Maryam melanjutkan bicara pada Windy. “Beasiswa yang kuperoleh itu untuk uang semester, biaya makan, dan bayar kos. Sedangkan kuliah itu kan, butuh buku, alat tulis, baju, sepatu, tas. Semua itu masih bisa kuatasi, dengan cara menyisihkan uang makan. Tapi aku juga butuh laptop, dan harganya mahal. Makanya aku jualan peyek. Marco kasihan padaku, dia sering memborong daganganku.”Maryam menyeka air matanya yang turun membasahi pipi. “Aku nggak pernah berharap punya hubungan pribadi dengan Marco. Aku harus tahu diri, kalau kami nggak sederajat! Mana mungkin, Pak Ardian Wiratama yang pengusaha kaya, mengizinkan anaknya berhubungan akrab dengan aku, anak seorang sopir angkot.” Windy terdiam sejenak, lantas berujar pelan, “Bang Marco itu orang yang keras, tidak gampang menyerah, tidak mempan diancam sama siapapun. Seandainya dia memang suka pada seorang wanita, sementara orang tuanya kurang setuju pada pilihannya, aku yakin Bang Marco akan memperjuangkan wanita itu supaya bisa diterima ole
Obat hati yang ketiga adalah berkumpul dengan orang shaleh. Dengan siapa dirinya berkumpul selama ini? Lebih sering dengan sesama pendaki gunung. Memang ada juga rekannya yang cukup rajin shalat dan puasa, tapi mungkin belum cukup untuk dikatakan shaleh. Satu-satunya orang yang dinilainya shaleh, yang dekat dengannya, mungkin cuma Maryam. Seringkali Marco pulang ke homebase saat pagi hari, dari kegiatan naik gunung. Dia sering berpapasan dengan Maryam yang baru selesai beraktivitas di masjid kampus. Bisa dipastikan sejak subuh Maryam sudah berdiam di masjid kampus, untuk salat, dan menyimak ceramah dari ustaz. Jika mereka berpapasan, Maryam akan bertanya, “Marco, sudah salat subuh, belum?” Biasanya jawaban Marco adalah, “Entar.” Entah sekarang, setelah omongan keras dan pedas itu, apakah Maryam masih mau menerimanya sebagai teman? "Pasti dia tersinggung." pikir Marco. Saat itu Marco merasa harus menyuruh Maryam pergi. Kalau Maryam bolak-balik datang menjenguk, bisa-bisa penyidik
“Beberapa hari lalu kami menangkap seorang penjual senjata api rakitan. Orang itu mengaku pernah menjual senjatanya kepada seorang wanita yang ciri-cirinya seperti Silvi. Saat kami hadapkan dia pada Silvi, dia mengenali Silvi.” Penyidik mengeluarkan sebuah pistol. “Senjata ini dikirimkan tiga minggu lalu kepada polisi, oleh rekan satu kos Silvi. Si pengirim tidak mau bicara, milik siapa, dan di mana senjata ini ditemukan.”“Kalau boleh tahu, siapa yang mengirim pistol itu ke kantor polisi?” tanya Marco.“Seorang wanita.”“Ya tentu saja seorang wanita, karena rumah kos Silvi itu buat wanita.”“Maryam.”“Apa?” Marco tercengang.“Yang mengirim pistol itu pada polisi adalah Maryam.”Marco masih terpana oleh ucapan polisi.“Kami sudah menemukan keterkaitan antara pistol ini, dengan kasus yang menimpa Anda. Kami pikir, pada awalnya Silvi berencana akan menembak Anda. Tapi Maryam menemukan pistolnya, dan memberikan pistol itu pada polisi. Maka Silvi mencari cara lain untuk balas dendam pada
Keesokan harinya setelah lewat waktu zuhur, gerimis turun cukup rapat. Dengan telanjang kaki, Marco bergegas menaiki menara masjid dari bagian dalam melalui tangga darurat, sambil membawa peralatan climbing. Tiba di atas, dia membuat anchor dari tambang yang diikatkan pada tiang penyangga kubah menara. Harness sudah terpasang di tubuhnya sebelum dia memasuki area masjid itu. Tambang yang sudah diikat sebagai anchor lantas dihubungkan dengan harnestnya. Ujung tambang dilemparkan ke bawah, menjuntai hingga satu meter dari dasar menara.Hujan turun makin deras saat Marco mulai menuruni menara. Dua buah sikat yang dibawanya, juga terikat tali dan terhubung dengan harnestnya. Sedikit demi sedikit dia menyikat dinding. Air hujan membantunya membasuh kotoran. Setelah selesai satu lajur horizontal dari dinding keramik itu, dia turun lagi satu tahap, lalu mulai menyikat lagi. Beberapa kali Marco sempat tergelincir, meluncur turun terlalu jauh dari tujuan. Dengan bantuan peralatan climbing yang
Marco mendatangi Maryam di kantin kampus.“Aku minta maaf, Maryam, pasti omonganku membuat kamu tersinggung.” ujar Marco sambil menyimpan baki berisi makan siangnya di meja yang sama dengan Maryam. Mereka duduk berhadapan.“Omongan yang mana?” tanya Mayam.“Yang aku katakan padamu waktu di kantor polisi.”“Aku nggak apa-apa kok.” jawab Maryam sambil tersenyum.Marco mulai makan. Nasi sepiring, sementara di piring lain ada paha ayam panggang, telor balado, tahu dan tempe bacem, sayur lodeh, lalap dan sambal, dalam waktu singkat sudah habis disantap. Maryam pernah berpikir, mungkin Marco punya tembolok, kayak ayam. Jadi makanan itu tidak perlu dikunyah dulu, langsung ditelan, nanti baru dicerna dalam tembolok.Maryam sudah selesai makan. Sudut matanya melihat tiga orang mahasiswi sedang minta diladeni mengambil nasi dan lauk-pauknya oleh pelayan kantin. “Marco, aku duluan ya, ada perlu. Assalamualaikum.” Tanpa menunggu jawaban, Maryam segera bergegas keluar dari kantin. Marco menatap p
Maryam mendengar suara motor berhenti di depan rumah kos. Maryam sudah hapal itu suara motor Marco, segera dia membuka pintu kamarnya sedikit untuk mengintai. Ada seorang gadis berdiri di teras, Rosna. Lantas Marco masuk ke teras, dan bicara dengan Rosna, tampak akrab. Maryam teringat kalau Rosna memang pernah jadi anggota Adventure, tidak heran jika gadis itu cukup akrab dengan Marco. Sekarang Rosna sudah tidak aktif di organisasi kampus, capek dan menghabiskan uang, begitu katanya.Maryam menutup kembali pintu kamarnya, kemudian membaca buku yang menjadi sumber pustaka untuk skripsinya. Mencatat beberapa kalimat yang dianggap penting. Dia menoleh ke arah pintu saat ada yang mengetuk. Maryam mengira rekan sekamarnya yang datang.“Masuk aja, Tin.”“Mbak, ini aku, Rosna.”Maryam membuka pintu, di depan kamarnya ada Rosna dan Marco.“Mbak, kita makan sea food, yuk! Ada warung sea food baru dibuka dekat sini. Bang Marco ngajakin ke situ.” ujar Rosna.Maryam terdiam.“Ayolah!” Kali ini Ma
Marco menepati janjinya, di hari Minggu pagi dia datang ke kampus untuk memberi pelatihan memanjat climbing wall. Ternyata peminatnya banyak, bukan cuma puluhan orang ikhwan aktivis masjid yang pengin berlatih memanjat, ada juga beberapa orang dari organisasi Menwa. Dan tentu saja para anggota Adventure yang latihan rutin. Karena terlalu banyak peserta pelatihan, Marco menelepon Cepi untuk membantunya.Cepi tiba di kampus, tercengang melihat banyak wajah baru yang mau latihan climbing.“Mereka dari aktivis masjid kampus, sama Menwa.” ujar Marco.“Latihan gabungan maksudnya?” tanya Cepi.Seorang ikhwan bicara. “Iya Bang. Persiapan buat pembersihan total terhadap kubah majid, dinding menara, dan bagian yang tinggi, yang selama ini sulit dijangkau dan nggak pernah dibersihkan.”“Kita baru tersadar sama kondisi bagian atas masjid kampus, saat Bang Marco memanjatnya buat membersihkan menara. Masjid itu milik bersama. Jadi urusan kebersihannya pun tanggung jawab bersama. Jangan sampai terul
Marco bicara “Nggak mungkin para wartawan itu mau nongkrong di kampus ini terus-terusan. Kalau mereka sudah pergi, nanti saya juga bisa pulang.”Binsar tersenyum lebar. “Jangan meremehkan wartawan. Mereka tahan nongkrong di markas saya hingga tengah malam, hingga subuh, hingga pagi lagi, untuk mencari berita. Mereka akan terus berada di sumber berita. Kalau sudah capek, mereka bakal gantian dengan rekannya, untuk berburu berita. ”Marco saling pandang dengan Cepi.“Ya sudah, berarti saya harus pergi dari sini secepat mungkin, menerobos kerumunan wartawan.” ujar Marco.Saat itu Binsar melihat seorang mahasiswa yunior yang bertubuh sama jangkung dengan Marco. “Dia saja yang keluar, tapi pakai jaket punya Marco. Pinjamkan motor sama dia. Bagaimana, kamu berani?” tanya Binsar pada mahasiswa yunior itu.“Iya, oke, saya mau pura-pura jadi Bang Marco, biar Bang Marco bisa pergi dari kampus dengan aman.” jawab mahasiswa jangkung itu, dia salah seorang aktivis masjid kampus.Lantas Marco sendi
Maryam sedang belajar stock opname di outlet BSM, saat ponsel milik Wati bernyanyi. Wati menyuruh Maryam melanjutkan pengecekan barang, sementara dia menjawab panggilan dari ponsel.“Lo harus tegas! Ini demi masa depan lo sendiri!” Itu sekelumit ucapan Wati yang tertangkap oleh telinga Maryam. “Lo mau status lo terus saja nggak jelas?”Maryam berpindah ke bak obralan, lalu kembali menghitung. Rumit, karena pakaian yang masuk katagori obralan biasanya teraduk-aduk dalam wadahnya. Padahal pakaian-pakaian itu berasal dari pemasok yang berbeda-beda, dan tentu saja mempunyai kode yang berbeda. Dengan telaten, Maryam melipati baju-baju itu, ditumpuk berdasarkan kode pemasoknya, supaya lebih mudah dihitung.Wati masih bicara via ponsel. “Kalau cara yang lo tempuh kemarin itu ternyata nggak juga berhasil membuat dia bereaksi sesuai keinginan lo, maka menurut gue sih, lo harus menguji dia! Supaya lo tahu, apa artinya diri lo buat dia!”Maryam berpikir, mungkin Wati dan temannya itu lagi berdis
Maryam sudah pernah datang ke rumah keluarga Marco. Usai Maryam diwisuda, papanya Marco yang mengundang Maryam beserta orang tuanya untuk makan siang di rumahnya. Marco menjemput Maryam sekeluarga dari lokasi wisuda. Saat itu ibunya berbisik, bahwa rumah mereka di Cirebon masih lebih kecil daripada dapur di rumah keluarga Marco.Rumah Maryam dihuni oleh enam orang, jika semua berkumpul. Sedangkan rumah Marco yang gede banget itu, lebih sering dihuni sama pembantu dan satpam. Kedua orang tua Marco sering bepergian untuk urusan bisnis. Kedua orang kakak Marco sudah berkeluarga, dan punya rumah sendiri. Adik Marco kuliah di luar negeri. Sedangkan Marco, lebih sering avonturir ke gunung, atau tidur di homebase pencinta alam di kampus. Katanya malas di rumah, sepi banget.Dulu Maryam tidak percaya, kok, punya rumah tapi jarang dihuni? Setelah melihat situasi rumah Marco, barulah dia bisa maklum, kenapa Marco malas pulang ke rumahnya sendiri. Itu juga sebabnya, Marco memutuskan untuk menik
Marco bicara pada Maryam, “Aku lagi naik motor, berpapasan dengan motornya Hanif di lampu merah Jl. Pasirkaliki. Aku lihat ada cewek di boncengan motornya. Entah Hanif nggak melihat aku, entah pura-pura nggak melihat. Saat aku belok mau terus ke Jl. Sukajadi, dia belok ke restoran fast food.” “Cewek itu pasti Latifa, adiknya.” Maryam tidak mau suudzon terhadap rekannya di organisasi dakwah kampus.“Latifa kan, pakai jilbab. Nah, cewek yang dibonceng si Hanif itu nggak pake jilbab. Gebetannya yang baru, mungkin. Istrinya baru beberapa hari meninggal karena kecelakaan lalu lintas, dia sudah membonceng cewek. Setia banget si Hanif ya?” Ucapan Marco terdengar sinis.“Ah, kayaknya nggak mungkin Hanif boncengan motor dengan perempuan bukan muhrim. Cewek itu pasti kerabatnya.”“Ah, mungkin aja! Laki-laki lajang mah di mana-mana juga nyaris sama, kalau ada cewek yang mau nyangkut, ya digaet juga!”“Apakah kamu juga seperti itu?” Maryam cemberut.“Seperti apa? Maksudmu boncengan motor dengan
season 2 Maryam berjalan ke luar dari ruang Admik sambil mengepit map berisi ijasah. Tiga minggu setelah wisuda, Maryam kembali ke kampus, tujuannya untuk melegalisasi foto copy ijazahnya. Dia akan melamar kerja. Hari itu dia sudah menyerahkan beberapa lembar copy ijazah ke petugas Admik. Nanti petugas Admik yang akan mendata nama alumni, lantas mengirimkan copy ijazah ke meja dekan.Maryam menuju markas para aktivis dakwah kampus, yaitu sebuah ruangan kecil di samping masjid kampus. Beberapa mahasiswi berjilbab memberinya selamat atas kelulusannya sebagai Sarjana Pendidikan. Maryam tertegun saat membaca tulisan pada sebuah kertas yang tertempel di papan tulis. Isinya pemberitahuan meninggalnya seorang alumni.“Nabila meninggal? Innalillahi… kasihan Hanif, padahal mereka baru menikah….” Maryam mengusap matanya yang berkaca-kaca. "Kabar itu sudah disebar di grup WA. Apakah Kak Maryam baru tahu?""Iya. Mungkin saya luput membaca kabar itu di grup WA." jawab Maryam dengan rasa sesal.
Marco masuk ke homebase, lalu meletakkan bungkusan plastik besar di atas meja. “Berat juga nih barang.” gumam Marco. “Apaan tuh?” tanya Cepi seraya menghampiri bungkusan itu, hendak membuka, namun tangan Marco menahannya. Cepi hanya bisa meraba-raba plastik pembungkus, untuk mencari tahu benda apa yang dibungkus itu. Cepi terbelalak saat jarinya merasakan ada beberapa berkas tebal yang masing-masing disampul hard cover. “Ini skripsi?” Cepi menatap Marco. “Lo sudah bikin skripsi?!” Nada suaranya mulai panik. “Katanya lo mau barengan nyusun skripsi dengan gue, terus kita wisuda bareng tahun depan!” “Ya gimana dong? Gue pingin cepat kelar kuliah.” jawab Marco. “Lo nggak bilang-bilang kapan nyusunnya, tahu-tahu skripsi lo udah jadi! Kalau begini, gue yang paling telat, dan … gue nggak ada teman lagi dong! Gimana neeeh?” Marco memandang isi homebase. Beberapa foto masih terpajang. Diambilnya foto Raymond, dengan syal miliknya, dibersihkannya pigura dan kaca foto itu dari debu yang
“Teriak aja, mudah-mudahan dia bisa dengar!” seru Silvi tak sabar. Gaung teriakan menyuruh Marco segera turun, memantul di dinding-dinding tebing. Karena terlalu banyak yang berteriak, gema suaranya jadi tidak karuan. “Andri, lo kan climber juga!” Silvi mendorong salah seorang saudara sepupunya. “Lekas lo manjat, susul Marco! Bilangin supaya dia lekas turun!” “Gue ngeri Vi….” “Ngeri?! Tapi lo sering bilang kalau lo itu climber andalan kampus lo? Dan lo nggak pernah gentar kalau disuruh memanjat?” “Maksud gue… nggak gentar memanjat climbing wall… gue belum pernah manjat tebing betulan….” “Kalau cuma manjat climbing wall, bocah SD juga bisa!” rutuk Silvi. Jarak yang ditempuh Marco sudah terlalu tinggi, dan sepertinya Marco tidak bisa mendengar teriakan dari bawah. Dia terus saja merayap naik. Lajunya terhenti oleh sebuah roof (tonjolan tebing yang mirip atap). Dia memasang beberapa anchor pada roof itu. Setelah tambatan itu dirasanya kuat, dia segera menaikkan lagi tubuhnya hing
Marco meletakkan dompet miliknya di pangkuan Rosna. “Uang itu buat ongkos kalian semua pulang. Tapi kalau masih kurang, kamu bisa ambil uang pakai kartu ATM.” Marco menyebut beberapa angka yang jadi nomor pin kartu ATM-nya.“Bang, gimana kalau aku khilaf, lantas merampok isi rekeningmu?!” ucap Rosna.Marco malah tertawa. “Uang di rekeningku paling juga tinggal duajuta. Sebagian besar uang sudah aku transfer ke rekening mamaku. Nanti jika aku bisa pulang dengan selamat, aku minta lagi uang itu ke mamaku.” Marco menatap Rosna. “Tapi kalaupun kamu khilaf mengambil uang di rekeningku, aku ikhlas. Aku anggap saja uangku diminta sama adikku, jadi nggak apa-apa, Rosna.”“Nggak Bang, aku hanya bercanda. Hmmm, apakah… orang tua Abang tahu soal perjalanan ini?”“Mereka pikir… aku lagi naik gunung, seperti biasanya.” Marco lantas pamit, mau mengecek peralatan panjat tebing yang dibawanya.Rosna membuka dompet Marco, mengamati isinya. Ada KTP, KTM, KTA dari UKM Adventure, lalu beberapa buah pas
Ibarat orang gila, Marco berteriak-teriak panik, membangunkan semua orang yang masih meringkuk dalam tenda ataupun sleeping bag. Beberapa menit kemudian belasan climber itu sudah berpencar di sepanjang kaki tebing lawe, sambil menengadah ke atas, memandang lewat teropong. “Itu dia! Tonny naik di jalur yang belum pernah dipanjat!” Semua climber berkumpul di bawah salah satu dinding. Mereka menengadah, menahan napas, menyaksikan Tonny yang merayap naik, berusaha melewati sebuah tonjolan tebing. Jaraknya dengan tanah sudah cukup tinggi, mungkin lebih dari 50 m. Tampaknya Tonny memanjat sejak matahari mulai terbit. “Aku akan susul dia!” Marco memasang harness pada tubuhnya, lalu mencantolkan beberapa buah karabiner pada harness, membawa beberapa buah piton dan martil khusus buat manjat tebing. Tak lupa dia membawa sebotol air minum, lalu sekantong tepung magnesium karbonat untuk melumuri tangan jika licin oleh keringat. Terakhir dikenakannya helm khusus buat manjat tebing. Tambang ker
Marco sudah terlebih dahulu mengajukan izin tertulis kepada aparat setempat, izin untuk camping. Beberapa orang sepupu Silvi yang ikut serta, rupanya sudah terbiasa avonturir. Mereka membawa dua buah tenda, dan mendirikannya dengan cekatan. Sedangkan Marco tetap tak ingin bergabung. Dia membangun bivak di bawah pohon, beratapkan ponco yang dibawanya. Keluarga Silvi duduk berkumpul mengelilingi api unggun, sambil makan malam, dan ngobrol. Sementara Marco duduk sendirian di bawah pohon. Dia membaca Al Quran kecil berikut tafsir, dengan penerangan senter. Rosna ikut duduk makan malam bersama keluarga Silvi. Hingga Rosna melangkah memasuki tenda khusus perempuan, untuk tidur, dia masih melihat Marco duduk membaca. Hingga beberapa saat Rosna belum bisa memejamkan mata, soalnya di dalam tenda itu tidak nyaman. Rosna tidak kebagian tempat di atas kasur lantai yang digelar dalam tenda. Rosna juga tidak kebagian matras. Sedangkan alas tenda tipis. Rosna memang pakai jaket, tapi punggungn