156. POV USMAN (KABAR DUKA DARI GALUH) (Bagian B)Dia menatapku dengan pandangan teduh, "Bapak baru saja kehilangan anak bapak satu minggu yang lalu, dan saat ini menantu bapak yang berjuang di meja operasi. Sedih rasanya saat anak-anak kita lebih dahulu pergi, kenapa bukan bapak saja yang sudah tua ini? Tapi sekali lagi, bapak yakin Allah punya rencana sendiri. Dan kita tidak berhak untuk protes sedikitpun," katanya mantap."Sekarang pulanglah, lakukan kewajibanmu sebagai seorang anak!" lanjutnya lagi sambil menepuk pundakku.Entah kenapa aku makin menangis tersedu-sedu saat mendengar ucapan orang-orang yang ada di sini. Mereka semua pernah mengalami kehilangan, dan mereka tahu apa yang aku rasakan saat ini.Ya Allah …."Telepon lagi adikmu, Nak. Dia pasti kebingungan saat ini," kata Ibu tua yang tadi berbicara dengan Galuh.Aku mengangguk mengerti dan kembali menelepon Galuh, adik iparku itu dengan cepat langsung mengangkatnya.[Bang? Abang baik-baik saja, kan?] Tanyanya dengan pani
157. POV USMAN (KABAR DUKA DARI GALUH) (Bagian C)Aku tidak sedikitpun menoleh ke arah Ellen, namun tanganku masih berada di pucuk kepalanya dan mengelusnya dengan lembut, aku menahan tangis namun berharap agar dia tidak menyadari kesedihanku.Namun entah kenapa tiba-tiba Ellena bergidik, dan dari ekor mataku aku bisa melihat dia menoleh ke arahku. Namun aku tetap menatap ke depan, tidak menatapnya sedikitpun. Aku sadar, suaraku mulai terdengar berbeda lebih berat dan juga serak, dia pasti merasa aneh dengan suaraku yang seperti ini.Dokter Indra melihat Ellena, namun dia langsung membuang nafas dengan kasar saat melihat Ellen mengangguk. Sebenarnya aku curiga dengan keadaan ini, namun aku saat ini sedang dalam keadaan terburu-buru.“Tidak ada yang salah, Pak! Everything is okay, Bu Ellena hanya kelelahan!” kata dokter Indra dengan nada mantap.“Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu,” ujarku sangat lega. “Dek, kamu ke mobil duluan, ya. Abang mau bicara dengan Pak dokter sebentar,” ka
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas158. TANGISAN USMAN DAN ELLENA (Bagian A)POV USMANWalau menyakitkan, tapi akhirnya pemakaman Bapak dan Ibu akhirnya telah selesai dilaksanakan. Sore hari yang cerah, namun hati kami sekeluarga mendung karena ditinggalkan oleh orang tua kami.Sesampainya kami tadi di rumah, Bapak dan Ibu sudah selesai dimandikan dan sudah siap untuk di sholatkan. Aku angkat jempol dengan kesigapan Galuh dan keluarganya, mereka benar-benar menyiapkan semuanya.Ellen jangan ditanya, dia jatuh pingsan hingga aku tidak bisa menghitungnya. Bahkan, dia terpaksa tidak melihat pemakaman Bapak dan Ibu karena dia kembali pingsan lagi.Ellen terpaksa tinggal di rumah, dan di jaga oleh Ambar. Seluruh penduduk desa ikut dalam penguburan jenazah Bapak dan Ibu, kami bahkan tidak menyangka akan seramai ini.Bapak memang dikenal sebagai orang yang baik, yang suka menolong orang yang sedang kesusahan. Banyak warga yang ditolongnya, banyak warga yang dipekerjakannya.Wajar saja,
159. TANGISAN USMAN DAN ELLENA (Bagian B)"Ibra sama Om Galuh dulu, ya. Mama mau antar Bang Aksa ke kamar," ujar Ambar pada anaknya.Ibra mengangguk patuh dan langsung berlari menuju ke arah Galuh, dia terlihat menggelayut manja di pangkuan adik iparku itu."Galuh, habis ini makan sama Bang Usman ya." Ambar berucap tegas, sambil berlalu.Aku dan Galuh berpandangan lalu dia mengangkat bahu pertanda tak bisa melawan perintah Ambar. Melihat itu aku langsung bergegas menyusul Ambar, tidak enak rasanya melihat dia harus menggendong tubuh anakku yang sudah beranjak besar."Kamar Abang yang mana?" tanya Ambar sambil menatapku. "Yang tengah, itu dulu kamar Abang. Sekarang kosong, tapi kalau Abang lagi nginep di sini Abang akan tidur di situ," balasku pelan, sambil membuka pintu kamar. Dan alangkah terkejutnya aku saat aku membuka pintu, pemandangan yang pertama kali kulihat adalah keberadaan istriku yang sedang berada di atas ranjang. Dan dengan santai dia tengah memainkan ponselnya, sambi
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas160. MASIH BELUM BISA MENERIMA (Bagian A)POV ELLENABukankah mempunyai keluarga yang lengkap adalah impian semua orang? Dulu aku merasa sangat bahagia, hidupku terasa sempurna, mempunyai keluarga yang hangat dan juga saling menyayangi satu sama lainnya.Mempunyai suami yang tampan, baik, perhatian, dan juga setia serta bertanggung jawab seperti Bang Galuh. Mertua dan ipar yang baik, penyayang dan juga kompak, juga Abang kandungku satu-satunya yang baik, dan selalu bisa melindungiku. Dan yang terpenting adalah kedua orang tuaku yang menyayangi dan juga bisa mengayomi kami, orang tua terbaik di dunia. Itulah yang sering aku katakan pada orang lain tentang penggambaran Ibu dan Bapak di mataku.Orang tua yang selalu bisa adil, dan juga bijaksana. Mereka tidak pernah membedakan kasih sayang maupun materi yang mereka berikan antara aku dan Bang Usman.Mereka selalu bisa menempatkan posisi mereka di garis netral, tidak berat sebelah dan juga selalu
161. MASIH BELUM BISA MENERIMA (Bagian B)Rasanya bahkan lebih sakit dari yang tadi, mungkin tadi aku tidak bisa menangis lepas di depan Ibu. Tapi saat di depan Bulek Rosma, entah kenapa aku sama sekali tidak bisa menahan tangisanku.Aku bisa merasakan keberadaan Bulek Rosma di sampingku, ranjangku bergoyang pelan saat dia membawa aku ke dalam pelukannya. Dengan lembut dia menepuk punggungku, dan membisikkan kata-kata agar aku sabar dan kuat."Cup, cup, jangan di tahan, Nduk. Tapi kamu harus janji, ini terakhir kalinya kamu menangis. Bisa?" tanya Bulek Rosma padaku.Aku menggeleng pelan, dan Bulek Rosma sontak terkekeh karenanya."Oalah, piye iki?" katanya heran."E—ellen sedih, Bulek," ujarku dengan terbata-bata."Lah, yo Bulek juga sedih. Kehilangan Mas dan Mbak ku sekaligus. Pakdemu, Mas Burhan sudah mendahului kami, dan sekarang Bapakmu. Bulek sekarang sendirian, kamu masih mending punya Usman," kata Bulek Rosma.Nada suaranya terdengar biasa, namun aku tahu dia pasti juga meras
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas162. MENUNTUT WARISAN (Bagian A)"Kak, ngapain di situ? Ngalangin jalan aja," Aku dan Bang Galuh sontak menoleh ke belakang dan kami langsung bisa melihat seorang gadis manis, tengah berdiri sambil membawa nampan.Wajahnya merengut lucu, dia terlihat kelelahan. Keringat kecil muncul di wajahnya yang ayu."Minggir," katanya ketus."Lala! Jaga sikapmu!" kataku spontan.Dia berhenti dan berbalik, sambil merengut sepupu jauhku itu menunduk dan kemudian berbisik lirih."Maaf," cicitnya hampir tidak terdengar."Lain kali jangan diulangi, atauuuuu …." "Iya, iya, nggak akan Lala ulangi!" katanya sambil cemberut.Dia langsung bergegas meletakkan nampan berisi beberapa gelas kotor itu ke atas wastafel, dan berbalik pergi sambil melewatiku lagi."Dasar galak! Untung sering ngasih uang jajan!" katanya sambil mengejek.Dan aku hanya bisa menghela nafas panjang saat mendengarnya, dasar sepupu tidak ada akhlak!"Dek, ngapain di situ? Masuk," ujar Bang Usman
163. MENUNTUT WARISAN (Bagian B)"Yang di peringgannya tanah Kek Soleh, mau Uwak jual untuk biaya Abangmu membuka usaha," katanya lagi."Loh, bukannya tanah yang di samping Atuk Soleh itu di bayar ya? Itu bukan dari Nenek!" balasku dengan tajam."Siapa yang bilang?" tanya Wak Nurma dengan ketus. “Itu dari nenekmu, dari Ibuku!" katanya lagi.“Lah, Aku dan Bang Usman bahkan ikut ke sana waktu membayar tanah itu pada nenek!" kataku tegas.“Tidak, itu warisan dari Nenekmu. Dan Uwak punya hak juga di situ!” katanya semakin ketus."Maaf, ya Wak, bukannya saya mau ikut campur. Tapi tidak elok rasanya kita membicarakan perkara harta saat ini, padahal Bapak dan Ibu baru sore tadi di kebumikan," ujar Bang Galuh dengan tegas."Wah, wah, ini lah sebabnya makanya aku tidak mau orang luar ikut campur dalam masalah keluarga kita!" kata Wak Nurma dengan ketus. "Jangan kau pikir, kau punya hak untuk bicara Galuh!" ujar Wak Nurma lagi.Bang Galuh hanya diam dan tidak menanggapi ucapan Wak Nurma yang ak