Dengan langkah pelan, Ryan kini masuk ke apartemennya. Dia terus memegangi balutan perban di lengan kiri yang terluka. Tubuhnya begitu lelah, hari yang begitu berat sejak kemarin pagi. Kini dia pun harus mengabaikan kewajiban dan segala masalah kantor. Tidak habis pikir, hari pertamanya sebagai CEO begitu banyak pertentangan dan tantangan dari berbagai arah.Pesan masuk ke ponsel saat Ryan tengah berbaring di tempat tidur. Tak acuh oleh bunyi panggilan telepon sekali pun. Dia berusaha meraih lalu mematikan ponselnya saat panggilan itu sudah terlampau mengganggu. Logika pikirannya ingin menyerah, tapi pria itu telanjur penasaran dan hatinya membara akan dendam. Ryan terpaksa menunjukkan jati dirinya sesegera mungkin. Dia sudah muak oleh segala perlakuan dan hanya mampu berdiam saja. Pria itu akan memastikan tidak akan ada lagi orang yang mencoba mengganggu, karena kekuasaan itu sudah berada di tangannya. Berita kejadian itu cepat menyebar di media. Dua petugas keamanan yang turut menj
"Dia ... tidak melakukan apa-apa padaku. Dan kau sudah berjanji tidak akan bertanya apa pun!" pekik Briana."Hm. Baiklah. Perlukah kucari tahu sendiri?" desak Tuan White."Ayah! Kalau begitu, aku tidak akan makan apa pun sampai tubuhku kering dan mati!""Oke ... oke ... aku tidak akan mencari tahu urusan kalian. Tapi keputusan ayah sudah bulat, Ryan akan mendapatkan asistennya besok."Tuan White segera beranjak dari kamar Briana. Tidak memedulikan putrinya yang menentang keras asisten baru untuk Ryan. Briana tidak pernah berharap ada sosok lain yang akan berada dekat dengan Ryan. Satu-satunya cara bagi dirinya untuk selalu dekat adalah dengan melanggar peraturan sang ayah lagi seperti dulu."Jika aku menurut pada Ayah, maka Ryan tidak akan mengawasiku lagi." ****Jacob menggedor pintu apartemen Ryan, karena staff apartemen tetap bertahan tidak memberikan kunci ganda padanya. Selain demi keamanan, bagi mereka Jacob adalah pria asing, dan Ryan sudah memberikan ketegasan untuk tidak me
Sontak Ryan dan Candice menoleh ke sumber suara. Briana datang membawa sebuah berkas untuk Ryan."Nona White?"Ryan melepaskan tangannya dari tangan Candice, tampak dari kejauhan wajah Briana menegang dan sedikit kemerahan seperti menahan rasa marah. Namun, Ryan dengan tak acuh kembali menggeser pandangannya ke arah laptop. "Ada apa Briana? Apa kau sudah makan si--.""Aku tidak berencana mengajak Anda makan siang, Tuan Miller. Hanya membawa berkas ini saja." Lalu mata Briana melirik sekilas pada Candice. "Dan memastikan bahwa asisten baru Anda bekerja dengan baik. Kurasa ... dia bisa memberikan Anda lebih dari sekadar kepentingan kantor. Aku permisi."Briana pun membalikkan tubuhnya dan berlalu keluar ruangan. Ryan yang sedari tadi bahkan tidak menyahut atau mencegah kepergian Briana, kini memandangi wanita itu dari dalam ruang kerjanya yang berdinding kaca. "Maafkan aku, Tuan Miller. Apakah aku sudah menyinggung Nona White?" ucap Candice dengan nada bersalah. "Tidak tahu. Kau tanya
"Lepaskan tanganmu!" Briana menghempaskan tangan agar telepas dari genggaman Chris. "Kau saja makan sendiri. Dasar pengganggu!" Dia segera berjalan untuk kembali ke ruang kerjanya dan meninggalkan Chris yang tampak geram.Ryan tidak lagi berselera menyantap seafood kesukaannya. Dia kembali berkutat di ruang kerja dan laptop sampai ketika sang asisten masuk dan membawa sesuatu di tangannya. Dilihatnya kedatangan Candice dari arah pintu dan tanpa disadarinya wanita itu sudah berada di samping dan menyentuhkan sisi tangannya sebuah kotak makanan berlogo restoran asia tadi. Ryan sontak melihat ke arah kotak itu lalu mendongak memandang Candice. "Apa ini?” tanyanya datar dan tidak tertarik."Um ... pramusaji restoran tadi mengatakan kau tidak jadi memakan pesananmu, Tuan." Candice mengulas senyum malu-malu di sudut bibirnya. "Jadi ... aku memesannya lagi. Sama persis dengan pesanan Anda." Lalu dia mengeluarkan kartu milik Ryan dari saku blazernya. “Dan … ini kartumu, Tuan.”"Terima kasih.
Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore hari. Ryan yang masih fokus di meja kerjanya, terlupa mengingatkan sang asisten untuk menyudahi urusan pekerjaan. Candice perlahan mendekat ke arah Ryan dan berdiri di sampingnya."Tuan Miller. Kau tidak ingin pulang?""Hm?" Ryan mendongak ke arah Candice, kemudian kembali melihat pada jam tangan yang dipakainya. "Oh, maaf, kau boleh pulang lebih dulu. Aku masih ada sedikit pekerjaan.""Apa kau perlu bantuan lain?""Tidak ada. Terima kasih."Candice pun lanjut membereskan meja kerjanya dan menenteng tas kecil miliknya sambil menuju pintu. "Sore, Tuan Miller."Ryan hanya mengangguk pelan dan kembali pada berkas di hadapannya tanpa melihat ke arah Candice. Sesungguhnya wanita itu ingin Ryan memperhatikannya keluar, tetapi dia merasa itu hal yang sangat tidak mungkin, karena Ryan hanyalah pria yang selalu bersikap dingin.Hanya berselang setengah jam, Ryan kini sudah selesai dari pekerjaannya. Dia berjalan menuju area gedung parkir perusahaan, mengenaka
Di kawasan elit Mead Lane, South, sebuah mansion megah berdiri kokoh di antara hamparan hijau dan pemandangan laut yang memukau. Hunian milik keluarga Ford, keluarga miliarder yang terkenal di dunia bisnis. Dengan arsitektur yang mewah, mansion ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas teknologi canggih itu berdiri di atas lahan seluas 7 hektar. Ryan menghentikan mobil mewahnya di depan gerbang tinggi mansion. Gerbang tinggi dari besi tempa terbuka otomatis saat mobil hitam itu mendekat, penjaga keamanan memberi hormat saat dia melewati. Lampu-lampu taman yang tersebar di sepanjang jalan setapak menuju rumah memancarkan cahaya lembut, menambah kesan dramatis pada mansion megah itu.Ryan turun dari mobilnya dan berjalan masuk, diiringi oleh gemerisik dedaunan dari taman yang tertata rapi. Langkahnya mantap menuju pintu utama yang besar dan elegan, lalu disambut oleh salah satu pelayan yang sudah lama bekerja untuk keluarganya."Selamat malam, Tuan. Keluarga Anda sudah menunggu di ruang
Saat matahari mulai tenggelam, hamparan pantai Malibu yang indah berkilauan menjadi saksi bisu dari sebuah perayaan pemberkatan Shane dan kekasihnya, Lily. Tenda putih yang megah berdiri anggun di atas pasir, dihiasi dengan rangkaian bunga anggrek, mawar putih dan tentunya Lily–sesuai nama sang pengantin wanita.Sepoi-sepoi angin laut yang menyegarkan dan suara ombak yang lembut menciptakan suasana yang begitu magis. Para tamu yang berpakaian anggun menikmati koktail eksotis sambil menyaksikan upacara pemberkatan yang penuh khidmat, dengan latar belakang laut biru yang tak berujung.Saat pemberkatan sukses digelar, acara berlanjut ke resepsi. Musik mengalun lembut, para tamu mulai menikmati hidangan lezat yang disajikan. Ryan tetap waspada, tetapi berusaha menikmati momen spesial kakaknya. Pesta mewah ala billionaire itu berlangsung dengan gemerlap. Lampu-lampu kristal memantulkan kilauan cahaya, menciptakan suasana malam yang magis. Para tamu eksklusif hadir dengan pakaian serba maha
“Ryan?” Briana menatap mata Ryan dengan seksama. “Kau mabuk?”Sesaat kemudian Ryan membuang napas kasar, tersadar tengah dikendalikan oleh emosinya, sedangkan sudah sejak lama dirinya tidak pernah lagi menyukai wine. Dirinya paling benci dikendalikan efek alkohol.Malam yang begitu berat baginya untuk berpikir keras, kenapa sang ayah malah membiarkan White kembali menjalin hubungan persahabatan dengan keluarganya. Bahkan, kali ini tidak menolak Aaron mendekati Briana. Misi apa lagi yang tengah direncanakan sang ayah.Ryan menghela napas, mencoba kembali sadar. “Maafkan aku. Tapi aku ingin istirahat, sebaiknya kau pulang.”“Aku menunggumu sedari tadi, hanya ini yang kuterima?” tanya Briana dengan tatapan kecewa.Perlahan Ryan pun melepaskan kedua tangannya di pundak Briana, kemudian mengambil kunci berupa kartu dari saku celananya, lalu menggesekkannya ke sebuah alat di sisi pintu.Setelah pintu itu terbuka, Ryan meraih tangan Briana dan mengajaknya masuk ke dalam penthouse.“Ayo, masu