Seminggu setelah Marco dirawat di rumah sakit, kondisinya berangsur membaik. Marco sudah sadar sepenuhnya. Penyidik yaitu Iptu. Ekky Wahyudi dan Ipda. Binsar Siagian datang untuk melihat apakah Marco sudah bisa mengingat banyak hal. Setelah diajak bicara hal-hal ringan tentang keluarga dan kuliahnya, polisi penyidik menganggap Marco sudah mampu menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan kasusnya. Pihak keluarga ingin ada pengacara mendampingi Marco saat proses interogasi oleh polisi. Maka penyidik memberi kesempatan pada keluarga Marco untuk menghubungi pengacara. Marco dirawat inap di ruang VIP. Keesokan harinya, saat kedua penyidik tiba di ruang itu, sudah ada orang tua Marco dan seorang pengacara. Marco masih berbaring dengan kepala dibebat perban. Rambutnya yang panjang tidak nampak lagi. Perawat telah membabat habis rambut gondrong itu untuk memudahkan dokter saat menjahit kepalanya yang bocor. Marco membuka matanya saat mendengar suara mamanya yang lirih. "Ada polisi datang,
Polisi meminta izin untuk memeriksa kendaraan milik keluarga Ronald Sanjaya, tapi ada penolakan keras. “Anak saya sudah mati, kenapa masih difitnah sebagai pelaku tabrak lari?” Begitu tanggapan Ronald. “Bilang sama keluarganya si Marco, jangan karena Raymond sudah meninggal, lantas semua tuduhan bisa dilempar ke sini, karena orang mati tidak bisa membela diri! Saya tidak rela, anak saya yang sudah tiada, terus saja dikejar dengan berbagai tuduhan keji!” Polisi mengeluarkan bukti baru, yaitu kwitansi tanda terima pembayaran dari Raymond, untuk perbaikan mobil. Pada kwitansi itu, ada tanggal Raymond mengirimkan mobilnya untuk diketok bagian depannya yang penyok. Tanggal yang tercantum adalah dua hari setelah kejadian tabrak lari itu. Mobil itu selesai diperbaiki dan diambil lagi oleh Raymond, tiga hari kemudian dari tanggal masuknya. Ironisnya, kwitansi itu diperoleh polisi dari bengkel Black Falcon! Jadi… Raymond memperbaiki mobilnya di bengkel Black Falcon. Akhirnya polisi berhasi
Maryam keluar dari ruang sidang. Hari itu dia sudah dinyatakan lulus sebagai Sarjana Pendidikan. Perasaan tegang akibat barusan dicecar berbagai pertanyaan oleh tim penguji, masih menyelimutinya. Maryam duduk di teras, menenangkan diri. Sementara seorang lagi rekannya barusan masuk ke dalam ruang sidang. Hari itu memang ada puluhan mahasiswa FKIP dari berbagai jurusan yang skripsinya disidangkan. “Kalau ingat bagaimana Bapak dan Emak pontang-panting cari uang ke sana ke mari untuk biaya kuliahku di tahun pertama… rasanya aku nggak percaya, akhirnya aku jadi Sarjana dalam waktu 4 tahun.” Maryam mengusap matanya yang basah dengan ujung jilbab. Dia bahagia, bisa ikut diwisuda bulan depan, yaitu di awal Agustus. Apa rencana hidupnya setelah lulus kuliah? Tentu saja bekerja. Jika kelak dirinya mendapat pekerjaan yang sesuai pendidikannya, dengan gaji yang memadai pula, dia sangat bersyukur. Namun, Maryam berusaha realistis. Zaman sekarang lapangan kerja sulit didapat, saingan banyak, k
Cepi menepuk-nepuk pundak Marco. “Jangan terus-terusan parno! Nggak bakalan ada lagi yang membubuhkan racun! Kita duduk di tenda Mang Sueb, lo harus pesan jus alpukat dan bakso! Lo harus menghilangkan rasa takut, rasa trauma, dan memakannya sampai habis! Kalau lo nggak mau… berarti lo nggak punya nyali lagi!”“Males ah!” jawab Marco.“Jam begini biasanya jam istirahat murid SMP yang sekolahnya di dekat kampus kita, mereka suka jajan juga di warung tenda itu. Ayo kita cuci mata!”Marco akhirnya berdiri. “Okeh lah kalau begitu!”“Dasar buaya darat! Anak SMP mau dicaplok juga!” omel teman-temannya yang wanita.Maryam menatap punggung Marco dan Cepi yang semakin menjauh. Barusan Marco tampak sedih, tapi itu karena bakal kehilangan banyak teman yang sudah duluan lulus, bukan karena kehilangan seorang Maryam. Pikir Maryam, berusaha menerima kenyataan, sebentar lagi Marco bakal hilang dari hari-harinya.Senja turun, aktivitas di kampus surut. Ruang-ruang kuliah senyap, perpustakaan telah tut
"Begini Maryam, bagaimana kalau bapak melamar kamu?""Hah?" Maryam terperanjat dengan ucapan lewat telepon itu. “Tentu saja bukan buat Bapak, tapi buat anak Bapak.” “Tapi… tapi…” “Kenapa? Kamu tidak mau menikah dengan Marco?” “Tapi… bukankah hal seperti ini harus dibicarakan dulu dengan yang bersangkutan?” Maryam tergagap. “Memangnya Marco tidak pernah ngomong apa-apa sama kamu? Bapak kira, dia sudah pernah bilang bahwa dia menyukai kamu, menyayangi kamu, mencintai kamu, dan ingin membina rumah tangga denganmu.” Maryam memejamkan mata, tenggorokannya seperti tersedak oleh rasa haru yang menyeruak. Diingat-ingatnya lagi, kapan Marco pernah bicara begitu? Kayaknya sih… malah sering! Tapi ngomongnya sambil cengengesan, dan nggak mengenal tempat! Kadang Marco bicara di kantin, di perpustakaan, di ruang kuliah, di homebase, bahkan di angkot! Dasar gila! Jadi selama ini Maryam menganggap semua omongan itu sebagai guyonan yang kelewatan! Ternyata…. “Kamu ingin memikirkannya, dan bicar
“Begini Maryam, di daftar kontak ponselku, huruf M itu hanya untuk mamaku, karena aku khawatir salah pencet, salah sambung. Mau menelepon teman, malah memilih kontak mama, atau sebaliknya. Jadi semua kontakku yang namanya berawal huruf M, aku save di huruf yang lain, termasuk nama kamu." Maryam menukas, "Kamu bisa pakai nama panjangku untuk kontak telepon. Kenapa malah pakai nama Gadis Pantura?" "Oh iya, nama panjangmu Syifa. Di daftar kontakku sudah ada nama Syifa, sepupuku. Karena kamu orang Cirebon, aku namakan kontakmu itu Gadis Pantura. Tapi kalau kamu nggak suka, nanti aku ganti nama kontak itu.” Lantas Marco memperlihatkan daftar kontak di ponselnya. Pada huruf M memang hanya ada satu kontak, Mama. “Nggak perlu diganti, aku nggak apa-apa. Maaf, kalau aku baru paham alasanmu.” “Ya sudah, aku pulang dulu ya.” Lantas Marco menyodorkan kantong plastik hitam yang sejak tadi dipegangnya. “Ini buat kamu, boleh dibagi-bagi dengan temanmu.” Maryam melihat isi kantong plastik itu,
Silvi bicara pada Windy. “Begini Win, menjelang tahun baru Islam nanti akan ada acara bersih-bersih masjid kampus. Ada yang bersihin bagian atas, ada yang bersihin bagian bawah. Entah berapa orang tim kebersihannya, tapi yang mau manjat ke atap dan menara jumlahnya 10 orang.""Terus kamu mau nyuruh aku ikutan bersihin masjid kampus?" tanya Windy."Bukan begitu. Tim kebersihan itu harus kita perhatikan, dengan cara memberi konsumsi. Yang mengkoordinir acara kebersihan itu memang aktivis masjid kampus, tapi aku nggak tega kalau sampai mereka merogoh uang kas masjid untuk memberi makan dan minum buat tim kebersihan itu. Jadi aku minta kamu yang menyediakan konsumsi buat mereka.” Windi tertegun. Memberi konsumsi buat tim kebersihan masjid, yang jumlahnya sekitar 20 orang… tidak akan habis uang sampai satujuta rupiah. “Cuma itu yang lo minta? Lo nggak minta sesuatu buat diri lo sendiri?” Windy tak percaya. “Ya, biarlah uang itu untuk masjid, supaya jadi amal baik buat lo.” Windy memel
Marco bicara pada ibunya Silvi, yang bersikukuh bahwa Marco adalah penyebab anaknya tewas saat Panjang tebing.“Saya akan memanjat Tebing Lawe, tanpa bantuan belayer. Saya akan memanjat sendiri. Kalau saya bisa turun lagi dari Tebing Lawe dengan selamat, itu adalah takdir yang harus diterima dengan lapang dada oleh Ibu sekeluarga. Berarti belum saatnya saya mati. Dan Ibu sekeluarga juga tidak boleh lagi memperpanjang masalah ini, baik dengan saya, atau dengan keluarga saya, dan juga dengan keturunan saya kelak. Bagaimana, Ibu sepakat?” “Hmmm… baiklah.” Bu Sofie mengangguk-angguk puas.“Ibu… jangan Bu….” Silvi memegang tangan ibunya. “Kita lupakan saja….”“Lupa? Bagaimana bisa? Karena Tonny meninggal, keluarga kita jadi berantakan! Kamu juga sempat berurusan dengan polisi, gara-gara laki-laki b@jin9an itu!”“Marco, jangan gila! Kamu mau mati konyol ya?!” ujar Maryam, air matanya sudah berlinang menuruni pipi.Marco tidak bicara lagi, dia berjalan tergesa menuju halaman depan. Tak lama
Satpam yang bekerja di Pink Flower Bridal and Salon, bersaksi kepada polisi, bahwa dia pernah mendengar Sobar menyebutkan nama beberapa orang kenalannya yang tinggal tak jauh dari kawasan Jalan Riau. Akan tetapi satpam itu tidak tahu, apakah teman-temannya Sobar itu pernah menginap di bridal, atau cuma berkunjung sebentar.Kesaksian dari Jacob lebih detail lagi. Karena kafe milik Jacob letaknya tepat di sebelah Pink Flower Bridal, membuat Jacob bisa melihat banyak hal yang terjadi di bridal itu, saat bridal belum buka. Jacob biasa membuka kafenya pada pukul enam pagi, untuk melayani pesanan antar ke rumah pelanggan rotinya. Hampir setiap hari Jacob melihat beberapa orang keluar dari pintu belakang bridal, pada kira-kira pukul 07:30. Jacob bahkan bisa menggambarkan ciri-ciri beberapa orang yang sering dilihatnya meninggalkan bridal setiap pagi. Dengan kesaksian itu, polisi menyimpulkan, bahwa hampir setiap malam ada beberapa orang yang menemani Sobar untuk jaga malam.Dengan berbekal
Marco menatap Maryam. “Maryam, aku ingin kita tetap pada rencana semula. Aku ingin menikah denganmu sesuai dengan waktu yang sudah disepakati oleh keluarga kita.”Maryam malah gusar. “Lalu bagaimana dengan wanita itu? Akan tetap juga sebagai wanita simpanan kamu, setelah kita menikah nanti?!” “Berhentilah membahas soal orang lain!” “Tapi aku ingin tahu, apa hubunganmu dengan wanita yang bernama Lyla itu? Sudah sejak kapan? Jangan-jangan, sudah bertahun-tahun ya?” “Nggak ada hubungan apa-apa!” “Tapi kenapa kamu ada di hotel bersama wanita itu?” “Aku memang pergi ke Hotel Paradise pada hari Rabu malam itu, tapi bukan untuk berkencan dengan wanita itu! Apakah semua orang yang check in di hotel, selalu diartikan datang ke tempat itu buat berkencan?” “Jadi buat apa kamu ke hotel?”“Aku ada urusan dengan orang lain, dan wanita itu juga ada urusan dengan orang lain lagi!” “Kalau kamu nggak ada hubungan apa-apa dengan wanita itu, kenapa kamu yang harus bersaksi di kantor polisi? Kena
Wati menjelaskan, “Dulu aku Store Manager di outlet kita yang di Jalan Riau. Nah, aku terkadang bertemu Lyla kalau ada rapat antar para pengelola tempat usaha di Jalan Riau. Yaaah, pokoknya aku memang mengenal semua pengelola tempat usaha di Jalan Riau, tapi nggak terlalu akrab.”“Kok, pagi-pagi dia datang ke rumah Mbak Wati?” Maryam penasaran.“Lyla cuma minta saran untuk mengatasi kenyinyiran Pak Jacob, yang punya kafe dan toko kue. Kita pernah makan lumpia dan minum cendol di kafe Pak Jacob.”“Oh… iya. Apakah Pak Jacob itu nyinyir?”“Memang nyinyir. Urusan parkir, sampah, suara musik yang terlalu keras… pokoknya segala macam dijadikan bahan perdebatan oleh Pak Jacob. Aku nggak pernah terlalu bermasalah dengan pria tua itu, butik kita letaknya agak jauh dari kafenya Pak Jacob. Tapi bridalnya Lyla tepat berada di sebelah kafe Pak Jacob, jadi … begitulah, selalu ada keributan kecil dengan tetangga dekat.”Maryam terdiam, merasa ingin terus bertanya tentang Lyla, namun lidahnya tak san
Polisi penyidik kasus pembunuhan, Inspektur Ekky Wahyudi masih berdiskusi dengan Kasat. Reskrim yang jadi atasannya di Satuan Reserse Kriminal. Kasat. Reskrim berujar, “Jadi kesimpulannya, Marco dan Lyla datang ke hotel itu dengan mengendarai mobil masing-masing, dan check in di kamar yang berbeda? Kencan macam apa itu?” Ekky menjawab, “Di hadapan polisi, Marco cuma mengatakan bahwa pada hari Rabu malam itu dia bersama Lyla di Hotel Paradise on The Hill. Berikut bukti-bukti tertulis atas keberadaan Lyla di hotel itu. Suite room itu sudah dipesan oleh Lyla sehari sebelum kedatangannya. Lyla juga melakukan reservasi untuk sarana spa. Ada catatan transaksi dengan kartu kredit atas nama Lyla, di kafe dan spa, yang lokasinya juga masih di hotel itu. Transaksinya berlangsung pada Rabu malam, antara pukul 21:35 – 23:05.” “Jadi Lyla pergi ke spa pada malam hari?” “Pada siang hari para eksekutif muda sibuk bekerja. Pada malam hari barulah mereka bisa melakukan perawatan tubuh, sambil sekal
Setelah Furqon mengeluarkan semua beban di perutnya, dia lantas menyeduh teh manis panas, lalu duduk di ruangan kerja Hanif sambil membawa cangkirnya.“Sudah ente berikan, copy transkrip nilai punya Maryam kepada Marco?” tanya Furqon.“Memangnya harus?” Hanif tersenyum. “Masih ada di mapku, nanti sore aku mau mengunjungi Maryam.”“Ente mau berta'aruf dengan Maryam? Nif, aku kasi saran, cari cewek lain saja, cari muslimah lain. Yang lebih cantik dari Maryam juga banyak!”“Yang lebih cantik dari Maryam banyak ya, di mana?”Furqon menyeringai. Di mata para ikhwan kampus, Maryam adalah akhwat yang nyaris sempurna. Maryam itu cantik, berkulit kuning langsat, tinggi semampai, cerdas, shalihah, pintar masak pula, benar-benar calon istri idaman dari banyak ikhwan. Sayangnya ada kendala berat yang membuat banyak ikhwan mundur. Kendala itu bernama Marco.“Kalau ada ikhwan yang mau berta’aruf dengan Maryam, langsung saja teman-teman Maryam bilang, mending cari akhwat yang lain aja deh, daripada
Hanif secara sengaja memperlihatkan berita online yang sedang dibacanya, pada Marco. Berita tentang Lyla dan kasus pembunuhan di bridal, tidak akan membesar, andai status Marco bukan putra Ardianto Wiratama, seorang pengusaha dan politikus yang siap ikut Pilkada. Dalam berita itu bahkan ditampilkan bukan cuma foto, melainkan rekaman video saat Marco berjalan ke luar dari kantor polisi, dan Lyla mengekor di belakangnya. Lantas keduanya menaiki mobil milik Marco.Hanif bicara, “Aku sudah bolak-balik melihat video ini, tapi wajah ini memang mirip denganmu, Marco. Apakah pria di video ini memang kamu?” Marco belum menjawab.Hanif bicara lagi, “Menjelang menikah memang terkadang banyak godaan, aku juga mengalaminya.” Hanif tersenyum. “Tapi kalau sampai selingkuh dengan wanita lain, itu sih, bukan godaan lagi! Itu pengkhianatan, dan pelecehan terhadap komitmen untuk menikah!”“Masa bodoh kalau lo percaya sama berita sampah itu! Sekarang berikan copy transkrip nilai punya Maryam, kare
Maryam kaget saat membuka pintu kamar kosnya yang barusan diketuk. Hanif berdiri di teras kamarnya. “Akhi, saya sudah membaca suratmu. Saya betul-betul minta maaf….” “Saya sudah tahu, dari Latifa. Tidak perlu merasa bersalah, Ukhti. Saya datang ke sini cuma ingin membuktikan sebuah dugaan. Kamu akan menikah dengan Marco, kan?” “Kenapa Akhi menduga begitu?” “Kamu bilang sudah dilamar oleh seseorang, adikku pikir itu cuma dalihmu untuk menolak saya. Tapi saya percaya dengan ucapanmu, dan saya tidak bisa memperkirakan laki-laki lain, kecuali Marco, dia kan, yang selama ini selalu mendekati kamu?” Akhirnya Maryam mengangguk. “Kapan kalian akan menikah?” “Insya Allah bulan depan. Tapi berita ini jangan dulu disebarkan pada orang lain.” “Takut batal?” Hanif menatap Maryam. “Kamu merasa sudah mantap, Ukhti? Apapun yang terjadi, kamu akan tetap menikah dengan dia?” “Insya Allah.” Hanif mengambil beberapa lembar kertas dari dalam plastik yang sejak tadi dijinjingnya. “Saya berlangg
“Maryam….”“Ya?” Maryam menoleh ke arah Marco, setelah beberapa langkah berjalan.“Sini, aku harus ngomong sesuatu….”Maryam kembali menghampiri Marco yang masih berdiri di teras homebase.“Ehm… gimana cara ngomongnya ya?” Marco berpikir sebentar. “Pokoknya begini Maryam, kalau besok lusa ada kejadian yang berkaitan denganku … yang mungkin bakal membuat kamu bingung, sedih, kecewa… aku mohon, kamu harus tetap percaya padaku, tidak meragukan aku sedikitpun, ya?”“Ada kejadian apa sih, Bang?” Tiba-tiba Maryam merasa ada firasat buruk.“Apapun itu, kuharap kamu tidak terpengaruh, dan tetap percaya padaku.”“Bagaimana aku bisa mengantisipasi apa yang bakal terjadi, kalau kamu nggak mau bilang, ada masalah apa sebenarnya?”“Saat ini aku belum bisa bilang apa-apa Maryam….”“Jadi gimana dong?” Maryam makin bingung.“Kamu harus tetap percaya padaku, dan tidak berubah pikiran dengan rencana kita, itu saja yang aku minta.”Maryam cuma bisa mengangguk-angguk, tapi tidak mengerti. Lalu dia pamit
“Assalamualaikum, Ukhti Maryam, senang bertemu denganmu lagi.” Maryam menjawab salam dari Hanif yang berdiri di teras kantor Fakultas Kependidikan, tempat Maryam baru saja mengambil berkas transkrip nilainya. “Senang ya, begitu lulus, Ukhti bisa langsung mendapat pekerjaan, di tempat yang cocok buat Ukhti, sehingga bisa tetap berbusana muslimah dengan benar.” “Ya, alhamdulillah, ada teman yang memberi info soal lowongan kerja di butik itu.” jawab Maryam. Teman yang dia maksud tentu saja Marco. Namun, dalam pikiran Hanif, teman yang dimaksud oleh Maryam itu adalah seorang muslimah, rekan Maryam di kampus, atau mungkin di pengajian. Karena butik identik dengan wanita, yang ngasi info pasti seorang wanita. Maryam bicara lagi, “Saya mau ke tempat kerja. Tadi pagi minta izinnya cuma untuk beberapa jam saja. Permisi ya Akhi Hanif.” “Kantormu di butik Jalan Dago itu, kan? Saya juga mau ke Jalan Dago, ada klien yang harus saya temui di sana. Mau bareng, Ukhti? Saya naik mobil nggak send