Marco menepati janjinya, di hari Minggu pagi dia datang ke kampus untuk memberi pelatihan memanjat climbing wall. Ternyata peminatnya banyak, bukan cuma puluhan orang ikhwan aktivis masjid yang pengin berlatih memanjat, ada juga beberapa orang dari organisasi Menwa. Dan tentu saja para anggota Adventure yang latihan rutin. Karena terlalu banyak peserta pelatihan, Marco menelepon Cepi untuk membantunya.Cepi tiba di kampus, tercengang melihat banyak wajah baru yang mau latihan climbing.“Mereka dari aktivis masjid kampus, sama Menwa.” ujar Marco.“Latihan gabungan maksudnya?” tanya Cepi.Seorang ikhwan bicara. “Iya Bang. Persiapan buat pembersihan total terhadap kubah majid, dinding menara, dan bagian yang tinggi, yang selama ini sulit dijangkau dan nggak pernah dibersihkan.”“Kita baru tersadar sama kondisi bagian atas masjid kampus, saat Bang Marco memanjatnya buat membersihkan menara. Masjid itu milik bersama. Jadi urusan kebersihannya pun tanggung jawab bersama. Jangan sampai terul
Marco bicara “Nggak mungkin para wartawan itu mau nongkrong di kampus ini terus-terusan. Kalau mereka sudah pergi, nanti saya juga bisa pulang.”Binsar tersenyum lebar. “Jangan meremehkan wartawan. Mereka tahan nongkrong di markas saya hingga tengah malam, hingga subuh, hingga pagi lagi, untuk mencari berita. Mereka akan terus berada di sumber berita. Kalau sudah capek, mereka bakal gantian dengan rekannya, untuk berburu berita. ”Marco saling pandang dengan Cepi.“Ya sudah, berarti saya harus pergi dari sini secepat mungkin, menerobos kerumunan wartawan.” ujar Marco.Saat itu Binsar melihat seorang mahasiswa yunior yang bertubuh sama jangkung dengan Marco. “Dia saja yang keluar, tapi pakai jaket punya Marco. Pinjamkan motor sama dia. Bagaimana, kamu berani?” tanya Binsar pada mahasiswa yunior itu.“Iya, oke, saya mau pura-pura jadi Bang Marco, biar Bang Marco bisa pergi dari kampus dengan aman.” jawab mahasiswa jangkung itu, dia salah seorang aktivis masjid kampus.Lantas Marco sendi
“Maryam, aku perlu bicara serius dengan kamu.” ujar Marco saat menghadang Maryam yang baru keluar dari ruang dosen pembimbing skripsinya.“Oooh… tentang apa?” tanya Maryam, sambil terus berjalan menuju markas dakwah kampus di samping masjid. Biasanya Marco tidak akan membuntutinya hingga ke tempat itu. Namun, kali ini dugaan Maryam meleset, ternyata Marco ikut masuk ke markas dakwah itu. Marco mengamati beragam kertas berisi pengumumam dan rencana kerja yang tertempel di dinding. Maryam lebih heran lagi, saat beberapa orang mahasiswa aktivis dakwah yang masuk ke markas itu, lantas malah ngobrol akrab dengan Marco. Entah apa yang diobrolkan, dan entah bagaimana obrolan mereka bisa tersambung. Setelah para ikhwan itu pergi, Marco bicara. “Kalau kuamati, kayaknya kamu sengaja menghindari aku sejak aku keluar dari tahanan polisi.”Maryam tak menjawab, wajahnya malah sama sekali tidak menghadap ke arah lawan bicara. Dia duduk sembari menekuni ponselnya, melihat media sosial. Sedangkan
Dua foto, dua wajah, terpasang di dinding. Ipda. Binsar Siagian yakin, salah satu foto sudah cukup lama tergantung di dinding, dan foto yang satunya mungkin baru dua bulan menjadi penghuni dinding homebase Adventure. Foto yang dimaksud adalah foto orang-orang yang pernah menjadi komandan Adventure, yaitu Marco dan Raymond.Ketika Ipda. Binsar memasuki homebase, dia melihat Marco sedang bicara dengan seorang mahasiswa yunior, yaitu yang tempo hari memakai jaket dan sepatunya untuk mengelabui wartawan. Si yunior itu sedang mengembalikan barang-barang milik Marco. Ipda. Binsar tidak langsung mendekati mereka, dia memilih untuk melihat-lihat beberapa foto kegiatan UKM Adventure yang terpasang di salah satu dinding.“Makasih Bang. Kebetulan ana lagi nabung buat beli sepatu. Alhamdulillah dapat hibahan dari Abang.”“Iya, mudah-mudahan sepatunya awet ya.”“In syaa Allah awet Bang, sampai ana lulus nanti, mudah-mudahan ana nggak perlu beli sepatu lagi.”Mahasiswa yunior itu meninggalkan homeb
Binsar bertutur. “Ya, ada seseorang yang bersaksi melihat Silvi membubuhkan sesuatu ke dalam jus alpukat. Sekarang kita pikir pakai logika. Kalaupun misalnya Silvi punya niat membunuh Marco, Silvi belum lagi mempersiapkannya. Hari itu Silvi baru saja kehilangan pistol, dan saya yakin pada hari itu dia belum menemukan lagi cara untuk membunuh. Jadi bukan Silvi pelakunya. Itulah sebabnya, Silvi tidak ditahan. Urusan pistol, belum ada bukti konkret jika Silvi pemiliknya.”Maryam melirik ke arah Marco, lantas melirik pada Binsar. “Jadi … Marco bisa bebas, bukan karena kesaksian seseorang yang melihat Silvi membubuhkan ….”“Itu kesaksian halu.” Binsar tersenyum lebar. “Jadi racun itu dari mana?” tanya Marco.“Menurut saya, racun itu sudah ada dalam jus alpukat, saat jus itu diantar ke homebase!” tandas Binsar.“Kalau begitu, balik lagi ke tuduhan awal. Aku lagi yang paling dicurigai menaruh racun itu!” keluh Marco.“Sorry Marco, tapi kita harus membicarakannya dengan pikiran terbuka dan
Marco berujar “Saya belum berani nyamperin lagi para pedagang di sekitar kampus. Jadi saya bekal makanan dari rumah, atau beli di tempat lain, bukan di sekitar kampus ini.” Pandangan Ipda. Binsar Siagian menjelajahi dinding-dinding homebase, hingga akhirnya tertuju pada dua foto komandan Adventure, foto Marco dan Raymond. “Belum ada komandan baru?” tanya Binsar. “Belum kepikiran untuk memilih komandan.” jawab Marco. Binsar melangkah menuju foto komandan. Dalam foto itu, keduanya memakai syal leher, topi rimba, dan menggendong ransel. Binsar mengalihkan pandangan ke sisi lain. Ada foto cowok gondrong sedang berdiri sendirian di bawah climbing wall, dengan latar belakang langit sore. “Itu foto kamu?” tanya Binsar.Marco mengikuti arah telunjuk Binsar. “Itu Raymond, bukan saya!” “Kok, mirip ya?” Binsar rada tercengang. “Kalau yang difoto gayanya kayak cover boy, itu pasti Raymond.” Marco tersenyum. “Saat SMA, Raymond pernah jadi model.” Marco geleng-geleng kepala dengan waja
Dari kampusnya Marco, Ipda. Binsar pergi ke kampus lain, untuk menemui adik kandungnya yang kuliah di Bandung. Adiknya itu perempuan, bernama Raulina, yang baru punya motor untuk aktivitasnya.Saat awal memberikan motor itu pada adiknya, Binsar lupa memberi tahu bahwa motor butuh perawatan berkala di bengkel, bukan sekadar diisi bensin. Hingga akhirnya sang adik meneleponnya, mengatakan bahwa motor sudah tidak nyaman saat dikendarai. Binsar baru sempat datang ke tempat kos adiknya pada sore itu, setelah sebelumnya ngobrol-ngobrol di homebase dengan Marco dan Maryam.“Bang, lama sekali baru ke mari. Motorku mungkin rusak, Bang. Coba Abang tengok motorku.” rengek Raulina.“Ayo bawa ke bengkel, paling juga butuh ganti oli.”“Abang tak pernah kasi tau aku soal ganti oli?”“Lupa Abang.”“Sudah sore begini, masih ada bengkel yang buka?”“Masih banyak yang buka. Kita cari bengkel yang cukup besar, yang paling dekat sini.”“Kayaknya ada tuh Bang, nama bengkelnya Black Falcon, kalau tak salah
Belum juga Binsar mulai bicara, sudah muncul pembeli lain. Seorang wanita berjilbab lebar datang, dan Mang Ujo langsung bangkit dari duduk.“Itu kan, Maryam.” pikir Binsar.Maryam berdiri di dekat gerobak, menaruh sebuah lunc box. Dia beli bakso, tapi tidak akan disantap di situ. Maryam belum menyadari kehadiran Binsar yang duduk di bangku kayu.Mang Ujo bicara, “Neng ini kan, yang kos di pondokan buat mahasiswi, ya? Yang dekat laundry?”“Iya Mang.”“Kalau pondokan khusus perempuan mah, pasti banyak yang beli bakso. Makanya Mang Ujo mah, hapal pondokan khusus perempuan, banyak langganan di situ. Ini mau campur mi, sayur, bihun? Atau bakso aja?”“Nggak pake mi, pake sawi aja. Kuahnya yang rada banyak, ya Mang. Ini buat teman sekamar saya yang lagi sakit, dia pengin makan nasi pake kuah.”“Oh iya atuh, semoga lekas sembuh. Kalau sudah makan bakso Mang Ujo mah, dijamin badan seger lagi.”“In Syaa Allah.” ucap Maryam. “Oh iya Mang, sudah ada empatpuluh harian Almarhumah?”“Iya Neng, sudah
Maryam sedang belajar stock opname di outlet BSM, saat ponsel milik Wati bernyanyi. Wati menyuruh Maryam melanjutkan pengecekan barang, sementara dia menjawab panggilan dari ponsel.“Lo harus tegas! Ini demi masa depan lo sendiri!” Itu sekelumit ucapan Wati yang tertangkap oleh telinga Maryam. “Lo mau status lo terus saja nggak jelas?”Maryam berpindah ke bak obralan, lalu kembali menghitung. Rumit, karena pakaian yang masuk katagori obralan biasanya teraduk-aduk dalam wadahnya. Padahal pakaian-pakaian itu berasal dari pemasok yang berbeda-beda, dan tentu saja mempunyai kode yang berbeda. Dengan telaten, Maryam melipati baju-baju itu, ditumpuk berdasarkan kode pemasoknya, supaya lebih mudah dihitung.Wati masih bicara via ponsel. “Kalau cara yang lo tempuh kemarin itu ternyata nggak juga berhasil membuat dia bereaksi sesuai keinginan lo, maka menurut gue sih, lo harus menguji dia! Supaya lo tahu, apa artinya diri lo buat dia!”Maryam berpikir, mungkin Wati dan temannya itu lagi berdis
Maryam sudah pernah datang ke rumah keluarga Marco. Usai Maryam diwisuda, papanya Marco yang mengundang Maryam beserta orang tuanya untuk makan siang di rumahnya. Marco menjemput Maryam sekeluarga dari lokasi wisuda. Saat itu ibunya berbisik, bahwa rumah mereka di Cirebon masih lebih kecil daripada dapur di rumah keluarga Marco.Rumah Maryam dihuni oleh enam orang, jika semua berkumpul. Sedangkan rumah Marco yang gede banget itu, lebih sering dihuni sama pembantu dan satpam. Kedua orang tua Marco sering bepergian untuk urusan bisnis. Kedua orang kakak Marco sudah berkeluarga, dan punya rumah sendiri. Adik Marco kuliah di luar negeri. Sedangkan Marco, lebih sering avonturir ke gunung, atau tidur di homebase pencinta alam di kampus. Katanya malas di rumah, sepi banget.Dulu Maryam tidak percaya, kok, punya rumah tapi jarang dihuni? Setelah melihat situasi rumah Marco, barulah dia bisa maklum, kenapa Marco malas pulang ke rumahnya sendiri. Itu juga sebabnya, Marco memutuskan untuk menik
Marco bicara pada Maryam, “Aku lagi naik motor, berpapasan dengan motornya Hanif di lampu merah Jl. Pasirkaliki. Aku lihat ada cewek di boncengan motornya. Entah Hanif nggak melihat aku, entah pura-pura nggak melihat. Saat aku belok mau terus ke Jl. Sukajadi, dia belok ke restoran fast food.” “Cewek itu pasti Latifa, adiknya.” Maryam tidak mau suudzon terhadap rekannya di organisasi dakwah kampus.“Latifa kan, pakai jilbab. Nah, cewek yang dibonceng si Hanif itu nggak pake jilbab. Gebetannya yang baru, mungkin. Istrinya baru beberapa hari meninggal karena kecelakaan lalu lintas, dia sudah membonceng cewek. Setia banget si Hanif ya?” Ucapan Marco terdengar sinis.“Ah, kayaknya nggak mungkin Hanif boncengan motor dengan perempuan bukan muhrim. Cewek itu pasti kerabatnya.”“Ah, mungkin aja! Laki-laki lajang mah di mana-mana juga nyaris sama, kalau ada cewek yang mau nyangkut, ya digaet juga!”“Apakah kamu juga seperti itu?” Maryam cemberut.“Seperti apa? Maksudmu boncengan motor dengan
season 2 Maryam berjalan ke luar dari ruang Admik sambil mengepit map berisi ijasah. Tiga minggu setelah wisuda, Maryam kembali ke kampus, tujuannya untuk melegalisasi foto copy ijazahnya. Dia akan melamar kerja. Hari itu dia sudah menyerahkan beberapa lembar copy ijazah ke petugas Admik. Nanti petugas Admik yang akan mendata nama alumni, lantas mengirimkan copy ijazah ke meja dekan.Maryam menuju markas para aktivis dakwah kampus, yaitu sebuah ruangan kecil di samping masjid kampus. Beberapa mahasiswi berjilbab memberinya selamat atas kelulusannya sebagai Sarjana Pendidikan. Maryam tertegun saat membaca tulisan pada sebuah kertas yang tertempel di papan tulis. Isinya pemberitahuan meninggalnya seorang alumni.“Nabila meninggal? Innalillahi… kasihan Hanif, padahal mereka baru menikah….” Maryam mengusap matanya yang berkaca-kaca. "Kabar itu sudah disebar di grup WA. Apakah Kak Maryam baru tahu?""Iya. Mungkin saya luput membaca kabar itu di grup WA." jawab Maryam dengan rasa sesal.
Marco masuk ke homebase, lalu meletakkan bungkusan plastik besar di atas meja. “Berat juga nih barang.” gumam Marco. “Apaan tuh?” tanya Cepi seraya menghampiri bungkusan itu, hendak membuka, namun tangan Marco menahannya. Cepi hanya bisa meraba-raba plastik pembungkus, untuk mencari tahu benda apa yang dibungkus itu. Cepi terbelalak saat jarinya merasakan ada beberapa berkas tebal yang masing-masing disampul hard cover. “Ini skripsi?” Cepi menatap Marco. “Lo sudah bikin skripsi?!” Nada suaranya mulai panik. “Katanya lo mau barengan nyusun skripsi dengan gue, terus kita wisuda bareng tahun depan!” “Ya gimana dong? Gue pingin cepat kelar kuliah.” jawab Marco. “Lo nggak bilang-bilang kapan nyusunnya, tahu-tahu skripsi lo udah jadi! Kalau begini, gue yang paling telat, dan … gue nggak ada teman lagi dong! Gimana neeeh?” Marco memandang isi homebase. Beberapa foto masih terpajang. Diambilnya foto Raymond, dengan syal miliknya, dibersihkannya pigura dan kaca foto itu dari debu yang
“Teriak aja, mudah-mudahan dia bisa dengar!” seru Silvi tak sabar. Gaung teriakan menyuruh Marco segera turun, memantul di dinding-dinding tebing. Karena terlalu banyak yang berteriak, gema suaranya jadi tidak karuan. “Andri, lo kan climber juga!” Silvi mendorong salah seorang saudara sepupunya. “Lekas lo manjat, susul Marco! Bilangin supaya dia lekas turun!” “Gue ngeri Vi….” “Ngeri?! Tapi lo sering bilang kalau lo itu climber andalan kampus lo? Dan lo nggak pernah gentar kalau disuruh memanjat?” “Maksud gue… nggak gentar memanjat climbing wall… gue belum pernah manjat tebing betulan….” “Kalau cuma manjat climbing wall, bocah SD juga bisa!” rutuk Silvi. Jarak yang ditempuh Marco sudah terlalu tinggi, dan sepertinya Marco tidak bisa mendengar teriakan dari bawah. Dia terus saja merayap naik. Lajunya terhenti oleh sebuah roof (tonjolan tebing yang mirip atap). Dia memasang beberapa anchor pada roof itu. Setelah tambatan itu dirasanya kuat, dia segera menaikkan lagi tubuhnya hing
Marco meletakkan dompet miliknya di pangkuan Rosna. “Uang itu buat ongkos kalian semua pulang. Tapi kalau masih kurang, kamu bisa ambil uang pakai kartu ATM.” Marco menyebut beberapa angka yang jadi nomor pin kartu ATM-nya.“Bang, gimana kalau aku khilaf, lantas merampok isi rekeningmu?!” ucap Rosna.Marco malah tertawa. “Uang di rekeningku paling juga tinggal duajuta. Sebagian besar uang sudah aku transfer ke rekening mamaku. Nanti jika aku bisa pulang dengan selamat, aku minta lagi uang itu ke mamaku.” Marco menatap Rosna. “Tapi kalaupun kamu khilaf mengambil uang di rekeningku, aku ikhlas. Aku anggap saja uangku diminta sama adikku, jadi nggak apa-apa, Rosna.”“Nggak Bang, aku hanya bercanda. Hmmm, apakah… orang tua Abang tahu soal perjalanan ini?”“Mereka pikir… aku lagi naik gunung, seperti biasanya.” Marco lantas pamit, mau mengecek peralatan panjat tebing yang dibawanya.Rosna membuka dompet Marco, mengamati isinya. Ada KTP, KTM, KTA dari UKM Adventure, lalu beberapa buah pas
Ibarat orang gila, Marco berteriak-teriak panik, membangunkan semua orang yang masih meringkuk dalam tenda ataupun sleeping bag. Beberapa menit kemudian belasan climber itu sudah berpencar di sepanjang kaki tebing lawe, sambil menengadah ke atas, memandang lewat teropong. “Itu dia! Tonny naik di jalur yang belum pernah dipanjat!” Semua climber berkumpul di bawah salah satu dinding. Mereka menengadah, menahan napas, menyaksikan Tonny yang merayap naik, berusaha melewati sebuah tonjolan tebing. Jaraknya dengan tanah sudah cukup tinggi, mungkin lebih dari 50 m. Tampaknya Tonny memanjat sejak matahari mulai terbit. “Aku akan susul dia!” Marco memasang harness pada tubuhnya, lalu mencantolkan beberapa buah karabiner pada harness, membawa beberapa buah piton dan martil khusus buat manjat tebing. Tak lupa dia membawa sebotol air minum, lalu sekantong tepung magnesium karbonat untuk melumuri tangan jika licin oleh keringat. Terakhir dikenakannya helm khusus buat manjat tebing. Tambang ker
Marco sudah terlebih dahulu mengajukan izin tertulis kepada aparat setempat, izin untuk camping. Beberapa orang sepupu Silvi yang ikut serta, rupanya sudah terbiasa avonturir. Mereka membawa dua buah tenda, dan mendirikannya dengan cekatan. Sedangkan Marco tetap tak ingin bergabung. Dia membangun bivak di bawah pohon, beratapkan ponco yang dibawanya. Keluarga Silvi duduk berkumpul mengelilingi api unggun, sambil makan malam, dan ngobrol. Sementara Marco duduk sendirian di bawah pohon. Dia membaca Al Quran kecil berikut tafsir, dengan penerangan senter. Rosna ikut duduk makan malam bersama keluarga Silvi. Hingga Rosna melangkah memasuki tenda khusus perempuan, untuk tidur, dia masih melihat Marco duduk membaca. Hingga beberapa saat Rosna belum bisa memejamkan mata, soalnya di dalam tenda itu tidak nyaman. Rosna tidak kebagian tempat di atas kasur lantai yang digelar dalam tenda. Rosna juga tidak kebagian matras. Sedangkan alas tenda tipis. Rosna memang pakai jaket, tapi punggungn