Maryam keluar dari ruang sidang. Hari itu dia sudah dinyatakan lulus sebagai Sarjana Pendidikan. Perasaan tegang akibat barusan dicecar berbagai pertanyaan oleh tim penguji, masih menyelimutinya. Maryam duduk di teras, menenangkan diri. Sementara seorang lagi rekannya barusan masuk ke dalam ruang sidang. Hari itu memang ada puluhan mahasiswa FKIP dari berbagai jurusan yang skripsinya disidangkan. “Kalau ingat bagaimana Bapak dan Emak pontang-panting cari uang ke sana ke mari untuk biaya kuliahku di tahun pertama… rasanya aku nggak percaya, akhirnya aku jadi Sarjana dalam waktu 4 tahun.” Maryam mengusap matanya yang basah dengan ujung jilbab. Dia bahagia, bisa ikut diwisuda bulan depan, yaitu di awal Agustus. Apa rencana hidupnya setelah lulus kuliah? Tentu saja bekerja. Jika kelak dirinya mendapat pekerjaan yang sesuai pendidikannya, dengan gaji yang memadai pula, dia sangat bersyukur. Namun, Maryam berusaha realistis. Zaman sekarang lapangan kerja sulit didapat, saingan banyak, k
Cepi menepuk-nepuk pundak Marco. “Jangan terus-terusan parno! Nggak bakalan ada lagi yang membubuhkan racun! Kita duduk di tenda Mang Sueb, lo harus pesan jus alpukat dan bakso! Lo harus menghilangkan rasa takut, rasa trauma, dan memakannya sampai habis! Kalau lo nggak mau… berarti lo nggak punya nyali lagi!”“Males ah!” jawab Marco.“Jam begini biasanya jam istirahat murid SMP yang sekolahnya di dekat kampus kita, mereka suka jajan juga di warung tenda itu. Ayo kita cuci mata!”Marco akhirnya berdiri. “Okeh lah kalau begitu!”“Dasar buaya darat! Anak SMP mau dicaplok juga!” omel teman-temannya yang wanita.Maryam menatap punggung Marco dan Cepi yang semakin menjauh. Barusan Marco tampak sedih, tapi itu karena bakal kehilangan banyak teman yang sudah duluan lulus, bukan karena kehilangan seorang Maryam. Pikir Maryam, berusaha menerima kenyataan, sebentar lagi Marco bakal hilang dari hari-harinya.Senja turun, aktivitas di kampus surut. Ruang-ruang kuliah senyap, perpustakaan telah tut
"Begini Maryam, bagaimana kalau bapak melamar kamu?""Hah?" Maryam terperanjat dengan ucapan lewat telepon itu. “Tentu saja bukan buat Bapak, tapi buat anak Bapak.” “Tapi… tapi…” “Kenapa? Kamu tidak mau menikah dengan Marco?” “Tapi… bukankah hal seperti ini harus dibicarakan dulu dengan yang bersangkutan?” Maryam tergagap. “Memangnya Marco tidak pernah ngomong apa-apa sama kamu? Bapak kira, dia sudah pernah bilang bahwa dia menyukai kamu, menyayangi kamu, mencintai kamu, dan ingin membina rumah tangga denganmu.” Maryam memejamkan mata, tenggorokannya seperti tersedak oleh rasa haru yang menyeruak. Diingat-ingatnya lagi, kapan Marco pernah bicara begitu? Kayaknya sih… malah sering! Tapi ngomongnya sambil cengengesan, dan nggak mengenal tempat! Kadang Marco bicara di kantin, di perpustakaan, di ruang kuliah, di homebase, bahkan di angkot! Dasar gila! Jadi selama ini Maryam menganggap semua omongan itu sebagai guyonan yang kelewatan! Ternyata…. “Kamu ingin memikirkannya, dan bicar
“Begini Maryam, di daftar kontak ponselku, huruf M itu hanya untuk mamaku, karena aku khawatir salah pencet, salah sambung. Mau menelepon teman, malah memilih kontak mama, atau sebaliknya. Jadi semua kontakku yang namanya berawal huruf M, aku save di huruf yang lain, termasuk nama kamu." Maryam menukas, "Kamu bisa pakai nama panjangku untuk kontak telepon. Kenapa malah pakai nama Gadis Pantura?" "Oh iya, nama panjangmu Syifa. Di daftar kontakku sudah ada nama Syifa, sepupuku. Karena kamu orang Cirebon, aku namakan kontakmu itu Gadis Pantura. Tapi kalau kamu nggak suka, nanti aku ganti nama kontak itu.” Lantas Marco memperlihatkan daftar kontak di ponselnya. Pada huruf M memang hanya ada satu kontak, Mama. “Nggak perlu diganti, aku nggak apa-apa. Maaf, kalau aku baru paham alasanmu.” “Ya sudah, aku pulang dulu ya.” Lantas Marco menyodorkan kantong plastik hitam yang sejak tadi dipegangnya. “Ini buat kamu, boleh dibagi-bagi dengan temanmu.” Maryam melihat isi kantong plastik itu,
Silvi bicara pada Windy. “Begini Win, menjelang tahun baru Islam nanti akan ada acara bersih-bersih masjid kampus. Ada yang bersihin bagian atas, ada yang bersihin bagian bawah. Entah berapa orang tim kebersihannya, tapi yang mau manjat ke atap dan menara jumlahnya 10 orang.""Terus kamu mau nyuruh aku ikutan bersihin masjid kampus?" tanya Windy."Bukan begitu. Tim kebersihan itu harus kita perhatikan, dengan cara memberi konsumsi. Yang mengkoordinir acara kebersihan itu memang aktivis masjid kampus, tapi aku nggak tega kalau sampai mereka merogoh uang kas masjid untuk memberi makan dan minum buat tim kebersihan itu. Jadi aku minta kamu yang menyediakan konsumsi buat mereka.” Windi tertegun. Memberi konsumsi buat tim kebersihan masjid, yang jumlahnya sekitar 20 orang… tidak akan habis uang sampai satujuta rupiah. “Cuma itu yang lo minta? Lo nggak minta sesuatu buat diri lo sendiri?” Windy tak percaya. “Ya, biarlah uang itu untuk masjid, supaya jadi amal baik buat lo.” Windy memel
Marco bicara pada ibunya Silvi, yang bersikukuh bahwa Marco adalah penyebab anaknya tewas saat Panjang tebing.“Saya akan memanjat Tebing Lawe, tanpa bantuan belayer. Saya akan memanjat sendiri. Kalau saya bisa turun lagi dari Tebing Lawe dengan selamat, itu adalah takdir yang harus diterima dengan lapang dada oleh Ibu sekeluarga. Berarti belum saatnya saya mati. Dan Ibu sekeluarga juga tidak boleh lagi memperpanjang masalah ini, baik dengan saya, atau dengan keluarga saya, dan juga dengan keturunan saya kelak. Bagaimana, Ibu sepakat?” “Hmmm… baiklah.” Bu Sofie mengangguk-angguk puas.“Ibu… jangan Bu….” Silvi memegang tangan ibunya. “Kita lupakan saja….”“Lupa? Bagaimana bisa? Karena Tonny meninggal, keluarga kita jadi berantakan! Kamu juga sempat berurusan dengan polisi, gara-gara laki-laki b@jin9an itu!”“Marco, jangan gila! Kamu mau mati konyol ya?!” ujar Maryam, air matanya sudah berlinang menuruni pipi.Marco tidak bicara lagi, dia berjalan tergesa menuju halaman depan. Tak lama
Marco sudah terlebih dahulu mengajukan izin tertulis kepada aparat setempat, izin untuk camping. Beberapa orang sepupu Silvi yang ikut serta, rupanya sudah terbiasa avonturir. Mereka membawa dua buah tenda, dan mendirikannya dengan cekatan. Sedangkan Marco tetap tak ingin bergabung. Dia membangun bivak di bawah pohon, beratapkan ponco yang dibawanya. Keluarga Silvi duduk berkumpul mengelilingi api unggun, sambil makan malam, dan ngobrol. Sementara Marco duduk sendirian di bawah pohon. Dia membaca Al Quran kecil berikut tafsir, dengan penerangan senter. Rosna ikut duduk makan malam bersama keluarga Silvi. Hingga Rosna melangkah memasuki tenda khusus perempuan, untuk tidur, dia masih melihat Marco duduk membaca. Hingga beberapa saat Rosna belum bisa memejamkan mata, soalnya di dalam tenda itu tidak nyaman. Rosna tidak kebagian tempat di atas kasur lantai yang digelar dalam tenda. Rosna juga tidak kebagian matras. Sedangkan alas tenda tipis. Rosna memang pakai jaket, tapi punggungn
Ibarat orang gila, Marco berteriak-teriak panik, membangunkan semua orang yang masih meringkuk dalam tenda ataupun sleeping bag. Beberapa menit kemudian belasan climber itu sudah berpencar di sepanjang kaki tebing lawe, sambil menengadah ke atas, memandang lewat teropong. “Itu dia! Tonny naik di jalur yang belum pernah dipanjat!” Semua climber berkumpul di bawah salah satu dinding. Mereka menengadah, menahan napas, menyaksikan Tonny yang merayap naik, berusaha melewati sebuah tonjolan tebing. Jaraknya dengan tanah sudah cukup tinggi, mungkin lebih dari 50 m. Tampaknya Tonny memanjat sejak matahari mulai terbit. “Aku akan susul dia!” Marco memasang harness pada tubuhnya, lalu mencantolkan beberapa buah karabiner pada harness, membawa beberapa buah piton dan martil khusus buat manjat tebing. Tak lupa dia membawa sebotol air minum, lalu sekantong tepung magnesium karbonat untuk melumuri tangan jika licin oleh keringat. Terakhir dikenakannya helm khusus buat manjat tebing. Tambang ker
Cynthia memperkirakan, jika Maryam kena kasus hukum di Cirebon, maka Maryam tidak akan kembali ke Bandung dalam waktu dekat. Lantas siapa yang akan datang menolong Maryam? Cynthia yakin jika Hanif yang kelak akan datang untuk membantu advokasi bagi Maryam. Kebersamaan Maryam dan Hanif selama proses hukum, akan membuat mereka dekat. Kalaupun misalnya Maryam kena pidana, dan harus dihukum, Cynthia mengira Maryam hanya akan kena hukuman percobaan selama satu tahun, atau paling lama satu tahun enam bulan. Maryam tidak akan dipenjara, tapi akan masuk panti rehabilitasi korban narkoba. Selama menjalani rehabilitasi, Maryam akan semakin dekat dengan Hanif, dan akhirnya Marco akan terlupakan. Maryam akan memilih Hanif. Begitulah rencana Cynthia. “Maaf kalau nanti kamu bakal sedikit susah, Maryam. Aku bikin rekayasa kasus hukum buat kamu, supaya kamu bisa lebih dekat lagi dengan Hanif. Aku sudah dapat banyak info tentang dirimu, dari teman-teman dekatmu. Hanya Hanif yang bisa bikin Mar
Niar mengenal Cynthia ketika suatu hari Cynthia datang ke rumah kos tempat Niar tinggal. Cynthia melihat Niar keluar dari salah satu kamar, bersama dengan teman sekamarnya. Lantas Cynthia mengikuti Niar yang pergi bekerja di sebuah supermarket. Kemudian Cynthia mengajak Niar bicara, yang intinya meminta kerjasama Niar untuk membuat Maryam meninggalkan rumah kos itu. Kalau Maryam tidak mau hengkang, maka Niar diminta mencari tahu kapan Maryam akan pulang kampung, karena Cynthia ingin menitipkan sesuatu supaya dibawa oleh Maryam ke kampungnya.Ketika itu Niar ingin tahu, apa alasan Cynthia ingin membuat Maryam pergi dari rumah kos itu, bahkan sebenarnya Cynthia ingin Maryam pergi dari Bandung. Cynthia bilang bahwa Maryam adalah pelakor bagi hubungan antara Sabrina dan Marco. Cynthia bilang bahwa Sabrina adalah kerabatnya, yang sudah bertunangan dengan Marco, dan pernikahan mereka sudah dipersiapkan. Akan tetapi Marco malah lebih sering ngurusin Maryam, lebih peduli pada Maryam, ketimb
“Cepat habisin makannya Teteh, kayaknya banyak pembeli.”Omongan Nanang menyadarkan Maryam dari lamunan tentang hari di mana dia bersikap tidak peduli saat Marco meneleponnya dan bicara soal wisuda. Rasanya sesak sekali di dada, saat harus bersikap masa bodoh terhadap hari wisuda Marco. Hari di mana Marco seharusnya merasa bahagia karena akhirnya dia berhasil menyelesaikan studi.Maryam menghabiskan kupat tahu di piringnya, lantas meninggalkan bangku yang sejak tadi didudukinya. Nanang sudah membayar, lantas mengajak kakaknya berjalan kaki ke sebuah taman kecil di tepi sebuah jalan raya. Maryam dan adiknya duduk di bangku taman. Maryam sudah bercerita pada adiknya, soal TKIT Bunga Bangsa yang tidak lagi beroperasi. Soal pemberhentiannya dari pekerjaan di bimbel.“Sekarang ini Teteh jadi pengangguran, Nang.”“Oh, kalau begitu kebetulan Teh ….”“Kebetulan apa?”“Bapak nyuruh kita pulang ke Cirebon, Teh Irma mau nikah.”Irma adalah saudara sebapak, ibunya Irma adalah istri pertama bapakn
Nanang bicara lagi pada kakaknya, “Yang tempo hari nolongin Teteh waktu pingsan di dalam kamar kos, Bang Marco kan? Teteh sudah akur lagi kan, sama Bang Marco?”Seandainya benar begitu, pikir Maryam. Benaknya mengembara ke hari yang telah lalu, ketika dia sudah sembuh dan kembali masuk kerja di TKIT Bunga Bangsa. Saat itu belum ada keputusan bahwa TK bakal berhenti beroperasi. Ketika jam istirahat, satpam memberitahu Maryam bahwa ada seorang gadis yang datang untuk menemui Maryam. Gadis itu menunggu di pos satpam. Maryam merasa pernah melihat gadis itu.“Nama saya Cynthia, saya adik tingkatmu di Universitas Taruma.” Gadis itu menyalami Maryam.“Ada perlu apa, ya?”“Kita ngobrol sebentar di rumah makan itu, ya Mbak? Saya belum makan siang, biar sekalian saya yang traktir Mbak Maryam.”“Saya sudah makan.”“Tapi saya pengin bicara penting dengan Mbak Maryam, kayaknya nggak nyaman kalau sambil berdiri begini.”Akhirnya Maryam setuju untuk mengobrol di rumah makan depan TK. Gadis itu makan
Dengan berjalan kaki, Maryam kembali ke tempat kosnya. Sore itu seperti sore sebelumnya, jalanan padat oleh kendaraan dari para pegawai yang pulang kerja. Di trotoar, para pedagang yang biasa berjualan malam, mulai menyiapkan lapak dagangannya. Maryam mampir ke warung tenda penjual soto Lamongan. Dia beli soto ayam dengan bihun untuk dibawa pulang sebagai makan malam.Tiba di tempat kos, Maryam disambut dengan lambaian tangan pemilik kos.“Ada apa, Bu?” Maryam menghampiri wanita itu, yang sedang duduk di teras rumahnya. Dari teras rumahnya itu dia bisa memantau semua pintu kamar kos miliknya, makanya jika menunggu anak kosnya datang, dia akan duduk di situ.“Begini Maryam, bulan ini kan, tinggal dua hari lagi. Nah, ibu pengin kepastian, bulan depan kamu masih tinggal di sini, atau mau pindah? Soalnya sudah ada yang nanyain kamar kosong di sini, katanya pengin kos di sini awal bulan depan. Kalau kamu masih mau di sini, bisa ya, sekarang ini kamu bayar kos untuk bulan depan? Besok dibay
Dua hari kemudian Marco mendapat balasan email dari sebuah perusahaan. Dia pernah melamar via email ke perusahaan transportasi udara yang lokasi kerjanya di wilayah timur Indonesia. Keluarganya tidak punya hubungan kerja dengan perusahaan tersebut, namun mungkin saja pemilik perusahaan mengenal papanya, karena sama-sama pengusaha transportasi. Lazimnya para pengusaha itu berserikat dalam sebuah organisasi, dan ada pertemuan berkala antaranggota. Buat Marco, cukup sulit menemukan perusahaan yang ownernya sama sekali tidak mengenal papanya. Marco tetap berharap dia diterima bukan karena melihat siapa orang tuanya, tapi karena dirinya yang dinilai mampu menempati posisi yang dilamarnya.Berangkat ke ibu kota, Marco memilih naik mobil travel. Dia menginap di rumah kerabatnya. Keesokan harinya, kerabatnya itu mengantar Marco ke lokasi wawancara kerja, yaitu sebuah gedung besar di pusat ibu kota. Salah satu bagian dari gedung itu adalah kantor cabang perusahaan transportasi udara. Marco du
Sementara itu, di kamarnya, Sabrina sedang menelepon seorang teman dekatnya. Temannya itu bernama Cynthia, adalah adik tingkat Marco di kampus Universitas Taruma Bandung. Sebagai adik tingkat, tentu saja Cynthia tahu siapa Marco dan Maryam, walau tidak saling mengenal. Sabrina bicara, “Maryam itu kerja di sebuah TK, entah jadi guru, atau jadi staf administrasi. Tapi aku lihat berita, TK itu bermasalah, ada kasus keracunan massal.” “Aku juga menyimak kasus itu. Pelakunya sudah ditangkap, tapi kayaknya kasus itu berimbas ke reputasi TK itu. Aku punya kerabat yang tinggal di kompleks perumahan tempat TK itu berada. Orang-orang kompleks itu sudah nggak percaya lagi buat mendaftarkan anaknya di TK itu. kayaknya TK itu sudah nggak laku, mungkin bakal tutup.” “Cyn, apakah Maryam masih kos di dekat kompleks perumahan itu?” “Ya, masih. Eh, aku punya kenalan di tempat kos Maryam. Aku dapat info kalau Maryam pernah sakit cukup parah, dan ternyata Marco yang membawa Maryam ke rumah sakit. Te
Marco tiba di rumah Sabrina, disambut dengan senyum merekah keluarga itu.“Kirain Abang mau lama naik gunungnya, ternyata sudah balik ke Bandung.” ucap Sabrina, “Memangnya Abang ke gunung mana, untuk merayakan wisuda?”“Yang dekat aja.”Sabrina mengira, gunung yang dimaksud Marco itu Gunung Gede, yang biasa didaki oleh banyak orang karena jalur pendakian yang relatif mudah. Sementara Marco merasa tidak perlu menjelaskan lebih jauh tentang kegiatannya selepas acara wisuda.“Rin, aku ingin bicara serius denganmu.”“Mamahku sudah menyiapkan makan malam, sebaiknya kita makan dulu, nanti baru kita ngobrol. Yuk Bang, kita makan!”“Tapi aku sudah makan, tadi di rumah.” Marco berusaha mengelak, padahal sebenarnya dia belum makan malam.“Ayolah makan dulu, Marco! Sudah lama kita nggak makan bareng.” Ayahnya Sabrina masuk ke ruang tamu, dan mengajak Marco ke ruang makan.Sebenarnya makan malam itu lezat, namun Marco hanya makan sedikit. Usai makan, dia kembali ke ruang tamu. Makanan pencuci mul
Bab 164. Prioritas HidupMarco masih berada di Gunung Tangkuban Parahu. Dia sedang duduk di bangku sebuah warung, sembari minum bandrek. Dia menatap keramaian di sekitarnya; orang-orang yang sedang berfoto dengan latar kawah, beberapa ekor kuda yang berjalan dengan penumpang di punggungnya, para pedagang asong, jejeran warung yang menjual makanan dan suvenir, jejeran mobil di tempat parkir, pengunjung datang dan pergi.Sembari menggerogoti jagung rebus, Marco memikirkan pekerjaan yang ingin dilakoninya. Sudah ada beberapa tawaran yang disodorkan kepadanya, oleh papanya, kakeknya, rekan bisnis papanya, teman sesama climber, semua masih dia pertimbangkan, mana yang paling diinginkannya.Marco teringat pada Sabrina. Dia teringat saat terakhir kali datang ke rumah Sabrina, saat dirinya membeberkan rencana hidupnya yang ingin bekerja di luar Pulau Jawa. Ketika itu Sabrina memperlihatkan sikap tidak setuju dengan rencana hidup Marco. Alasannya karena Sabrina merasa berat jika jauh dari ora