Anggara menggeser tubuhnya dan melangkah mundur selangkah, agar sejajar dengan Akira. Ruth mengamati gadis itu, lalu kembali memandang putranya untuk menagih jawaban.“Mama, kenalin ini Akira. Temanku.” Jelas singkat Anggara.Akira memandang ke arah wanita di hadapannya, lalu mengulas senyum manisnya sembari mengulurkan tangan untuk mencium tangan mama Ruth.“Saya Akira, salam kenal, Tante.” Ucap Akira memperkenalkan diri.Ruth masih terdiam namun dia tetap membalas sikap ramah Akira. Bibirnya mengulas senyum singkat. Otaknya masih berpikir, merasa seperti pernah bertemu dengan gadis itu. Namun entah dimana.“Hm, mama seperti pernah lihat kamu, dimana ya? Mama lupa, Nak.” Ujar Ruth. Anggara menangkap maksud dari mamanya.“Iya ma, mama pernah bertemu di Rumah Sakit waktu kita jenguk Argi.” Ucap Anggara membantu mama Ruth mengingat.“Ya, mama ingat sekarang Nak.” Ruth menjentikkan jarinya. “Apa kabar, Nak?” lanjutnya.“Baik Tante. Saya turut prihatin ya Tan. Mudah-mudahan om lekas memba
Kini mereka berada di perjalanan pulang. Perasaan Anggara semakin yakin terhadap Akira. Melihat sikap mama Ruth yang begitu ramah, dan begitupun sikap Akira yang sangat santun. Ini adalah awal yang baik dari hubungan yang mereka jalani.Ketika berada di lampu merah, Anggara meraih tangan kecil Akira, lalu menciumnya.“Thank you, baby.” Ucapnya mengalihkan pandangan Akira untuk menatapnya.“Hm? Untuk apa Ang?” Akira tidak mengerti, sedari tadi ia merasa tidak melakukan apapun.“Terima kasih sudah mau mengenal keluargaku.” Ulang Anggara, hatinya diliputi rasa bahagia meskipun papanya masih belum sadar dan belum bisa mengenalkan Akira.“Oh, sama-sama.” Senyum Akira mengembang.“Nanti kalau papa sudah sadar, aku akan bawa kamu lagi untuk bertemu.”Akira mengangguk, lalu kembali menatap ke jalanan di hadapannya. Dia sangat senang melihat sikap ramah mama Ruth, namun apakah nantinya sikap papa Anggara sama? Mendengar cerita tentang papa Anggara membuatnya ragu.“Sayang, kapan-kapan aku juga
Namun sampai beberapa detik berlalu, tidak terjadi apapun. Sehingga membuat Akira kembali membuka matanya.“Apa, beb? Nungguin?” Ucap Anggara sembari tersenyum lebar. Anggara merasa gemas akan tingkah laku gadis itu. Dia sengaja menggodanya. Wajah Akira kembali memerah, dia merasa malu karena sudah berharap sesuatu akan terjadi. Akira merutuki dirinya sendiri.“Ish, Aang!” Terlihat bibir Akira mengerucut, dia tengah pura-pura marah. Namun yang ada Anggara malah semakin tertawa lebar. Gadis itu menggeser posisi duduknya dan mengalihkan posisinya menjauh. Berlagak seperti orang yang tengah ngambek.“Maaf sayang, jangan marah aku hanya bercanda.” Ucap Anggara.Namun Akira terlihat masih marah, tangannya bersedekap di depan dada dan tidak mau melihat ke arah Anggara ataupun menjawab ucapannya.“Sayang, marah?” Anggara bergerak menarik Akira, namun Akira seakan menahan diri. Anggara pantang menyerah, dia menyesal telah membuat kekasihnya merasa kesal.Kembali Anggara menarik lengan Akira,
Dany tengah memandang ke layar ponsel, menanti balasan dari pesan yang ia kirim ke sahabatnya.Dany merasa sangat putus asa, dia butuh teman untuk menyampaikan keluh kesahnya. Kekasih yang sangat ia harapkan begitu mematahkan hatinya. Bahkan Bayu tak berusaha untuk menghubunginya. Meskipun dia beralasan ponselnya telah hilang, tapi bukankah ada alternatif lain untuk bisa menghubunginya. Dany sudah mengecek ke semua sosial media milik Bayu. Dan sepertinya pemuda itu sudah seminggu ini tidak aktif di sosial medianya.Tangannya bergerak mengusap permukaan perut yang terlihat masih rata karena usianya baru menginjak satu bulan.Kadang Dany masih tidak percaya dengan kehamilannya. Tubuhnya masih sama seperti sebelumnya, belum ada perubahan fisik terlihat.‘Apa benar ada bayi di perutku? Apa yang harus aku lakukan jika Bayu tidak mau bertanggung jawab? Apa harus aku menggugurkan janin ini? Lalu kemana aku harus pergi?’ ujar Dany pilu dalam hatinya. Begitu banyak pertanyaan yang membebani p
Isi pesan dari nomor yang tak tersimpan dalam kontak ponselnya.Melihat dari gaya bahasa dan pengetikan, dia seperti tidak asing. Panggilan ‘Aang’ tentu hanya panggilan dari orang terdekatnya.Anggara mencoba mengabaikan pesan yang sudah terlanjur dibaca. Kembali ia melanjutkan permainannya.Namun tak lama nomor itu kembali menghubunginya.[Brengs3k lu! Sombong lu ya sekarang. Ingat sampai detik ini lu adalah suami gue, ayah dari anak gue.]Gaya bahasa yang kasar langsung membuat Anggara mengingat. Seseorang dari masa lalunya kembali menghubungi. Padahal Anggara sudah mengganti nomor lamanya. Itupun atas ide dari Baskoro.Selama ini wanita itu hanya bisa menghubungi Baskoro jika dia memerlukan uang.Anggara tak berniat untuk membalasnya. Segera ia mematikan ponselnya.Hatinya berdebar hebat, bayangan masa lalu kembali berputar di otaknya.Anggara mencoba mengenyahkan itu dari pikirannya. Pikiran Anggara kini terganggu dengan kehadiran kembali wanita dari masa lalunya.Perasaan takut m
“Siapa Ruth?” Tanya Baskoro, entah siapa yang berani meneleponnya pagi-pagi buta seperti ini.“Nomor asing, Mas.” Beritahu Ruth. “Mau di angkat atau kita biarkan saja?” Lanjutnya lagi.Namun Baskoro mengisyaratkan untuk mendekatkan ponsel itu padanya. Matanya meneliti nomor asing yang tertera di sana. Dia tidak ingat milik siapa nomor itu, hingga akhirnya Baskoro mengabaikan panggilan tersebut.Selisih beberapa menit kembali ponselnya berdering.“Mungkin ada hal yang penting mas, angkat saja.” Saran Ruth, meskipun yang menghubungi suaminya adalah nomor asing, namun dia tetap tenang dan percaya bahwa suaminya setia, tidak mungkin bermain dengan perempuan lain di belakangnya.Baskoro kembali meraih ponselnya lalu menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan.Terdengar dari suara seorang wanita berbicara, namun Baskoro hanya diam dengan wajah dinginnya. Dia mendengar apa yang diucapkan oleh wanita itu, dan tidak ada niat untuk menyela.Hingga di akhir panggilan, Baskoro hanya mengucap
Pagi itu, Akira sengaja bangun lebih awal. Dia sudah menyetel alarm jam lima pagi, dan semalam ia telah memberitahu orang tuanya untuk berangkat sekolah lebih awal, karena Dany meminta untuk dijemput lebih dulu.Akira segera merapikan tempat tidur dan mempersiapkan diri untuk pergi ke sekolah.Tepat jam enam, dia sudah menyelesaikan sarapannya. Ibu Lidiya sudah bangun sebelum dia bangun. Sarapan sudah terhidang di meja makan.“Apa kabar Dany nak? Sudah sehatkah dia?” Tanya Lidiya yang tengah duduk di samping putrinya. Sebelumnya dia sudah mendengar cerita dari Akira bahwa Dany sudah tiga hari tidak masuk sekolah. Akira mengatakan Dany sedang sakit.“Mungkin sudah sehat Bu, makanya hari ini Lena ingin memastikan. Dany bilang hari ini mau berangkat sekolah bersama.” Jawab Akira. Ia mengangkat piring kotornya ke wastafel dan mencucinya.“Ibu titip kue untuk keluarga Dany. Sampaikan salam ibu untuk Dany dan keluarga ya, Nak.” Lidiya sudah mempersiapkan paper bag berisi dua toples kue keri
“Iya, non. Ada keperluan apa?” Ucap wanita yang sudah berumur itu dengan ekspresi bingung. Selama dia bekerja di rumah ini, dia tidak pernah melihat wajah gadis yang tengah memakai seragam putih abu-abu tersebut.“Selamat pagi, saya mau bertemu dengan Argi. Arginya ada?” Ujar Dany sembari memaksakan senyumnya yang terlihat sangat kaku. Melihat dari penampilan wanita di hadapannya, dia menduga bahwa wanita itu adalah asisten rumah tangga di rumah Argi.“Mas Argi masih melakukan pengobatan, non. Dia tidak di rumah.” Jelas bik Minah. Oh ternyata ini teman sekolah anak dari majikannya. Begitu pikir Minah dalam hati.“Pengobatan? Masih di Rumah Sakit maksudnya bik?” Tanya Dany lagi. Selama ini juga dia tidak mendengar kabar kelanjutan dari teman kekasihnya itu. Dany terlalu larut dalam masalahnya sendiri. Setahunya, terakhir kali melihat Argi masih dalam kondisi kritis di rumah sakit. Dany kembali melirik ke arah dua mobil yang terparkir di halaman. Minah menangkap kemana arah pandangan g