Beranda / Romansa / Mendadak CEO / Chapter 2 : Pria Normal

Share

Chapter 2 : Pria Normal

Ryan melirik jengkel, lalu kembali fokus pada bahan presentasinya saat ini. “Ayolah, Jac. Hentikan candaanmu, aku sedang serius.”

“Aku tidak sedang bercanda, Kawan. Tapi … apa kau ingin menampilkan pipi merah seperti itu saat presentasi?”

Mendengar teguran sahabatnya, Ryan sontak terkejut. “Apa?”

"Ha-ha-ha ... lihat saja wajahmu sendiri."

Mendengar Jacob semakin tertawa puas. Ryan pun cepat-cepat membuka ponsel untuk melihat wajah melalui kamera depan. “Dasar wanita gila!” umpatnya.

“Apa itu sakit? Hei, katakan saja kau terlambat hari ini karena menghabiskan malam yang hebat, ha-ha-ha.” Jacob menggoda.

“Seorang wanita tantrum menamparku.” Ryan kemudian meletakkan ponselnya kembali dengan cepat, lalu menutup layar laptopnya. “Lihat saja dia pagi ini!” gumamnya.

“Apa? Ditampar wanita?”

Dengan sedikit kesal, Ryan berjalan mendahului Jacob yang masih tertawa. Keduanya menuju lantai 35. Sesampainya, mereka keluar dari lift dan menuju ruang rapat.

Ryan mengetuk pintu, lalu bergegas memasuki ruang rapat. Dilihatnya beberapa manajer departemen duduk berjajar melingkari sebuah meja rapat berukuran besar. Semua mata tertuju pada dirinya.

“Maaf, aku 10 menit lebih lambat, terima kasih sudah menunggu.” Ryan melirik jam tangan, lalu duduk di kursi khusus, bergegas menyiapkan presentasi.

Kedatangan Ryan disambut tepuk tangan seorang pria berambut pirang, dialah Christopher Burton---kepala departemen keuangan. “Bravo! Pemimpin rapat akhirnya datang. Seorang manager yang datang terlambat. Haruskah kami yakin, keamanan data perusahaan dipercayakan pada orang yang tidak disiplin waktu, hm?” sindir Chris.

Sontak tatapannya ke arah sumber suara, Ryan membalas dengan senyum ringan. "Kita lihat saja. Aku sangat mengerti, tidak semua orang mengerti dunia IT.  Presentasi ini akan kusampaikan seperti mengajar alphabet. Terima kasih sudah hadir di rapat ini." Ryan pun membuang pandangannya kembali. “Christopher Burton? Akhirnya kita bertemu juga  …,” batin Ryan.

****

Suara dari seberang telepon memecah keheningan di sebuah balkon apartemen. Ryan meraih ponsel yang diletakkan di atas meja kopi berukuran kecil. Sudah satu jam dia bersandar di pagar balkon, menikmati kesendirian di antara gemerlap lampu kota dan gedung-gedung pencakar langit di malam hari. 

“Ryan, kapan kau akan pulang? Halo …? Suaramu terdengar jauh!”

Sesungguhnya Ryan ingin beristirahat. Isi kepalanya dipenuhi sisa-sisa perdebatan kecil di ruang rapat pagi tadi. Kini dia hanya menyimak suara dari pengeras ponsel, tidak ingin banyak bicara.

Ryan meraih ponselnya dan mematikan pengeras suara. “Ya, aku di sini.” Dia melanjutkan obrolan di ruangan utama.

“Bagaimana harimu? Kau baik-baik saja?” tanya Shane, sang kakak yang tengah menghubunginya.

“Ya. Maaf. Aku tidak bisa janji dalam waktu dekat, masalah kantor sangat menyita waktu. Kau tahu aku sedang apa, kan?"

"Oh, baiklah. Ini tidak akan lama," ucap Shane.

"Lalu, bagaimana keadaan Ayah? ”

“Ayah mengkhawatirkan posisimu di perusahaan White. Pulanglah, kau sedang berurusan dengan pria tua yang licik. Ini hal serius.”

“Aku juga. Aku serius dalam hal ini. Ini baru saja dimulai, Shane.”

“Berhati-hatilah, jaga dirimu. Sesekali pulanglah makan malam, kita akan membahas pernikahanku. Kau sudah tahu, bukan? Aku tidak ingin adik kandungku tidak hadir."

"Tentu, aku akan datang. Hanya saja … menjadi pengiring mempelai laki-laki?" Ryan sedikit tertawa, "Tidak akan." Sebab dia menghindari dipasangkan oleh pendamping mempelai pihak wanita.

"Tidak masalah. Asal kau hadir. Dan … kau tahu? Ibu berencana mengenalkan seorang gadis lajang padamu. ”

“Ah, Ibu memang selalu terburu-buru. Aku belum tua."

“Apakah itu tebakanmu, atau dia pernah mengatakan itu?”

“Firasatku, dan selalu saja benar. Kau tahu bagaimana Ibu, kau sudah mengalaminya dulu, bukan?”

“Begitulah, mungkin saja karena kau tidak pernah memperkenalkan seorang kekasih. Ah, tunggu! Ka-kau masih suka wanita, kan? Ini serius, Dik!”

Sontak saja pertanyaan itu memancing tawa Ryan. Pertanyaan konyol terlontar hanya karena dia tidak pernah sekali pun mengenalkan wanita pada keluarga. Di dalam pikirannya tidak lebih dari masalah pekerjaan, dia enggan menjelaskan kenapa belum juga menjalin hubungan dengan wanita mana pun.

“Shane, kau bercanda. Wanita-wanita cantik itu tampak sama. Aku tidak ada waktu untuk memanjakan mereka, bukan sepertimu.”

“Terserah saja. Asal kau normal, okay? Baiklah, aku hanya memberi kabar dan ingin tahu keadaanmu. Itu saja.”

Setelah menyudahi panggilan, Ryan menggeleng tidak habis pikir. "Gila saja, ha-ha-ha." Ryan menaruh ponselnya di atas nakas dan merebahkan diri di sofa panjang.

Ryan meletakkan kedua tangan di belakang kepala, menikmati ketenangan di dalam redupnya ruangan. Dia sekadar meregangkan otot-otot untuk melanjutkan pekerjaan nanti malam. Merangkai sebuah rencana baru dari informasi tentang perusahaan White.

Sekilas pikirannya melayang di udara, pada wanita yang ditemuinya di lift. “Kasihan sekali. Dia pasti sial, ha-ha-ha. Andai dia sedikit mendengar, pasti semuanya tidak akan buruk.” Ryan membatin dan menyungging senyum puas, membayangkan betapa malunya sang wanita jika kejadian itu sampai viral di kantornya.

“Sayang sekali, wanita cantik yang sangat angkuh ….”

Ryan melamunkan pekerjaannya kembali, menepis pikiran tentang ucapan sang kakak. Karena dirinya tidak berniat membawa pasangan di acara resepsi itu. Hal itu selalu saja menjadi kesempatan sang ibu untuk memperkenalkannya pada seorang wanita lajang, dari anak-anak gadis rekan bisnis ayahnya, Andrew Ford.

Sesaat memejamkan mata, tiba-tiba terdengar ketukan pada pintu apartemennya. Ryan bangkit dan melangkah malas menuju pintu. Siapa orang yang mungkin datang malam-malam begini?

Tanpa pikir panjang, dia pun membuka pintu, lalu tersentak. “Kau?” Ryan memperjelas pandangannya yang masih samar. 

Ryan terkejut oleh wanita di hadapannya kini, orang yang menamparnya di lift. Akan tetapi, situasi mengejutkan dan menjadi begitu canggung, bagaimana wanita itu bisa sampai ke apartemennya? Wanita itu tampak kebingungan sambil memeluk jas yang bertengger di lengannya. Membuat pria itu terheran, bahkan mereka belum berkenalan.

 Suasana koridor apartemen sangat senyap dini hari itu. Ryan terpaksa mempersilakan wanita itu masuk. “Bagaimana kau bisa sampai ke sini?” Ryan melebarkan pintu.

Wanita itu melangkah masuk, lalu memutar tubuhnya. Dia menaruh ujung jari telunjuknya di bibir Ryan. “Aku sudah tahu lama tentangmu.”

Beberapa saat kemudian, mereka duduk di sofa panjang dan bercakap-cakap sambil tertawa. Ini memang aneh, tapi Ryan tetap saja meladeni sang wanita, mencoba ramah. Berharap ini bisa jadi awal pertemanan setelah insiden tamparan itu.  

“Baiklah, ini sudah malam, kuantar sampai ke parkiran, ok?“ ucap Ryan menyudahi percakapan.

Wanita itu menggeleng pelan. “Aku ingin di sini, denganmu ….” Sambil menyilangkan kaki, gaunnya menyingkap sedikit bagian bawah tubuh indahnya.

Kecanggungan terasa kental, tetapi gesture sang wanita seakan menantang jiwa lelaki Ryan. Dia berpindah ke sofa Ryan, membuat pria itu menggeser posisi duduknya. Wanita itu kini mendekatkan wajahnya, sedekat itu hingga bola mata kecokelatannya bertemu dengan si pria pemilik bola mata biru.

Tidak memakan waktu lama, keduanya sudah berada di kamar tidur Ryan. Suhu tubuh pria itu terasa panas, wajahnya dipenuhi peluh. Sangat mewakili aktivitasnya kini. Tanpa sadar, Ryan telah larut di suasana bercinta yang hebat dengan sang wanita asing, yang kini sudah tanpa pakaian yang melekat di tubuh.

Adegan pun berlanjut, Ryan menguasai sepenuhnya permainan itu. Ruangan itu terisi oleh suara napas yang berpacu dari sepasang manusia di keheningan malam. Pria itu membuang logikanya, di antara dingin cuaca serta redup cahaya yang meningkatkan gairah mereka.

Hingga pada akhirnya, di pencapaian seluruh aktivitas itu. Senyum menggoda yang terukir di wajah sang wanita, redup, berubah menjadi sinis. Tangan putihnya tiba-tiba saja terangkat, lalu mendaratkan tamparan keras tepat di sebelah wajah Ryan.

“Sialan!!” umpat Ryan.

Ryan bangun terduduk, membelalakkan mata. Mulutnya mengumpat sejadi-jadinya. Sambil mengusap sebelah pipinya, dia lalu menyugar rambut dengan kesal. "Ah! Kenapa dia!" Ryan begitu kesal karena sosok wanita pemarah itu masuk ke dalam mimpi indahnya.

Kini matanya memindai ke sekitar ruangan gelap itu, Ryan menyadari kesendiriannya. Dia pun segera beranjak dari sofa sambil mengembus napas kasar, berjalan menuju dapur.

Ryan merenungkan mimpi barusan, sambil berdiri di samping lemari pendingin dan meneguk air dari dalamnya. Di dalam benaknya selalu saja tentang pekerjaan. Dia terlampau jauh menghindari wanita, apalagi menjalin sebuah hubungan.

Semua itu karena tujuan yang belum terpecahkan. Tetapi sosok wanita itu mulai mengganggu fokus dan rencananya.

“Siapa wanita itu?!”

Di tengah gumamnya. Tanpa disadari sebuah tangan merambat naik ke atas bahunya. Ryan sontak menepis, memutar tubuhnya, dan terperanjat oleh sosok yang dilihatnya kini.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Pena Ilusi
Waduh! Dah sempat kesal tadi, kenapa bab awal si pria dah ternoda ... padahal.
goodnovel comment avatar
Lien Machan
mimpi basah, bang......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status