Sebentar lagi, bis yang ditumpangi Fani memasuki area terminal Arjosari kota Malang. Suasana di luar tampak gelap karena memang hujan yang masih penuh semangat membasahi setiap inci sudut bumi. Padahal baru pukul tiga sore tapi sudah seperti pukul enam sore. Fani mengeluarkan secarik kertas tulisan tangan Risti, dari dalam tas ranselnya.[Mami Purwanti Jalan Bendungan Sutami (Kos-kosan Mami-Belakang kampus UMM) terminal Arjosari Kota Malang]Fani mengukir senyum di bibirnya, semua akan dia mulai dari sini. Hidup baru dengan semangat barunya. Setelah turun dari bis, Fani berjalan masih sedikit lemas, di pelataran terminal mencari warung makan, perutnya sudah keroncongan, rasanya sedikit mual, wajahnya juga masih terlihat pucat. Jahitan bekas kuretan masih begitu terasa. Matanya berbinar melihat warung makan yang tidak terlalu ramai, ia memasukinya lalu memesan makanan juga segelas teh manis hangat. Selesai mengisi perut dan tenaganya kembali, kini Fani menatap ke arah jalanan, hujan su
"Paa...Aku udah cari tapi ga ketemu," ucap Munos pada papanya di telpon."Iya Pa, aku tahu, aku udah sewa detektif untuk mencari Fani tapi mereka juga belum bisa menemukannya, keluarganya juga ga tau Fani ke mana."Pak Karim menutup begitu saja telponnya."Ya Allah Fani, kamu ke mana sih?" gumam Munos sambil mengacak kasar rambutnya.Sudah satu bulan sejak kepergian Fani, Munos diboikot oleh kedua orangtuanya, mama dan papanya tak sudi bertemu dengan Munos, sebelum Munos berhasil menemukan Fani dan membawa Fani kembali. Kondisi mamanya juga kembali drop, mamanya tidak bisa melakukan aktifitas seperti biasa karena kondisi jantungnya yang lemah sejak kehilangan cucu dan kepergian menantunya, Bu Sundari stres berat.Munos masuk ke dalam kamarnya, menatap sendu ruangan itu, mengingatkan kembali kebrutalannya pada istrinya. Perasaan bersalah kini menghantui. Dan yang anehnya, keponakannya ikut tak bereaksi lagi sejak kejadian itu. Munos pernah dalam keadaan mabuk, menyewa seorang PSK di se
Gerimis sore ini cukup lama, Fani menatap ke arah jalanan yang cukup padat dari jendela besar toko pakaian bayi. Baru tiga hari Fani bekerja di sini sebagai kasir. Toko perlengkapan bayi yang menurut Fani sangat lengkap menjual segala kebutuhan bayi, mulai dari baru lahir sampai anak berusia lima tahun. Harganya juga cukup terjangkau dan bervariasi. Dan Fani nyaman bekerja disini, semua karyawan ramah dan baik.Ada Nunung, Rahma, Juwita, Andre dan Joko, yang mempunyai tugas masing-masing melayani Kustomer atau kebutuhan gudang. Sedangkan Fani sendiri bertugas sebagai kasir. Tepat seminggu setelah kejadian Fani yang pingsan di kamar kosnya.Lelaki itu memang baik, meskipun dia hanya seorang kuli bangunan, namun banyak dari anak kos yang cukup ramah dan dekat dengan Septiyan. Yah, Septiyanlah yang memberitahukan pada Fani bahwa toko "All about baby" sedang membutuhkan seorang kasir, karna kasir yang lama sudah keluar karena melahirkan."Mbak Fani, nanti malam pulangnya bareng sama aku
"Bagaimana menurut dokter?" tanya Munos khawatir."Berdasarkan hasil pemeriksaan, kondisi kelamin pak Munos baik-baik saja, tak ada yang aneh, tapi kenapa tidak bisa ereksi itu yang saya juga masih tanda tanya. Saran saya Bapak jaga makanan, rajin olah raga dan tidak stres. Saya berikan vitamin untuk stamina ya," jelas dokter pada Munos yang tertunduk lemah.Munos keluar dari ruangan dokter dengan langkah gontai, sambil menunggu obat yang disiapkan, pikiran Munos melayang pada sosok wanita yang sudah tiga bulan tidak dapat dia temukan. Sudah habis puluhan juta untuk membayar orang mencari keberadaan Fani dan selama itu pula Munos, tidak bertemu dengan ibunya yang sekarang hanya bisa tertidur lemas di kasurnya, karena serangan jantung.Kondisi mamanya sangat mengenaskan, tubuh mamanya semakin pucat dan kurus. Bu Sundari tak akan pernah mau menemui anaknya jika anaknya tidak datang dengan Fani. Munos hampir pasrah setelah tiga bulan tidak dapat kabar apapun dari orang suruhannya.Munos
Di sinilah Fani sekarang berada, dalam bilik sebuah rumah sakit, menunggu lelaki itu terbangun dari tidurnya. Sedih melihat kondisi sang lelaki dengan tangan digips karena terjatuh saat bekerja, sehingga mengakibatkan patah pada tulang tangannya. Harum-harum obat-obatan dan disinfektan, membuat Fani teringat kembali kejadian hampir setahun yang lalu. Kepalanya menggeleng keras, tidak! Ia tidak ingin kembali mengingat kejadian kelam yang pernah ia lalu bersama iblis berkedok manusia yang bernama Munos."Eegh..." Tiyan melenguh, terbangun dari tidurnya. Pelan ia membukanya mata menatap sekeliling. Lamunan Fani buyar, saat mendengar lenguhan Tiyan.Fani menatapnya dengan senyuman."Eh Mbak Fani, kok bisa ada di sini?" tanya Tiyan sedikit kaget sambil berusaha duduk."Pelan-pelan saja Mas, sini saya bantu," ucap Fani lembut sambil membantu Tiyan duduk."Mas bagaimana sekarang kondisinya?" tanya Fani khawatir."Saya ga papa Mbak, terimakasih sudah mau menjenguk saya," ucap Tiyan sambil se
Jumat sore, Fani, Tiyan, dan si Mbok sudah berada di dalam kereta dengan tujuan Jakarta. Tiyan mencari bangku dengan nomor yang sesuai tertera di tiket. Lengan besarnya, memanggul sekarung beras, belum lagi aneka karung berisi hasil penen kebun milik ibunya yang ia jinjing dengan tangan sebelah kiri. Dada Fani mengharu biru memperhatikan gerakan gesit Tiyan, tanpa kenal lelah. Selalu senyum yang ia berikan walaupun peluhnya bercucuran.Tiyan dan Fani duduk bersampingan, sedangkan si Mbok duduk di seberang kursi mereka. Fani memilih duduk dekat jendela karena ia suka memandangi sawah luas yang membentang saat kereta melewati area pedesaan."Mbak, saya kok deg-degan yaa? Padahal masih jauh, ini aja baru lima belas menit dalam kereta," ucap Tiyan polos."Kemarin aja semangatnya menggebu-gebu, sekarang kok mulai ciut," sahut Fani sambil cemberut."Huusst, ntar kedengeran si Mbok Mbak." Tiyan mengingatkan agar Fani mengecilkan volume suaranya. Jangan sampai ibunya tahunkalau Tiyan saat ini
Seminggu berselang, acara pernikahan Fani dan Tiyan akhirnya dilangsungkan. Kini Fani sah secara hukum dan negara berstatus sebagai istri dari Septiyan Suseno. Acara digelar dari pagi hingga sore hari. Fani tampak cantik menggunakan kebaya brukat bewarna putih dengan hiasan sanggul dan mahkota siger di kepalanya. Septiyan juga sudah disulap menjadi lebih bersih dan gagah. Wajahnya segar dan kulit coklatnya membuat Tiyan lebih terlihat seksi. Fani masih malu-malu memandang wajah suaminya." De, jangan liatin aku begitu, bisa pingsan Mas mu ini De," goda Tiyan sambil berbisik di telinga Fani."Siapa yang liatin Mas? GR aja ih!" sahut Fani sambil mengalihkan pandangannya untuk menyembunyikan warna merah di kedua pipinya. Semua tamu hadir ikut berbahagia, memberikan doa dan selamat. Hingga tak terasa adzan magrib berkumandang. Fani telah selesai bersih-bersih begitu juga Tiyan. Mereka melaksanakan sholat magrib berjamaah. Dikecupnya kening Fani lembut setelah selesai sholat."Mau Mas gend
"De, Mas berangkat dulu ya," pamit Tiyan pada Fani istrinya."Iya Mas, hati-hati di jalan, cepat pulang," ucap Fani sambil mencium punggung tangan suaminya dan memberikan senyuman serta kecupan di pipi Tiyan."Mmmm...apa Mas izin dulu saja hari ini yaa, kayaknya mau pacaran aja sama kamu De?" goda Tiyan yang tiba-tiba berhenti memakai jaketnya."Eehh...eehh, jangan. Mas, nanti Pade Warmo ngambek kalau Mas izin.""Padahal aku masih mau pacaran lho De," ucap Tiyan sambil manyun."Pacarannya pulang kerja aja ya."Fani mengedipkan mata untuk suaminya."Cium dulu kalau gitu." Tiyan memajukan bibirnya.CuupFani mengecup pipi suaminya."Bukan yang itu sayaang, tapi yang ini." Tiyan memonyongkan bibirnya."Aaiihh...malu aahh Mas, semalamkan sudah." Fani tersipu malu, setelah menikah dua bulan, baru semalam menyambut ciuman bibir suaminya. Sebelumnya hanya pelukan dan ciuman di pipi. Beruntungnya Fani mendapatkan suami seperti Septiyan yang dengan sabar dan ikhlas mendampingi Fani, tanpa memak
Pertemuan mengharu-biru antara si Mbok, Fani, dan Munos pun tidak terelakkan. Ditambah melihat cucunya tumbuh sehat, montok, dan tampan; Abi; cucu satu-satunya yang diurus Munos dan Fani dengan sangat baik dan penuh kasih sayang. Bu Darsih tidak bisa menahan air mata kerinduan sekaligus haru. Bu Sundari pun sama terharunya dengan anak menantunya. Bagi Bu Sundari, ibu dari Tiyan adalah keluarga, bukan orang lain. Bu Sundari tidak akan pernah bisa membalas kebaikan almarhum Tiyan dan ibunya yang sudah mau menerima Fani dahulu apa adanya. "Mbah jangan nangis," kata Abi yang kini sudah di pangkuan Bu Darsih. "Mbah nangis bukan karena sedih, tapi karena senang ketemu Abi dan adik kembar. Duh, pipi Abi kayak bakpao coklat. Makannya apa, Nak?" Bu Darsih mencium gemas pipi cucunya. "Minum susunya kuat sekali, Mbak. Ya ampun, nyedot botol terus, padahal udah mau sekolah." Bu Sundari menjawab sambil tersenyum. "Pantas saja pipinya gembul. Perutnya juga ndut. Aduh, Mbah senang sekali lihat
Bu Darsih sudah sampai di Stasiun Gambir pukul delapan pagi. Perjalanan dari Malang menuju Jakarta memang memakan waktu kurang lebih tiga belas jam dengan kereta api. Semalam Bu Darsih berangkat dari Stasiun Malang Kota Lama pukul tujuh malam. Dengan dibantu jasa dua porter, Bu Darsih menurunkan semua barang bawaannya sampai di pintu keluar. Masing-masing porter diberikan uang tujuh puluh lima ribu rupiah oleh wanita itu, sengaja ia lebihkan karena porter stasiun yang mengangkut barangnya mungkin seumuran suaminya. Tidak tega ia memberikan pas ataupun menawar dengan harga sangat rendah, karena ia teringat akan suaminya yang juga bekerja hanya sebagai buruh. "Bu." Gadis berwajah manis menepuk pundak Bu Darsih dengan riang. "Ya ampun, kamu bikin kaget Ibu saja. Udah lama nunggu?""Nggak, Bu, baru sepuluh menit. Ibu udah sarapan belum?" tanya Hesti. "Belum.""Sama, Hesti juga belum, emang sengaja nunggu Ibu, biar ditraktir." Gadis itu menggandeng tangan Bu Darsih, lalu membawanya ke
"Mama tadi bilang, Fani harus cukup istirahat. Jika si Kembar tidur, maka Fani juga harus tidur. Gak usah pedulikan bayi tua yang suka iseng gangguin. Biarkan ia berpuasa selama empat puluh hari, itu juga kalau beruntung. Bisa saja jadi buntung, saat nifasnya kamu menjadi enam puluh hari, ha ha ha.... "Bu Sundari berbalik badan dengan cepat. Ia tergelak dan tidak sanggup melihat wajah Munos yang pastinya sangat kesal dengan ocehan tidak jelasnya. "Mama mau lihat Abi dulu di kamarnya!" Seru Bu Sundari setelah kedua kakinya berada di luar kamar. Setelah pintu kamar tertutup rapat. Munos menghampiri Fani yang tengah memangku Fathia yang sudah pulas. Wajah Fathia sangat mirip dengan Munos, begitu juga Ibrahim. Tidak ada sedikit pun mengambil wajahnya yang biasa-biasa saja. Wajah anak kembarnya sedikit ke timur tengahan, persis bapak mereka. Lelaki itu duduk di samping Fani sambil memperhatikan wajah Fathia yang terlelap. "MasyaAllah, anak Bapak Munos kenapa cakep semua?" pria itu me
Kabar Fani yang sudah melahirkan sampai juga ke telinga si Mbok di kampung. Wanita paruh baya; ibu dari Tiyan. Si Mbok mendapatkan kabar itu dari orang tua Fani yang masih berhubungan baik dengan ibunya Tiyan itu. Bukan main senangnya si Mbok mendengar kabar Fani melahirkan anak kembar. Si Mbok bahkan pergi ke pemakaman Tiyan untuk menceritakan kabar gembira ini di pusara putra satu-satunya. Ia mengatakan akan pergi ke Jakarta untuk menjenguk Fani dan bayi kembarnya. "Bu, sudah, jangan nangis terus. Ini sudah bertahun-tahun berlalu, Ibu masih saja menangis saat di pusara Tiyan. Kasihan Tiyan, Bu. Ikhlaskan ya." "Iya, Pak, saya hanya terharu saja." Wanita yang biasa dipanggil si Mbok oleh Fani dan Tiyan itu bernama asli Darsih. Semenjak Fani kembali ke Jakarta dan menikah dengan Munos, Bu Darsih tinggal sendiri di kampung. Ditemani keponakannya. Namun setahun lalu, Bu Darsih yang masih berusia empat puluh delapan tahun ini dijodohkan dengan seorang duda anak tiga, untuk menemani ha
Fani merapikan mukenanya setelah selesai sholat isya, malam ini suaminya lembur kemudian ia mengambil ponsel, melihat pesan masuk, apakah ada dari suaminya? Ternyata Munos baru saja mengirim pesan bahwa Munos baru akan pulang dari kantor, dan menanyakan pada Fani, mau dibelikan apa untuk oleh-oleh saat pulang.[Mau bapak saja.][Hahahaha..awas ya, Buu]Fani terkekeh membaca balasan pesan suaminya. Kehamilan ketiga ini dirasanya sangat berbeda. Tanpa ngidam berlebihan dan mual muntah juga yang biasa saja. Hanya seluruh tubuhnya, seakan tak rela jika berjauhan lama dengan suaminya. Kalau kata reader mah, bucin. Aah..ntah dari mana dimulainya perasaan bahagia ini, yang jelas dikehamilan ketiga ini, Fani merasa dipenuhi cinta dari kedua mertuanya, dari orangtuanya,khususnya sang suami yang bersiap siaga kapan pun mengabulkan keinginan dirinya. Fani tengah menemani Abi bermain lempar tangkap bola. Usia Abi yang sudah memasuki enam belas bulan, dan kandungan Fani sudah menginjak empat bula
Wanita itu menggelengkan kepala dengan air mata yang bercucuran dengan sangat deras. Saat melihat celah lalai lelaki di depannya, Fani bermaksud berlari turun dari ranjang, tetapi dengan cepat Munos mencekal tangan Fani dan menghempaskannya kembali ke atas ranjang.Secepat itu juga Munos menindih tubuh lemah Fani dengan tubuh besarnya. Wanita itu semakin kalang-kabut ketakutan. Terus saja ia memukul badan Munos dengan kedua tangannya. Ingin sekali ia menendang lelaki bajungan ini, tetapi tidak bisa karena kedua kakinya terkunci.“Aku sangat menginginkanmu, Risti. Ayo, kita membuat anak,” bisik Munos yang sudah mencium leher Fani dengan rakus.“Pak, saya Fani, bukan Risti, tolong jangan apa-apakan saya,” rintih Fani penuh permohonan, tetapi sayang. Munos sudah gelap mata dan dengan garangnya ia merobek pakaian Fani, hingga menyisakan bra saja dan rok. Dengan gemas Munos mulai mencicipi tubuh wanita yang kesadarannya hampir hilang.“Jangan, Pak. Jangan!” terjadilah hal menyedihkan di
Fani menjadi salah satu karyawan yang sangat beruntung. Dari delapan orang pelamar yang ditraining, Fani diterima sebagai karyawan kontrak. Ada tiga orang yang terpilih. Yaitu dirinya, Samuel, dan juga Seli. Fani betugas di bagian resepsionis dan dua teman lainnya di bagian yang lain. Semakin hari, semakin baik Fani belajar menjadi seorang resepsionis yang professional dan cekatan. Dia juga semakin mahir berdandan dengan make up tipis, tetapi tetap anggun dengan sanggul cantik setiap harinya. Tutur bahasanya juga semakin halus, berikut kemampuan bahasa Inggrisnya. Saat ini Fani memilih kembali ngekos di dekat hotel. Hanya perlu berjalan kaki sepuluh menit dari rumah kosnya menuju hotel. Walau biaaya kos cukup tinggi karena berada di pusat kota, tetapi itu lebih baik daripada ia harus pulang pergi. Jika dapat shift malam, maka akan sangat kerepotan jadinya.Seperti malam ini, ia kebagian jaga dari pukul delapan malam sampai pukul tujuh pagi. Ritme kerja yang baru ia lakoni ini, mema
Fani mengembuskan napas lega. Membuka mulutnya begitu lebar, agar mendapat asupan oksigen yang cukup banyak. Bukannya simpati, Ratih, Andra, dan Mas Rahman malah menertawakannya saat ditegur tadi.“Awas loh, Fan. Kamu udah ditandai. Sayang aja Pak Munos udah mau nikah. Kalau tidak, kamu bisa mencoba menggodanya,” ujar Mbak Ratih sambil terkekeh geli.“Ish, walau saya jelek. Pak Munos bukan tipe saya, Mbak. Saya sukanya tipe lelaki lemah lembut, kayak tempe mondoan,” balas Fani dengan tawa renyahnya.Tepat pukul delapan malam, ia sudah kembali lagi berada di atas motor ojek online. Sepanjang jalan, ia terus saja memikirkan hari pertama bekerja yang sungguh sangat luar biasa. Semoga training sepekan yang ia ikuti ini bisa memberikan hasil yang baik untuknya dan juga keluarganya.Tak sabar rasanya menunggu esok. Hari kedua mencoba tutorial make up yang sudah diajarkan Mbak Andra padanya. Tiba di rumah lampu ruang depan sudah padam. Itu tandanya bapak, ibu, dan adiknya sudah tidur. Su
Fani berdiri dengan sangat tegang di samping resepsionis senior yang berjaga saat ini. Semua kejadian di awal pagi tadi, sukses membuatnya tak bersemangat dan sangat canggung saat diwawancara tadi. Namun, dia harus mencoba berhusnudzon, bahwa hal seperti tadi hanyalah sebuah ujian sebelum ia benar-benar terjun bekerja di sini. Satu hal yang harus selalu ia ingat, bahwa jangan sampai ia mengulangi kesalahan yang sama. Tidak boleh ceroboh dan satu lagi yang harus ia ingat. Lelaki yang memarahinya di depan hotel dan yang ia tabrak tubuhnya tadi pagi adalah bos pemilik hotel yang bernama Munos karim. Semoga lelaki itu tidak mengingat wajahnya. Fani bermonolog sambil memandang lalu-lalang orang yang keluar masuk hotel.“Fani, senyumnya jangan kaku, seperti menahan buang air. Kenapa jadi seperti ngeden gitu senyumnya?” tegur Ratih;resepsionis yang berdiri di sampingnya.“Eh, iya Mbak Ratih. Saya akan coba tersenyum manis,” jawab Fani dengan tak enak hati.“Nih, anggap saja tamu yang ber