Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas24. Nota (Bagian A)"Walah, Mamang rupanya," kataku pelan, sambil mengernyit heran.Aku segera turun dari motor dan langsung bergegas menghampiri Mang Akim, dia terlihat sedikit bergetar dan matanya was-was menatap sekitar. Ada apa, sih? Apa kebun di sini angker? Aku mengusap belakang leherku, yang tiba-tiba merinding."Kenapa, Mang? Kok, sepertinya gelisah begitu?" tanyaku ingin tahu.Dia menelan ludah dan menatapku dengan pandangan bimbang, lalu dia mengulurkan secarik kertas ke tanganku. Saat hendak kubuka, Mang Akim buru-buru mencegah."Nanti saja, ketika di rumah, Neng. Bacanya sama Den Galuh, ya," katanya memelas. "Mamang bingung, mau ngasih sama siapa. Neng Dewi nggak ada di sini, kalau sama Neng Ambar … yah, Neng Ellen tahu sendiri lah dia bagaimana," kata Mang Akim nyaris berbisik."Tapi jangan kasih tau sama Ibu ya, Neng," pintanya lagi.Aku mengernyitkan dahiku pertanda tak mengerti, memangnya ini kertas apa sih? Sampai segitunya harus
25. Nota (Bagian B)"Lumayan," katanya sambil mengelus kepalaku.Aku mengangguk mengerti, karena mataku bisa melihat suamiku sudah dengan penampilan yang sudah segar dan rambut yang basah. Pasti dia baru saja selesai mandi."Bang, aku kangen," kataku manja.Dengan sigap dia segera ikut merebahkan diri di sampingku dan merengkuhku ke dalam pelukannya yang nyaman. Dia mengelus kepalaku dengan sayang, dan aku kembali memejamkan mata karena rasa nyaman yang melingkupi."Gimana perkembangan bangunan bengkel Abang?" tanyaku pelan."Lancar, Alhamdulillah. Bang Gitok dan kernetnya cepat banget, Dek," jawab Bang Galuh antusias. "Memang benar-benar tukang yang sudah profesional!" pujinya lagi.Aku hanya berdehem, dan bergumam tidak jelas. Inginnya sih, ngobrol-ngobrol dengan Bang Galuh, tapi mataku kembali terasa berat ingin tidur."Aku juga diterima Wak Ijal untuk jadi muridnya, Dek," kata bang Galuh lagi.Telingaku mendengar ucapannya, namun mataku sudah terpejam. Menikmati elusan sayang tanga
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas26. Aura yang Berbeda (Bagian A)"Ya Allah …." Bang Galuh mendesah lirih, wajahnya menunjukkan kegusaran yang sangat besar dan dia sama sekali tidak berusaha untuk menutupinya,sehingga aku bisa melihatnya dengan sangat jelas. Aku mengelus punggungnya dengan lembut, dengan irama naik turun aku berusaha menenangkannya. Berusaha membuat dia santai dan juga rileks, karena mungkin saja setelah ini lebih banyak kejutan yang menanti."Sudah, nanti lagi kita pikirkan masalah ini, Bang," kataku pelan. "Yuk, sholat Maghrib dulu!" ajakku berusaha membuat dia lupa dengan kejadian ini, walau hanya sebentar karena setelahnya kami tentu akan membahas kembali masalah ini.Lagipula bukankah mengadu kepada Allah sang maha segalanya adalah hal utama yang harus kita lakukan saat ini? Bukankah Allah lah tempat sebaik-baiknya untuk curhat? Yang akan selalu mendengarkan keluh kesah hambanya, dan juga yang terpenting, tidak akan mengadukan apa yang telah kita curhatka
27. Aura Yang Berbeda (Bagian B)Aku menyukai Bang Galuh yang polos, dan juga lugu. Namun, Bang Galuh yang seperti ini, tidak buruk juga. Aku tertawa dalam diam."Dek, O dek!"Bang Galuh menjentikkan jarinya di depan wajahku, dan aku segera mengerjap pelan. Wah, ternyata aku melamun lagi."Ada apa, Bang?" kataku heran karena dia menahan langkahku yang hendak keluar rumah.Bukannya dia mau cepat? Kenapa sekarang diperlama?"Dek, hijabmu!" katanya sambil mengelus kepalaku dengan sayang.Aku segera meraba kepalaku, dan benar saja, aku hanya bisa merasakan helai demi helai rambut di jemariku. Astaghfirullah, aku sampai lupa mengenakan hijab."Ya sudah, Abang tunggu sebentar, ya!" pintaku sambil berlalu menuju kamar."Bawakan hoodie yang berwarna merah ya, Dek!" pekiknya dari belakang punggungku, dan aku balas dengan menaikkan jempol tanganku ke udara.Setelah berbenah dan juga memastikan aku terlihat cantik, aku segera keluar dan memberikan hoodie merah kesayangan Bang Galuh padanya. Berge
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas28. Ketegangan (Bagian A)Situasi masih terasa sangat canggung, aku bisa melihat dari ekor mataku kalau Ibu membelalak dengan sangat dramatis. Kak Ambar dan juga Bang Gery terdiam, namun amarah dan juga rasa malu tercetak jelas di wajah mereka berdua.Aku menyeringai puas! Mereka terlihat tidak menyangka kalau bang Galuh bisa berbicara seperti itu, wong, aku sendiri juga tidak percaya! Suamiku yang pendiam dan juga selalu tertindas itu tiba-tiba berubah menjadi sangar."Jadi? Sebenarnya ada apa, Nang?" tanya Ibu pelan."Sawit Ibu hilang?" Tembak Bang Galuh secara langsung."Iya, sudah dua bulan ini," kata Ibu membenarkan.Aku melirik Bang Gery, dan dia terlihat sangat gelisah dan juga tidak tenang. Bolak balik berganti posisi setelah mendengar ucapan Bang Galuh."Sudah ada petunjuk siapa yang mencurinya?" tanya Bang Galuh dengan nada tegas."Belum …." Ibu menggeleng lemah."Ada yang Ibu curigai?" tanya Bang Galuh lagi.Ibu terlihat menghela nafas
29. Ketegangan (Bagian B)"Astaghfirullah, ya Allah," lirih Ibu. "Siapa, Nang? Biar di bawa Abangmu ke sini!" kata Ibu lagi.Ck, ck, ck, aku kasihan pada Ibu."Bu, orangnya sudah ada di sini!" kata Bang Galuh dengan tegas.Matanya melihat Bang Gery dengan pandangan mematikan, yang di pandangi terlihat sangat gelisah dan juga takut "Maksud kamu?" tanya Ibu ragu."Iya, yang Ibu pikirkan sama dengan yang aku maksud," jawab Bang Galuh dengan nada meremehkan. "Menantu kesayangan Ibu yang mencurinya!" tegasnya lagi."GALUH!" pekik Kak Ambar tidak terima."Kamu lancang sekali karena menuduh Abangmu mencuri," desisnya dengan bibir terkatup rapat. "Aku bukan bicara omong kosong, Kak! Aku bicara sesuai bukti," jawab Bang Galuh santai."De—Dek, mana mungkin aku mencuri!" kata Bang Gery sambil tergagap."Kamu dengar? Suamiku tidak mungkin mencuri!" Kak Ambar membela suaminya."Mana ada maling teriak maling," jawab Bang Galuh."GALUH!" pekiknya kuat "AMBAR!"Kak Ambar terlihat mengatur nafasnya
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas30. Kebenaran Mulai Terungkap (Bagian A)"Waalaikumussalam," sahut Ibu dengan cepat, dan diikuti oleh kami semua terkecuali Bang Gery yang langsung terdiam.Bang Galuh beranjak keluar, dan beberapa saat kemudian dia sudah masuk kembali dengan diikuti oleh Mang Akim dan juga dua orang lainnya dari belakang. Aku mengenali dia sebagai teman Bang Galuh yang bernama Sugeng dan juga Marwan, kenapa mereka juga ikut serta ke sini? Aku berpikir keras memikirkan segala kemungkinannya.."Gimana kabarnya, Bi?" tanya Bang Sugeng sambil mencium tangan Ibu, yang diikuti juga oleh Bang Marwan. Mereka terlihat sangat menghormati Ibu."Alhamdulillah baik, sudah lama nggak mampir ke sini loh, Nang," kata Ibu sambil mempersilahkan mereka duduk. “Kemana saja? Ham?” tanya Ibu sambil tersenyum simpul.Terlihat sekali Bang Marwan dan juga Bang Sugeng ini sudah sangat terbiasa di rumah ini, karena mereka terlihat sangat santai di hadapan Ibu seolah tengah berhadapan deng
31. Kebenaran Mulai Terungkap (Bagian B)Dia mendecih jijik dan menatap Mang Akim dengan pandangan maut, ludahnya barusan tepat jatuh di karpet mahal milik Ibu. Abang iparku itu berkacak pinggang, seolah dia tengah menantang Mang Akim."Gery! Duduk!" Ibu memerintah tegas.Wajahnya masih tenang, tidak terlihat sedikitpun kegusaran di wajahnya yang masih terlihat cantik hingga saat ini. Bang Gery menurut, walau masih tetap bersungut-sungut seolah mengancam mang Akim."Lanjutkan, Kim," kata Ibu memerintah. "Siapa saja komplotan Gery?" tanya Ibu lagi.Bang Gery terlihat semakin gelisah, dia mengerling pada Kak Ambar seolah minta pertolongan. Kak Ambar hanya bisa menghela nafas dan menggelengkan kepalanya dengan pelan. Yah, siapa juga yang mau melawan Ibu, sih?"Saya, Bu!" kata mang Akim dengan mantap. "Tapi sumpah, saya sama sekali tidak mengambil uangnya, Bu! Saya mau karena Den Gery mengancam akan memecat saya. Saya sudah tidak tahan menanggung beban dosa, makanya saya mau jujur," jelasn