Aku segera turun dari tempat tidur. Tubuhku terasa sakit karena gerakanku terlalu buru-buru. Aku menyingkap tirai jendela untuk mengecek terlebih dahulu. Siapa sangka, orang yang berdiri di depan pintu adalah Luna.Kenapa Luna bisa tahu tempat tinggalku? Aku yakin aku tidak pernah memberitahunya bahwa aku tinggal di Goldland Villa. Aku memakai sandal, lalu bergegas turun. Luna menekan bel lagi.Aku membuka pintu dan Luna berjalan masuk sambil tersenyum. Dia juga membawa sekeranjang buah. Ekspresi Luna benar-benar polos. Aku menyambut Luna dengan ramah, "Nona Luna, ada apa kamu datang kemari?""Aduh, kita bicarakan di dalam saja," ucap Luna. Dia masuk dan mengamati sekeliling, lalu berkomentar tanpa merasa canggung sedikit pun, "Rumahmu bagus sekali, sangat klasik.""Silakan duduk, kamu mau minum apa? Aku punya kopi dan teh," ujarku seraya berjalan ke meja di ruang makan.Luna mengikutiku ke ruang makan dan menimpali, "Terserah, kamu nggak usah repot-repot. Kenapa bisa terjadi masalah b
Aku tercengang saat melihat rekaman kamera pengawas beberapa kali. Ekspresi Luna tampak seperti bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. Menyadari hal ini, aku tiba-tiba merinding ketakutan. Sebenarnya, apa maksud wanita itu? Ekspresinya ... benar-benar menakutkan. Dia memang datang menjengukku, tetapi apakah untuk melihat penderitaanku? Jika begitu, apakah semua ini membuat dirinya sangat puas? Dia tertawa saat melihatku terluka?Aku menduga seperti itu. Lantas, apakah hal ini adalah perbuatannya? Atau mungkin berhubungan dengannya? Aku bisa berpikir begitu karena Luna yang paling mungkin tahu tentang pertemuanku dengan Cynthia. Tidak, tidak! Ini mustahil. Dia tidak mungkin ingin membunuhku, 'kan?Aku duduk di atas ranjang sembari melamun. Aku memegangi kepalaku dan terus menebak-nebak semua kemungkinan yang ada.Aku tidak tahu sejak kapan Taufan kembali. Ketika melihat ekspresiku, dia segera menghampiriku, lalu meletakkan tangannya di atas pundakku. Sementara itu, aku memeki
Hari ketiga pagi hari, Oscar meneleponku untuk menanyakan kondisi lukaku. Sebenarnya, aku juga berencana pergi ke perusahaan.Begitu melihatku tiba, Oscar buru-buru meraih lenganku. Dia mengamati wajahku dengan serius, lalu bertanya, "Gimana keadaanmu? Apa lukanya akan berbekas? Masih sakit nggak?""Kamu juga sudah melihatnya sendiri, bukankah aku baik-baik saja?" timpalku. Beberapa hari ini, wajahku sebenarnya sudah jauh lebih baik. Beberapa bagian yang tergores lebih dalam yang masih berbekas, sedangkan goresan tipis sudah memudar. Saat ini, luka di wajahku tidak separah sebelumnya lagi.Setelah itu, Oscar membawaku duduk di sofa. Dia menyampaikan beberapa urusan perusahaan beberapa hari ini. Oscar mengetahui bahwa Eternal Real Estate akhirnya bisa menang karena perintah Cynthia untuk menyerah atas lahan itu."Cynthia menyerah?" gumamku dengan heran."Dilihat dari hal ini, sepertinya Cynthia sedang mengendalikan perkembangan Taufan," ujar Oscar."Maksudmu, Cynthia ingin menjatuhkan T
Aku langsung bersemangat. Aku bergegas turun ke lantai bawah dan memasukkan masakanku ke dalam microwave. Aku sangat antusias sampai-sampai tanganku bergetar.Aku juga pergi ke kamar mandi untuk melihat wajahku di cermin. Hari ini, aku ingin bertemu Taufan dalam kondisi terbaik. Aku harap dia bisa merasakan bahwa aku adalah keluarganya yang terus menemaninya. Aku juga berharap kelak kita bisa sama-sama merayakan ulang tahunnya.Pintu rumah dibuka. Aku menyambutnya dengan antusias, "Akhirnya kamu pulang!"Taufan tertegun. Dia memelukku saat melihat ekspresiku yang gembira, lalu bertanya, "Kenapa kamu belum tidur?"Aku mencium bau alkohol yang menyengat. Aku tidak pernah melihat Taufan minum begitu banyak anggur. Aku segera memapah Taufan, lalu mengambil sandal dan menarik Taufan masuk. Aku membawa Taufan ke meja makan dan menyuruhnya duduk.Aku segera menyalakan lilin dan memandang Taufan. Aku berujar dengan ekspresi lembut, "Cepat berdoa. Selamat ulang tahun, aku doakan semoga kamu seh
Aku melihat dapur dan ruang makan yang sudah bersih, lalu mencuci muka. Aku tidak kembali ke kamarku, melainkan pergi ke kamar Adele. Aku berbaring di samping Adele dan tertidur.Saat bangun, Adele sudah bangun dari tadi dan dia sedang bermain dengan bonekanya. Aku berpikir sejenak, lalu berkata kepada Adele, "Kita ganti baju dulu, Mama bawa kamu sarapan di luar dan kita pergi ke kantor. Kalau nggak terlalu sibuk, hari ini kita pergi ke rumah Nenek, ya?"Adele bersorak, dia bertanya apakah boleh membawa bonekanya atau tidak. Aku menelepon Oscar, aku berkata bahwa aku telat masuk. Kemudian, aku mendandani Adele dan memasukkan bajunya dan bajuku ke koper kecil. Setelah itu, kami baru keluar dari rumah.Setelah selesai sarapan, aku langsung pergi ke perusahaan. Ini adalah pertama kalinya Adele datang. Adele disayang oleh semua orang. Shea membawa Adele berkeliling di perusahaan.Sementara itu, aku dan Oscar membereskan beberapa urusan di perusahaan. Aku juga memberi tahu Oscar bahwa hari
Malam itu, aku mabuk. Oscar yang mengantarku pulang. Ketika turun dari mobil, Oscar menggendongku di punggungnya dan aku tergelak. Namun, aku bersikeras tidak mau masuk ke rumah.Oscar pun menggendongku sambil berjalan-jalan di area kompleks. Oscar menceritakan semua kejadian saat kami di universitas. Tentu saja aku tahu Oscar sangat baik kepadaku. Tak lama kemudian, aku tertidur di punggung Oscar.Aku sama sekali tidak ingat bagaimana aku pulang ke rumah dan diantar ke kamar. Pokoknya aku merasa tenang karena orang tuaku yang menjaga putriku. Aku tidak takut sedikit pun dan bisa melakukan apa pun yang kuinginkan.Tiba-tiba, aku terbangun karena ponselku berdering. Kepalaku sangat sakit, tetapi aku tahu hari ini libur. Aku mengakhiri panggilan telepon dan membenamkan wajahku di bantal. Aku berusaha untuk tidak memikirkan apa pun dan lanjut tidur.Namun, aku tidak bisa tidur lagi. Kesedihan terus memenuhi benakku.Tiba-tiba, ponselku berdering lagi. Aku melihat ponsel, ternyata Taufan y
Aku ragu harus menerima panggilan telepon atau tidak. Taufan yang meneleponku. Ayahku mengamati ekspresiku. Aku pun memutuskan untuk menjawab panggilan telepon, lalu terdengar suara Taufan. "Aku di bandara, cepat jemput aku."Lagi-lagi, Taufan memerintahku. Aku benar-benar tidak berdaya, Taufan punya asisten dan banyak bawahan, kenapa dia menyuruhku untuk menjemputnya di bandara? Dia pikir dia siapa? Apa aku ini sopir atau pelayannya?"Maaf, ada tamu di rumahku. Aku nggak bisa keluar," tolakku. Kemudian, Taufan mengakhiri panggilan telepon.Aku hampir memaki, dasar pria berengsek, beraninya dia mengakhiri panggilan teleponku lagi. Aku hendak meletakkan ponsel di meja, tiba-tiba ada pesan masuk. Aku membuka pesan itu, ternyata Taufan mengirim gambar Oscar yang membawa barang sambil mengetuk pintu dari rekaman kamera pengawas. Taufan juga mengirim pesan.[ Ini tamu kamu? Sejak kapan dia menjadi tamu istimewa yang membuatmu tidak bisa keluar? Adele pasti menungguku untuk makan bersama. ]
Aku merasa gugup. Bagiku, ucapan Taufan terlalu berlebihan.Aku melihat pemandangan indah di depanku dan bergeming. Aku memang takjub, apa ini rumah yang belum selesai itu? Benar-benar megah.Taufan turun dari mobil dan mengambil kopernya di kursi penumpang belakang. Kemudian, dia membuka pintu mobil kursi penumpang depan, lalu menggandengku dan berjalan masuk ke dalam rumah. Aku pun mengikutinya.Bagian dalam rumah itu sangat mewah. Begitu masuk, tiba-tiba terdengar suara seruan. "Bapak sudah pulang!"Beberapa pelayan menghampiri Taufan dan mengambil koper dengan gembira. Sepertinya, pelayan di sini sangat setia kepada Taufan. Setelah masuk ke kamar Taufan, dia menahanku di pintu dan bertanya dengan suara serak, "Kelihatannya, kamu tidak merindukanku?"Hatiku terasa sakit. Aku tersenyum dan menunduk. Sebenarnya, aku adalah orang yang keras kepala. Aku sulit mengungkapkan kekesalan di hatiku.Taufan mendekatiku dan terus mengamatiku, seperti sedang menebak pemikiranku. Taufan bertanya