlu kita bicarakan." "Makan siang? Kau ingin menraktirku? Ha-ha-ha ... sayang sekali pesanan makan siangku akan datang." "Kau makan di ruang kerja? Jangan mengotori ruangan ini!" "Kurasa setiap ruangan adalah hak penghuninya, dan aku hanya makan pizza, itu tidak akan kotor.""Kau harus menghindari makanan cepat saji untuk bisa memiliki tenaga. Kau adalah CEO, isi kepalamu perlu nutrisi." "Terima kasih atas nasihatmu. Kurasa aku cukup kuat." Ryan menyungging senyum kecil. "Ngomong-ngomong, sejak kapan kau begitu perhatian. Bukankah kau yang sengaja mengirimkan setelan jas hijau pucat itu, itu seleramu, bukan?" "Bukan be--!" Briana menyentak di posisi duduknya lalu terhenti bicara, dia merasa dianggap memiliki selera seperti itu. "Sudahlah! Jika tidak suka, kenapa kau memakainya?" "Ayahmu memaksaku, jadi kupakai," jawab Ryan sambil bersikap santai. "Hanya karena Ayah?" "Lalu siapa, bukankah menurutmu dia yang selalu memaksa?" "Ti-tidak. Bukan itu. Tapi, ah, sudahlah. Jadi kau tidak ingin makan siang?" Ryan menggeleng pelan sambil kembali memasang kacamatanya. Dia mengabaikan Briana, sama sekali tidak melihat ke arah wanita yang kini sudah berdiri menunggu jawaban makan siang bersama. "Kau saja, oke," ucap Ryan datar sambil menatap laptopnya. "Dasar pria aneh!" Briana pun mendengkus kesal sambil berlalu, sampai di dekat pintu dia pun menghentikan langkah kembali. "Periksa berkas di atas mejamu, beberapa hal yang harus kau ketahui ada di sana." Dia pun lanjut berjalan keluar meninggalkan Ryan. Sesaat Briana pergi, Ryan menoleh sedikit ke arah kaca dari dalam ruangannya. Terlihat Briana yang berjalan cepat dan semakin menjauh. "Dia pasti kesal sekali," gumam Ryan sambil tersenyum tipis. Matanya kini tengah melihat isi berkas yang dibawa oleh Briana. Sesaat memeriksa satu per satu berkas itu, tiba-tiba Ryan tersenyum kembali dan memasang ekspresi puas.
"Kena kau!"
Ryan berdiri melihat ke atas di depan gedung perkantoran itu. Lalu dia berjalan pelan di sisi jalan dengan lalu lintas padat dan gemerlap lampu kota malam hari itu yang menemani langkahnya menuju apartemen. Dia memilih santai berjalan kaki, setelah menolak ajakan Jacob untuk menumpang. Kendaraannya kini masih berada di bengkel dengan masalah kerusakan lain yang begitu aneh karena merambat pada hal lain, yang seharusnya hanya mengganti kaca depan saja. Saat dia melangkah pelan di jalur yang mulai sedikit tidak ramai, tiba-tiba sebuah sedan mewah merapat dan berjalan pelan di sebelah seakan mengikuti langkahnya. Awalnya Ryan tidak menyadari hal itu, karena risih merasa diikuti akhirnya menoleh ke arah kendaraan itu.Kaca mobil itu pun terbuka pelan, muncul sosok Briana yang memanggilnya untuk berhenti. “Hati-hati kepalamu, kau melihatku sambil berjalan!” teriak Briana dari dalam mobilnya. “Berhentilah sebentar.”“Kau?” Ryan tersentak, dia berhenti dan diam di posisinya. “Mau kuantar?
Ryan memperhatikan Briana dengan seksama, adegan kali ini hampir mirip dengan mimpinya kala itu. Matanya terkecoh oleh cara duduk Briana, benar-benar mengacaukan pikirannya. Pria itu pun sengaja bangkit dari sofa dan berpura-pura mengambil sesuatu di dalam lemari pendingin. “Hey, kau tidak menjawab pertanyaanku!” teriak Briana dari ruang utama. Ruang apartemen berukuran tidak luas yang dihuninya, terdapat ruang-ruang yang saling terhubung dan mudah dilihat dari titik tengah ruangan. Sedangkan kamar pribadi dan kamar mandi yang terpisah, tidak bisa mudah disambangi siapa pun karena letak pintunya terdapat di sudut ruangan dan terhalang sebuah penyekat ruang. Sangat bisa dikatakan kecil untuk orang sekelas Ryan, yang awalnya seorang manager dan kini telah menjadi CEO perusahaan besar.“Untuk apa?” Ryan kembali dengan membawa dua buah apel dan pisau buah di tangannya.“Kau harus menjawabnya. Atau ... akan kubongkar identitasmu pada semua rekan kerja,” ancam Briana pelan.Ryan sempat ka
Ryan lantas berbalik dan berlari keluar dari ruang apartemennya, mencari sumber suara yang kini tidak lagi terdengar. Pria itu bergegas turun dari lantai 2 apartemen dengan berlari, dia yakin Briana belum jauh dari lokasi. “Maaf, apa kau melihat seorang wanita berambut cokelat keluar dari gedung ini?” tanya Ryan pada seorang staff yang sedang sendirian di area lobi. “Aku berada di sini selama beberapa jam dan tidak ada siapa pun yang melewati lobi.” jawabnya tak acuh, dia merasa tidak melihat siapa pun melewati area itu. “Ah, tentu saja!” gumam Ryan dengan malas. Ryan membuang napas kasar dengan jengkel, ketika melihat sebuah headphone di dekat meja penjaga itu, maka bisa dipastikan kalau si staff sedari tadi memasang headphone dan tidak mengawasi sekitarnya.Tidak ingin berhenti untuk mencari Briana, Ryan berlari ke arah luar apartemen. Jika pikirannya benar, Briana mungkin saja dilarikan melalui tangga darurat di luar gedung berlantai 4 itu. Sesampainya di depan apartemen. D
Dengan langkah pelan, Ryan kini masuk ke apartemennya. Dia terus memegangi balutan perban di lengan kiri yang terluka. Tubuhnya begitu lelah, hari yang begitu berat sejak kemarin pagi. Kini dia pun harus mengabaikan kewajiban dan segala masalah kantor. Tidak habis pikir, hari pertamanya sebagai CEO begitu banyak pertentangan dan tantangan dari berbagai arah.Pesan masuk ke ponsel saat Ryan tengah berbaring di tempat tidur. Tak acuh oleh bunyi panggilan telepon sekali pun. Dia berusaha meraih lalu mematikan ponselnya saat panggilan itu sudah terlampau mengganggu. Logika pikirannya ingin menyerah, tapi pria itu telanjur penasaran dan hatinya membara akan dendam. Ryan terpaksa menunjukkan jati dirinya sesegera mungkin. Dia sudah muak oleh segala perlakuan dan hanya mampu berdiam saja. Pria itu akan memastikan tidak akan ada lagi orang yang mencoba mengganggu, karena kekuasaan itu sudah berada di tangannya. Berita kejadian itu cepat menyebar di media. Dua petugas keamanan yang turut menj
"Dia ... tidak melakukan apa-apa padaku. Dan kau sudah berjanji tidak akan bertanya apa pun!" pekik Briana."Hm. Baiklah. Perlukah kucari tahu sendiri?" desak Tuan White."Ayah! Kalau begitu, aku tidak akan makan apa pun sampai tubuhku kering dan mati!""Oke ... oke ... aku tidak akan mencari tahu urusan kalian. Tapi keputusan ayah sudah bulat, Ryan akan mendapatkan asistennya besok."Tuan White segera beranjak dari kamar Briana. Tidak memedulikan putrinya yang menentang keras asisten baru untuk Ryan. Briana tidak pernah berharap ada sosok lain yang akan berada dekat dengan Ryan. Satu-satunya cara bagi dirinya untuk selalu dekat adalah dengan melanggar peraturan sang ayah lagi seperti dulu."Jika aku menurut pada Ayah, maka Ryan tidak akan mengawasiku lagi." ****Jacob menggedor pintu apartemen Ryan, karena staff apartemen tetap bertahan tidak memberikan kunci ganda padanya. Selain demi keamanan, bagi mereka Jacob adalah pria asing, dan Ryan sudah memberikan ketegasan untuk tidak me
Sontak Ryan dan Candice menoleh ke sumber suara. Briana datang membawa sebuah berkas untuk Ryan."Nona White?"Ryan melepaskan tangannya dari tangan Candice, tampak dari kejauhan wajah Briana menegang dan sedikit kemerahan seperti menahan rasa marah. Namun, Ryan dengan tak acuh kembali menggeser pandangannya ke arah laptop. "Ada apa Briana? Apa kau sudah makan si--.""Aku tidak berencana mengajak Anda makan siang, Tuan Miller. Hanya membawa berkas ini saja." Lalu mata Briana melirik sekilas pada Candice. "Dan memastikan bahwa asisten baru Anda bekerja dengan baik. Kurasa ... dia bisa memberikan Anda lebih dari sekadar kepentingan kantor. Aku permisi."Briana pun membalikkan tubuhnya dan berlalu keluar ruangan. Ryan yang sedari tadi bahkan tidak menyahut atau mencegah kepergian Briana, kini memandangi wanita itu dari dalam ruang kerjanya yang berdinding kaca. "Maafkan aku, Tuan Miller. Apakah aku sudah menyinggung Nona White?" ucap Candice dengan nada bersalah. "Tidak tahu. Kau tanya
"Lepaskan tanganmu!" Briana menghempaskan tangan agar telepas dari genggaman Chris. "Kau saja makan sendiri. Dasar pengganggu!" Dia segera berjalan untuk kembali ke ruang kerjanya dan meninggalkan Chris yang tampak geram.Ryan tidak lagi berselera menyantap seafood kesukaannya. Dia kembali berkutat di ruang kerja dan laptop sampai ketika sang asisten masuk dan membawa sesuatu di tangannya. Dilihatnya kedatangan Candice dari arah pintu dan tanpa disadarinya wanita itu sudah berada di samping dan menyentuhkan sisi tangannya sebuah kotak makanan berlogo restoran asia tadi. Ryan sontak melihat ke arah kotak itu lalu mendongak memandang Candice. "Apa ini?” tanyanya datar dan tidak tertarik."Um ... pramusaji restoran tadi mengatakan kau tidak jadi memakan pesananmu, Tuan." Candice mengulas senyum malu-malu di sudut bibirnya. "Jadi ... aku memesannya lagi. Sama persis dengan pesanan Anda." Lalu dia mengeluarkan kartu milik Ryan dari saku blazernya. “Dan … ini kartumu, Tuan.”"Terima kasih.
Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore hari. Ryan yang masih fokus di meja kerjanya, terlupa mengingatkan sang asisten untuk menyudahi urusan pekerjaan. Candice perlahan mendekat ke arah Ryan dan berdiri di sampingnya."Tuan Miller. Kau tidak ingin pulang?""Hm?" Ryan mendongak ke arah Candice, kemudian kembali melihat pada jam tangan yang dipakainya. "Oh, maaf, kau boleh pulang lebih dulu. Aku masih ada sedikit pekerjaan.""Apa kau perlu bantuan lain?""Tidak ada. Terima kasih."Candice pun lanjut membereskan meja kerjanya dan menenteng tas kecil miliknya sambil menuju pintu. "Sore, Tuan Miller."Ryan hanya mengangguk pelan dan kembali pada berkas di hadapannya tanpa melihat ke arah Candice. Sesungguhnya wanita itu ingin Ryan memperhatikannya keluar, tetapi dia merasa itu hal yang sangat tidak mungkin, karena Ryan hanyalah pria yang selalu bersikap dingin.Hanya berselang setengah jam, Ryan kini sudah selesai dari pekerjaannya. Dia berjalan menuju area gedung parkir perusahaan, mengenaka
Saat berada di dalam ruangan, tiba-tiba Briana kembali mengirimkan pesan pada Ryan.Briana : [ Ryan, apa kau sudah makan siang? ]Ryan : [ Ya, Candice membawakan pesananku ke ruangan. Aku ingin segera menyelesaikan analisisku untuk beberapa proposal. Kita perlu membuang pikiran tentang pekerjaan besok, bukan? ]Briana : [ Oh, baiklah. Katakan padaku jika kau sudah selesai. Aku ingin bicara denganmu ]Ryan : [ Apakah itu penting? ]Briana : [ Entahlah Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu ]Ryan : [ Baiklah, aku akan ke tempatmu setengah jam lagi ]Setelah Ryan menyelesaikan proposal terakhir, dia bergegas datang ke ruangan Briana, wajahnya menunjukkan kekhawatiran, tidak biasanya Briana bicara empat mata secara tiba-tiba. Dia sempat berpikir bahwa gadis itu ingin membatalkan rencana besok. Saat memasuki ruangan dan menutup pintu. Kecanggungan terasa saat Ryan berjalan mendekat ke mejanya."Ada apa, Briana?"Sejenak Briana tampak menggigit bibirnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat
Seorang pria tampan melangkah masuk ke lobi kantor perusahaan White dengan percaya diri. Setelan jas abu-abu tua yang membalut tubuh tegapnya terlihat sempurna, menonjolkan postur tubuh yang atletis dan penampilan elegan. Rambut cokelatnya tertata rapi dan mata biru yang tajam seolah menarik perhatian setiap orang yang berada di lobi. Aaron Ford, kakak kedua Ryan, menyambangi kantor itu untuk menemui Briana. Para karyawan yang kebetulan berada di lobi tidak bisa menyembunyikan kekaguman mereka. Beberapa dari mereka berbisik-bisik, mencoba menebak siapa pria berkharisma ini.Pria setinggi enam kaki itu terus melangkah menuju meja resepsionis. Tatapannya yang menawan membuat sang resepsionis tersenyum kikuk, tetap berusaha profesional."Selamat siang, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis itu dengan suara yang berusaha tetap tenang.Aaron membalas dengan senyum menenangkan. "Selamat siang. Saya Aaron Ford. Saya ingin bertemu dengan Nona White," ucapnya dengan suara bariton
Setelah beberapa hari pemulihan dan kejenuhannya selama berada di mansion, Ryan akhirnya kembali ke kantor dengan penuh semangat. Pagi itu dengan langkah yang tidak lagi tertatih, dia memasuki area lobi, tampil tampan dan berkharisma dengan setelan jas biru gelap dan kemeja putih.Ryan kini tampak jauh berbeda jika dibandingkan dirinya dulu, seorang manager IT perusahaan itu. Kewibawaan sosok CEO-nya semakin terpancar, menampakkan jiwa sesungguhnya yang seorang Ryan Stanley Ford—sang anak pengusaha kedua terbesar di US. Meskipun kini dia masih menjaga identitas palsunya sebagai Ryan Miller, tapi tidak bisa dipungkiri jati dirinya yang garis keturunan seorang miliarder.Para karyawan yang telah merindukan kehadiran sang CEO, pun menyambutnya dengan hangat. Mereka semua berdiri di lobi, bertepuk tangan dan tersenyum ketika Ryan memasuki lift khusus menuju lantai atas. Ryan membalas sambutan itu dengan senyum lebar dan anggukan kepala, merasa sangat dihargai oleh tim dan karyawan yang ber
Briana mengangkat pandangan dari bunga mawar itu dan melihat ke arah Candice. "Selamat pagi, Candice. Ada yang bisa kubantu?" tanyanya, mencoba menjaga nada suaranya tetap profesional meskipun ada perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba muncul."Ini adalah laporan yang perlu Anda tinjau hari ini. Selain itu, ada beberapa hal yang perlu dibicarakan mengenai proyek baru." Candice tersenyum tipis dan melangkah mendekat, menaruh berkas-berkas di meja Briana. Briana mengangguk. "Terima kasih. Aku akan melihatnya segera," jawabnya singkat sambil melihat pada berkas yang ditaruh ke meja. Mata Candice masih menatap bunga dan kotak perhiasan yang ada di meja Briana. "Pemberian dari seseorang yang spesial?" tanyanya dengan senyum canggung. "Ya, seseorang yang sangat berarti bagiku," sahut Briana sambil mengulas senyum, teringat kembali oleh Ryan. "Senang mendengarnya. Jika ada yang perlu dibantu, tolong beritahu saya." Candice mengangguk, menyembunyikan perasaannya dengan baik. Setelah itu, Ca
Ryan menatap langit-langit penthouse-nya, pikirannya dipenuhi dengan bayangan Briana. Dia memutuskan untuk menghubungi Briana, merasa perlu mendengar suaranya untuk sedikit mengobati rasa rindunya. Dia mengambil ponselnya dan menekan nomor Briana, menunggu dengan cemas."Halo, Ryan," suara lembut Briana terdengar dari seberang sana."Briana. Bagaimana kabarmu? Kau sudah kembali ke kantor?" tanya Ryan, mencoba menjaga nada suaranya tetap ringan.Terdengar tawa halus sekilas dari Briana, sedikit memanjakan telinga Ryan mendengar gadis itu menerima teleponnya dengan manis. "Ya, aku sudah kembali. Rasanya aneh setelah sekian lama tidak di sana, tapi semuanya berjalan lancar. Bagaimana denganmu? Bagaimana pemulihanmu?"Ryan menghela napas, mencoba terdengar ceria. "Aku baik-baik saja. Hanya saja, terjebak di sini membuatku merasa sedikit ... terisolasi."Briana merasakan simpati. "Aku bisa membayangkan. Aku berharap bisa datang menemuimu dan membuatmu merasa lebih baik. Aku tidak cukup ban
“Selamat siang, Tuan Miller.” Candice melangkah gemulai di atas lantai marmer dengan heelsnya. "Saya pikir ada beberapa detail teknis yang perlu kita diskusikan lebih lanjut," ucapnya dengan nada profesional, sambil menata beberapa dokumen di atas meja ruang utama itu.Setelah beberapa hari selalu berada di kantor, Candice akhirnya mengunjungi Ryan di penthouse. Kunjungannya kali diisi dengan tugas profesional yang semakin intens. Namun, di antara niatnya untuk membicarakan serangkaian rapat dan diskusi, dia menemukan kesempatan untuk mendekati Ryan.Diskusi panjang itu kini rampung dan telah mendapatkan hasil yang baik dari para tim project yang bekerja profesional, sebuah proyek masa depan yang sangat menjanjikan. “Baiklah, segalanya be
Ryan mengatur langkahnya dengan hati-hati di lorong rumah sakit yang sepi. Dibantu oleh Jacob yang sesekali memapahnya. Cahaya redup lampu-lampu koridor dini hari itu memantulkan kelelahan yang dirasakannya setelah berhari-hari penuh dengan tekanan. Namun, pikirannya terus saja melayang pada sosok Briana.Di ujung lorong, Ryan tiba di kamar Briana dan membuka pintunya dengan diantar oleh pengawas ruangan kelas presidential rumah sakit. Setelah pintu dibuka, dilihatnya Briana yang terbaring lemah di tempat tidur, tapi senyum tipis mengembang di bibirnya saat dia masuk perlahan."Briana," desis Ryan dengan suara lembut, mencoba tidak mengganggu keadaan istirahatnya.Briana membuka matanya perlahan, dia belum bisa nyenyak tidur setelah apa yang terjadi kemarin. Namun, suara Ryan adalah harapan baginya saat ini, pria yang ditunggunya sungguh telah hadir. "Ryan, kau di sini," sahutnya dengan suara yang lemah, menyambut kehadiran Ryan dengan senyuman lembut.Ryan mengambil tempat di sampin
Ryan duduk tegang di dalam mobil bersama Jacob. Dia merenungkan pertanyaan-pertanyaan yang masih menggantung. Apa yang sebenarnya terjadi di dalam mansion ayahnya? Mengapa Chris ada di sana? Dan apa peran ayahnya dalam semua ini? Apakah ini semua terkait dengan misi rahasia sang ayah di perusahaan White? Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan yang bergulir tanpa jawaban pasti."Kami akan menyerbu mansion Ford dalam satu jam. Persiapan harus matang." Jacob menatap Ryan dengan ekspresi serius. Ryan mengangguk, meski merasakan sakit yang menyiksa pada pergelangan kakinya. Dia semakin menguatkan keinginannya untuk mengetahui kebenaran di balik misteri ini. "Aku akan ikut. Aku perlu tahu apa yang sedang terjadi di sana.""Kondisimu belum pulih sepenuhnya. Aku akan memastikan semuanya berjalan lancar." Jacob menggeleng dengan perasaan khawatir. "Tidak!" Ryan bersikeras. "Aku harus ada di sana. Ini penting.""Baiklah, tapi kau harus patuh pada perintah. Jangan bertindak gegabah!"Namun, t
Baru saja selesai mengambil sejumlah swafoto dirinya dan Briana yang terkesan vulgar. Ketenangan Chris tiba-tiba terganggu oleh suara gaduh di lorong. Dia mendengar suara langkah kaki cepat mendekat. Chris merasa curiga. Dia melongok tipis dengan membuka pintu perlahan, menyadari kini dia terjebak oleh sejumlah agen berpakaian hitam disertai kelengkapan senjata, tengah mencari keberadaan Briana. Dia panik, waktunya semakin menipis. Dengan cepat menyembunyikan bukti dan bersiap melarikan diri.Saat pintu kamar diketuk, Chris sudah siap. Dia bergegas menuju pintu belakang villa yang terhubung dengan sebuah taman umum. Dengan langkah cepat, dia meloloskan diri sebelum siapa pun sempat masuk ke kamar. Sementara itu, di luar kamar, tim keamanan villa bersama agen polisi dan Ryan---yang berjalan dengan sedikit tertatih, tetap memaksa untuk ikut. Mereka berhenti di depan kamar yang diduga tempat Briana berada.Ryan, dengan napas tersengal-sengal karena rasa sakit di kakinya, menatap pintu k