“Ryan?” Briana menatap mata Ryan dengan seksama. “Kau mabuk?”Sesaat kemudian Ryan membuang napas kasar, tersadar tengah dikendalikan oleh emosinya, sedangkan sudah sejak lama dirinya tidak pernah lagi menyukai wine. Dirinya paling benci dikendalikan efek alkohol.Malam yang begitu berat baginya untuk berpikir keras, kenapa sang ayah malah membiarkan White kembali menjalin hubungan persahabatan dengan keluarganya. Bahkan, kali ini tidak menolak Aaron mendekati Briana. Misi apa lagi yang tengah direncanakan sang ayah.Ryan menghela napas, mencoba kembali sadar. “Maafkan aku. Tapi aku ingin istirahat, sebaiknya kau pulang.”“Aku menunggumu sedari tadi, hanya ini yang kuterima?” tanya Briana dengan tatapan kecewa.Perlahan Ryan pun melepaskan kedua tangannya di pundak Briana, kemudian mengambil kunci berupa kartu dari saku celananya, lalu menggesekkannya ke sebuah alat di sisi pintu.Setelah pintu itu terbuka, Ryan meraih tangan Briana dan mengajaknya masuk ke dalam penthouse.“Ayo, masu
Dalam beberapa hari terakhir, Ryan merasa kehilangan sosok Briana yang sulit ditemuinya bahkan untuk berkirim pesan. Keberadaan gadis itu yang tiba-tiba menghilang mengganggu pikirannya, tetapi dia mencoba mengesampingkan perasaan itu dan fokus pada pekerjaannya.Ryan mendapat kabar dari salah seorang teman bahwa Briana sedang cuti dan pergi berlibur ke luar negeri. Itu adalah keputusan yang sangat mendadak, membuat Ryan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.Suatu malam, setelah pulang dari kantor. Suasana di parkiran gedung terasa terlalu sunyi. Setiap bayangan dan suara kecil membuatnya waspada. Ryan, yang tidak ingin lengah, instingnya berbicara bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Dalam kepanikan, dia menunduk dan mendekatkan kepalanya ke sisi dada kirinya yang terdapat ponsel di dalam saku jas, lalu mengucap perintah. “Siri. Darurat.”Saat dia membuka pintu mobilnya, firasatnya terbukti benar. Tanpa peringatan, sekelompok orang berpakaian serba hitam muncul dari kegelapan,
Ryan merasa tubuhnya berat dan nyeri saat tersadar di rumah sakit. Luka tembak di kakinya dirawat dengan serius berbagai cedera akibat pemukulan membuatnya merasa lelah dan lemah. Beberapa hari berlalu, dirinya dirawat dengan telaten oleh tim medis, memastikan setiap luka dan memar diperiksa serta diobati hingga waktunya Ryan pulih dan bisa kembali beraktivitas. .Keesokan paginya, saat cahaya matahari mulai menembus tirai kamar rumah sakit, Ryan merasakan sesuatu yang hangat melintang di perutnya. Dia menggerakkan tangannya perlahan dan menyentuhnya. Tampak sekilas itu adalah tangan milik seseorang. Matanya membuka sedikit demi sedikit, melihat seorang gadis duduk di samping tempat tidurnya, tertidur dengan kepala menelungkup dan rambut terurai.Ryan mengenali sosok itu sebagai Briana. Hatinya berdesir melihat betapa perhatian dan pedulinya gadis itu. Terlintas kembali saat-saat terakhir kebersamaan mereka di penthouse, Briana tampaknya kecewa atas perilakunya.Kini Ryan ingin menikm
Ryan masih merasakan hangatnya ciuman yang dia berikan pada Briana ketika pintu kamar terbuka mendadak, mengganggu momen intim di antara mereka. Keduanya menoleh ke arah suara tersebut dengan cepat dan mendapati Candice berdiri di sana dengan ekspresi terkejut.“Apa aku mengganggu kalian?” tanya Candice dengan nada datar seperti menahan marah..Ryan mendesah dalam hati. “Apa kau tidak bisa mengetuk pintu terlebih dahulu?”“Ma-maafkan aku, Tuan Miller.” Candice terlihat sedikit gugup, bertolak belakang dengan matanya yang menyorot tajam ke arah Briana.Briana mengangkat alis, menatap Candice dengan tajam. “Sekretarismu datang sepagi ini, Ryan?”Ryan mencoba meredakan ketegangan. “Ini sudah jam kerja, ayolah. Kedatangannya karena ada beberapa pekerjaan yang perlu aku kerjakan secara manual.”Briana tidak mengalihkan pandangannya dari Candice meski ucapannya kini tertuju pada Ryan. “Bukankah jika sedang terjadi musibah, kau otomatis akan diberikan cuti bekerja? Kurasa ruang rawat inap ti
Perasaan Ryan begitu kacau. Dia menatap pintu kamar yang baru saja ditutup oleh Candice yang sesaat sebelumnya, sekilas terdengar umpatan pelan dari gadis itu. Drama pagi itu begitu melelahkan pikirannya, apalagi ini semua terkait tentang Briana. Pikirannya kini terbang pada sosok Briana. Ingin segalanya tuntas hingga Ryan bisa serius menjalin hubungan asmara dengan sang nona direktur. Permasalahan kini semakin kompleks ditambah kehadiran Aaron dalam kehidupan Briana.“Briana tidak bisa kubiarkan bersama Aaron. Aku tahu betul siapa kakakku!” Ryan bermonolog dalam hati. Selama beberapa waktu Ryan pun terdiam lalu menghela napas kasar. Perlahan dia membuka ponselnya untuk menghubungi Briana kembali. Dengan harapan bisa meminta maaf atas kejadian pagi ini, sekaligus mengharapkan keberadaan Briana di sisinya saat ini. Namun, satu pun panggilan yang dijawab. Beberapa kali lagi Ryan mencoba, tetapi nihil. Tampaknya Briana sudah tidak ingin berbicara dengannya. Ryan menghentakkan kepalanya
Pagi itu, Briana sedang berada di ruang kerjanya saat Chris mendatangi ruangan. Chris datang dengan wajah ceria, seolah-olah ingin meminta maaf atas sikapnya selama ini. “Selamat pagi, Briana,” sapa Chris dengan senyum lebar. “Aku ingin bicara sebentar, kalau kau tidak keberatan.”Briana menatapnya dengan waspada. “Ada apa. Kau tidak sibuk?” sindirnya.“Aku ingin meminta maaf atas sikapku yang kurang profesional belakangan.” Chris menarik napasnya dalam-dalam saat ingin melanjutkan bicara, karena Briana tampak memasang wajah curiga. “Aku sungguh ingin memperbaiki hubungan kita dan … bekerja sama untuk membesarkan perusahaan ayahmu. Berikan aku kesempatan ini, aku akan membuktikannya.” “Chris, aku menghargai usahamu, tapi ini bukan pertama kalinya kau berjanji, kau ingat?” Briana tetap terlihat tidak tertarik dan curiga.Tatapan Chris mulai tampak serius. “Aku sungguh-sungguh kali ini, Briana. Beri aku satu kesempatan lagi. Mari kita mulai dari awal!"Terdiam sejenak, Briana menimba
Di dalam rumah besar yang megah, kediaman White. Salah seorang sopir pribadi mendatangi White dengan ekspresi gelisah."Tuan White," katanya, suaranya sedikit bergetar, "saya baru saja menerima telepon dari Nona Briana, tapi … panggilan itu terasa aneh."White yang tengah duduk di ruang kerjanya, mengerutkan kening. "Apa maksudmu, aneh? Dan kenapa dia harus menghubungimu?”Sopir itu menggelengkan kepala. "Saya tidak tahu, Tuan.”“Dia selalu membawa kendaraannya, lalu bagaimana bisa dia menghubungimu, apakah mungkin suatu kendala di jalan?"“Sekarang tidak lagi dapat dihubungi, Nona Briana tidak menjawabnya."Tuan White merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia segera menghubungi salah satu anak buahnya yang bertanggung jawab atas keamanan keluarga. "Lacak keberadaan ponsel Briana sekarang juga!" perintahnya.Beberapa menit kemudian, sopir dan seorang anak buah White menghadap kembali dengan wajah cemas. "Tuan, berdasarkan pelacakan kami, ponsel Nona Briana bergerak menuju Staten Island,
Baru saja selesai mengambil sejumlah swafoto dirinya dan Briana yang terkesan vulgar. Ketenangan Chris tiba-tiba terganggu oleh suara gaduh di lorong. Dia mendengar suara langkah kaki cepat mendekat. Chris merasa curiga. Dia melongok tipis dengan membuka pintu perlahan, menyadari kini dia terjebak oleh sejumlah agen berpakaian hitam disertai kelengkapan senjata, tengah mencari keberadaan Briana. Dia panik, waktunya semakin menipis. Dengan cepat menyembunyikan bukti dan bersiap melarikan diri.Saat pintu kamar diketuk, Chris sudah siap. Dia bergegas menuju pintu belakang villa yang terhubung dengan sebuah taman umum. Dengan langkah cepat, dia meloloskan diri sebelum siapa pun sempat masuk ke kamar. Sementara itu, di luar kamar, tim keamanan villa bersama agen polisi dan Ryan---yang berjalan dengan sedikit tertatih, tetap memaksa untuk ikut. Mereka berhenti di depan kamar yang diduga tempat Briana berada.Ryan, dengan napas tersengal-sengal karena rasa sakit di kakinya, menatap pintu k