Ryan masih merasakan hangatnya ciuman yang dia berikan pada Briana ketika pintu kamar terbuka mendadak, mengganggu momen intim di antara mereka. Keduanya menoleh ke arah suara tersebut dengan cepat dan mendapati Candice berdiri di sana dengan ekspresi terkejut.“Apa aku mengganggu kalian?” tanya Candice dengan nada datar seperti menahan marah..Ryan mendesah dalam hati. “Apa kau tidak bisa mengetuk pintu terlebih dahulu?”“Ma-maafkan aku, Tuan Miller.” Candice terlihat sedikit gugup, bertolak belakang dengan matanya yang menyorot tajam ke arah Briana.Briana mengangkat alis, menatap Candice dengan tajam. “Sekretarismu datang sepagi ini, Ryan?”Ryan mencoba meredakan ketegangan. “Ini sudah jam kerja, ayolah. Kedatangannya karena ada beberapa pekerjaan yang perlu aku kerjakan secara manual.”Briana tidak mengalihkan pandangannya dari Candice meski ucapannya kini tertuju pada Ryan. “Bukankah jika sedang terjadi musibah, kau otomatis akan diberikan cuti bekerja? Kurasa ruang rawat inap ti
Perasaan Ryan begitu kacau. Dia menatap pintu kamar yang baru saja ditutup oleh Candice yang sesaat sebelumnya, sekilas terdengar umpatan pelan dari gadis itu. Drama pagi itu begitu melelahkan pikirannya, apalagi ini semua terkait tentang Briana. Pikirannya kini terbang pada sosok Briana. Ingin segalanya tuntas hingga Ryan bisa serius menjalin hubungan asmara dengan sang nona direktur. Permasalahan kini semakin kompleks ditambah kehadiran Aaron dalam kehidupan Briana.“Briana tidak bisa kubiarkan bersama Aaron. Aku tahu betul siapa kakakku!” Ryan bermonolog dalam hati. Selama beberapa waktu Ryan pun terdiam lalu menghela napas kasar. Perlahan dia membuka ponselnya untuk menghubungi Briana kembali. Dengan harapan bisa meminta maaf atas kejadian pagi ini, sekaligus mengharapkan keberadaan Briana di sisinya saat ini. Namun, satu pun panggilan yang dijawab. Beberapa kali lagi Ryan mencoba, tetapi nihil. Tampaknya Briana sudah tidak ingin berbicara dengannya. Ryan menghentakkan kepalanya
Pagi itu, Briana sedang berada di ruang kerjanya saat Chris mendatangi ruangan. Chris datang dengan wajah ceria, seolah-olah ingin meminta maaf atas sikapnya selama ini. “Selamat pagi, Briana,” sapa Chris dengan senyum lebar. “Aku ingin bicara sebentar, kalau kau tidak keberatan.”Briana menatapnya dengan waspada. “Ada apa. Kau tidak sibuk?” sindirnya.“Aku ingin meminta maaf atas sikapku yang kurang profesional belakangan.” Chris menarik napasnya dalam-dalam saat ingin melanjutkan bicara, karena Briana tampak memasang wajah curiga. “Aku sungguh ingin memperbaiki hubungan kita dan … bekerja sama untuk membesarkan perusahaan ayahmu. Berikan aku kesempatan ini, aku akan membuktikannya.” “Chris, aku menghargai usahamu, tapi ini bukan pertama kalinya kau berjanji, kau ingat?” Briana tetap terlihat tidak tertarik dan curiga.Tatapan Chris mulai tampak serius. “Aku sungguh-sungguh kali ini, Briana. Beri aku satu kesempatan lagi. Mari kita mulai dari awal!"Terdiam sejenak, Briana menimba
Di dalam rumah besar yang megah, kediaman White. Salah seorang sopir pribadi mendatangi White dengan ekspresi gelisah."Tuan White," katanya, suaranya sedikit bergetar, "saya baru saja menerima telepon dari Nona Briana, tapi … panggilan itu terasa aneh."White yang tengah duduk di ruang kerjanya, mengerutkan kening. "Apa maksudmu, aneh? Dan kenapa dia harus menghubungimu?”Sopir itu menggelengkan kepala. "Saya tidak tahu, Tuan.”“Dia selalu membawa kendaraannya, lalu bagaimana bisa dia menghubungimu, apakah mungkin suatu kendala di jalan?"“Sekarang tidak lagi dapat dihubungi, Nona Briana tidak menjawabnya."Tuan White merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia segera menghubungi salah satu anak buahnya yang bertanggung jawab atas keamanan keluarga. "Lacak keberadaan ponsel Briana sekarang juga!" perintahnya.Beberapa menit kemudian, sopir dan seorang anak buah White menghadap kembali dengan wajah cemas. "Tuan, berdasarkan pelacakan kami, ponsel Nona Briana bergerak menuju Staten Island,
Baru saja selesai mengambil sejumlah swafoto dirinya dan Briana yang terkesan vulgar. Ketenangan Chris tiba-tiba terganggu oleh suara gaduh di lorong. Dia mendengar suara langkah kaki cepat mendekat. Chris merasa curiga. Dia melongok tipis dengan membuka pintu perlahan, menyadari kini dia terjebak oleh sejumlah agen berpakaian hitam disertai kelengkapan senjata, tengah mencari keberadaan Briana. Dia panik, waktunya semakin menipis. Dengan cepat menyembunyikan bukti dan bersiap melarikan diri.Saat pintu kamar diketuk, Chris sudah siap. Dia bergegas menuju pintu belakang villa yang terhubung dengan sebuah taman umum. Dengan langkah cepat, dia meloloskan diri sebelum siapa pun sempat masuk ke kamar. Sementara itu, di luar kamar, tim keamanan villa bersama agen polisi dan Ryan---yang berjalan dengan sedikit tertatih, tetap memaksa untuk ikut. Mereka berhenti di depan kamar yang diduga tempat Briana berada.Ryan, dengan napas tersengal-sengal karena rasa sakit di kakinya, menatap pintu k
Ryan duduk tegang di dalam mobil bersama Jacob. Dia merenungkan pertanyaan-pertanyaan yang masih menggantung. Apa yang sebenarnya terjadi di dalam mansion ayahnya? Mengapa Chris ada di sana? Dan apa peran ayahnya dalam semua ini? Apakah ini semua terkait dengan misi rahasia sang ayah di perusahaan White? Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan yang bergulir tanpa jawaban pasti."Kami akan menyerbu mansion Ford dalam satu jam. Persiapan harus matang." Jacob menatap Ryan dengan ekspresi serius. Ryan mengangguk, meski merasakan sakit yang menyiksa pada pergelangan kakinya. Dia semakin menguatkan keinginannya untuk mengetahui kebenaran di balik misteri ini. "Aku akan ikut. Aku perlu tahu apa yang sedang terjadi di sana.""Kondisimu belum pulih sepenuhnya. Aku akan memastikan semuanya berjalan lancar." Jacob menggeleng dengan perasaan khawatir. "Tidak!" Ryan bersikeras. "Aku harus ada di sana. Ini penting.""Baiklah, tapi kau harus patuh pada perintah. Jangan bertindak gegabah!"Namun, t
Ryan mengatur langkahnya dengan hati-hati di lorong rumah sakit yang sepi. Dibantu oleh Jacob yang sesekali memapahnya. Cahaya redup lampu-lampu koridor dini hari itu memantulkan kelelahan yang dirasakannya setelah berhari-hari penuh dengan tekanan. Namun, pikirannya terus saja melayang pada sosok Briana.Di ujung lorong, Ryan tiba di kamar Briana dan membuka pintunya dengan diantar oleh pengawas ruangan kelas presidential rumah sakit. Setelah pintu dibuka, dilihatnya Briana yang terbaring lemah di tempat tidur, tapi senyum tipis mengembang di bibirnya saat dia masuk perlahan."Briana," desis Ryan dengan suara lembut, mencoba tidak mengganggu keadaan istirahatnya.Briana membuka matanya perlahan, dia belum bisa nyenyak tidur setelah apa yang terjadi kemarin. Namun, suara Ryan adalah harapan baginya saat ini, pria yang ditunggunya sungguh telah hadir. "Ryan, kau di sini," sahutnya dengan suara yang lemah, menyambut kehadiran Ryan dengan senyuman lembut.Ryan mengambil tempat di sampin
“Selamat siang, Tuan Miller.” Candice melangkah gemulai di atas lantai marmer dengan heelsnya. "Saya pikir ada beberapa detail teknis yang perlu kita diskusikan lebih lanjut," ucapnya dengan nada profesional, sambil menata beberapa dokumen di atas meja ruang utama itu.Setelah beberapa hari selalu berada di kantor, Candice akhirnya mengunjungi Ryan di penthouse. Kunjungannya kali diisi dengan tugas profesional yang semakin intens. Namun, di antara niatnya untuk membicarakan serangkaian rapat dan diskusi, dia menemukan kesempatan untuk mendekati Ryan.Diskusi panjang itu kini rampung dan telah mendapatkan hasil yang baik dari para tim project yang bekerja profesional, sebuah proyek masa depan yang sangat menjanjikan. “Baiklah, segalanya be