Marco berujar “Saya belum berani nyamperin lagi para pedagang di sekitar kampus. Jadi saya bekal makanan dari rumah, atau beli di tempat lain, bukan di sekitar kampus ini.” Pandangan Ipda. Binsar Siagian menjelajahi dinding-dinding homebase, hingga akhirnya tertuju pada dua foto komandan Adventure, foto Marco dan Raymond. “Belum ada komandan baru?” tanya Binsar. “Belum kepikiran untuk memilih komandan.” jawab Marco. Binsar melangkah menuju foto komandan. Dalam foto itu, keduanya memakai syal leher, topi rimba, dan menggendong ransel. Binsar mengalihkan pandangan ke sisi lain. Ada foto cowok gondrong sedang berdiri sendirian di bawah climbing wall, dengan latar belakang langit sore. “Itu foto kamu?” tanya Binsar.Marco mengikuti arah telunjuk Binsar. “Itu Raymond, bukan saya!” “Kok, mirip ya?” Binsar rada tercengang. “Kalau yang difoto gayanya kayak cover boy, itu pasti Raymond.” Marco tersenyum. “Saat SMA, Raymond pernah jadi model.” Marco geleng-geleng kepala dengan waja
Dari kampusnya Marco, Ipda. Binsar pergi ke kampus lain, untuk menemui adik kandungnya yang kuliah di Bandung. Adiknya itu perempuan, bernama Raulina, yang baru punya motor untuk aktivitasnya.Saat awal memberikan motor itu pada adiknya, Binsar lupa memberi tahu bahwa motor butuh perawatan berkala di bengkel, bukan sekadar diisi bensin. Hingga akhirnya sang adik meneleponnya, mengatakan bahwa motor sudah tidak nyaman saat dikendarai. Binsar baru sempat datang ke tempat kos adiknya pada sore itu, setelah sebelumnya ngobrol-ngobrol di homebase dengan Marco dan Maryam.“Bang, lama sekali baru ke mari. Motorku mungkin rusak, Bang. Coba Abang tengok motorku.” rengek Raulina.“Ayo bawa ke bengkel, paling juga butuh ganti oli.”“Abang tak pernah kasi tau aku soal ganti oli?”“Lupa Abang.”“Sudah sore begini, masih ada bengkel yang buka?”“Masih banyak yang buka. Kita cari bengkel yang cukup besar, yang paling dekat sini.”“Kayaknya ada tuh Bang, nama bengkelnya Black Falcon, kalau tak salah
Belum juga Binsar mulai bicara, sudah muncul pembeli lain. Seorang wanita berjilbab lebar datang, dan Mang Ujo langsung bangkit dari duduk.“Itu kan, Maryam.” pikir Binsar.Maryam berdiri di dekat gerobak, menaruh sebuah lunc box. Dia beli bakso, tapi tidak akan disantap di situ. Maryam belum menyadari kehadiran Binsar yang duduk di bangku kayu.Mang Ujo bicara, “Neng ini kan, yang kos di pondokan buat mahasiswi, ya? Yang dekat laundry?”“Iya Mang.”“Kalau pondokan khusus perempuan mah, pasti banyak yang beli bakso. Makanya Mang Ujo mah, hapal pondokan khusus perempuan, banyak langganan di situ. Ini mau campur mi, sayur, bihun? Atau bakso aja?”“Nggak pake mi, pake sawi aja. Kuahnya yang rada banyak, ya Mang. Ini buat teman sekamar saya yang lagi sakit, dia pengin makan nasi pake kuah.”“Oh iya atuh, semoga lekas sembuh. Kalau sudah makan bakso Mang Ujo mah, dijamin badan seger lagi.”“In Syaa Allah.” ucap Maryam. “Oh iya Mang, sudah ada empatpuluh harian Almarhumah?”“Iya Neng, sudah
Kosim ada di rumahnya. Binsar memperkenalkan diri sebagai polisi yang ingin menyelidiki kasus tabrak lari itu.“Bagaimana keadaan Kang Kosim?” tanya Binsar.“Saya masih sering pusing, belum bisa kerja lagi. Sekarang cuma ngandalin penghasilan istri saya, jadi pembantu di rumah tetangga.” tutur Kosim.“Apakah motor ojek itu rusak parah?” tanya Binsar lagi.“Ya, dan masih ada di kantor polisi, buat pemeriksaan. Yang punya motor itu tetangga. Saya setor sama dia setiap hari, kalau saya ngojek. Masih untung dia nggak minta ganti kepada saya karena motornya rusak parah. Cuma mungkin… saya malu kalau mau minta kerja lagi sama beliau, sebagai tukang ojek. Kalau badan saya sudah lebih sehat, saya mau kerja di proyek bangunan saja, atau jadi kuli angkut di terminal, atau pasar induk. Masak sih, Allah nggak ngasi rejeki, kalau saya berusaha keras.”“Bagaimana ciri-ciri mobil itu?”“Mobilnya warna hitam, atau warna gelap pokoknya. Nggak jelas merk mobilnya, soalnya mobil itu menepi agak jauh dar
Ipda. Binsar Siagian menyimpulkan, Ujo lah yang menaruh racun dalam jus alpukat itu. Ujo adalah orang yang ingin membunuh Marco, karena … sepertinya Marco adalah pelaku tabrak lari yang telah menewaskan istri Ujo?“Maryam bilang, Marco pernah datang ke tempat kos itu, dengan Silvi duduk di boncengan motornya. Silvi mengembalikan jaket milik Marco. Jaket parasut merah dengan gambar burung di punggung, bertuliskan Black Falcon Automotive. Pada saat itu Mang Ujo masih ada di halaman depan rumah kos itu! Mang Ujo pasti melihat Marco, yang ciri-cirinya persis seperti pelaku tabrak lari yang digambarkan oleh Kosim. Mungkin saat itu Ujo berpikir, “Ini dia orang yang sudah membunuh istriku!” Ya Tuhan, ternyata ini masalah balas dendam?”"Mang Ujo mengejar Marco!" Pikir Binsar. Dari keterangan beberapa orang, Mang Ujo baru mangkal di kampus selama seminggu, saat kejadian tewasnya Raymond. Jadi pada mulanya Mang Ujo itu pedagang bakso yang mengitari kawasan pemukiman padat dalam gang-gang sempi
Suara semak-semak yang terusik langkah kaki membuat Ujo tersentak, lantas menoleh. Ujo melihat beberapa orang pria yang berlari ke arah dirinya, seperti hendak mengepung. Ujo naik ke pematang, kemudian berlari. DOR! Letusan pistol tanda peringatan, belum menciutkan nyali Ujo. Dia terus berlari menghindari kejaran. DOR! Peringatan kedua, tapi Ujo masih nekad berlari. DOR! Ujo makin pontang-panting tak tentu arah. Sekonyong-konyong di benaknya berkelebat bayangan sang istri, saat terakhir kali pamitan mau berbelanja ke pasar, “Jaga anak-anak, ya!” “Ampuuun….” Ujo menjatuhkan diri ke tanah, lalu menangis tersedu-sedu. Tak ada timah panas yang melukai tubuh Ujo, karena Inspektur Ekky yang barusan mengejarnya, belum sempat memuntahkan lagi peluru keempat dari pistolnya. Ujo tersungkur karena tak sanggup lagi berlari, takut kakinya ditembak polisi, dan … bagaimana kalau tembakan itu nyasar ke tubuhnya? Kalau dirinya mati juga, siapa yang menjaga anak-anak? Ujo pasrah saat tangannya dip
Seminggu setelah Marco dirawat di rumah sakit, kondisinya berangsur membaik. Marco sudah sadar sepenuhnya. Penyidik yaitu Iptu. Ekky Wahyudi dan Ipda. Binsar Siagian datang untuk melihat apakah Marco sudah bisa mengingat banyak hal. Setelah diajak bicara hal-hal ringan tentang keluarga dan kuliahnya, polisi penyidik menganggap Marco sudah mampu menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan kasusnya. Pihak keluarga ingin ada pengacara mendampingi Marco saat proses interogasi oleh polisi. Maka penyidik memberi kesempatan pada keluarga Marco untuk menghubungi pengacara. Marco dirawat inap di ruang VIP. Keesokan harinya, saat kedua penyidik tiba di ruang itu, sudah ada orang tua Marco dan seorang pengacara. Marco masih berbaring dengan kepala dibebat perban. Rambutnya yang panjang tidak nampak lagi. Perawat telah membabat habis rambut gondrong itu untuk memudahkan dokter saat menjahit kepalanya yang bocor. Marco membuka matanya saat mendengar suara mamanya yang lirih. "Ada polisi datang,
Polisi meminta izin untuk memeriksa kendaraan milik keluarga Ronald Sanjaya, tapi ada penolakan keras. “Anak saya sudah mati, kenapa masih difitnah sebagai pelaku tabrak lari?” Begitu tanggapan Ronald. “Bilang sama keluarganya si Marco, jangan karena Raymond sudah meninggal, lantas semua tuduhan bisa dilempar ke sini, karena orang mati tidak bisa membela diri! Saya tidak rela, anak saya yang sudah tiada, terus saja dikejar dengan berbagai tuduhan keji!” Polisi mengeluarkan bukti baru, yaitu kwitansi tanda terima pembayaran dari Raymond, untuk perbaikan mobil. Pada kwitansi itu, ada tanggal Raymond mengirimkan mobilnya untuk diketok bagian depannya yang penyok. Tanggal yang tercantum adalah dua hari setelah kejadian tabrak lari itu. Mobil itu selesai diperbaiki dan diambil lagi oleh Raymond, tiga hari kemudian dari tanggal masuknya. Ironisnya, kwitansi itu diperoleh polisi dari bengkel Black Falcon! Jadi… Raymond memperbaiki mobilnya di bengkel Black Falcon. Akhirnya polisi berhasi
Cynthia memperkirakan, jika Maryam kena kasus hukum di Cirebon, maka Maryam tidak akan kembali ke Bandung dalam waktu dekat. Lantas siapa yang akan datang menolong Maryam? Cynthia yakin jika Hanif yang kelak akan datang untuk membantu advokasi bagi Maryam. Kebersamaan Maryam dan Hanif selama proses hukum, akan membuat mereka dekat. Kalaupun misalnya Maryam kena pidana, dan harus dihukum, Cynthia mengira Maryam hanya akan kena hukuman percobaan selama satu tahun, atau paling lama satu tahun enam bulan. Maryam tidak akan dipenjara, tapi akan masuk panti rehabilitasi korban narkoba. Selama menjalani rehabilitasi, Maryam akan semakin dekat dengan Hanif, dan akhirnya Marco akan terlupakan. Maryam akan memilih Hanif. Begitulah rencana Cynthia. “Maaf kalau nanti kamu bakal sedikit susah, Maryam. Aku bikin rekayasa kasus hukum buat kamu, supaya kamu bisa lebih dekat lagi dengan Hanif. Aku sudah dapat banyak info tentang dirimu, dari teman-teman dekatmu. Hanya Hanif yang bisa bikin Mar
Niar mengenal Cynthia ketika suatu hari Cynthia datang ke rumah kos tempat Niar tinggal. Cynthia melihat Niar keluar dari salah satu kamar, bersama dengan teman sekamarnya. Lantas Cynthia mengikuti Niar yang pergi bekerja di sebuah supermarket. Kemudian Cynthia mengajak Niar bicara, yang intinya meminta kerjasama Niar untuk membuat Maryam meninggalkan rumah kos itu. Kalau Maryam tidak mau hengkang, maka Niar diminta mencari tahu kapan Maryam akan pulang kampung, karena Cynthia ingin menitipkan sesuatu supaya dibawa oleh Maryam ke kampungnya.Ketika itu Niar ingin tahu, apa alasan Cynthia ingin membuat Maryam pergi dari rumah kos itu, bahkan sebenarnya Cynthia ingin Maryam pergi dari Bandung. Cynthia bilang bahwa Maryam adalah pelakor bagi hubungan antara Sabrina dan Marco. Cynthia bilang bahwa Sabrina adalah kerabatnya, yang sudah bertunangan dengan Marco, dan pernikahan mereka sudah dipersiapkan. Akan tetapi Marco malah lebih sering ngurusin Maryam, lebih peduli pada Maryam, ketimb
“Cepat habisin makannya Teteh, kayaknya banyak pembeli.”Omongan Nanang menyadarkan Maryam dari lamunan tentang hari di mana dia bersikap tidak peduli saat Marco meneleponnya dan bicara soal wisuda. Rasanya sesak sekali di dada, saat harus bersikap masa bodoh terhadap hari wisuda Marco. Hari di mana Marco seharusnya merasa bahagia karena akhirnya dia berhasil menyelesaikan studi.Maryam menghabiskan kupat tahu di piringnya, lantas meninggalkan bangku yang sejak tadi didudukinya. Nanang sudah membayar, lantas mengajak kakaknya berjalan kaki ke sebuah taman kecil di tepi sebuah jalan raya. Maryam dan adiknya duduk di bangku taman. Maryam sudah bercerita pada adiknya, soal TKIT Bunga Bangsa yang tidak lagi beroperasi. Soal pemberhentiannya dari pekerjaan di bimbel.“Sekarang ini Teteh jadi pengangguran, Nang.”“Oh, kalau begitu kebetulan Teh ….”“Kebetulan apa?”“Bapak nyuruh kita pulang ke Cirebon, Teh Irma mau nikah.”Irma adalah saudara sebapak, ibunya Irma adalah istri pertama bapakn
Nanang bicara lagi pada kakaknya, “Yang tempo hari nolongin Teteh waktu pingsan di dalam kamar kos, Bang Marco kan? Teteh sudah akur lagi kan, sama Bang Marco?”Seandainya benar begitu, pikir Maryam. Benaknya mengembara ke hari yang telah lalu, ketika dia sudah sembuh dan kembali masuk kerja di TKIT Bunga Bangsa. Saat itu belum ada keputusan bahwa TK bakal berhenti beroperasi. Ketika jam istirahat, satpam memberitahu Maryam bahwa ada seorang gadis yang datang untuk menemui Maryam. Gadis itu menunggu di pos satpam. Maryam merasa pernah melihat gadis itu.“Nama saya Cynthia, saya adik tingkatmu di Universitas Taruma.” Gadis itu menyalami Maryam.“Ada perlu apa, ya?”“Kita ngobrol sebentar di rumah makan itu, ya Mbak? Saya belum makan siang, biar sekalian saya yang traktir Mbak Maryam.”“Saya sudah makan.”“Tapi saya pengin bicara penting dengan Mbak Maryam, kayaknya nggak nyaman kalau sambil berdiri begini.”Akhirnya Maryam setuju untuk mengobrol di rumah makan depan TK. Gadis itu makan
Dengan berjalan kaki, Maryam kembali ke tempat kosnya. Sore itu seperti sore sebelumnya, jalanan padat oleh kendaraan dari para pegawai yang pulang kerja. Di trotoar, para pedagang yang biasa berjualan malam, mulai menyiapkan lapak dagangannya. Maryam mampir ke warung tenda penjual soto Lamongan. Dia beli soto ayam dengan bihun untuk dibawa pulang sebagai makan malam.Tiba di tempat kos, Maryam disambut dengan lambaian tangan pemilik kos.“Ada apa, Bu?” Maryam menghampiri wanita itu, yang sedang duduk di teras rumahnya. Dari teras rumahnya itu dia bisa memantau semua pintu kamar kos miliknya, makanya jika menunggu anak kosnya datang, dia akan duduk di situ.“Begini Maryam, bulan ini kan, tinggal dua hari lagi. Nah, ibu pengin kepastian, bulan depan kamu masih tinggal di sini, atau mau pindah? Soalnya sudah ada yang nanyain kamar kosong di sini, katanya pengin kos di sini awal bulan depan. Kalau kamu masih mau di sini, bisa ya, sekarang ini kamu bayar kos untuk bulan depan? Besok dibay
Dua hari kemudian Marco mendapat balasan email dari sebuah perusahaan. Dia pernah melamar via email ke perusahaan transportasi udara yang lokasi kerjanya di wilayah timur Indonesia. Keluarganya tidak punya hubungan kerja dengan perusahaan tersebut, namun mungkin saja pemilik perusahaan mengenal papanya, karena sama-sama pengusaha transportasi. Lazimnya para pengusaha itu berserikat dalam sebuah organisasi, dan ada pertemuan berkala antaranggota. Buat Marco, cukup sulit menemukan perusahaan yang ownernya sama sekali tidak mengenal papanya. Marco tetap berharap dia diterima bukan karena melihat siapa orang tuanya, tapi karena dirinya yang dinilai mampu menempati posisi yang dilamarnya.Berangkat ke ibu kota, Marco memilih naik mobil travel. Dia menginap di rumah kerabatnya. Keesokan harinya, kerabatnya itu mengantar Marco ke lokasi wawancara kerja, yaitu sebuah gedung besar di pusat ibu kota. Salah satu bagian dari gedung itu adalah kantor cabang perusahaan transportasi udara. Marco du
Sementara itu, di kamarnya, Sabrina sedang menelepon seorang teman dekatnya. Temannya itu bernama Cynthia, adalah adik tingkat Marco di kampus Universitas Taruma Bandung. Sebagai adik tingkat, tentu saja Cynthia tahu siapa Marco dan Maryam, walau tidak saling mengenal. Sabrina bicara, “Maryam itu kerja di sebuah TK, entah jadi guru, atau jadi staf administrasi. Tapi aku lihat berita, TK itu bermasalah, ada kasus keracunan massal.” “Aku juga menyimak kasus itu. Pelakunya sudah ditangkap, tapi kayaknya kasus itu berimbas ke reputasi TK itu. Aku punya kerabat yang tinggal di kompleks perumahan tempat TK itu berada. Orang-orang kompleks itu sudah nggak percaya lagi buat mendaftarkan anaknya di TK itu. kayaknya TK itu sudah nggak laku, mungkin bakal tutup.” “Cyn, apakah Maryam masih kos di dekat kompleks perumahan itu?” “Ya, masih. Eh, aku punya kenalan di tempat kos Maryam. Aku dapat info kalau Maryam pernah sakit cukup parah, dan ternyata Marco yang membawa Maryam ke rumah sakit. Te
Marco tiba di rumah Sabrina, disambut dengan senyum merekah keluarga itu.“Kirain Abang mau lama naik gunungnya, ternyata sudah balik ke Bandung.” ucap Sabrina, “Memangnya Abang ke gunung mana, untuk merayakan wisuda?”“Yang dekat aja.”Sabrina mengira, gunung yang dimaksud Marco itu Gunung Gede, yang biasa didaki oleh banyak orang karena jalur pendakian yang relatif mudah. Sementara Marco merasa tidak perlu menjelaskan lebih jauh tentang kegiatannya selepas acara wisuda.“Rin, aku ingin bicara serius denganmu.”“Mamahku sudah menyiapkan makan malam, sebaiknya kita makan dulu, nanti baru kita ngobrol. Yuk Bang, kita makan!”“Tapi aku sudah makan, tadi di rumah.” Marco berusaha mengelak, padahal sebenarnya dia belum makan malam.“Ayolah makan dulu, Marco! Sudah lama kita nggak makan bareng.” Ayahnya Sabrina masuk ke ruang tamu, dan mengajak Marco ke ruang makan.Sebenarnya makan malam itu lezat, namun Marco hanya makan sedikit. Usai makan, dia kembali ke ruang tamu. Makanan pencuci mul
Bab 164. Prioritas HidupMarco masih berada di Gunung Tangkuban Parahu. Dia sedang duduk di bangku sebuah warung, sembari minum bandrek. Dia menatap keramaian di sekitarnya; orang-orang yang sedang berfoto dengan latar kawah, beberapa ekor kuda yang berjalan dengan penumpang di punggungnya, para pedagang asong, jejeran warung yang menjual makanan dan suvenir, jejeran mobil di tempat parkir, pengunjung datang dan pergi.Sembari menggerogoti jagung rebus, Marco memikirkan pekerjaan yang ingin dilakoninya. Sudah ada beberapa tawaran yang disodorkan kepadanya, oleh papanya, kakeknya, rekan bisnis papanya, teman sesama climber, semua masih dia pertimbangkan, mana yang paling diinginkannya.Marco teringat pada Sabrina. Dia teringat saat terakhir kali datang ke rumah Sabrina, saat dirinya membeberkan rencana hidupnya yang ingin bekerja di luar Pulau Jawa. Ketika itu Sabrina memperlihatkan sikap tidak setuju dengan rencana hidup Marco. Alasannya karena Sabrina merasa berat jika jauh dari ora