Kini mereka berada di perjalanan pulang. Perasaan Anggara semakin yakin terhadap Akira. Melihat sikap mama Ruth yang begitu ramah, dan begitupun sikap Akira yang sangat santun. Ini adalah awal yang baik dari hubungan yang mereka jalani.Ketika berada di lampu merah, Anggara meraih tangan kecil Akira, lalu menciumnya.“Thank you, baby.” Ucapnya mengalihkan pandangan Akira untuk menatapnya.“Hm? Untuk apa Ang?” Akira tidak mengerti, sedari tadi ia merasa tidak melakukan apapun.“Terima kasih sudah mau mengenal keluargaku.” Ulang Anggara, hatinya diliputi rasa bahagia meskipun papanya masih belum sadar dan belum bisa mengenalkan Akira.“Oh, sama-sama.” Senyum Akira mengembang.“Nanti kalau papa sudah sadar, aku akan bawa kamu lagi untuk bertemu.”Akira mengangguk, lalu kembali menatap ke jalanan di hadapannya. Dia sangat senang melihat sikap ramah mama Ruth, namun apakah nantinya sikap papa Anggara sama? Mendengar cerita tentang papa Anggara membuatnya ragu.“Sayang, kapan-kapan aku juga
Namun sampai beberapa detik berlalu, tidak terjadi apapun. Sehingga membuat Akira kembali membuka matanya.“Apa, beb? Nungguin?” Ucap Anggara sembari tersenyum lebar. Anggara merasa gemas akan tingkah laku gadis itu. Dia sengaja menggodanya. Wajah Akira kembali memerah, dia merasa malu karena sudah berharap sesuatu akan terjadi. Akira merutuki dirinya sendiri.“Ish, Aang!” Terlihat bibir Akira mengerucut, dia tengah pura-pura marah. Namun yang ada Anggara malah semakin tertawa lebar. Gadis itu menggeser posisi duduknya dan mengalihkan posisinya menjauh. Berlagak seperti orang yang tengah ngambek.“Maaf sayang, jangan marah aku hanya bercanda.” Ucap Anggara.Namun Akira terlihat masih marah, tangannya bersedekap di depan dada dan tidak mau melihat ke arah Anggara ataupun menjawab ucapannya.“Sayang, marah?” Anggara bergerak menarik Akira, namun Akira seakan menahan diri. Anggara pantang menyerah, dia menyesal telah membuat kekasihnya merasa kesal.Kembali Anggara menarik lengan Akira,
Dany tengah memandang ke layar ponsel, menanti balasan dari pesan yang ia kirim ke sahabatnya.Dany merasa sangat putus asa, dia butuh teman untuk menyampaikan keluh kesahnya. Kekasih yang sangat ia harapkan begitu mematahkan hatinya. Bahkan Bayu tak berusaha untuk menghubunginya. Meskipun dia beralasan ponselnya telah hilang, tapi bukankah ada alternatif lain untuk bisa menghubunginya. Dany sudah mengecek ke semua sosial media milik Bayu. Dan sepertinya pemuda itu sudah seminggu ini tidak aktif di sosial medianya.Tangannya bergerak mengusap permukaan perut yang terlihat masih rata karena usianya baru menginjak satu bulan.Kadang Dany masih tidak percaya dengan kehamilannya. Tubuhnya masih sama seperti sebelumnya, belum ada perubahan fisik terlihat.‘Apa benar ada bayi di perutku? Apa yang harus aku lakukan jika Bayu tidak mau bertanggung jawab? Apa harus aku menggugurkan janin ini? Lalu kemana aku harus pergi?’ ujar Dany pilu dalam hatinya. Begitu banyak pertanyaan yang membebani p
Isi pesan dari nomor yang tak tersimpan dalam kontak ponselnya.Melihat dari gaya bahasa dan pengetikan, dia seperti tidak asing. Panggilan ‘Aang’ tentu hanya panggilan dari orang terdekatnya.Anggara mencoba mengabaikan pesan yang sudah terlanjur dibaca. Kembali ia melanjutkan permainannya.Namun tak lama nomor itu kembali menghubunginya.[Brengs3k lu! Sombong lu ya sekarang. Ingat sampai detik ini lu adalah suami gue, ayah dari anak gue.]Gaya bahasa yang kasar langsung membuat Anggara mengingat. Seseorang dari masa lalunya kembali menghubungi. Padahal Anggara sudah mengganti nomor lamanya. Itupun atas ide dari Baskoro.Selama ini wanita itu hanya bisa menghubungi Baskoro jika dia memerlukan uang.Anggara tak berniat untuk membalasnya. Segera ia mematikan ponselnya.Hatinya berdebar hebat, bayangan masa lalu kembali berputar di otaknya.Anggara mencoba mengenyahkan itu dari pikirannya. Pikiran Anggara kini terganggu dengan kehadiran kembali wanita dari masa lalunya.Perasaan takut m
“Siapa Ruth?” Tanya Baskoro, entah siapa yang berani meneleponnya pagi-pagi buta seperti ini.“Nomor asing, Mas.” Beritahu Ruth. “Mau di angkat atau kita biarkan saja?” Lanjutnya lagi.Namun Baskoro mengisyaratkan untuk mendekatkan ponsel itu padanya. Matanya meneliti nomor asing yang tertera di sana. Dia tidak ingat milik siapa nomor itu, hingga akhirnya Baskoro mengabaikan panggilan tersebut.Selisih beberapa menit kembali ponselnya berdering.“Mungkin ada hal yang penting mas, angkat saja.” Saran Ruth, meskipun yang menghubungi suaminya adalah nomor asing, namun dia tetap tenang dan percaya bahwa suaminya setia, tidak mungkin bermain dengan perempuan lain di belakangnya.Baskoro kembali meraih ponselnya lalu menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan.Terdengar dari suara seorang wanita berbicara, namun Baskoro hanya diam dengan wajah dinginnya. Dia mendengar apa yang diucapkan oleh wanita itu, dan tidak ada niat untuk menyela.Hingga di akhir panggilan, Baskoro hanya mengucap
Pagi itu, Akira sengaja bangun lebih awal. Dia sudah menyetel alarm jam lima pagi, dan semalam ia telah memberitahu orang tuanya untuk berangkat sekolah lebih awal, karena Dany meminta untuk dijemput lebih dulu.Akira segera merapikan tempat tidur dan mempersiapkan diri untuk pergi ke sekolah.Tepat jam enam, dia sudah menyelesaikan sarapannya. Ibu Lidiya sudah bangun sebelum dia bangun. Sarapan sudah terhidang di meja makan.“Apa kabar Dany nak? Sudah sehatkah dia?” Tanya Lidiya yang tengah duduk di samping putrinya. Sebelumnya dia sudah mendengar cerita dari Akira bahwa Dany sudah tiga hari tidak masuk sekolah. Akira mengatakan Dany sedang sakit.“Mungkin sudah sehat Bu, makanya hari ini Lena ingin memastikan. Dany bilang hari ini mau berangkat sekolah bersama.” Jawab Akira. Ia mengangkat piring kotornya ke wastafel dan mencucinya.“Ibu titip kue untuk keluarga Dany. Sampaikan salam ibu untuk Dany dan keluarga ya, Nak.” Lidiya sudah mempersiapkan paper bag berisi dua toples kue keri
“Iya, non. Ada keperluan apa?” Ucap wanita yang sudah berumur itu dengan ekspresi bingung. Selama dia bekerja di rumah ini, dia tidak pernah melihat wajah gadis yang tengah memakai seragam putih abu-abu tersebut.“Selamat pagi, saya mau bertemu dengan Argi. Arginya ada?” Ujar Dany sembari memaksakan senyumnya yang terlihat sangat kaku. Melihat dari penampilan wanita di hadapannya, dia menduga bahwa wanita itu adalah asisten rumah tangga di rumah Argi.“Mas Argi masih melakukan pengobatan, non. Dia tidak di rumah.” Jelas bik Minah. Oh ternyata ini teman sekolah anak dari majikannya. Begitu pikir Minah dalam hati.“Pengobatan? Masih di Rumah Sakit maksudnya bik?” Tanya Dany lagi. Selama ini juga dia tidak mendengar kabar kelanjutan dari teman kekasihnya itu. Dany terlalu larut dalam masalahnya sendiri. Setahunya, terakhir kali melihat Argi masih dalam kondisi kritis di rumah sakit. Dany kembali melirik ke arah dua mobil yang terparkir di halaman. Minah menangkap kemana arah pandangan g
Anggara akan menuruti apapun yang direncanakan papanya. Dia tidak bisa berkata-kata lagi. Anggara merasa menyesal karena sempat membangkang perintah Baskoro, dan membuat pertengkaran hebat sehingga membuatnya pergi dari rumah.Kini dia sadar, ayahnya selalu mempunyai rencana yang baik untuk dirinya. Seperti saat ini jika papanya menyuruh untuk pindah pendidikan sesuai permintaan awal, Anggara akan melakukannya. Dia akan mengesampingkan keinginannya sendiri. Karena selama ini papanya sangat berkorban banyak untuknya, dan dia terlambat untuk menyadarinya.Anggara saat ini tengah berada di perjalanan pulang ke rumah. Nanti ada kelas pagi, sehingga dia harus mempersiapkan diri untuk ke kampus.Ketika sampai di rumah, ia bertemu dengan bik Rumi yang tengah menyiram tanaman di pekarangan rumah. Melihat kedatangan mobil mewah milik anak majikannya, Rumi segera mematikan kran air, dan menaruh kembali selang air di tempatnya.Wanita sepuh yang masih terlihat sehat itu berjalan menghampiri putr
Baskoro tak berniat melanjutkan perkaranya di meja hijau. Tentunya atas saran dari Anggara dan Akira. Meski Ester begitu jahat, namun Akira sangat mengasihi anak perempuan dari wanita itu. Alea masih terlalu kecil untuk bisa menanggung hasil dari perbuatan ibunya. Entah apa jadinya Alea, jika Baskoro masih mencoba menuntut Ester dan Yosi. Tentunya itu hal yang mudah bagi Baskoro yang ingin memberi hukuman terhadap orang yang telah menjebak putranya. Bukti sudah lengkap, dan siap untuk menjerat Ester dalam jeruji besi untuk mempertanggung jawabkan kesalahannya. Namun Akira selalu menyatakan jika dirinya merasa kasihan pada Alea yang nantinya ditinggal oleh kedua orang tuanya jika nantinya harus dipenjara. Sungguh Akira tidak bisa membayangkan nasib anak itu. Akira sendiri sudah mengalami kehilangan kedua orang tuanya di usianya yang ke 17 tahun. Dan dia mampu melewatinya, berkat kehadiran Anggara yang selalu menjaga dan menemani. Namun bisakah anak sekecil Alea hidup tanpa kedua
Kini Akira bersimpuh di depan pusara ayah dan ibu. Anggara terus memeluk bahu kekasihnya.Baskoro dan Ruth menghampiri keberadaan mereka.“Nak Akira, mama ikut berduka cita. Jika kamu ingin bercerita, mama siap menjadi tempat ceritamu. Kamu anak yang baik, pasti ayah dan ibumu sangat bangga.” Ruth mengusap lembut bahu Akira.“Terima kasih Tante. Maaf jika selama ini saya merepotkan keluarga Tante dan Anggara.” Ucapnya tulus. Ya, selama ini memang Anggara yang mengeluarkan biaya rumah sakit dan biaya pemakaman untuk kedua orang tuanya. Bahkan Anggara sudah menempatkan orang tuanya di pemakaman elit.“Tidak masalah, nak. Bahkan jika kamu membutuhkan sesuatu tolong sampaikan pada mama atau Anggara. Kami siap untuk membantu. Tolong jangan segan untuk bercerita pada kami. Ya sudah, mama pulang dulu, nanti mampirlah ke rumah, sayang.” Ujar Ruth menghibur.Akira mengangguk samar, dia mencium tangan Ruth namun wanita itu membalas memeluknya.Akira begitu merindukan sosok ibunya, hingga dia l
Ternyata ucapannya memang didengar oleh Lidiya, secara perlahan mata Lidiya terbuka dengan jemari yang mulai bergerak. Menandakan jika wanita itu sudah sadar dari tidur panjangnya.Akira begitu senang hingga memeluk tubuh wanita yang telah melahirkannya itu.“Ibu terima kasih sudah mendengar Lena.” Ucap Akira bahagia.Lidiya masih merasa lemah, sangat lemah hingga ingin mengucapkan sesuatu pun dia tak berdaya.Anggara menangkap gerakan lemah itu, hingga akhirnya dia membantu Lidiya untuk melepas masker oksigennya.“Ibu mau bicara sesuatu?” Tanya Anggara, dijawab dengan anggukan lemah Lidiya.“Lena, dimana ayah nak?” Suara Lidiya terdengar lirih dan sangat kecil. Dia bisa melihat wajah sedih putrinya. Namun dia ingin memastikan keadaan suaminya.“Ayah sudah di surga, Bu.” Akira menjawab dengan suara gemetar menahan tangis. Dia tidak ingin membuat ibunya sedih, namun dia tidak bisa untuk berbohong.Lidiya begitu terkejut hingga nafasnya kembali tersengal. Anggara panik dan segera memasa
Anggara menuntun langkah Akira untuk bisa melihat ibunya dalam jarak lebih dekat.“Ibu, bangun Bu. Ini Lena sudah datang Bu.” Ucap Akira berbisik, dia tidak ingin mengganggu istirahat ibunya. Diraihnya tangan lemah yang terkulai itu dalam genggamannya.“Ibu pasti bisa melewati ini semua. Lena akan terus di sini jaga ibu. Tolong bangun Bu.” Ucap Akira lirih dengan air mata terus menetes tanpa henti.Anggara berdiri di belakang Akira, mengusap lembut bahu Akira. Seakan ingin berbagi kekuatan.*****Lidiya masih terbaring koma, kini dia sudah dipindahkan di salah satu rumah sakit di Jakarta. Tentunya atas saran Anggara, dan Anggara yang menanggung semua biaya perawatan, termasuk biaya pemakaman Bustomo.Pagi ini sangat cerah, namun hati Akira diliputi kabut mendung mengawal kepergian ayahnya menuju tempat peristirahatan terakhir.Dany dan Bayu sudah berada di tempat pemakaman. Yeni dan Handoko juga turut hadir. Begitu pun Ruth dan Baskoro, Anggara sudah menceritakan pada mamanya. Dan ent
“Keluarga atas nama pasien Bustomo?” Ucap suster itu sembari mengedarkan pandangan. “Saya sus, saya keluarga Bustomo.” Tio melangkah semakin mendekati suster itu. “Maaf saya harus menyampaikan kabar ini.” Suster terlihat menarik nafas panjang. Tentunya membuat Tio berfirasat buruk akan kabar yang akan disampaikan. “Ada apa sus? Bagaimana keadaan kakak saya dan istrinya?” Ucap Tio terbata, dia berusaha menguatkan hati untuk menerima apapun kabar yang akan disampaikan oleh suster. “Pasien atas nama Bustomo tidak bisa diselamatkan.” Seperti mendengar petir di siang bolong, kabar itu membuat Tio syok. Matanya berkaca-kaca, hingga tubuhnya gemetar menahan kesedihan yang mendalam. “Apa benar sus? Apa saya tidak salah dengar?” Ucap Tio mencoba tidak mempercayai pendengarannya. “Mohon maaf, apa yang saya sampaikan tadi benar adanya. Pasien atas nama Bustomo tidak bisa terselamatkan. Bapak yang sabar.” Ulang suster itu dengan raut sedih. Tak hanya sekali ia menghadapi suasana pilu seper
Mata Anggara melotot sempurna. Dia sangat terkejut mendengar berita itu. Sungguh dia pun ingin segera ke rumah sakit tempat ibu dan ayah Akira dirawat.“Baiklah kita siap-siap sekarang.” Anggara segera bersiap-siap untuk melakukan perjalanan ke salah satu rumah sakit di Bogor. Sambil menunggu Akira menyelesaikan acara mandinya, Anggara menelpon pak Yanto untuk segera mengirim mobilnya ke rumah Akira. Dia mengirimkan titik lokasi alamat rumah Akira pada supirnya.Anggara hanya mencuci mukanya, lalu mengganti bajunya dengan kaos hitam polos dan celana jeans panjang.Kini dia tengah menunggu di halaman rumah, hingga tak lama Yanto datang dengan mobilnya. Anggara segera menghampiri.“Pak, nanti bapak pulang dengan taksi.” Anggara memberi beberapa lembar uang pada Yanto. Lalu kembali memasuki rumah untuk mencari keberadaan kekasihnya. Tanpa mengetuk pintu kamar, Anggara segera membuka pintu yang tak terkunci.“Sudah? Ayo kita berangkat sekarang.” Ajak Anggara, sebenarnya dia tidak tega m
“Ya, Yosi tentu kamu ingat. Dia yang sudah menjemput kita di bandara saat kita mengantar Dany menemui Bayu.” Jelas Anggara mencoba mengingatkan Akira.“Saat aku mengunjungi rumah wanita itu, Yosi berada di sana. Dan aku selalu mengikuti gerak-geriknya. Sepertinya Yosi dan wanita itu mempunyai hubungan. Namun ini hanya dugaanku saja.” Jelas Anggara.Kini Akira bingung untuk merespon seperti apa. Dalam hati dia merasa senang akan kabar baik itu. Namun dia juga merasa kasihan terhadap anak perempuan yang memanggil Anggara dengan sebutan papa. Kemungkinan anak itu hanya tahu jika Anggara adalah ayahnya.Bagaimana jika kenyataannya bukan?“Sayang? Kok diam? Kamu percaya kan sama aku? Besok aku akan menemui papa, dan nantinya hasil tes DNA itu akan aku jadikan bukti untuk pengajuan pembatalan nikah. Aku juga sudah mempunyai bukti rekaman ketika Yosi berada bersama wanita itu.” Diraihnya tangan Akira, menggenggam jemari gadis itu, dimana masih terpasang cincin berlian pemberiannya. Anggara m
Anggara melangkah menuju dapur, memindahkan bubur ayam di sebuah mangkok. Lalu membawanya masuk ke kamar. Mendapati Akira tengah berbaring namun matanya menatap kosong ke arah langit-langit kamar.“Sayang kita makan dulu, habis itu minum obat.” Ucapnya sembari menyendok bubur berisi kuah dan potongan daging ayam itu. Dan mengarahkannya ke mulut Akira. Meski awalnya menolak, namun Anggara terus memaksanya. Akira tidak bisa meminum obatnya dalam keadaan perut kosong.Akira menerima makanan itu hingga beberapa suap. Suapan berikutnya, Akira menolak. Anggara tak memaksanya lagi, kini dia meraih obat yang terbungkus dalam plastik. Mengeluarkannya satu tablet lalu mengambil gelas berisi air putih. Membantu Akira untuk meminum obatnya.Anggara segera menyelimuti tubuh kekasihnya. Sesekali meletakkan telapak tangannya di dahi Akira untuk memastikan suhu tubuhnya.Menggenggam tangan Akira yang terkulai di sisi tubuhnya. Menatap wajah pucat Akira dengan rasa cemas.Dia tidak akan mengatakan apa
Anggara terpaksa meraih Alea dari pangkuan Ester. Meskipun dia tahu Alea bukanlah anaknya, namun dia merasa kasihan melihat wajah kecil itu menangis terisak.Sekilas Anggara melihat ke belakang, ke arah dimana Akira duduk. Mendapati tempat duduk itu sudah kosong. Mencari keberadaan Akira di sekeliling ruangan itu, namun tak juga mendapati sosok Akira di sana.Anggara memutuskan untuk memulangkan Ester dan anaknya agar tak mengganggu suasana orang-orang yang sedang berkunjung ke restoran. Dia tahu kini mereka menjadi pusat perhatian.Anggara segera melangkah menuju kasir, membayar makanan yang sudah terlanjur dipesan namun belum dimakan.Lalu segera melangkah keluar dari restoran, diikuti oleh Ester yang tersenyum puas. Dia berpikir rencananya telah berhasil menaklukan hati Anggara. Kini dia bisa mendapatkan Anggara kembali, menikmati kekayaan sang papa mertua. Ester pun melenggang tanpa menghiraukan tatapan orang-orang di sana.Anggara memesan sebuah taksi, lalu menyuruh Ester untuk d